"Aku ingin menikah lagi." Sore itu sepulang kerja, Rizal mengutarakan keinginannya pada Ratna, dengan mengulurkan sejumlah uang yang ia letakkan di atas meja, tepat di depan tangan sang istri yang sedang memegang ponsel.
"Aku sudah tahu, dan aku siap?" jawab Ratna, dengan wajah tenang. Bahkan tanpa memandang wajah suaminya yang baru saja pulang kerja.
"Apa maksudmu?" tanya Rizal yang tak menyangka istrinya akan setenang itu. Dahinya mengernyit, seolah sedang berpikir tentang sikap yang istrinya tampakkan.
"Aku siap kau ceraikan."
"Tidak, aku tidak ingin kita bercerai, aku janji akan bersikap adil." Rizal sedikit kaget dengan keputusan yang diambil Ratna, di luar perkiraannya.
"Adil? Kau tak akan bisa? Aku tahu berapa uang yang sudah kau berikan pada perempuan itu tiap bulannya, dua kali lipat dari yang kau berikan padaku."
Rizal sedikit tersentak, tak mengira kalau Ratna bisa tahu apa yang dia lakukan.
"Dia seorang janda, beranak satu, tentu saja dia lebih banyak membutuhkan uang, bukan?!" jawab Rizal, seolah tanpa beban.
Baguslah kalau tanpa Rizal cerita, Ratna sudah paham dengan keadaan yang ia alami saat ini.
"Ini, kau ambillah uangmu kembali, dan belikan saja keperluan rumah ini sesuai dengan kebutuhanmu." Ratna menjauhkan uang yang tadi Rizal sodorkan padanya, hingga kini berada dekat dengan suaminya.
"Kenapa? Apa kau tak bisa mengelolanya?" sindir Rizal, bibirnya menyunggingkan senyum menyindir. Tangannya kembali mengambil uang yang di sodorkan oleh istrinya.
"Ya, aku tidak bisa, uang satu jutamu setiap bulan membuatku meronta setiap malam," sinis Ratna. Sudah lama ia ingin melakukannya. Namun, sekarang baru terlaksana.
"Kau bukan saja tak sanggup membuatku mempunyai keturunan, tapi juga tak bisa membuat hidup ini tenang." Rizal tampak gusar, apalagi tak ada guratan kecewa di wajah perempuan yang telah lima tahun menjadi istrinya itu
"Jadi apa yang membuatmu tidak segera menceraikanku, segera lakukan, aku akan menandatanganinya sekarang juga." Kali ini Ratna menatap lekat wajah Rizal, tetap dengan suara dan wajah yang sangat tenang.
Alasan dirinya yang belum juga hamil sudah sering kali di alamatkan Rizal untuk membuatnya pasrah, tapi kini tidak lagi! Ratna harus kuat.
"Sudah aku bilang, aku tak akan menceraikanmu." Rizal berkata setengah berteriak.
"Apa kau ingin aku yang melakukannya?" Ratna menantang Rizal.
"Kau pikir cerai nggak butuh biaya? Dapat uang dari mana kamu?" Rizal sengaja berlindung di balik kata uang. Karena dia paham benar, seorang Ratna yang sudah yatim piatu itu hanya bisa hidup karena belas kasihannya.
"Sudahlah, suami tak butuh ijin dari istrinya untuk menikah lagi, dan aku akan melakukannya." ujarnya lagi, dengan mengibaskan tangannya yang masih menggenggam uang, ke arah Ratna.
"Terus kenapa kau sekarang seperti meminta ijinku? dasar lelaki aneh !"
"Aku hanya ingin kau bersiap siap untuk melamarkan istri baruku nanti, aku tak mau masyarakat me-capku sebagai lelaki yang tak mempunyai perasaan."
Seperti tanpa beban Rizal mengatakan maksudnya pada Ratna.
"Aku tidak mau." Ratna meletakkan ponselnya, dan kini fokus pada suaminya. Tampaknya dia sudah siap dengan perkataan Rizal yang seenaknya saja.
"Harus! Atau kau mau-"
"Jangan pernah memukulku lagi! Sekali saja tanganmu menyentuh ku dengan kasar. Aku akan penjarakan kamu!" jawab Ratna, saat melihat Rizal sudah mengangkat tangannya.
Kebiasaan yang selalu Rizal lakukan bila Ratna tak mau melakukan apa yang dia mau.
"Kau pikir urusan seperti itu tidak butuh uang?" Lagi! Berlindung di bawah ketiak uang.
"Uang bisa di cari, kau pikir aku tak tahu kalau kau juga mempunyai tanggungan bank dengan memalsukan tanda tanganku?" jawab Ratna masih dengan sangat tenangnya.
Rizal hanya bisa menatap tak percaya dengan sikap yang ditunjukkan Ratna, tangannya yang sudah melayang ke atas hanya bisa ia turunkan dengan terkepal.
Wanita yang berada di depannya seperti perempuan lain. Dia berbeda, bukan seperti istrinya.
"Aku tak akan melakukannya, jika saja kau bisa memberikanku keturunan." Kini, Rizal menurunkan uratnya, agar Ratna mau melakukan apa yang dia inginkan.
"Kau selalu menyalahkanku tentang ini, kenapa tidak kau datangi saja yang punya hidup, dan protes pada-Nya. Apa kau berani?" Lagi dan lagi, Ratna menantang Rizal.
Rizal mendengus kasar, dia bangkit dari duduknya dan masuk kedalam kamar meninggalkan Ratna yang kini tersenyum samar.
"Mana kopiku ...!"
Mendengar teriakan suaminya dari dalam kamar, Ratna meletakkan ponselnya di atas meja dan segera berlalu ke dapur, membuatkan sesuatu untuk suaminya."Mana kopiku?" tanya Rizal untuk kedua kalinya, saat keluar dari kamar dengan penampilan yang berbeda, tampak segar dengan air yang masih menetes di ujung rambutnya."Tidak ada kopi, hanya sisa teh itu pun tawar, gulanya habis," jawab Ratna, dia menunjuk satu-satunya gelas berisi teh di atas meja."Kau keterlaluan! Aku tidak bisa minum sesuatu yang tawar, kamu tahu itu!" sahut Rizal, dengan nada meninggi."Aku tahu, tapi bukan aku penanggung jawab rumah tangga bukan? Uangnya ada di tanganmu, jadi silahkan belanja sesuai dengan keinginanmu." Ratna kembali berkata dengan wajah datar, tangannya kembali memegang ponsel, satu satunya barang berharga yang di miliki, pemberian dari Nita, sahabatnya."Jangan lupa, sisakan uang untuk listrik dan air, dan untuk air minum." Ratna lagi-lagi menambahi apa y
"Jodoh itu sudah ada yang ngatur, Bu. Jangan terlalu di ambil hati,""Ratna--"Bunyi motor masuk ke dalam pagar membuat ibu memilih berhenti berkata, pandangannya beralih ke pintu, seakan sedang menunggu.Rizal masuk ke dalam rumah dengan wajah kesal. Di tangannya tergenggam satu kresek besar berwarna merah dengan logo sebuah toko, yang kemudian ia letakkan dengan kasar di lantai dekat kaki Ratna."Ada apa, Zal. Kamu sepertinya sedang kesal." Ibu bertanya saat melihat muka masam putra kesayangannya.Rizal terdiam, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali sambil mendengus, tatapan matanya menatap tajam ke arah Ratna yang juga sedang menatapnya dengan tenang. Sepertinya tak ada niat untuknya menjawab pertanyaan sang ibu suri."Habis belanja di mini market, Zal? Waah banyak uang rupanya, biasanya di pasar, nyari yang murahan," ujar sang ibu, yang sepertinya sedang menyindir sang menantu. Tak perduli meski pertanyaannya tadi
"Ini ...." Rizal meletakkan lagi se-kresek besar dengan warna dan logo yang sama seperti yang ibunya tadi bawa pulang, di samping kaki Ratna yang duduk di sofa sedang memegang ponsel, depan TV yang juga sedang menyala. "Mmm ... makasih," jawab Ratna yang meletakkan ponselnya di atas meja, mengalihkan perhatian pada kresek yang di bawa oleh suaminya. Ia keluarkan semua barang dari dalam kresek, kemudian langsung di letakkan ke tempat yang biasanya. "Berasnya, mana? Kamu lupa beli ya?" tanya Ratna saat barang pokok untuk makan sehari hari tidak ia temukan di dalam kresek. "Aku sengaja nggak beli, uangnya sudah habis," jawab Rizal dengan enteng, matanya masih menatap acara di TV. "Terus kita makannya mau pakai apa?" "Di motor ada satu dos mie goreng campur mie kuah. Kau ambillah, untuk sementara kita makan mie dulu, aku butuh banyak uang untuk melamar." Rizal menjawab dengan tangan terus menekan remote control TV. 
Pagi itu Ratna sudah selesai berdandan ala kadarnya, menggunakan kaos, celana panjang yang warnanya sudah tidak jelas, dan tas yang ia miliki sejak masih sekolah SMA dulu. Sengaja Ratna duduk saja di atas kasur, tidak keluar kamar. Entah apa yang Rizal lakukan di luar sana, tidak ada panggilan atau pun gerakan yang memaksanya untuk ke luar kamar. Hingga saat jam di atas pintu menunjukkan pukul sembilan pagi, Ratna keluar dari kamar setelah sebelumnya terdengar bunyi motor milik Rizal keluar dari pagar. Dengan susah payah, barang Rizal yang semalam sudah dimasukkan ke dalam tas besar, ia keluarkan dan diletakkan begitu saja di depan pintu kamar. Ratna mengunci kamarnya dan bergegas pergi dari rumah setelah sebelumnya mengamankan rumah dan menyalakan beberapa lampu. Lima belas menit melakukan perjalanan dengan mengendarai mobil pedesaan, Ratna berhenti di sebuah ATM. Untung saja sepi, Ratna langsung masuk ke dalam
"Apa yang akan kau lakukan, Nay?""Tenang saja, aku nggak bakalan bikin kamu kecewa dengan apa yang akan kukerjakan, sekarang kamu boleh memejamkan mata." Nay mulai beraksi dengan guntingnya."Boleh sambil ngetik, nggak?" tawar Ratna.yang melihat apa yang dikerjakan sahabatnya dari kaca yang besar di depannya."Eh, aku lupa kalau kau adalah penulis picisan.""Hei ...." Mata Ratna langsung membesar indah saat mendengar sahabatnya mengejek sumber uangnya selama ini."Hahahaha, lakukanlah apa yang mau kau lakukan."Ratna terdiam, mata dan tangannya fokus ke benda pipih yang ia pegang."Masya Allah, itu hape yang pernah Nita almarhum kasih, Na? Kamu nggak pernah ganti?" Nay tampak berhenti memainkan guntingnya, dari kaca Ratna melihat betapa herannya wajah Nay melihat ponsel yang ia pegang."Iya, kenapa?" tanya balik Ratna, tanpa sedikit
"Duduk!"Ratna maju ke depan dan menuruti perintah orang yang mungkin akan menjadi bosnya nanti."Sebelumnya kerja apa?""Tidak kerja, Pak. Hanya jadi ibu rumah tangga biasa aja.""Terus ... kenapa sekarang ingin bekerja?""Karena ingin mendapatkan penghasilan sendiri pak.""Suami sudah mengijinkan?""Saya sudah cerai secara agama, pak."Pak Aldo tak bersuara. Namun, mulutnya mengerucut membentuk huruf 'o'. Dengan pandangan tetap fokus ke komputer."Kamu bisa apa lagi?""Saya hanya bisa mengarang, Pak.""Mengarang? Maksudnya gimana?" Kini atasan yang cakepnya nggak ketulungan ini, menolehkan matanya sejenak ke arah Ratna. Kemudian kembali fokus ke komputer."Sebelum cerai dengan suami, saya mencari rejeki dengan menulis cerita secara online, Pak.""Oooo ... menulis.""Permisi, Pak. Ini saya bawakan yang bapak suruh."Nay langsung masuk ke dalam ruangan karena memang pintuny
"Kamu punya uang nggak? Buat beli kosmetik.""Ada, aku tadi sengaja ngambil lebih.""Kita mampir ke toko dulu ya, buat beli, biar besok nggak repot lagi."Ratna mengangguk sambil tersenyum, terenyuh hatinya melihat betapa perhatiannya Nay, teman dekatnya sejak mereka sekolah SMA dulu.Agak lama Nay dan Ratna di toko kosmetik, sepertinya mereka tidak mau salah memilih, karena memilih kosmetik yang tepat dan sesuai dengan kulit itu penting.Dengan meneteng tas berisi seragam dan kosmetik yang tadi di belinya, Ratna menepati janji untuk menginap di rumah Nay.Melangkah bersama di trotoar, setelah sebelumnya membeli gado gado empat bungkus."Kenapa empat, Nay?""Rahasia," jawab Nay yang menaikkan alisnya berulang kali."Iiih ...," desis Ratna, pupilnya bergerak berputar, jengah dengan sikap yang di tunjukkan sahabatnya.Ratna dan Nay berhenti di depan sebuah rumah sederhana di dalam sebuah gang yang lumaya
"Rizal mau menikah lagi, tapi dia tidak mau menceraikanku, aku harus bagaimana?" ujar Ratna sambil tersedu."Coba kau ceritakan semuanya, Rat. Jangan ada yang kau sembunyikan, kalau setengah setengah begini takutnya bikin kita berpikir yang enggak enggak." pinta Rafi, yang mampu berpikir tenang. Meski di wajah lelaki itu tampak sekali keterkejutan yang tak bisa dia sembunyikan. Pun di antara Mira dan Nay.Ratna pun mulai menceritakan semua yang terjadi tentang hubungannya bersama Rizal, juga musabab kenapa Rizal ingin menikah lagi, dari awal hingga akhir.Semua menghela napas panjang, terdiam, saling pandang."Terus ... apakah kamu bertekad tinggal di rumah itu terus, Rat? Dengan taruhan suatu saat Rizal akan kembali menyakitimu, menyiksamu?" Mira memberanikan diri bertanya, saat semuanya masih malu untuk mengorek lebih dalam lagi pada Ratna."Aku harus bagaimana, itu adalah mandat dari ayah mertuaku almarhum." Ratna memberikan