"Kau...ternyata kau mulai berani berteriak kepadaku, huh?"Aksa mengangkat jemari telunjuknya tepat berada di depan wajah Shikha.
Shikha tersenyum sinis, melirik kearah lain hingga kembali menatap wajah suaminya yang telah memerah dipenuhi rasa emosi.
"Apa kau pikir selama ini aku diam menuruti segala perkataanmu dan menerima segala perlakuan kasarmu itu tanda bahwa aku lemah, Tuan muda Aksareyd?"Nafas wanita itu begitu memburu, sungguh malam ini dirinya telah kehilangan kesabaran dan jangan salahkan jika dirinya malam ini akan mengatakan semua perasaan kesalnya yang dengan susah payah ia tahan selama ini dengan kasar kepada Aksa.
CEO arrogant itu tertawa, terdengar begitu mengerikan bagi Shikha, Shikha berusaha tetap tenang ketika Aksa berjalan semakin mendekati dirinya.
Perasaan merinding menjalar disekujur tubuh wanita itu, ketika tangan hangat milik suaminya telah bergerak, membelai lembut surai anak rambut milik Shikha yang tergerai bebas. Aksa menyelipkan anak rambut itu kedaun telinga bagian belakang istrinya.
"Lalu katakan padaku, langkah apa yang akan kau perbuat saat ini?"detak jantung Shikha rasanya ingin meloncat ketika jarak wajah suaminya hanya menyisahkan beberapa senti saja dari wajahnya, hingga dirinya dapat merasakan hembusan nafas wangi mint yang begitu hangat menerpa wajahnya, ketika Aksa berbicara dengannya.
"Kenapa bungkam, Shikha? Apa mulut yang tadi meneriakiku kini menjadi bisu sekarang?"tanya Aksa seraya membelai pipi mulus Shikha. Ada perasaan yang begitu sulit untuk dijelaskan sekarang, perasaannya nyaman ketika Aksa pertama kalinya menyentuh lembut pipinya serta perasaan takut ketika sorot mata elang itu dipenuhi rasa emosi yang sewaktu-waktu akan meledak.
"Kau begitu pucat, Sayang. Kita bisa pulang kerumah sekarang, aku tak Ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."Sungguh, jika saja ada audisi pencari bakat drama. Suaminya ini akan cocok menjadi pemeran antagonis yang kejam dan manipulatif.
Shikha menggeleng kuat, ia adalah wanita yang sangat peka terhadap sebuah kode yang sering diberikan Aksa kepada dirinya.
"Kau menolakku? Kau ingin bermain-main denganku sekarang, huh?"tanya Aksa dengan suara pelan, namun penuh penekanan. Lemah. Sungguh lagi dan lagi Shikha harus mengalah, dirinya terpaksa menuruti kemauan suaminya itu, daripada harus menelan getirnya hukuman berat yang akan ia terima nantinya jika berani menolak atau membantah suaminya.
Bibir Aksa melengkung, ia tersenyum penuh kemenangan. Dirinya kali ini telah berhasil membuat Shikha tunduk dan patuh pada perintahnya lagi.
Aksa meraih tas milik istrinya kemudian mengeluarkan sebuah bedak tabur, dan mulai mengaplikasikannya ke atas luka lebam yang ia perbuat tadi.
Setelah luka itu berhasil ia tutupi, ia merapikan pakaiannya kembali, kemudian berjalan memeluk pinggang ramping milik Shikha dan membawanya menuju ruangan tempat berkumpulnya para CEO dari berbagai perusahaan.
"Tuan Felix, maafkan aku. Aku harus pulang lebih awal karena keadaan istriku saat ini sedang tidak enak badan."kata Aksa kepada seorang pria tua berusia 35 tahunan itu.
"Oh baiklah, tak masalah bagiku. Kau bawalah istri cantikmu itu pulang kerumah dan rawatlah dirinya dengan baik."Nasehat Tuan Felix kepada Aksa yang dibalas anggukan oleh CEO tampan itu.
Aksa membawa Shikha pergi dari gedung itu, kemudian menyeretnya menuju mobil.
"Bagaimana bisa kau se-pandai itu memanipulatif keadaan? Sungguh aku kira, aku telah banyak mengenalmu lebih dalam, namun setelah semua kejadian yang terjadi malam ini. Semua hal yang dulu aku bayangkan sangat jauh diluar ekspetasiku."
Aksa melirik wajah Shikha dengan tatapan dingin.
"Katakan padaku, apakah aku perlu mengingatkanmu kembali, tentang perjanjian 365 hari pernikahan kita?" Shikha dibuat bungkam oleh pernyataan tersebut.
Aksa mengulum senyumnya, ia berhasil membuat Shikha bungkam seribu bahasa.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, kini mobil mewah berwarna hitam itu berhenti disebuah rumah layaknya istana, namun penjara bagi Shikha.
Ia berusaha tetap tenang, meskipun ia tau kejadian apa yang akan terjadi sebentar lagi pada dirinya.
Pasangan suami istri itu berjalan memasuki rumah, seluruh orang berseragam hitam silver membungkuk, memberi hormat atas kepulangan Tuan muda dan istrinya.
"Shikha, akhirnya kau pulang, Sayang. Bagaimana dengan kabarmu? Mami sangat merindukanmu, Shikha."Wanita cantik yang usianya tak lagi muda itu mendekap Shikha begitu erat, seakan sudah lama tak saling jumpa.
"Kabar baik, Mi. Bagaimana dengan kabar, Mami? Aku dengar Mami baru saja meresmikan toko butik yang berada di Jepang? Dan aku benar-benar meminta maaf atas ketidakhadiranku waktu acara itu berlangsung."Ucap Shikha penuh penyesalan, wanita paruh baya itu mengurai pelukannya, kemudian menangkup wajah sang menantu tunggalnya itu.
"No problem, Baby. Mami mengerti, kau tak perlu merasa bersalah seperti ini."kata Aruna seraya mengelus surai rambut Shikha. Rasa nyaman dan bahagia begitu dirasakan Shikha sekarang, ketika kasih sayang sosok ibu yang sedari dulu ia inginkan kini telah nyata ia rasakan. Meskipun Aksa begitu kejam memperlakukannya, disisi lain ia begitu mensyukuri karena kini ia telah memiliki ibu mertua yang menyayanginya dengan tulus seperti Aruna.
Shikha lahir 20 tahun silam tanpa adanya sosok ibu yang selalu ada disampingnya. Sewaktu Shikha berusia 1 bulan ibunya telah meninggal dunia, karena kecelakaan tunggal ketika dirinya hendak pulang ke rumah. Setelah kejadian itu terjadi, mental sang suami terpuruk, bahkan karena itu Harsa dengan terpaksa menitipkan putri kecilnya ke panti asuhan, bukan tanpa alasan dirinya tak ingin putri kecilnya menjadi pelampiasan sewaktu gangguan mentalnya itu kambuh dan menyakiti Shikha.
Aksa berdeham, kedua wanita cantik itu spontan melihat Aksa yang sedari tadi berdiri di samping Shikha.
"Mami terus saja menanyakan kabar kepada dirinya, sampai lupa kalau Mami juga mempunyai seorang putra yang sedari tadi hanya berdiri seperti patung dan tengah memperhatikan dua wanita yang sibuk dengan perbincangan mereka?"Celoteh Aksa masih dengan wajah dinginnya itu.
"Kau ini, Mami telah memasuki usia kepala empat, namun ingatan Mami masih kuat. Mana mungkin Mami melupakan pria muda dingin yang begitu Mami sayangi melebihi rasa sayang Mami ke Papi mu."Aruna melangkah mendekati Aksa, mengelus surai rambut berantakan milik anaknya itu. Wangi parfum maskulin milik Aksa menyeruak mengisi indra penciuman milik Aruna ketika ia memeluk tubuh jangkung putra tunggalnya itu. Setelah beberapa saat memeluk putranya, Aruna mengurai pelukannya itu, kemudian mengacak gemas rambut putranya.
"Mami, sudahlah. Aku ingin pergi ke kamar sekarang."Ucap Aksa berusaha menghentikan aksi Mami nya yang terus mengacak rambutnya itu.
"Mmm... pergilah kalian. Mami menunggu dua garis biru."kata Aruna, seraya menampilkan senyum jahil andalannya ketika ia sedang menggoda putranya itu.
Aksa berdecak, ia bersedekap dada. Memicingkan matanya dan menatap Mami nya dengan kesal, karena telah membuat ulah dengan menggoda dirinya. Berbanding terbalik dengan istrinya, Shikha tersenyum miris dengan impian Mami mertuanya agar diberikan cucu yang akan lahir dari rahimnya. Bagaimana bisa terjadi, kalau mereka saja tidak tidur dalam satu kamar, Aksa sendiri tak pernah menyentuh tubuhnya selain dengan cara kasar, bahkan Aksa sendiri enggan menatap dirinya lebih lama, kecuali saat sedang marah.
Setelah berpamitan dengan Maminya, pasangan suami istri itu melangkah menaiki anak tangga menuju kamar mereka yang berada di lantai 2. CEO arrogant itu tiba-tiba saja mencengkram lengan Shikha dan menyeretnya menuju kamar bernuansa hitam legam itu.
Aksa menyentak kasar lengan Shikha, membuat wanita muda berusia 20 tahun itu jatuh tersungkur ke lantai marmer berwarna putih.
"Cukup sudah, jangan pernah mencari perhatian apapun dari Mamiku. Ingatlah tentang perjanjian itu, 365 hari. Hanya 365 hari saja kau dapat merasakan semua fasilitas mewah serta nama belakangku ini, setelah hari itu berakhir aku sungguh tak peduli jika kau akan hidup sengsara di jalanan ibukota. Kelaparan, kehausan, bahkan tak memiliki tempat untuk berteduh. Kau yang memulai semuanya, Shikha. Maka rasakan akibatnya."Kata Aksa begitu dingin namun penuh dengan penekanan.
Shikha berusaha untuk tak lemah. Ia bangkit berdiri menatap dingin wajah suaminya yang tak kalah dingin.
"Aku ingat, Aksa. Sungguh, bagaimana bisa aku melupakan perjanjian itu. Perjanjian yang telah dibuat atas dasar rasa kasihan Papi mu terhadap anak dari sahabatnya yang hidup sendiri di panti asuhan tanpa hadirnya sosok orangtua. 365 hari, aku rela menanggung penderitaan selama 365 hari hidup bersamamu, bersama perlakuan kasarmu kepadaku."Shikha memberi jeda, ia menelan salivanya dengan kasar. Nafasnya tercekat begitu saja, dirinya berusaha susah payah menolak bulir putih bening lolos dari kedua mata teduhnya, ia sungguh tak Ingin terlihat begitu lemah dihadapan suaminya ini.
"Kita baru 2 bulan mengarungi bahtera rumah tangga, namun begitu saja kau sudah mengeluh atas perlakuanku kepadamu. Bagaimana jika 2 bulan kedepan? Kau akan gantung diri karena tak tahan, huh?"Ucap Aksa berseringai, menatap remeh istrinya itu. Shikha menunduk, kemudian kembali menatap iris hazel milik Aksa.
"Mungkin--"
"Mungkin...mungkin saja aku akan melakukan hal itu. Tapi, sesuatu yang perlu kau ketahui Tuan muda Aksareyd, aku bukanlah seperti mantan kekasihmu. Yang ketika patah hatinya, juga mematahkan seluruh impiannya dan lebih memilih mengakhiri hidupnya."Damn! Aksa dibuat bungkam oleh perkataan wanita muda itu, yang benar adanya. Shikha tertawa renyah, saat melihat wajah dingin pria itu berubah memucat. Merasa telah dihina, Aksa menampar pipi mulus Shikha, hingga membuat wanita muda itu kembali tersungkur akibat kerasnya tamparan Aksa. "Itu adalah bentuk cinta dirinya kepadaku."Kata Aksa geram, pria tampan itu begitu amat sangat marah sekarang. Jangan salahkan jika dirinya kelepasan, dan semakin menyakiti Shikha. Wanita itu kembali bangkit, menatap rendah Aksa. "Itu pembodohan namanya, wanita itu sungguh amat sangat bodoh karena telah menaruh perasaan pada seorang pria dingin, kasar serta arrogant seperti dirimu ini, Aksa! Bahkan kau sama sekali tak mempunya
Perhiasaan langit berbentuk bulir putih bening jatuh kebumi begitu derasnya. Seperti hari biasa dimana hujan turun, burung-burung berkicau tak menampakkan diri atau hanya sekedar bersiul di pagi menyambut datangnya hari.Aksa yang tertidur di sofa terbangun, ketika mendengar suara langit bergemuruh disertai kilat yang menyambar pohon di sebrang jalan. Untung saja ketika kejadian itu terjadi, tak ada seorang pun yang keluar dari rumah.Ia menggeliat guna meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena tertidur disofa semalaman, ini semua karena ulah bodohnya sendiri. Ia yang telah memerintahkan Shikha untuk melucuti pakaiannya agar ketika Maminya datang, pikirnya telah memergoki mereka sedang melakukan aktifitas layaknya pasangan suami istri pada umumnya, memang ide Aksa berhasil. Namun di sisi lain ia juga merasa sial, harusnya ia ingat jika ia memiliki istri yang sangat mudah tertidur dimanapun ia berada dan dalam situasi apapun yang sedang terjadi.Aksa
Aksa telah mengambil satu kursi untuk didudukinya, ia menatap lapar hidangan yang tersaji di atas meja, sungguh dari aroma hingga bentuknya sangat menggoda dirinya. Namun ia tak mau berharap lebih pada masakan Shikha, yang Aksa tau selama ini bahwa Shikha tak pernah memasak untuk dirinya. Ini sepenuhnya kesalahan Aksa, dirinya tidak ingin Shikha berada di dapur apalagi memasak. Alasannya karena takut wanita tak waras itu menghancurkan rumahnya, bagaimana jika sewaktu memasak ia ketiduran dan lupa mematikan kompor? Oh tidak-tidak, Aksa tidak ingin membayangkan itu terjadi. "Sajikan untukku."Shikha menuruti keinginan Aksa, ia mulai menyajikan makanan untuk pertama kalinya selama ia menikah dengan Aksa. Aksa menyipitkan matanya, meneliti piring yang berada dihadapannya. Lalu beralih menatap Shikha penuh curiga. "Kau tak memberikan racun pada makanan ini, bukan?"pertanyaan Aksa sontak membuat mata wanita itu membola, ia terbartuk untuk menghilangkan rasa gugupnya
"Darimana saja kau ini? Aku telah lelah mencarimu sedari tadi, apakah kau sengaja membuatku susah, huh?"Shikha mencecar wanita itu dengan banyak pertanyaan, wanita itu gelagapan, ia bingung harus menjawab pertanyaan yang mana dulu. Clay menggiring Shikha untuk duduk dipantry, menyuruhnya untuk mengatur nafas sebelum kembali mencecarnya lagi."Katakan padaku, darimana saja kau ini?"tanya Shikha kembali setelah dirinya lebih tenang."Aku hanya pergi ke dapur sebentar untuk membuat secangkir kopi arabica, agar aku tidak lagi mengantuk dan agar suamimu tercinta itu tidak mengamuk padaku karena kinerjaku mulai menurun sekarang."jawab Clay, ia mulai menyeruput kopi yang masih panas itu dengan perlahan. Clay adalah sahabat Shikha sedari kecil, mereka sama-sama hidup di panti asuhan, Clay belum mengetahui jika pria yang dinikahi sahabatnya sendiri telah berlaku kasar selama ini."Aku ingin meminta bantuanmu."kata Shikha penuh keyakinan."Katakan, apa yang h
"Ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu,"Shikha mengernyit dahi, menunggu kalimat selanjutnya. "Aku ingin kau berpura-pura menjadi adik perempuanku, di depan para klien asal Turkey besok,"sontak perkataan itu menuai kecaman dari Shikha, apa maksud pria bodoh ini? Ia kan istrinya, mengapa harus berpura-pura menjadi adik perempuannya? "Apa maksudmu? Kau menyuruhku untuk berpura-pura? Bahkan, menjadi adik perempuanmu!? Apa kau sudah tidak waras?"Tanya Shikha dengan nada yang sedikit meninggi. Aksa menampilkan wajah dinginnya, ia bergerak semakin mendekati Shikha. "Aku masih waras, tidak sepertimu bahkan seperti ayahmu itu. Ck ck! Kasihan sekali,"katanya dengan wajah pura-pura prihatin. Jika dirinya dihina oleh Aksa itu tidaklah mengapa, namun jika Aksa berani menghina ayahnya. Sungguh, jangan salahkan Shikha jika ia lepas kendali dan bisa saja melukai Aksa. "Kau!! Aku hanya diam selama ini, ketika kau terus menghinaku, namun kali ini aku
Ia masih terus berusaha melepaskan diri dengan sisa tenaganya dari tubuh Aksa yang mengunci tubuhnya. Namun, semakin Shikha mencoba akan sia-sia pula usahanya. "Semakin kau mencobanya, maka semakin sia-sia pula usahamu."kata Aksa, ia kembali mengusap wajah Shikha dengan sensual, membuat Shikha bergerak gelisah karena mendapat sentuhan jemari Aksa. "Jangan sentuh aku, Tuan Aksa!"pekik Shikha terus memberontak dalam kungkungan Aksa, sapuan jemari Aksa pada leher jenjangnya semakin menjadi-jadi. Teriakan wanita itu sama sekali tak didengar Aksa, menurutnya itu hanyalah sebuah perintah untuk terus menyentuh seluruh tubuh Shikha. "Mengapa aku tak boleh menyentuhmu seperti ini? Aku ini suami sah-Mu secara agama maupun negara,"kata Aksa, kenyataan itu benar adanya, meskipun Shikha berusaha keras membantahnya. "Bagian ini,"Aksa menyentuh kening Shikha. "Adalah milikku seorang,"katanya senang. "Bagian ini pula,"jemari telunjuk Aksa bergerak men
Carlos, pria berusia 23 tahun itu merupakan anak yatim piatu yang tinggal satu panti asuhan dengan Shikha, istrinya. Kedekatan mereka bermula, ketika Carlos yang tengah duduk sendiri di bangku taman dalam kondisi menangis, Shikha yang waktu itu telah selesai membuat cake coklat bersama ibu panti pun ikut duduk di samping Carlos. Shikha memberikan cake itu pada Carlos, anak perempuan yang sangat cantik, mata bulat hazel, hidungnya yang begitu mancung, serta pipinya yang bulat seperti kue bakpao itu terasa begitu menggemaskan dimata Carlos. Ia mulai menaruh hati pada Shikha, hingga usia mereka telah beranjak remaja, rasa yang muncul dari lubuk hati Carlos semakin membuncah, getaran serta sengatan yang berbeda saat Carlos berada di samping Shikha, semakin menggebu-gebu.Puncaknya, ketika usia Shikha genap 20 tahun. Carlos pikir itu usia yang tepat untuk melamar Shikha, waktu itu ia mengirim pesan pada Shikha untuk menemui dirinya di taman, taman yang dahulu menjadi tempat Shikha
Wanita itu duduk berpangku pada kedua kakinya yang ia tekuk, ingatan akan kejadian itu semakin menerbang tinggikan dirinya. Shikha menyentuh bibirnya, bibir yang sudah dilumat oleh Aksa, ia menepuknya secara perlahan, namun berulangkali. "Pria dingin itu telah merenggut sesuatu dariku, lihat saja. Jika ayah telah tiba, aku akan mengadukan hal gila Aksa kepada ayah,"gumam Shikha dengan tatapan lurus, namun Shikha menggeleng kuat beberapa saat, seakan teringat sesuatu. "Tidak! Jika ayah tahu, aku akan ditertawai olehnya. Bagaimanapun juga Aksa adalah suami sahku, jadi hal semacam itu sungguh wajar dilakukan bagi pasangan suami-istri seperti kami."kata Shikha seraya menghela nafas, yang telah terjadi hari ini, biaarlah berlalu. Shikha merogoh saku celananya, mencari alat penghubung komunikasi miliknya. Namun, hasilnya nihil, ia tak menemukannya. Ia berdiri, kemudian berusaha mengingat dimana ia meletakkan ponselnya itu. Shikha mengusap kasar wajahnya