Lampu kamera menyilaukan. Suara klik shutter membanjiri ballroom hotel mewah tempat konferensi pers berlangsung. Di atas panggung utama, Arka duduk santai di samping Alya, mengenakan setelan hitam elegan. Alya, dalam dress putih simpel yang Arka pilihkan sendiri, tampak menunduk sesekali, berusaha menenangkan napas dan detak jantungnya yang tak karuan.
“Arka, apa benar pernikahan ini hanya untuk menutupi skandal?” tanya salah satu wartawan tajam. Arka menoleh ke Alya sejenak, lalu menggenggam tangannya dan menjawab, “Saya menikahi Alya karena saya mencintainya. Bukan karena skandal, bukan karena tekanan. Tapi karena saya nggak mau kehilangan dia, bahkan sedetik pun.” Alya langsung tersentak kecil. Pipinya memerah. Ia tidak tahu Arka akan mengatakan itu. Mereka tidak pernah melatih kalimat semacam itu. Wartawan langsung bergemuruh. “Cinta?” “Kapan kalian mulai pacaran?” “Arka, kamu kelihatan sangat tulus!” Arka tersenyum, lalu menatap Alya penuh makna. “Dia bukan hanya perempuan yang menyelamatkanku dari kekacauan media. Dia cahaya di tengah hidupku yang penuh sorotan. Bersamanya, aku merasa... jadi diri sendiri.” Alya membeku di tempat. Bukan karena kameranya, bukan karena wartawan. Tapi karena tatapan Arka yang... hangat. Dan tulus. Ia tahu semua ini bagian dari akting, tapi entah kenapa, hatinya tidak ikut akting. Seorang wartawan lain memekik, “Arka! Cium pipinya dong, biar publik makin percaya cinta kalian asli!” Alya menatap Arka dengan panik. Tapi pria itu hanya terkekeh, lalu mendekat dan mencium keningnya pelan—gerakan lembut tapi sangat intim. Ruangan langsung meledak oleh teriakan wartawan, sorak sorai, dan kilatan kamera yang membabi buta. Alya nyaris lupa cara bernapas. Hatinya berdebar kencang, wajahnya memanas. Ia memalingkan wajah sambil menunduk, menahan senyum malu yang tetap muncul juga. “Dia pemalu,” kata Arka ke para wartawan sambil menggenggam tangan Alya erat. “Tapi itulah yang membuatku jatuh cinta.” Publik dibuat heboh. Sosial media langsung dibanjiri tagar #ArkaAlyaRomantis dan potongan video ciuman kening itu tersebar viral hanya dalam hitungan menit. Dan di tengah semua itu, Alya hanya bisa bertanya dalam hati: Ini akting, kan? Kenapa rasanya seperti sungguhan? Setelah konferensi pers berakhir, Arka dan Alya kembali ke mobil dengan pengawalan ketat. Di dalam kendaraan yang hangat, Alya masih belum bisa berkata apa-apa. Hatinya kacau. Wajahnya merah padam. Ia tidak tahu bagaimana caranya memproses semua yang baru saja terjadi. Sementara itu, di media sosial, video dan foto-foto mereka sudah menyebar dengan cepat. Komentar para fans Arka membanjiri kolom-kolom media dan akun fanbase: @ArkaLovers99: Ya ampun! Ciuman kening itu asli banget nggak sih?! Arka keliatan sayang banget sama Alya! @QueenOfDrama: Biasanya Arka cuek, tapi barusan… duh, matanya pas liat Alya tuh kayak—AAAAHHHH CINTA BENERAN INI MAH! @FansGarisKerasArka: Kalau ini settingan, kenapa gua ikut deg-degan?! Tolong jawab. @ShipperArLya: Fix! Kita resmikan nama ship mereka: ARLYA! @GhibahCeria: Gila, ini pertama kalinya Arka bersikap semanis itu ke perempuan. Biasanya dia malah jutek. Ada apa ini? Di tengah semua euforia itu, salah satu akun gosip seleb mengunggah potongan video saat Arka menggenggam tangan Alya dan berkata “Dia cahaya di hidupku.” Video itu langsung ditonton jutaan kali hanya dalam dua jam. Bahkan beberapa selebriti lain ikut mengomentari. @KarenOfficial: Wah... ternyata Arka bisa juga ya jadi romantis. Good luck buat pernikahannya. @RaisaCyntia: Baru kali ini liat Arka keliatan 'jatuh'. Alya, kamu cewek beruntung banget! Di apartemen, Alya memandangi layar ponselnya. Ujung jarinya menggulir komentar-komentar yang nyaris semuanya memuji betapa serasinya mereka. “Gila…” gumamnya pelan. Arka keluar dari kamar, masih mengenakan jasnya yang sedikit kusut. Ia menatap Alya dengan senyum tipis. “Gimana? Reaksinya cukup heboh?” tanyanya ringan. Alya mengangguk, lalu menatapnya. “Kamu pandai banget ya... berpura-pura.” Arka berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. “Bukan pura-pura. Aku hanya tahu caranya menyentuh hati penonton.” “Termasuk hatiku?” lirih Alya, tanpa sadar mengatakannya. Arka terdiam sejenak, menatap mata Alya. “Kalau itu… kita lihat nanti.” Alya mengalihkan pandangan dari Arka. Dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tidak bisa ia pahami—antara kagum, bingung, dan takut. “Mulai sekarang,” kata Arka sambil bersandar santai di sofa, “kita harus tampil sebagai pasangan yang saling mencintai. Media akan terus memantau. Jadi apa pun yang kita lakukan, harus konsisten.” Alya mengangguk pelan. “Tapi... kenapa kamu bisa terlihat begitu tulus tadi? Seolah kamu benar-benar mencintaiku.” Arka menoleh, menatapnya lekat-lekat. “Karena aku aktor, Alya. Mewakili emosi itu pekerjaan utamaku.” Jawaban itu membuat hati Alya terasa ditarik turun. Ia tersenyum pahit. “Ya, benar. Dan aku cuma peran tambahan di hidupmu.” Arka tidak menjawab. Ia menatap langit-langit apartemen sejenak, lalu berdiri dan berjalan ke dapur, menuangkan air mineral ke gelas. Ia meneguknya perlahan, lalu kembali ke sofa. “Tapi kamu bukan peran tambahan,” katanya tiba-tiba. Alya menoleh cepat. “Apa?” “Kamu pemeran utama... untuk satu tahun ke depan. Jadi, jangan terlalu meremehkan peranmu,” ujarnya dengan tenang, lalu menyandarkan kepala di sofa. Alya terdiam, tak tahu harus menanggapi dengan apa. Sementara itu, notifikasi di ponselnya terus berdenting. Ia membuka salah satunya—DM dari seorang jurnalis hiburan: Alya, bisakah kami wawancara eksklusif tentang pernikahanmu dengan Arka? Netizen ingin tahu siapa kamu sebenarnya. Alya menghela napas berat. Ini semua terasa terlalu cepat. “Orang-orang mulai menyerbu aku dengan pertanyaan. Tentang siapa aku, asal-usulku, bahkan ada yang tanya aku operasi plastik atau nggak,” keluh Alya sambil memperlihatkan ponselnya. Arka menatapnya sejenak. “Kalau kamu nggak kuat, aku bisa atur tim PR untuk bantu. Tapi ingat, semakin kamu terlihat tenang, publik akan percaya kamu memang layak berdiri di sampingku.” Alya ingin tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena hidupnya berubah dalam semalam. “Kamu tahu nggak,” katanya pelan. “Kemarin aku masih mikirin utang rumah sakit adikku. Hari ini, aku mikirin... opini publik.” Arka menatapnya, ekspresinya melunak. “Aku tahu. Dan aku minta maaf karena menyeretmu ke dunia ini.” Alya menatap mata Arka dalam-dalam. Ia tidak lagi melihat sosok arogan dan penuh percaya diri, tapi... seseorang yang juga kelelahan menjalani kehidupan gila bernama ketenaran. Seketika, dinding di hati Alya mulai retak sedikit. Alya bangkit dari duduknya dan berjalan ke balkon apartemen. Angin malam Jakarta menyapu wajahnya, membawa aroma aspal basah dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur. Di kejauhan, lampu-lampu jalan tampak seperti bintang yang turun ke bumi. Ia menggenggam ponselnya erat. Di layar, kolom komentar media sosial Arka penuh dengan reaksi publik. "Pasangan ini sweet banget! Gila, chemistry-nya dapet!" "Alya itu siapa sih? Tapi kok cocok ya sama Arka!" "Fix, ini bukan gimmick. Tatapan Arka ke Alya bener-bener kayak orang jatuh cinta." Alya mengembuskan napas panjang. Dunia ini memang baru baginya. Tapi mau tak mau, ia harus belajar menyesuaikan diri. Karena mulai saat ini, hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Hari demi hari berlalu sejak konferensi pers itu. Nama Alya mendadak jadi bahan perbincangan di mana-mana. Foto-fotonya bersama Arka tersebar luas, mulai dari portal gosip hingga majalah lifestyle ternama. “Alya, kamu masuk Top Trending hari ini!” ujar Rani, mengirimkan tangkapan layar artikel yang memajang wajahnya bersama Arka dengan judul: “Istri Misterius Arka Mahendra—Siapa Sebenarnya Alya?” Alya hanya bisa menatap layar ponselnya dengan lelah. Setiap langkahnya kini diawasi. Bahkan ketika hanya membeli kopi di minimarket depan apartemen, ia sudah dikejar oleh kamera ponsel dan bisik-bisik orang di sekitarnya. “Apa kamu yakin kuat hidup kayak gini?” tanya Rani lagi lewat pesan suara. “Kamu kan tipe cewek yang nggak suka jadi pusat perhatian.” Alya mengetik balasan dengan lambat. “Aku juga nggak yakin. Tapi semua ini demi Risa. Aku harus kuat.” Suatu pagi, Alya diminta ikut Arka ke studio pemotretan. Ia mengenakan gaun putih elegan dan dirias oleh tim profesional. Saat masuk ke set, semua mata tertuju padanya. Bisik-bisik terdengar. “Itu istrinya Arka?” “Kok cantik ya, beda dari foto-foto awal…” “Dia kelihatan… sederhana tapi anggun.” Alya merasa asing. Ia tak biasa dikelilingi lampu-lampu besar, make-up artist, hair stylist, dan kamera-kamera yang tak berhenti mengarah padanya. Ketika pemotretan dimulai, Arka menggenggam tangannya di depan kamera. Ia membisik, “Tenang aja. Anggap ini teater kecil. Kita pemainnya.” Alya menelan ludah, lalu mencoba tersenyum. Tapi dalam hati, ia merasa bagai boneka yang dipoles dan dipamerkan. Dunia selebriti ternyata tak seindah yang tampak. Saat istirahat, seorang stylist mendekat. “Kak Alya, boleh foto bareng? Aku ngefans banget sama kakak sejak kalian tampil di konferensi itu!” Alya hanya bisa mengangguk, tersenyum kikuk. Ia belum terbiasa dipanggil “kakak” oleh orang-orang yang dulu tak pernah tahu namanya. Malamnya, ketika mereka pulang ke apartemen, Alya membuka media sosial dan melihat ribuan komentar. Sebagian besar memuji. Tapi tak sedikit pula yang meremehkan dan meragukan dirinya. “Dia pasti cuma cewek biasa yang beruntung.” "Kenapa Arka milih dia? Apa karena dia nggak akan ganggu karier Arka?” “Fix ini cuma pernikahan settingan!” Alya menghela napas panjang. Ia tahu, ini baru permulaan. Dunia ini bukan hanya asing, tapi juga penuh ujian. Dan ia harus bertahan. Demi adiknya. Demi perjanjian. Dan... demi harga dirinya sendiri. Alya menghela napas panjang. Ia tahu, ini baru permulaan. Dunia ini bukan hanya asing, tapi juga penuh ujian. Dan ia harus bertahan. Demi adiknya. Demi perjanjian. Dan... demi harga dirinya sendiri.Pagi itu, langkah Alya terdengar pelan menyusuri lorong hotel. Wajahnya tampak sedikit pucat, seolah masih menyimpan beban yang tak mudah dilepaskan. Ia menunduk, menahan napas, lalu menekan tombol lift yang membawanya ke lantai dasar. Begitu pintu lift terbuka, pantulan dirinya di cermin membuat hatinya kembali tertekan. Rambutnya rapi, tapi mata itu… mata yang jelas menyimpan cemas dan letih. Alya menggenggam erat tas selempangnya, seakan benda itu satu-satunya yang bisa ia andalkan. Di parkiran, Kevin sudah menunggu. Lelaki itu tersenyum ramah, mencoba mencairkan suasana. “Siap, Ly?” tanyanya singkat. Alya mengangguk pelan. “Iya, Mas. Makasih udah nunggu.” Perjalanan menuju lokasi residensi berjalan cepat. Kevin tidak hanya mengantar, tapi juga menemaninya sampai depan ruang kelas. Ia menepuk bahu Alya dengan ringan. “Kamu pasti bisa, Ly. Jangan terlalu stres.” Alya tersenyum tipis. “Aku bakal coba.” Begitu masuk ruangan, suasana ramai langsung menyambut. Tawa dan obrolan
Sore itu dilobi hotel yang cukup ramai, Arka tampak sedang menunggu Revano dan Keyla yang masih di kamar. Sasha sudah lebih dulu datang. Gaunnya sederhana tapi sengaja dipilih untuk menonjolkan keanggunannya, lipstik merah muda tipis, dan tatapan yang terlalu lama berhenti di wajah Arka.“Aku kira kamu nggak akan datang,” suaranya meluncur pelan, seolah menggoda.Arka menarik napas pelan. “Aku datang karena Revano, bukan karena kamu.”Sasha melangkah mendekat, tatapannya seakan menguliti. “Kenapa selalu menjaga jarak? Aku cuma ingin bicara. Seperti dulu.”Arka menggeleng pelan. “Hubungan kita sudah berakhir sejak lama, Sha. Jangan ungkit-ungkit lagi hal itu.”Sasha terkekeh, nada tawanya ringan tapi menyimpan duri. “Kamu bisa ngomong begitu, tapi matamu masih sama. Masih ada sisa perasaan itu, kan?” Ia mendekat lebih lagi, nyaris menyentuh bahu Arka.Arka menegang, setengah langkah mundur. “Jangan main api, Sasha.”Sebelum ia bisa menambahkan kata-kata, ponselnya bergetar. Ia melihat l
Sore itu, langit Kyoto berwarna jingga lembut, menyisakan semburat hangat di ujung cakrawala. Arka duduk di dalam mobil hitam yang dipinjam dari kru produksi, tangannya mencengkeram kemudi sambil memeriksa ponselnya. Pukul 16.30, waktu yang tepat untuk menjemput Alya di penginapan. Ia menghela napas, mencoba meredam kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya. Interaksi dengan Sasha tadi di aula hotel membuatnya waspada, tapi fokusnya saat ini adalah Alya dan ancaman yang mengintai istrinya. Ia mengetik cepat di ponselnya, “Ly, aku udah di depan penginapan. Kamu udah selesai kelas?” Lalu mengirim pesan itu sebelum menyalakan mesin mobil. Jalanan Kyoto sore itu mulai ramai, dengan sepeda-sepeda yang melintas dan pejalan kaki yang menikmati udara segar. Arka menarik tudung jaketnya ke atas, berusaha menyamarkan wajahnya agar tidak menarik perhatian, meski duduk di dalam mobil memberi sedikit privasi. Di penginapan, Alya baru saja selesai merapikan tas selempangnya, memastika
Keesokan paginya, sinar matahari Kyoto menyelinap lembut melalui celah-celah shoji di kamar penginapan. Alya terbangun dengan perasaan campur aduk. Hangatnya pelukan Arka semalam masih terasa, tapi bayangan rahasia tentang Om Tio dan ancaman Rio terus mengintai di sudut pikirannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu bangkit dari ranjang. Arka sudah bangun lebih dulu, berdiri di dekat meja kecil sambil merapikan beberapa barang ke dalam tasnya. Ia mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, rambutnya masih sedikit berantakan, tapi matanya terlihat segar. Melihat Alya bangun, ia menoleh dan tersenyum tipis. “Pagi, Ly,” sapanya lembut, sambil menutup ritsleting tasnya. “Udah siap pindah ke hotel?” Alya mengangguk, meski ada sedikit keraguan di wajahnya. “Iya, cuma… agak sayang ninggalin penginapan ini. Suasananya tenang.” Arka berjalan mendekat, tangannya menyentuh pundak Alya dengan lembut. “Tenang aja, hotelnya nggak bakal kalah nyaman. Yang penting, kamu
Arka terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Tatapannya singkat melirik ke arah Alya yang sedang duduk di dekat meja, lalu kembali ke layar ponsel.“Pindah ke hotel? Kenapa harus begitu, Vin?” suaranya rendah tapi jelas mengandung nada protes.Kevin terdengar menghela napas di seberang. “Alasannya standar, Ka. Mereka ingin lebih gampang koordinasi jadwal dan keamanan kru. Lagian hotelnya juga dekat dengan lokasi syuting, jadi praktis.”Arka berdiri dari kursinya, langkahnya gelisah mondar-mandir. “Praktis buat mereka, iya. Tapi aku nggak tenang kalau ninggalin Alya sendirian di penginapan. Kamu tahu sendiri, Rio masih berkeliaran di luar sana. Aku nggak bisa ninggalin dia, Vin.”Di seberang, Kevin mendesah, lalu nada suaranya melunak. “Makanya aku bilang, nggak usah khawatir. Produser udah kasih izin. Kamu boleh bawa Alya tinggal bareng di hotel itu. Mereka ngerti situasi kalian. Lagian…” Ia tertawa kecil, “Kalian kan suami istri sah. Bukan masalah, justru wajar.”Arka terdiam sejenak, m
Langkah mereka berhenti ketika suara kamera terdengar samar dari kejauhan. Klik… klik… Alya langsung menoleh, tubuhnya menegang.Arka mengernyit. “Kamu dengar?”Alya mengangguk cepat, matanya menyapu sekitar taman. Namun yang tampak hanya beberapa turis asing dan pasangan lansia Jepang yang sedang memberi makan koi. Alya mencoba tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, tapi jantungnya berdebar kencang.Rio? pikirnya cemas.Seakan ingin menenangkan, Arka meremas pelan tangannya. “Nggak usah takut. Aku ada di sini.”Alya hanya mengangguk, meski hatinya semakin waswas. Ia tahu, Rio tak akan berhenti begitu saja.Di sisi lain kota Kyoto, Rio duduk di sebuah kafe kecil dengan laptop terbuka. Wajahnya dingin, jari-jarinya lincah menekan tombol keyboard. Di layar, terpampang beberapa foto terbaru Alya dan Arka di taman Ryouku yang diambil dari kejauhan dengan lensa panjang.“Cantik, Ly… bahkan dalam ketakutanmu,” gumam Rio, menyunggingkan senyum miring.Ponselnya bergetar. Pesan dari Damar masu