Share

Bab 4

Author: lovelypurple
last update Last Updated: 2025-05-29 15:19:53

Lampu kamera menyilaukan. Suara klik shutter membanjiri ballroom hotel mewah tempat konferensi pers berlangsung. Di atas panggung utama, Arka duduk santai di samping Alya, mengenakan setelan hitam elegan. Alya, dalam dress putih simpel yang Arka pilihkan sendiri, tampak menunduk sesekali, berusaha menenangkan napas dan detak jantungnya yang tak karuan.

“Arka, apa benar pernikahan ini hanya untuk menutupi skandal?” tanya salah satu wartawan tajam.

Arka menoleh ke Alya sejenak, lalu menggenggam tangannya dan menjawab, “Saya menikahi Alya karena saya mencintainya. Bukan karena skandal, bukan karena tekanan. Tapi karena saya nggak mau kehilangan dia, bahkan sedetik pun.”

Alya langsung tersentak kecil. Pipinya memerah. Ia tidak tahu Arka akan mengatakan itu. Mereka tidak pernah melatih kalimat semacam itu.

Wartawan langsung bergemuruh.

“Cinta?”

“Kapan kalian mulai pacaran?”

“Arka, kamu kelihatan sangat tulus!”

Arka tersenyum, lalu menatap Alya penuh makna. “Dia bukan hanya perempuan yang menyelamatkanku dari kekacauan media. Dia cahaya di tengah hidupku yang penuh sorotan. Bersamanya, aku merasa... jadi diri sendiri.”

Alya membeku di tempat. Bukan karena kameranya, bukan karena wartawan. Tapi karena tatapan Arka yang... hangat. Dan tulus. Ia tahu semua ini bagian dari akting, tapi entah kenapa, hatinya tidak ikut akting.

Seorang wartawan lain memekik, “Arka! Cium pipinya dong, biar publik makin percaya cinta kalian asli!”

Alya menatap Arka dengan panik. Tapi pria itu hanya terkekeh, lalu mendekat dan mencium keningnya pelan—gerakan lembut tapi sangat intim.

Ruangan langsung meledak oleh teriakan wartawan, sorak sorai, dan kilatan kamera yang membabi buta.

Alya nyaris lupa cara bernapas. Hatinya berdebar kencang, wajahnya memanas. Ia memalingkan wajah sambil menunduk, menahan senyum malu yang tetap muncul juga.

“Dia pemalu,” kata Arka ke para wartawan sambil menggenggam tangan Alya erat. “Tapi itulah yang membuatku jatuh cinta.”

Publik dibuat heboh. Sosial media langsung dibanjiri tagar #ArkaAlyaRomantis dan potongan video ciuman kening itu tersebar viral hanya dalam hitungan menit.

Dan di tengah semua itu, Alya hanya bisa bertanya dalam hati: Ini akting, kan? Kenapa rasanya seperti sungguhan?

Setelah konferensi pers berakhir, Arka dan Alya kembali ke mobil dengan pengawalan ketat. Di dalam kendaraan yang hangat, Alya masih belum bisa berkata apa-apa.

Hatinya kacau. Wajahnya merah padam. Ia tidak tahu bagaimana caranya memproses semua yang baru saja terjadi.

Sementara itu, di media sosial, video dan foto-foto mereka sudah menyebar dengan cepat.

Komentar para fans Arka membanjiri kolom-kolom media dan akun fanbase:

@ArkaLovers99: Ya ampun! Ciuman kening itu asli banget nggak sih?! Arka keliatan sayang banget sama Alya!

@QueenOfDrama: Biasanya Arka cuek, tapi barusan… duh, matanya pas liat Alya tuh kayak—AAAAHHHH CINTA BENERAN INI MAH!

@FansGarisKerasArka: Kalau ini settingan, kenapa gua ikut deg-degan?! Tolong jawab.

@ShipperArLya: Fix! Kita resmikan nama ship mereka: ARLYA!

@GhibahCeria: Gila, ini pertama kalinya Arka bersikap semanis itu ke perempuan. Biasanya dia malah jutek. Ada apa ini?

Di tengah semua euforia itu, salah satu akun gosip seleb mengunggah potongan video saat Arka menggenggam tangan Alya dan berkata “Dia cahaya di hidupku.” Video itu langsung ditonton jutaan kali hanya dalam dua jam.

Bahkan beberapa selebriti lain ikut mengomentari.

@KarenOfficial: Wah... ternyata Arka bisa juga ya jadi romantis. Good luck buat pernikahannya.

@RaisaCyntia: Baru kali ini liat Arka keliatan 'jatuh'. Alya, kamu cewek beruntung banget!

Di apartemen, Alya memandangi layar ponselnya. Ujung jarinya menggulir komentar-komentar yang nyaris semuanya memuji betapa serasinya mereka.

“Gila…” gumamnya pelan.

Arka keluar dari kamar, masih mengenakan jasnya yang sedikit kusut. Ia menatap Alya dengan senyum tipis.

“Gimana? Reaksinya cukup heboh?” tanyanya ringan.

Alya mengangguk, lalu menatapnya. “Kamu pandai banget ya... berpura-pura.”

Arka berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. “Bukan pura-pura. Aku hanya tahu caranya menyentuh hati penonton.”

“Termasuk hatiku?” lirih Alya, tanpa sadar mengatakannya.

Arka terdiam sejenak, menatap mata Alya.

“Kalau itu… kita lihat nanti.”

Alya mengalihkan pandangan dari Arka. Dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tidak bisa ia pahami—antara kagum, bingung, dan takut.

“Mulai sekarang,” kata Arka sambil bersandar santai di sofa, “kita harus tampil sebagai pasangan yang saling mencintai. Media akan terus memantau. Jadi apa pun yang kita lakukan, harus konsisten.”

Alya mengangguk pelan. “Tapi... kenapa kamu bisa terlihat begitu tulus tadi? Seolah kamu benar-benar mencintaiku.”

Arka menoleh, menatapnya lekat-lekat. “Karena aku aktor, Alya. Mewakili emosi itu pekerjaan utamaku.”

Jawaban itu membuat hati Alya terasa ditarik turun. Ia tersenyum pahit. “Ya, benar. Dan aku cuma peran tambahan di hidupmu.”

Arka tidak menjawab. Ia menatap langit-langit apartemen sejenak, lalu berdiri dan berjalan ke dapur, menuangkan air mineral ke gelas. Ia meneguknya perlahan, lalu kembali ke sofa.

“Tapi kamu bukan peran tambahan,” katanya tiba-tiba.

Alya menoleh cepat. “Apa?”

“Kamu pemeran utama... untuk satu tahun ke depan. Jadi, jangan terlalu meremehkan peranmu,” ujarnya dengan tenang, lalu menyandarkan kepala di sofa.

Alya terdiam, tak tahu harus menanggapi dengan apa.

Sementara itu, notifikasi di ponselnya terus berdenting. Ia membuka salah satunya—DM dari seorang jurnalis hiburan: Alya, bisakah kami wawancara eksklusif tentang pernikahanmu dengan Arka? Netizen ingin tahu siapa kamu sebenarnya.

Alya menghela napas berat. Ini semua terasa terlalu cepat.

“Orang-orang mulai menyerbu aku dengan pertanyaan. Tentang siapa aku, asal-usulku, bahkan ada yang tanya aku operasi plastik atau nggak,” keluh Alya sambil memperlihatkan ponselnya.

Arka menatapnya sejenak. “Kalau kamu nggak kuat, aku bisa atur tim PR untuk bantu. Tapi ingat, semakin kamu terlihat tenang, publik akan percaya kamu memang layak berdiri di sampingku.”

Alya ingin tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena hidupnya berubah dalam semalam.

“Kamu tahu nggak,” katanya pelan. “Kemarin aku masih mikirin utang rumah sakit adikku. Hari ini, aku mikirin... opini publik.”

Arka menatapnya, ekspresinya melunak. “Aku tahu. Dan aku minta maaf karena menyeretmu ke dunia ini.”

Alya menatap mata Arka dalam-dalam. Ia tidak lagi melihat sosok arogan dan penuh percaya diri, tapi... seseorang yang juga kelelahan menjalani kehidupan gila bernama ketenaran.

Seketika, dinding di hati Alya mulai retak sedikit.

Alya bangkit dari duduknya dan berjalan ke balkon apartemen. Angin malam Jakarta menyapu wajahnya, membawa aroma aspal basah dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur. Di kejauhan, lampu-lampu jalan tampak seperti bintang yang turun ke bumi.

Ia menggenggam ponselnya erat. Di layar, kolom komentar media sosial Arka penuh dengan reaksi publik.

"Pasangan ini sweet banget! Gila, chemistry-nya dapet!"

"Alya itu siapa sih? Tapi kok cocok ya sama Arka!"

"Fix, ini bukan gimmick. Tatapan Arka ke Alya bener-bener kayak orang jatuh cinta."

Alya mengembuskan napas panjang. Dunia ini memang baru baginya. Tapi mau tak mau, ia harus belajar menyesuaikan diri. Karena mulai saat ini, hidupnya bukan lagi miliknya sendiri.

Hari demi hari berlalu sejak konferensi pers itu. Nama Alya mendadak jadi bahan perbincangan di mana-mana. Foto-fotonya bersama Arka tersebar luas, mulai dari portal gosip hingga majalah lifestyle ternama.

“Alya, kamu masuk Top Trending hari ini!” ujar Rani, mengirimkan tangkapan layar artikel yang memajang wajahnya bersama Arka dengan judul: “Istri Misterius Arka Mahendra—Siapa Sebenarnya Alya?”

Alya hanya bisa menatap layar ponselnya dengan lelah. Setiap langkahnya kini diawasi. Bahkan ketika hanya membeli kopi di minimarket depan apartemen, ia sudah dikejar oleh kamera ponsel dan bisik-bisik orang di sekitarnya.

“Apa kamu yakin kuat hidup kayak gini?” tanya Rani lagi lewat pesan suara. “Kamu kan tipe cewek yang nggak suka jadi pusat perhatian.”

Alya mengetik balasan dengan lambat. “Aku juga nggak yakin. Tapi semua ini demi Risa. Aku harus kuat.”

Suatu pagi, Alya diminta ikut Arka ke studio pemotretan. Ia mengenakan gaun putih elegan dan dirias oleh tim profesional.

Saat masuk ke set, semua mata tertuju padanya. Bisik-bisik terdengar.

“Itu istrinya Arka?”

“Kok cantik ya, beda dari foto-foto awal…”

“Dia kelihatan… sederhana tapi anggun.”

Alya merasa asing. Ia tak biasa dikelilingi lampu-lampu besar, make-up artist, hair stylist, dan kamera-kamera yang tak berhenti mengarah padanya.

Ketika pemotretan dimulai, Arka menggenggam tangannya di depan kamera. Ia membisik, “Tenang aja. Anggap ini teater kecil. Kita pemainnya.”

Alya menelan ludah, lalu mencoba tersenyum. Tapi dalam hati, ia merasa bagai boneka yang dipoles dan dipamerkan. Dunia selebriti ternyata tak seindah yang tampak.

Saat istirahat, seorang stylist mendekat. “Kak Alya, boleh foto bareng? Aku ngefans banget sama kakak sejak kalian tampil di konferensi itu!”

Alya hanya bisa mengangguk, tersenyum kikuk. Ia belum terbiasa dipanggil “kakak” oleh orang-orang yang dulu tak pernah tahu namanya.

Malamnya, ketika mereka pulang ke apartemen, Alya membuka media sosial dan melihat ribuan komentar. Sebagian besar memuji. Tapi tak sedikit pula yang meremehkan dan meragukan dirinya.

“Dia pasti cuma cewek biasa yang beruntung.”

"Kenapa Arka milih dia? Apa karena dia nggak akan ganggu karier Arka?”

“Fix ini cuma pernikahan settingan!”

Alya menghela napas panjang. Ia tahu, ini baru permulaan. Dunia ini bukan hanya asing, tapi juga penuh ujian. Dan ia harus bertahan. Demi adiknya. Demi perjanjian. Dan... demi harga dirinya sendiri.

Alya menghela napas panjang. Ia tahu, ini baru permulaan. Dunia ini bukan hanya asing, tapi juga penuh ujian.

Dan ia harus bertahan. Demi adiknya. Demi perjanjian. Dan... demi harga dirinya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Ciuman yang Sebenarnya

    “Kapan lo bisa balik syuting? Kita butuh kepastian, Ka. Paling nggak, kasih kami perkiraan.”Pertanyaan Revano menggantung di udara, sebuah jembatan rapuh yang menghubungkan dunia nyata dengan neraka pribadi yang baru saja ia tinggalkan. Arka memejamkan matanya sejenak, satu tangannya yang bebas memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri. Suara sahabatnya itu terdengar begitu jauh, seolah berasal dari dimensi lain. Dimensi di mana jadwal syuting dan tuntutan produser masih menjadi hal terpenting di dunia.“Gue… gue usahain secepatnya, Van,” bisik Arka, suaranya serak karena kelelahan dan emosi yang terkuras. Matanya tak pernah lepas dari sosok Alya yang terbaring di ranjang, napasnya teratur namun gelisah. “Nanti gue kabarin lagi. Sorry.”“Oke, bro. Jaga diri. Kalau butuh apa-apa…”“Iya. Thanks.”Arka memutus panggilan tanpa menunggu kalimat Revano selesai. Ia meletakkan ponselnya kembali ke atas meja dengan gerakan lambat, seolah benda itu memiliki bobot berkilo-kilo. Keheningan kem

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Mimpi Buruk Itu Masih Ada

    "Kenapa…?” bisik Alya setelah meletakkan gelasnya.Matanya yang sembap menatap Arka, penuh dengan pertanyaan yang tak terungkap."Kenapa kamu nggak marah?”Arka menghela napas panjang. Ia duduk di samping Alya, mengambil kedua tangan wanita itu ke dalam genggamannya. Tangan Alya terasa sedingin es.“Marah?” Arka menggeleng pelan. “Untuk apa? Marah karena kamu berusaha melindungi aku? Marah karena kamu menanggung beban yang sama sekali bukan salahmu sendirian?”Ia menatap lekat ke dalam mata Alya. “Satu-satunya orang yang berhak aku marahi adalah diriku sendiri, Al. Aku marah karena aku buta. Aku marah karena aku malah nyakitin kamu dengan cemburu dan ego bodohku, padahal di saat yang sama kamu lagi berjuang sendirian ngelawan monster itu.”Air mata yang Alya kira sudah habis, kembali menggenang di pelupuk matanya. “Aku takut… aku takut banget kamu bakal benci aku, Ka. Kalau kamu tahu…”“Ssssttt…” Arka menarik Alya ke dalam pelukannya, membenamkan wajah wanita itu di dadanya. “Jangan

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Gema Setelah Badai

    Dunia di sekeliling Alya saat ini terasa berputar dalam kaleidoskop buram. Seragam biru tua, kilatan lencana, hingga suara-suara asing yang tajam dan berwibawa. Namun, satu-satunya hal yang nyata, satu-satunya jangkar di tengah badai itu, adalah sepasang mata di hadapannya. Mata Arka. Hangat, lekat, dan penuh janji yang baru saja terucap.“Ayo kita pergi dari sini,” bisik Arka, suaranya rendah dan mantap, membelah keributan di sekitar mereka.Tangannya yang menangkup wajah Alya bergerak turun, menggenggam bahunya dengan erat namun lembut. Ia memutar tubuh Alya, menjadikannya punggungnya sebagai perisai hidup yang menghalangi pemandangan Rio yang kini digiring oleh dua orang petugas.“Tunggu sebentar, Arka-san.” Suara Kenji terdengar, tenang dan profesional. “Petugas perlu beberapa keterangan awal.”Kevin yang berdiri di sampingnya menyahut cepat, “Biar saya yang urus, Kenji-san. Namun sekarang saya harus bawa mereka pulang. Kondisi Alya nggak memungkinkan.”“Saya mengerti,” jawab Ken

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Akhir dari Rio

    Teriakan putus asa Rio berubah menjadi pekikan kaget saat momentumnya hilang, tubuhnya terlempar ke samping, jauh dari Alya dan Reyhan.TRAK!Serpihan kayu runcing itu terlepas dari genggamannya, berputar di udara sebelum jatuh dengan suara kering di atas lantai kayu yang mahal. Ancaman itu telah berlalu, tetapi badai di dalam ruangan itu baru saja mencapai puncaknya.Arka tidak berhenti. Didorong oleh amarah murni dan ketakutan yang baru saja mencengkeram jantungnya, ia menarik kerah baju Rio, menyeret pria itu berdiri hanya untuk menghantamnya lagi. Pukulan kali ini bukan lagi sekadar luapan emosi, melainkan sebuah pernyataan. Setiap bogem mentah yang mendarat adalah eksekusi atas setiap detik teror yang Rio ciptakan.“Ka, udah! Cukup!” Suara Alya terdengar parau, nyaris tak dikenali. Ia merosot lemas jika saja Reyhan tidak menahannya lebih erat. “Nanti kamu bisa bunuh dia…”Arka seolah tidak mendengar. Ia memojokkan Rio ke dinding, napasnya terengah-engah seperti binatang buas yang

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Duel Arka Vs Rio

    Udara di ruangan mewah itu seakan membeku, tertekan oleh bobot amarah dalam dua kata yang diucapkan Arka. “Lepasin istri gue!” Suara itu bukan teriakan, tapi sebuah geraman yang dalam dan pelan. Suaranya menunjukkan kemarahan yang luar biasa dan sebagai pertanda bahwa perkelahian tidak bisa dihindari.Rio, bukannya gentar, justru melengkungkan bibir. Senyumnya adalah goresan sinis di wajahnya yang tampan, sebuah provokasi terang-terangan. Ia tidak melepaskan Alya, malah menarik gadis itu lebih dekat, menjadikan tubuh gemetar Alya sebagai perisai manusia.“Oh, lihat ini,” cibir Rio, matanya menari-nari mengejek antara Arka dan Alya. “Pahlawan kita akhirnya muncul. Tapi kayaknya telat deh, Bro. Udah gue cicipin duluan.”Ucapan itu adalah bensin yang disiramkan ke api. Namun, sebelum Arka sempat meledak, sebuah gerakan cepat terjadi di sisi lain ruangan. Bukan Arka, melainkan Reyhan yang bergerak lebih dulu. Dengan ketenangan seorang dokter di ruang gawat darurat, ia melangkah maju, tang

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Jalan Pulang Untukmu

    Dua sedan hitam melesat tanpa suara, membelah keheningan malam di jalanan pinggiran Kyoto yang berkelok seperti ular tidur. Di dalam mobil terdepan, Arka mencengkeram kemudi dengan kekuatan sedemikian rupa hingga buku-buku jarinya menonjol, memutih laksana pualam. Waktu seolah merayap dengan kejam. Detik-detik itu menjadi siksaan, setiap ketukannya di pelipis adalah bisikan yang semakin jelas bahwa ia sudah terlambat. Di luar, pepohonan kuno berdiri seperti nisan raksasa yang bisu, bayangan mereka yang panjang dan kurus seakan mencoba meraih mobil itu dan menelannya ke dalam kegelapan.“Kita sudah dekat,” suara Kevin memecah keheningan yang menyesakkan itu. Nada cemasnya nyaris tak terdengar di atas deru mesin yang halus. Dia memegang ponselnya. Di layar, ada titik merah berkedip yang menunjukkan lokasi villa yang didapatkan dari Kenji. “Rencana tetap sama. Kenji bilang gerbang depan mustahil ditembus tanpa memicu alarm. Kita akan menyelinap lewat jalan setapak di belakang, langsung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status