“Enggak,” elak Alya cepat.
Arka tak menanggapi. Ia hanya berkata pelan sebelum pergi, “Kamu boleh menyesal. Tapi jangan mundur di tengah jalan.” Pintu ditutup kembali. Alya berdiri mematung. Dalam perutnya, ada rasa perih yang tak bisa dijelaskan. Tapi ia tahu satu hal—ia sudah memilih jalan ini. Dan sekarang, tak ada jalan kembali. Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai apartemen yang mahal dan asing bagi Alya. Ia bangun lebih awal dari biasanya, merasa janggal berada di tempat yang bukan miliknya. Tapi pagi ini, bukan hanya apartemen yang asing—hidupnya pun terasa seperti milik orang lain. Setelah sarapan ringan yang disiapkan asisten rumah tangga Arka, Alya diajak ke kantor pengacara oleh manajer Arka. Di dalam ruang modern yang penuh aroma kopi dan kertas hukum, Arka sudah menunggu dengan jas abu-abu yang membuatnya tampak lebih dingin daripada kemarin. "Sudah siap?" tanya Arka, tanpa basa-basi. Alya mengangguk, menelan kecemasan yang mengganjal di kerongkongan. Pengacara mereka, pria paruh baya bernama Pak Jatmiko, menyodorkan dua berkas yang sudah ditandai dengan sticky note. Kontrak pernikahan. Tertulis jelas di sana: masa berlaku satu tahun, larangan menyentuh satu sama lain secara personal tanpa kesepakatan, larangan membocorkan isi perjanjian, dan kewajiban tampil sebagai pasangan harmonis di depan publik. “Setelah satu tahun, kalian akan cerai dengan alasan ‘ketidakcocokan’, dan semua urusan hukum akan diurus oleh kantor kami,” jelas Pak Jatmiko. Alya membaca setiap pasal dengan saksama. Hatinya menjerit saat membaca bagian: “Tidak ada klaim warisan, harta, atau hak pasangan.” Ini bukan cinta. Ini bisnis, seperti yang dikatakan Arka. Tapi ia harus tetap tenang. Demi Risa. “Kalau kamu keberatan, masih bisa mundur sekarang,” kata Arka tenang, seolah ini hanya kontrak film. Alya menatap pria itu dalam-dalam. Tatapannya tajam, tapi ada sesuatu yang terselip di balik ketenangannya—beban yang tak ia ungkap. Ia mengambil pena, dan dengan tangan gemetar... tanda tangannya mendarat di bagian bawah kontrak. Arka menyusul, tanpa ragu. Dengan suara klik dari pulpen terakhir, pernikahan kontrak mereka resmi dimulai. “Selamat,” kata Pak Jatmiko. “Kalian sekarang pasangan suami istri. Di mata hukum.” Alya menghela napas panjang. Rasanya seperti masuk ke dunia yang tak bisa ia prediksi. Tapi ini jalannya sekarang. Dan ia harus belajar bertahan. Malam itu, keheningan menyelimuti apartemen mewah yang kini menjadi tempat tinggal mereka berdua. Alya berdiri di depan pintu kamar barunya, masih memandangi interior yang terasa terlalu mewah untuk dirinya. Ia melirik ke arah dapur terbuka yang menyatu dengan ruang keluarga, lalu ke kamar Arka yang berada di seberangnya. Pintu kamar pria itu tertutup rapat. Dengan langkah pelan, Alya masuk ke kamarnya. Ruangan itu sudah disiapkan lengkap—kasur empuk, meja kerja, lemari besar, dan kamar mandi dalam. Semua terlihat rapi, terlalu rapi untuk ukuran sebuah rumah. Ia membuka koper kecilnya dan mulai menata beberapa pakaian seadanya ke dalam lemari. Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan pelan. Tok. Tok. Alya membuka pintu dan mendapati Arka berdiri dengan dua cangkir teh hangat. “Aku nggak tahu kamu lebih suka teh atau kopi. Jadi aku pilih yang aman,” ucap Arka datar, tapi nadanya lebih ramah dari sebelumnya. Alya menerima cangkir itu dengan pelan, “Makasih.” Mereka berdiri di ambang pintu, sunyi untuk beberapa saat. Lalu Arka bersandar di kusen pintu, menatap langit-langit. “Kamu nggak perlu takut,” katanya tiba-tiba. “Kontrak kita jelas. Kita cuma serumah, bukan pasangan beneran.” Alya mengangguk kecil. “Aku tahu.” Arka menoleh padanya. “Besok konferensi pers. Akan ada banyak kamera. Banyak mata. Kita harus kelihatan saling cinta. Tapi... malam ini, kamu bisa jadi dirimu sendiri.” Alya tersenyum tipis, "Makasih." Setelah itu, Arka berbalik, melangkah kembali ke kamarnya. Dan untuk pertama kalinya sejak kekacauan itu dimulai, Alya merasa sedikit tenang. Meski dunia luar menuntut mereka berpura-pura, setidaknya di balik pintu ini, ada batas yang tetap dihormati. Pagi menjelang dengan langit mendung menggantung di atas Jakarta. Alya terbangun lebih awal, tubuhnya masih kaku di tempat tidur asing. Ia memandang sekeliling, mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini bukan mimpi aneh—bahwa ia memang sekarang tinggal di apartemen seorang selebriti, sebagai istri kontrak. Di meja rias, sudah tersedia beberapa produk kecantikan dan peralatan make-up yang tampak baru. Di sebelahnya, tergantung gaun putih sederhana namun elegan, serta sepatu hak rendah berwarna senada. Arka benar-benar serius soal tampil di depan publik, pikir Alya sambil menarik napas panjang. Tok! Tok! “Boleh masuk?” suara Arka terdengar dari luar pintu. Alya buru-buru mengenakan hoodie sebelum membuka pintu. “Pagi,” sapa Arka. Ia tampak rapi dengan setelan kasual berwarna krem, rambutnya disisir rapi. “Aku udah minta penata rias dan stylist datang jam sembilan. Tapi kalau kamu nggak nyaman, kamu bisa dandan sendiri. Nggak usah dipaksa.” Alya menatapnya, sedikit terkejut dengan nada Arka yang tak seketus biasanya. Ia mengangguk pelan. “Oke.” Arka lalu mengulurkan map biru, “Ini dokumen pernikahan kita. Legal, sudah dicap. Dan ini juga jadwal konferensi pers hari ini. Mulai jam satu siang, tapi kita harus sampai di lokasi jam dua belas.” Alya menerima map itu, menatap halaman-halaman yang memuat nama mereka berdua. Ia nyaris tak percaya—hanya dalam hitungan hari, hidupnya berubah drastis. “Dan satu lagi,” ujar Arka sebelum berbalik. “Mulai sekarang, kita harus saling jaga di depan media. Tapi kalau kamu ngerasa nggak sanggup, bilang dari awal. Aku nggak akan maksa.” Alya mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. “Aku akan usahakan. Demi adikku.” Arka tersenyum tipis. “Kalau begitu, selamat datang di dunia di dunia pura-pura.” Alya mematut diri di depan cermin besar di kamar mandi apartemen Arka. Penata rias yang datang, seorang wanita ramah bernama Mbak Rina, bekerja dengan cekatan. Wajah Alya tampak lebih segar, namun tidak berlebihan. Hanya sapuan foundation ringan, eyeliner tipis, dan lipstik nude yang menonjolkan kesan elegan. “Aku suka gaya natural begini,” ujar Alya sambil tersenyum canggung ke cermin. Mbak Rina mengangguk. “Mas Arka bilang kamu nggak suka make-up berat. Dia minta yang sederhana tapi tetap anggun.” Alya terdiam sesaat. Ia tak menyangka Arka sampai memerhatikan detail seperti itu. “Terima kasih, Mbak,” ucapnya pelan. Di ruang tamu, seorang pria stylist sedang menyetrika jas yang akan dipakai Arka. Sementara itu, Arka sendiri duduk di meja makan, memeriksa berkas dari agensinya. Saat Alya keluar dari kamar, langkah Arka terhenti. Ia berdiri, menatap Alya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Kamu kelihatan… cocok.” Alya sedikit salah tingkah, tapi berusaha tetap tenang. “Terima kasih. Kamu juga kelihatan… siap diwawancara.” Arka menyeringai. “Sudah biasa. Tapi kamu nggak perlu terlalu khawatir. Kita hanya perlu terlihat bahagia. Jawab seperlunya. Aku akan tangani sisanya.” Alya mengangguk. Jantungnya berdegup cepat. Ia tahu ini bukan hanya soal tampil di depan media, tapi soal memulai kebohongan besar di depan dunia. “Dan satu lagi,” kata Arka sambil menyerahkan sebuah jam tangan mewah. “Hadiah untuk istri baruku. Supaya kamu nggak telat.” Alya terdiam, menatap jam itu. Mewah. Mahal. Tapi terasa berat. Sebab ini bukan hadiah cinta—melainkan simbol dari sebuah perjanjian. Ia meraihnya pelan, lalu berkata, “Aku akan jaga waktuku. Seperti aku akan jaga rahasia kita.” Arka menatapnya dengan sorot mata sulit ditebak. “Bagus.” Dan dengan itu, mereka bersiap menuju sorotan kamera yang akan mengubah hidup mereka untuk selamanya. Setelah Arka sampai kamarnya, pria itu tiba-tiba mendapat panggilan telepon. Wajah pria itu mengernyit ketika melihat siapa yang menghubunginya. Dengan ragu-ragu, ia mengangkat teleponnya. “How are you darling?” ucap seseorang yang menghubungi Arka.“Halo, Alya? Sayang, kamu baik-baik aja?” suara lembut Mama Indira langsung terdengar.“Aku baik, Ma,” jawab Alya pelan. “Ada yang mau aku bicarakan…” “Ya? Ada apa?” Alya menarik napas dalam. “Hari ini temanku, Lina, datang ke vila. Dia bawa info soal program residensi menulis. Tiga bulan, Ma. Di Kyoto.”Hening sejenak di ujung sana.“Kamu mau ikut?”“Aku nggak tahu bisa atau nggak. Tapi, sepertinya itu tempat yang bisa bantu aku pulih.”Suara Mama Indira terdengar pelan, namun hangat. “Kalau itu bisa bikin kamu tenang, ikutlah. Kamu berhak bahagia.”Alya menunduk. Matanya memanas. “Maafin Arka ya, Ma. Aku belum bisa.”“Nggak apa-apa, Nak. Kamu nggak harus maafin dia sekarang. Tapi kamu harus maafin dirimu sendiri dulu. Bersenang-senanglah di sana. Cari udara baru. Tulis yang kamu mau tulis. Nggak usah mikirin yang udah lewat.”“Terima kasih, Ma…”“Jaga diri baik-baik, ya.”“Iya, Ma. Aku pamit.”Setelah telepon ditutup, Alya menatap langit malam yang bertabur bintang. Untuk pertama
“Sial. Barusan seseorang memotret!”Arka langsung berlari ke arah lorong, tapi yang tertinggal hanya bayangan langkah tergesa menjauh dan suara pintu darurat yang menutup pelan.Sasha berdiri membeku. Wajahnya masih memerah. "Tadi… itu—""Tutup mulutmu," desis Arka, matanya tajam, panik. "Kalau foto itu tersebar, habis sudah semua."Namun semuanya sudah terlambat.Keesokan harinya...Dunia hiburan mendadak gempar. Bahkan bisa dibilang meledak. Semua berawal dari satu foto yang memperlihatkan Arka dan Sasha yang tengah berciuman panas di lokasi syuting Cinta Kontrak Sang CEO.Meskipun fotonya tidak terlalu jelas, tapi sudut dan ekspresi keduanya tak bisa dibantah. Kepala mereka condong, bibir saling menempel, dan tangan Arka terlihat melingkar di pinggang Sasha. Bukan lagi asumsi. Itu bukti yang tak terbantahkan.Media bergerak cepat. Dalam hitungan jam, seluruh kanal infotainment baik televisi, portal daring, hingga akun-akun gossip memuat berita tersebut secara besar-besaran. Judul-j
Sudah hampir dua minggu sejak Alya keluar dari rumah sakit. Meski tubuhnya perlahan pulih dan ia bisa berjalan tanpa bantuan, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa tak sama. Sesuatu yang ia sendiri belum mampu beri nama. Orang-orang di sekitarnya—Arka, Mama Indira, bahkan dokter pribadi keluarga—mengira ia telah benar-benar membaik. Tapi mereka tak tahu bahwa di dalam dada Alya, ada sisa-sisa luka yang belum sembuh. Hari itu, ia kembali ke lokasi syuting. Episode terakhir dari series Cinta Kontrak Sang CEO harus dirampungkan. Jadwalnya padat, kru sudah standby, dan semua mata tertuju padanya. Alya tersenyum kecil, mencoba terlihat siap. “Aku bisa,” katanya pagi itu pada Arka. Ia bahkan sempat bercermin lebih lama dari biasanya, memastikan bahwa wajahnya tidak lagi menyimpan ketakutan. Namun begitu turun dari mobil dan melangkah ke area set, semuanya terasa berbeda. Puluhan kru berlalu-lalang. Kamera berdiri tegak. Lampu sorot sudah menyala. Beberapa wartawan infotainment mulai men
“Aku tahu semua yang kita jalani akhir-akhir ini tidak mudah,” ucap Arka, suaranya terdengar pelan di antara jeda napas yang terasa berat. “Dunia seperti tak pernah berhenti melihat kita. Mengawasi. Menghakimi. Seolah kita nggak boleh salah. Bahkan jujur pun terasa seperti kesalahan.”Arka menunduk sejenak. Lalu menatap Alya kembali, kali ini lebih dalam. “Aku cuma ingin ajak kamu pergi. Engga jauh, tapi cukup untuk membuat kita lupa bahwa kita ini public figure. Pasangan kontrak. Atau dua orang yang dipaksa terlihat bahagia di depan kamera,” ungkapnya.Alya menunduk. Kata-kata Arka menembus tepat ke dadanya. Perempuan itu tak menyangka ada hari Dimana pria itu akan berkata sejujur itu.“Aku sudah cari tempatnya,” lanjut Arka. “Nggak mewah. Tapi tenang. Ada danau kecil. Rumah kayu sederhana. Dan yang paling penting, nggak ada sinyal. Nggak ada siapa pun yang tahu kita ada di sana.”Alya menoleh pelan. “Kenapa kamu ingin ajak aku ke sana, Ka?”Arka terdiam sejenak. Ia menghela napas,
Hidup Alya kini menjadi terasa lebih tenang. Perempuan tak tahu apa yang terjadi. Namun ia merasa lebih lega karena Rio tak lagi menerornya. Sudah seminggu lamanya Alya di rawat di rumah sakit. Kondisi fisik perempuan itu mulai membaik, perlahan tapi pasti. Dan sebagai bagian dari pemulihan, dokter merekomendasikan sesi fisioterapi ringan setia pagi.Pukul sembilan tepat, seorang terapis bernama Bu Retno datang dengan senyum hangat dan clipboard di tangan."Selamat pagi, Ibu Alya," sapa Bu Retno dengan suara tenang. "Hari ini kita lanjut latihan berdiri dan jalan pendeka, ya. Jangan khawatir, saya akan dampingi langkah demi langkah."Alya hanya mengangguk pelan. Dengan bantuan perawat, ia berpindah dari ranjang ke kursi roda, lalu didorong menuju lorong fisioterapi di sisi barat rumah. Itu merupakan area rumah sakit yang lebih sepi dengan jendela besar menghadap taman kecil dan railing besok di dinding sepanjang koridor.Setelah perenggangan ringan sambil duduk, Alya berdiri perlahan
Arka menatap layar ponsel Alya yang masih menyala. Pesan ancaman itu terpampang jelas di sana, dan di bagian atas hanya tertulis nomor asing, tanpa nama kontak.Ia menarik napas panjang, menahan gelombang amarah yang mulai menguasai dadanya. Tangannya terulur pelan, meraih ponsel itu dari meja samping. Ia membaca ulang kalimat ancaman tersebut, kata demi kata, memastikan tak ada yang terlewat."Kalau kamu gagal lagi kali ini, Alya, aku tidak akan segan menyentuh Risa lebih dulu."Rahang Arka mengeras. Matanya menatap tajam ke deretan angka di atas pesan itu. Deretan digit tanpa nama, tanpa identitas, tapi baginya sudah cukup untuk menyalakan bara di hatinya.Pelan, ia mengambil ponselnya sendiri. Jarinya bergerak cepat menyalin nomor asing itu, mengetiknya dengan teliti ke kontak barunya. Ia menamai kontak tersebut: “Peneror”.Jantungnya berdegup keras, bukan karena takut, melainkan karena amarah dan keteguhan hati yang semakin menguat.Arka menatap Alya yang tertidur lelah. Jemari g