Beberapa hari setelah pemotretan itu, jadwal Alya semakin padat. Ia mulai menerima undangan menghadiri acara publik bersama Arka—launching film, dinner amal, sampai talk show.
Pagi itu, Alya duduk di meja makan apartemen sambil membaca rundown acara gala premiere film Arka yang akan digelar malam nanti. “Dress code hitam elegan,” gumamnya, membaca undangan. Arka muncul dari kamar, mengenakan kaus putih dan celana jogger. Ia mengambil kopi sambil melirik berkas di tangan Alya, “Siap tampil jadi istri artis?” Alya menoleh dengan ekspresi setengah panik, “Jujur aja... aku takut salah kostum, salah ngomong, salah gerak.” Arka tersenyum kecil. “Tenang. Kamu udah belajar banyak. Lagipula... kehadiran kamu aja udah cukup bikin mereka heboh.” Alya menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya. “Aku cuma nggak mau mempermalukan kamu.” Arka berjalan mendekat, menyentuh pundaknya ringan. “Kamu nggak pernah mempermalukan aku, Alya.” Detik itu, hati Alya bergetar. Kata-kata Arka mungkin sederhana, tapi ada ketulusan di dalamnya yang tak bisa diabaikan. Meski hubungan mereka hanya kontrak, entah mengapa perhatian kecil seperti ini terasa nyata. Malamnya, saat Alya turun dari mobil di red carpet, lampu kamera langsung menyala tanpa henti. “Arka! Alya! Lihat ke sini!” "Alya, kamu cantik sekali malam ini!” Arka menggenggam tangan Alya, lalu dengan percaya diri, membisikkan sesuatu di telinganya sebelum tersenyum ke arah kamera, “Kamu bikin semua aktris di sini kalah, tahu nggak?” Alya nyaris tersedak napas. Ia melirik Arka dengan gugup, dan ekspresi Arka tetap kalem, seolah ia benar-benar menikmati perannya sebagai suami penuh cinta. Wartawan memotret cepat. Beberapa bahkan langsung mengunggahnya dengan caption: "Pasangan Arka-Alya tampil sempurna dan romantis di gala premiere!” “Istri Arka Mahendra bikin pangling! Netizen terpesona dengan sikap mesra mereka!” Di balik senyum manis yang terus Alya tampilkan malam itu, dadanya terasa sesak. Dunia ini—dunia yang penuh kilau kamera dan senyum pura-pura—terlalu asing dan membingungkan. Namun, di tengah sorotan itu, satu hal perlahan tumbuh di hatinya. Ada rasa penasaran terhadap sosok Arka yang mulai menunjukkan sisi-sisi yang berbeda dari kesan awal. Setelah gala premiere selesai, Alya kembali ke apartemen dengan kaki pegal dan kepala sedikit pening. Gaun panjang dan sepatu hak tinggi membuat tubuhnya lelah, tapi bukan itu yang paling mengganggunya. Yang melekat di pikirannya justru kalimat-kalimat Arka malam tadi—pujian, sentuhan ringan di pundaknya, dan cara pria itu menatapnya seolah semua ini nyata. Ia menatap bayangannya di cermin kamar. Gaun hitam itu masih melekat sempurna, makeup-nya masih utuh. Tapi dalam diri Alya, perasaannya mulai goyah. Ia tak bisa lagi membedakan mana yang sekadar akting dan mana yang mungkin… lebih dari itu. Ponselnya bergetar. Alya menoleh pelan, mengambil ponselnya dari meja. Nomor tak dikenal muncul di layar. [Nomor Tidak Dikenal] Alya ragu sejenak sebelum menjawab. “Halo?” Tak ada suara. Hanya dengingan samar. “Halo? Ini siapa?” Hening. Lalu terdengar napas berat. Lalu suara laki-laki yang pelan, namun membuat bulu kuduk Alya berdiri. “Masih ingat aku, Alya?” Jantungnya seakan berhenti berdetak. “Siapa ini?” suaranya gemetar. “Kamu pikir bisa kabur secepat itu? Dunia glamor nggak bisa nutupin masa lalumu.” Klik. Sambungan terputus. Alya terdiam. Ponselnya terlepas dari tangan, jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Tubuhnya mulai gemetar. Bayangan masa lalu yang telah lama ia kubur perlahan muncul ke permukaan. Luka lama yang belum sembuh. Ketakutan yang ia coba lupakan. Suara napas itu... suara laki-laki itu... Ia kenal betul. “Tidak mungkin…” bisiknya. Di luar, lampu kota Jakarta masih menyala terang. Tapi di dalam hati Alya, malam baru saja menjadi lebih gelap dari sebelumnya. . Alya terduduk di tepi ranjang, keringat dingin membasahi pelipisnya meski AC kamar menyala. Ia mencoba mengatur napas, menenangkan diri, tapi percuma. Suara itu… kata-kata itu… mengoyak rasa aman yang baru mulai ia bangun bersama Arka. “Tidak… aku sudah jauh dari semua itu,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Ponselnya kembali menyala. Bukan telepon. Kali ini sebuah pesan. [Kamu kelihatan bahagia di samping artis itu. Tapi aku tak akan membiarkan kamu bahagia.] Malam mulai larut, tapi mata Alya tak kunjung bisa terpejam. Lampu kota Jakarta memantul di kaca jendela apartemen yang luas dan mewah, tapi tak mampu mengusir kekalutan yang bersarang di dadanya. Hari ini terlalu penuh.Dari wawancara publik yang mendadak, tatapan ribuan orang yang menghakimi lewat layar, hingga Arka yang tiba-tiba bersikap begitu... romantis. Senyuman pria itu di depan wartawan terasa nyata. Sentuhan tangannya, tatapan hangatnya saat ia merangkul pinggang Alya—semuanya sukses membuat jantung Alya berdebar tak karuan. Namun kini, saat semua lampu kamera telah mati, saat mereka kembali ke apartemen, suasana itu hilang. Arka kembali ke sifat tenangnya yang datar, menghilang ke dalam ruang kerja tanpa banyak kata. Alya berdiri sendirian di dapur, menyesap segelas susu hangat sambil menatap langit malam. "Aku nggak nyangka hidupku berubah secepat ini..." gumamnya. . Tiba-tiba suara langkah kaki yang mendekat dari koridor membuat Alya terdiam. Arka muncul, mengenakan kaus abu-abu dan celana training, rambutnya sedikit acak. Ia memandang Alya dengan dahi berkerut. “Kamu belum tidur?” tanyanya. Alya buru-buru menyembunyikan ponsel ke belakang tubuhnya. “Belum… susah tidur.” Arka mendekat, lalu melihat ekspresi wajah Alya yang pucat. “Kamu baik-baik aja?” Alya tersenyum kaku. “Iya, cuma… kewalahan aja sama semua ini.” Arka menatapnya lama, seakan menimbang sesuatu. “Kamu bisa keluar sebentar, kalau perlu. Refreshing. Aku juga biasa kayak gitu pas awal terjun ke dunia ini.” “Dunia ini?” gumam Alya. “Dunia yang penuh kamera dan kepalsuan,” jawab Arka tenang. “Kalau kamu nggak kuat, kamu masih bisa mundur.” Alya menatapnya, hatinya berkecamuk. Mundur? Saat ini? Ketika Risa masih terbaring lemah di rumah sakit dan biaya terus membengkak? “Aku nggak bisa,” jawabnya lirih. Arka mengangguk pelan. “Kalau butuh sesuatu, tinggal bilang. Sekarang kamu bukan sendirian di sini.” Ucapan itu sederhana, tapi terasa hangat. Alya nyaris menangis mendengarnya. “Aku… makasih.” Arka menepuk bahunya pelan lalu berjalan kembali ke kamarnya. Alya masih berdiri di tempat. Ponselnya bergetar lagi—sebuah pesan masuk. [Kalau kamu pikir kamu bisa hidup bahagia setelah semua yang terjadi, kamu salah.] Alya menggigit bibirnya, lalu dengan cepat memblokir nomor tersebut. Tapi perasaan takut itu tak bisa ia singkirkan. Malam itu, ia kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Ia memeluk lutut di atas tempat tidur, mencoba menenangkan diri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia aman di sini. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu. Masa lalu itu belum selesai. Dan jika ia ingin bertahan di dunia baru ini—dunia selebriti, dunia kontrak, dunia penuh kepura-puraan—ia harus lebih kuat dari sebelumnya. Karena bukan hanya media yang siap menghakimi... tapi juga bayang-bayang masa lalu yang siap menelannya hidup-hidup.Alya menatap layar ponselnya, alisnya berkerut. Naskah Revan terbuka di depannya.Kata-kata yang tertulis dalam naskah itu tampak menusuk. Alya merasa kata-katanya terlalu tajam untuk sekadar fiksi.“Cerita yang paling menyakitkan datang dari tempat yang paling kamu anggap aman." Itu kata-kata yang tertulis dalam naskah yang ditulis Revan.Alya merasa ada sesuatu yang mengganggunya.Lalu, ia membaca lagi dengan lebih teliti. Matanya menyusuri setiap kata seperti detektif yang memeriksa TKP."Luka yang sama akan berdarah lagi jika kau terus menyentuhnya. Pengkhianatan selalu datang dari orang yang kau percaya."Alya merasa gaya tulisan Revan tampak terlalu personal dalam pilihan katanya.Bukan sekadar metafora sastra, tapi seperti bekas luka yang dituangkan ke dalam huruf.Alya merasa mengenal gaya tulisan itu. Bahkan, terlalu mengenalnya.Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran yang tak mungkin itu.Tapi entah mengapa tulisan Revan itu, malah membuat pikiran melayang ke s
Beberapa jam kemudian....Di kamar kos kecil daerah Tebet, Rio duduk di depan laptop.Jari-jarinya menari di atas papan ketik. Di dinding seberangnya, foto-foto Alya dan Risa terpampang tapi, dipetakan dengan catatan dan benang penghubung.Wajahnya terpampang di layar sebuah halaman blog penulis yang dikelolanya dengan teliti selama dua tahun terakhir.Anehnya, bukan nama Rio yang terpampang di sana. Tapi justru nama Revan Kai yang terpampang di sanaRio bukan orang baru dalam dunia tulis. Ia pernah menjadi asisten editor di sebuah penerbit, sebelum dipecat karena dituduh mencuri naskah dan memanipulasi data penulis.Kemudian hidupnya hancur. Namanya tercoreng.Bahkan Alya, satu-satunya orang yang ia pikir akan membelanya, malah memilih menjauh.Namun dari kehancuran itulah lahirlah Revan Kai —nama pena yang Rio gunakan untuk menerbitkan karya-karyanya.Ia mempelajari psikologi pembaca. Ia tahu bagaimana menyusun kisah sedih yang terasa nyata.Ia tahu cara menyentuh sisi rapuh peremp
Ketegangan di co-working space di Kuningan Jakarta terasa mencekam. Ruangan modern yang biasanya dipenuhi pekerja kreatif, kini berubah menjadi arena senyap penuh ketegangan. Rio —yang selama ini menyamar sebagai Revan, duduk dikursi tengah ruangan. Rahangnya mengeras dan matanya liar menatap sekeliling di balik masker dan topi. Di tangannya, sebuah map naskah terbuka. Tapi bukan naskah yang ia lihat, melainkan satu halaman besar bertuliskan, kami tahu siapa kamu. Jari-jarinya mengepal pelan, dingin. Ia sadar, ini bukan sekedar ancaman. Ini bukti bahwa keberadaannya terendus. Rio mencoba tenang. Ia duduk dengan tegak dan menatap ruangan yang terlalu rapi untuk dibiarkan tanpa pengawasan. Dibalik kaca satu arah, Rey memantau Rio dengan tatapan tajam. Rey kemudian memberi isyarat pada dua anggota timnya yang menyamar sebagai staf kantor. Mereka bergerak mendekati Rio secara alami seolah ingin menawarkan kopi. Tapi gerakan mereka penuh perhitungan. Rio menyadari bahwa
Sudah hampir seminggu Alya tenggelam dalam proyek penyuntingan novel thriller dari kantor lamanya. Klien kali ini adalah seorang penulis baru, menggunakan nama pena D.R.—misterius dan agak tertutup. Naskahnya gelap dan intens, tetapi sangat rapi dan membuat penasaran.Alya beberapa kali harus berdiskusi langsung lewat Zoom dengan perwakilan tim penulis—seorang pria bernama Revan. Dalam pertemuan online, Revan selalu mengenakan masker medis dan topi, dengan alasan sedang dalam pemulihan sakit paru. Sikapnya tenang, sopan, tapi Alya merasa... aneh.Setiap kali Revan berbicara, ada nada suara yang mengusik ingatannya. Seolah ia pernah mendengar suara itu, di masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam.Suatu malam, setelah sesi diskusi, Alya keluar dari ruang kerja dan menemukan Arka sedang duduk di balkon dengan laptop di pangkuannya.“Kamu belum tidur?” tanya Alya, duduk di sebelahnya.“Belum. Deadline sinopsis dua episode lagi.” Arka melirik sekilas, lalu menutup laptop. “Proyek kamu gi
Keesokan harinya, Alya terbangun lebih pagi dari biasanya. Ia merasa sedikit lebih tenang, walau bayang-bayang suara lelaki misterius di minimarket itu terus menghantui pikirannya.Agar bisa mengalihkan pikirannya, Alya pun memutuskan untuk kembali kerja dan meneriwa proyek lagi sebagai editor lepas.Namun, sebelum itu ia harus terlebih dahulu meminta izin pada Arka. Walaupun pernikahan mereka hanya kontrak, tapi sudah sewajarnya ia meminta izin pada suaminya.Suatu malam, saat mereka duduk Santai di ruang Tengah sambil menonton drama yang sedang hits, Alya membuka suara.“Ka… aku ditawari proyek penyuntingan naskah dari kantor lama,” katanya pelan. “Editor senior ngontak aku tadi siang. Mereka lagi kekurangan editor untuk novel thriller yang harus selesai bulan depan.”Arka menoleh, “Kamu mau ambil?”Alya mengangguk, “Aku butuh distraksi. Pingin sibuk lagi. Biar nggak terlalu banyak pikiran, Dan… aku ingin merasa berguna lagi.”Arka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kamu k
Pagi hari di rumah keluarga Mahendra terasa tenang. Mama Arka sedang menyiram bunga, dan suara televisi dari ruang keluarga terdengar samar. Alya turun dari kamar tamu dengan sweater hangat dan celana kain santai.“Pagi, Ma,” sapa Alya sambil berjalan menuju dapur.“Pagi, sayang. Arka masih tidur ya?” tanya Mama sambil tersenyum lembut.Alya mengangguk. “Kayaknya baru tidur subuh. Semalam katanya ngedit skrip acara.”Mama mengangguk-angguk, lalu kembali merapikan pot tanaman.Alya menuang air putih ke dalam gelas dan berdiri sejenak di dekat jendela dapur. Rumah keluarga Arka terletak di kawasan elite yang cukup sepi, tapi sejak tadi ia merasa... aneh.Ada perasaan tidak nyaman yang sejak tadi mengusik. Semalam, saat Arka tertidur lebih dulu, Alya melihat notifikasi pesan dari akun anonim di media sosialnya:“Kamu bisa pura-pura di depan mereka. Tapi aku tahu siapa kamu sebenarnya.”Alya awalnya mengira itu hanya akun haters biasa. Tapi kini, ia merasa seperti sedang diawasi.Setelah