Share

Bab 5

Author: lovelypurple
last update Huling Na-update: 2025-05-29 15:35:59

Beberapa hari setelah pemotretan itu, jadwal Alya semakin padat. Ia mulai menerima undangan menghadiri acara publik bersama Arka—launching film, dinner amal, sampai talk show.

Pagi itu, Alya duduk di meja makan apartemen sambil membaca rundown acara gala premiere film Arka yang akan digelar malam nanti.

“Dress code hitam elegan,” gumamnya, membaca undangan.

Arka muncul dari kamar, mengenakan kaus putih dan celana jogger. Ia mengambil kopi sambil melirik berkas di tangan Alya, “Siap tampil jadi istri artis?”

Alya menoleh dengan ekspresi setengah panik, “Jujur aja... aku takut salah kostum, salah ngomong, salah gerak.”

Arka tersenyum kecil. “Tenang. Kamu udah belajar banyak. Lagipula... kehadiran kamu aja udah cukup bikin mereka heboh.”

Alya menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya. “Aku cuma nggak mau mempermalukan kamu.”

Arka berjalan mendekat, menyentuh pundaknya ringan. “Kamu nggak pernah mempermalukan aku, Alya.”

Detik itu, hati Alya bergetar. Kata-kata Arka mungkin sederhana, tapi ada ketulusan di dalamnya yang tak bisa diabaikan. Meski hubungan mereka hanya kontrak, entah mengapa perhatian kecil seperti ini terasa nyata.

Malamnya, saat Alya turun dari mobil di red carpet, lampu kamera langsung menyala tanpa henti.

“Arka! Alya! Lihat ke sini!”

"Alya, kamu cantik sekali malam ini!”

Arka menggenggam tangan Alya, lalu dengan percaya diri, membisikkan sesuatu di telinganya sebelum tersenyum ke arah kamera, “Kamu bikin semua aktris di sini kalah, tahu nggak?”

Alya nyaris tersedak napas. Ia melirik Arka dengan gugup, dan ekspresi Arka tetap kalem, seolah ia benar-benar menikmati perannya sebagai suami penuh cinta.

Wartawan memotret cepat. Beberapa bahkan langsung mengunggahnya dengan caption: "Pasangan Arka-Alya tampil sempurna dan romantis di gala premiere!”

“Istri Arka Mahendra bikin pangling! Netizen terpesona dengan sikap mesra mereka!”

Di balik senyum manis yang terus Alya tampilkan malam itu, dadanya terasa sesak. Dunia ini—dunia yang penuh kilau kamera dan senyum pura-pura—terlalu asing dan membingungkan.

Namun, di tengah sorotan itu, satu hal perlahan tumbuh di hatinya. Ada rasa penasaran terhadap sosok Arka yang mulai menunjukkan sisi-sisi yang berbeda dari kesan awal.

Setelah gala premiere selesai, Alya kembali ke apartemen dengan kaki pegal dan kepala sedikit pening.

Gaun panjang dan sepatu hak tinggi membuat tubuhnya lelah, tapi bukan itu yang paling mengganggunya.

Yang melekat di pikirannya justru kalimat-kalimat Arka malam tadi—pujian, sentuhan ringan di pundaknya, dan cara pria itu menatapnya seolah semua ini nyata.

Ia menatap bayangannya di cermin kamar. Gaun hitam itu masih melekat sempurna, makeup-nya masih utuh. Tapi dalam diri Alya, perasaannya mulai goyah. Ia tak bisa lagi membedakan mana yang sekadar akting dan mana yang mungkin… lebih dari itu.

Ponselnya bergetar. Alya menoleh pelan, mengambil ponselnya dari meja. Nomor tak dikenal muncul di layar.

[Nomor Tidak Dikenal]

Alya ragu sejenak sebelum menjawab. “Halo?”

Tak ada suara. Hanya dengingan samar.

“Halo? Ini siapa?”

Hening. Lalu terdengar napas berat. Lalu suara laki-laki yang pelan, namun membuat bulu kuduk Alya berdiri.

“Masih ingat aku, Alya?”

Jantungnya seakan berhenti berdetak.

“Siapa ini?” suaranya gemetar.

“Kamu pikir bisa kabur secepat itu? Dunia glamor nggak bisa nutupin masa lalumu.”

Klik. Sambungan terputus.

Alya terdiam. Ponselnya terlepas dari tangan, jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Tubuhnya mulai gemetar.

Bayangan masa lalu yang telah lama ia kubur perlahan muncul ke permukaan. Luka lama yang belum sembuh. Ketakutan yang ia coba lupakan.

Suara napas itu... suara laki-laki itu... Ia kenal betul.

“Tidak mungkin…” bisiknya.

Di luar, lampu kota Jakarta masih menyala terang. Tapi di dalam hati Alya, malam baru saja menjadi lebih gelap dari sebelumnya. .

Alya terduduk di tepi ranjang, keringat dingin membasahi pelipisnya meski AC kamar menyala. Ia mencoba mengatur napas, menenangkan diri, tapi percuma.

Suara itu… kata-kata itu… mengoyak rasa aman yang baru mulai ia bangun bersama Arka.

“Tidak… aku sudah jauh dari semua itu,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Ponselnya kembali menyala. Bukan telepon. Kali ini sebuah pesan.

[Kamu kelihatan bahagia di samping artis itu. Tapi aku tak akan membiarkan kamu bahagia.]

Malam mulai larut, tapi mata Alya tak kunjung bisa terpejam. Lampu kota Jakarta memantul di kaca jendela apartemen yang luas dan mewah, tapi tak mampu mengusir kekalutan yang bersarang di dadanya.

Hari ini terlalu penuh.Dari wawancara publik yang mendadak, tatapan ribuan orang yang menghakimi lewat layar, hingga Arka yang tiba-tiba bersikap begitu... romantis.

Senyuman pria itu di depan wartawan terasa nyata. Sentuhan tangannya, tatapan hangatnya saat ia merangkul pinggang Alya—semuanya sukses membuat jantung Alya berdebar tak karuan.

Namun kini, saat semua lampu kamera telah mati, saat mereka kembali ke apartemen, suasana itu hilang. Arka kembali ke sifat tenangnya yang datar, menghilang ke dalam ruang kerja tanpa banyak kata.

Alya berdiri sendirian di dapur, menyesap segelas susu hangat sambil menatap langit malam.

"Aku nggak nyangka hidupku berubah secepat ini..." gumamnya.

.

Tiba-tiba suara langkah kaki yang mendekat dari koridor membuat Alya terdiam. Arka muncul, mengenakan kaus abu-abu dan celana training, rambutnya sedikit acak. Ia memandang Alya dengan dahi berkerut.

“Kamu belum tidur?” tanyanya.

Alya buru-buru menyembunyikan ponsel ke belakang tubuhnya. “Belum… susah tidur.”

Arka mendekat, lalu melihat ekspresi wajah Alya yang pucat. “Kamu baik-baik aja?”

Alya tersenyum kaku. “Iya, cuma… kewalahan aja sama semua ini.”

Arka menatapnya lama, seakan menimbang sesuatu. “Kamu bisa keluar sebentar, kalau perlu. Refreshing. Aku juga biasa kayak gitu pas awal terjun ke dunia ini.”

“Dunia ini?” gumam Alya.

“Dunia yang penuh kamera dan kepalsuan,” jawab Arka tenang. “Kalau kamu nggak kuat, kamu masih bisa mundur.”

Alya menatapnya, hatinya berkecamuk. Mundur? Saat ini? Ketika Risa masih terbaring lemah di rumah sakit dan biaya terus membengkak?

“Aku nggak bisa,” jawabnya lirih.

Arka mengangguk pelan. “Kalau butuh sesuatu, tinggal bilang. Sekarang kamu bukan sendirian di sini.”

Ucapan itu sederhana, tapi terasa hangat. Alya nyaris menangis mendengarnya.

“Aku… makasih.”

Arka menepuk bahunya pelan lalu berjalan kembali ke kamarnya.

Alya masih berdiri di tempat. Ponselnya bergetar lagi—sebuah pesan masuk.

[Kalau kamu pikir kamu bisa hidup bahagia setelah semua yang terjadi, kamu salah.]

Alya menggigit bibirnya, lalu dengan cepat memblokir nomor tersebut. Tapi perasaan takut itu tak bisa ia singkirkan.

Malam itu, ia kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Ia memeluk lutut di atas tempat tidur, mencoba menenangkan diri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia aman di sini.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu. Masa lalu itu belum selesai.

Dan jika ia ingin bertahan di dunia baru ini—dunia selebriti, dunia kontrak, dunia penuh kepura-puraan—ia harus lebih kuat dari sebelumnya.

Karena bukan hanya media yang siap menghakimi... tapi juga bayang-bayang masa lalu yang siap menelannya hidup-hidup.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Bab 87 Sayonara Jakarta

    “Halo, Alya? Sayang, kamu baik-baik aja?” suara lembut Mama Indira langsung terdengar.“Aku baik, Ma,” jawab Alya pelan. “Ada yang mau aku bicarakan…” “Ya? Ada apa?” Alya menarik napas dalam. “Hari ini temanku, Lina, datang ke vila. Dia bawa info soal program residensi menulis. Tiga bulan, Ma. Di Kyoto.”Hening sejenak di ujung sana.“Kamu mau ikut?”“Aku nggak tahu bisa atau nggak. Tapi, sepertinya itu tempat yang bisa bantu aku pulih.”Suara Mama Indira terdengar pelan, namun hangat. “Kalau itu bisa bikin kamu tenang, ikutlah. Kamu berhak bahagia.”Alya menunduk. Matanya memanas. “Maafin Arka ya, Ma. Aku belum bisa.”“Nggak apa-apa, Nak. Kamu nggak harus maafin dia sekarang. Tapi kamu harus maafin dirimu sendiri dulu. Bersenang-senanglah di sana. Cari udara baru. Tulis yang kamu mau tulis. Nggak usah mikirin yang udah lewat.”“Terima kasih, Ma…”“Jaga diri baik-baik, ya.”“Iya, Ma. Aku pamit.”Setelah telepon ditutup, Alya menatap langit malam yang bertabur bintang. Untuk pertama

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Bab 86 Retak

    “Sial. Barusan seseorang memotret!”Arka langsung berlari ke arah lorong, tapi yang tertinggal hanya bayangan langkah tergesa menjauh dan suara pintu darurat yang menutup pelan.Sasha berdiri membeku. Wajahnya masih memerah. "Tadi… itu—""Tutup mulutmu," desis Arka, matanya tajam, panik. "Kalau foto itu tersebar, habis sudah semua."Namun semuanya sudah terlambat.Keesokan harinya...Dunia hiburan mendadak gempar. Bahkan bisa dibilang meledak. Semua berawal dari satu foto yang memperlihatkan Arka dan Sasha yang tengah berciuman panas di lokasi syuting Cinta Kontrak Sang CEO.Meskipun fotonya tidak terlalu jelas, tapi sudut dan ekspresi keduanya tak bisa dibantah. Kepala mereka condong, bibir saling menempel, dan tangan Arka terlihat melingkar di pinggang Sasha. Bukan lagi asumsi. Itu bukti yang tak terbantahkan.Media bergerak cepat. Dalam hitungan jam, seluruh kanal infotainment baik televisi, portal daring, hingga akun-akun gossip memuat berita tersebut secara besar-besaran. Judul-j

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Bab 85 Hiatus dari Dunia Hiburan

    Sudah hampir dua minggu sejak Alya keluar dari rumah sakit. Meski tubuhnya perlahan pulih dan ia bisa berjalan tanpa bantuan, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa tak sama. Sesuatu yang ia sendiri belum mampu beri nama. Orang-orang di sekitarnya—Arka, Mama Indira, bahkan dokter pribadi keluarga—mengira ia telah benar-benar membaik. Tapi mereka tak tahu bahwa di dalam dada Alya, ada sisa-sisa luka yang belum sembuh. Hari itu, ia kembali ke lokasi syuting. Episode terakhir dari series Cinta Kontrak Sang CEO harus dirampungkan. Jadwalnya padat, kru sudah standby, dan semua mata tertuju padanya. Alya tersenyum kecil, mencoba terlihat siap. “Aku bisa,” katanya pagi itu pada Arka. Ia bahkan sempat bercermin lebih lama dari biasanya, memastikan bahwa wajahnya tidak lagi menyimpan ketakutan. Namun begitu turun dari mobil dan melangkah ke area set, semuanya terasa berbeda. Puluhan kru berlalu-lalang. Kamera berdiri tegak. Lampu sorot sudah menyala. Beberapa wartawan infotainment mulai men

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Bab 84 Surat yang Tak Pernah Sampai

    “Aku tahu semua yang kita jalani akhir-akhir ini tidak mudah,” ucap Arka, suaranya terdengar pelan di antara jeda napas yang terasa berat. “Dunia seperti tak pernah berhenti melihat kita. Mengawasi. Menghakimi. Seolah kita nggak boleh salah. Bahkan jujur pun terasa seperti kesalahan.”Arka menunduk sejenak. Lalu menatap Alya kembali, kali ini lebih dalam. “Aku cuma ingin ajak kamu pergi. Engga jauh, tapi cukup untuk membuat kita lupa bahwa kita ini public figure. Pasangan kontrak. Atau dua orang yang dipaksa terlihat bahagia di depan kamera,” ungkapnya.Alya menunduk. Kata-kata Arka menembus tepat ke dadanya. Perempuan itu tak menyangka ada hari Dimana pria itu akan berkata sejujur itu.“Aku sudah cari tempatnya,” lanjut Arka. “Nggak mewah. Tapi tenang. Ada danau kecil. Rumah kayu sederhana. Dan yang paling penting, nggak ada sinyal. Nggak ada siapa pun yang tahu kita ada di sana.”Alya menoleh pelan. “Kenapa kamu ingin ajak aku ke sana, Ka?”Arka terdiam sejenak. Ia menghela napas,

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Bab 83

    Hidup Alya kini menjadi terasa lebih tenang. Perempuan tak tahu apa yang terjadi. Namun ia merasa lebih lega karena Rio tak lagi menerornya. Sudah seminggu lamanya Alya di rawat di rumah sakit. Kondisi fisik perempuan itu mulai membaik, perlahan tapi pasti. Dan sebagai bagian dari pemulihan, dokter merekomendasikan sesi fisioterapi ringan setia pagi.Pukul sembilan tepat, seorang terapis bernama Bu Retno datang dengan senyum hangat dan clipboard di tangan."Selamat pagi, Ibu Alya," sapa Bu Retno dengan suara tenang. "Hari ini kita lanjut latihan berdiri dan jalan pendeka, ya. Jangan khawatir, saya akan dampingi langkah demi langkah."Alya hanya mengangguk pelan. Dengan bantuan perawat, ia berpindah dari ranjang ke kursi roda, lalu didorong menuju lorong fisioterapi di sisi barat rumah. Itu merupakan area rumah sakit yang lebih sepi dengan jendela besar menghadap taman kecil dan railing besok di dinding sepanjang koridor.Setelah perenggangan ringan sambil duduk, Alya berdiri perlahan

  • 365 Hari Jadi Istrimu   Bab 82

    Arka menatap layar ponsel Alya yang masih menyala. Pesan ancaman itu terpampang jelas di sana, dan di bagian atas hanya tertulis nomor asing, tanpa nama kontak.Ia menarik napas panjang, menahan gelombang amarah yang mulai menguasai dadanya. Tangannya terulur pelan, meraih ponsel itu dari meja samping. Ia membaca ulang kalimat ancaman tersebut, kata demi kata, memastikan tak ada yang terlewat."Kalau kamu gagal lagi kali ini, Alya, aku tidak akan segan menyentuh Risa lebih dulu."Rahang Arka mengeras. Matanya menatap tajam ke deretan angka di atas pesan itu. Deretan digit tanpa nama, tanpa identitas, tapi baginya sudah cukup untuk menyalakan bara di hatinya.Pelan, ia mengambil ponselnya sendiri. Jarinya bergerak cepat menyalin nomor asing itu, mengetiknya dengan teliti ke kontak barunya. Ia menamai kontak tersebut: “Peneror”.Jantungnya berdegup keras, bukan karena takut, melainkan karena amarah dan keteguhan hati yang semakin menguat.Arka menatap Alya yang tertidur lelah. Jemari g

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status