LOGIN“Kapan lo bisa balik syuting? Kita butuh kepastian, Ka. Paling nggak, kasih kami perkiraan.”Pertanyaan Revano menggantung di udara, sebuah jembatan rapuh yang menghubungkan dunia nyata dengan neraka pribadi yang baru saja ia tinggalkan. Arka memejamkan matanya sejenak, satu tangannya yang bebas memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri. Suara sahabatnya itu terdengar begitu jauh, seolah berasal dari dimensi lain. Dimensi di mana jadwal syuting dan tuntutan produser masih menjadi hal terpenting di dunia.“Gue… gue usahain secepatnya, Van,” bisik Arka, suaranya serak karena kelelahan dan emosi yang terkuras. Matanya tak pernah lepas dari sosok Alya yang terbaring di ranjang, napasnya teratur namun gelisah. “Nanti gue kabarin lagi. Sorry.”“Oke, bro. Jaga diri. Kalau butuh apa-apa…”“Iya. Thanks.”Arka memutus panggilan tanpa menunggu kalimat Revano selesai. Ia meletakkan ponselnya kembali ke atas meja dengan gerakan lambat, seolah benda itu memiliki bobot berkilo-kilo. Keheningan kem
"Kenapa…?” bisik Alya setelah meletakkan gelasnya.Matanya yang sembap menatap Arka, penuh dengan pertanyaan yang tak terungkap."Kenapa kamu nggak marah?”Arka menghela napas panjang. Ia duduk di samping Alya, mengambil kedua tangan wanita itu ke dalam genggamannya. Tangan Alya terasa sedingin es.“Marah?” Arka menggeleng pelan. “Untuk apa? Marah karena kamu berusaha melindungi aku? Marah karena kamu menanggung beban yang sama sekali bukan salahmu sendirian?”Ia menatap lekat ke dalam mata Alya. “Satu-satunya orang yang berhak aku marahi adalah diriku sendiri, Al. Aku marah karena aku buta. Aku marah karena aku malah nyakitin kamu dengan cemburu dan ego bodohku, padahal di saat yang sama kamu lagi berjuang sendirian ngelawan monster itu.”Air mata yang Alya kira sudah habis, kembali menggenang di pelupuk matanya. “Aku takut… aku takut banget kamu bakal benci aku, Ka. Kalau kamu tahu…”“Ssssttt…” Arka menarik Alya ke dalam pelukannya, membenamkan wajah wanita itu di dadanya. “Jangan
Dunia di sekeliling Alya saat ini terasa berputar dalam kaleidoskop buram. Seragam biru tua, kilatan lencana, hingga suara-suara asing yang tajam dan berwibawa. Namun, satu-satunya hal yang nyata, satu-satunya jangkar di tengah badai itu, adalah sepasang mata di hadapannya. Mata Arka. Hangat, lekat, dan penuh janji yang baru saja terucap.“Ayo kita pergi dari sini,” bisik Arka, suaranya rendah dan mantap, membelah keributan di sekitar mereka.Tangannya yang menangkup wajah Alya bergerak turun, menggenggam bahunya dengan erat namun lembut. Ia memutar tubuh Alya, menjadikannya punggungnya sebagai perisai hidup yang menghalangi pemandangan Rio yang kini digiring oleh dua orang petugas.“Tunggu sebentar, Arka-san.” Suara Kenji terdengar, tenang dan profesional. “Petugas perlu beberapa keterangan awal.”Kevin yang berdiri di sampingnya menyahut cepat, “Biar saya yang urus, Kenji-san. Namun sekarang saya harus bawa mereka pulang. Kondisi Alya nggak memungkinkan.”“Saya mengerti,” jawab Ken
Teriakan putus asa Rio berubah menjadi pekikan kaget saat momentumnya hilang, tubuhnya terlempar ke samping, jauh dari Alya dan Reyhan.TRAK!Serpihan kayu runcing itu terlepas dari genggamannya, berputar di udara sebelum jatuh dengan suara kering di atas lantai kayu yang mahal. Ancaman itu telah berlalu, tetapi badai di dalam ruangan itu baru saja mencapai puncaknya.Arka tidak berhenti. Didorong oleh amarah murni dan ketakutan yang baru saja mencengkeram jantungnya, ia menarik kerah baju Rio, menyeret pria itu berdiri hanya untuk menghantamnya lagi. Pukulan kali ini bukan lagi sekadar luapan emosi, melainkan sebuah pernyataan. Setiap bogem mentah yang mendarat adalah eksekusi atas setiap detik teror yang Rio ciptakan.“Ka, udah! Cukup!” Suara Alya terdengar parau, nyaris tak dikenali. Ia merosot lemas jika saja Reyhan tidak menahannya lebih erat. “Nanti kamu bisa bunuh dia…”Arka seolah tidak mendengar. Ia memojokkan Rio ke dinding, napasnya terengah-engah seperti binatang buas yang
Udara di ruangan mewah itu seakan membeku, tertekan oleh bobot amarah dalam dua kata yang diucapkan Arka. “Lepasin istri gue!” Suara itu bukan teriakan, tapi sebuah geraman yang dalam dan pelan. Suaranya menunjukkan kemarahan yang luar biasa dan sebagai pertanda bahwa perkelahian tidak bisa dihindari.Rio, bukannya gentar, justru melengkungkan bibir. Senyumnya adalah goresan sinis di wajahnya yang tampan, sebuah provokasi terang-terangan. Ia tidak melepaskan Alya, malah menarik gadis itu lebih dekat, menjadikan tubuh gemetar Alya sebagai perisai manusia.“Oh, lihat ini,” cibir Rio, matanya menari-nari mengejek antara Arka dan Alya. “Pahlawan kita akhirnya muncul. Tapi kayaknya telat deh, Bro. Udah gue cicipin duluan.”Ucapan itu adalah bensin yang disiramkan ke api. Namun, sebelum Arka sempat meledak, sebuah gerakan cepat terjadi di sisi lain ruangan. Bukan Arka, melainkan Reyhan yang bergerak lebih dulu. Dengan ketenangan seorang dokter di ruang gawat darurat, ia melangkah maju, tang
Dua sedan hitam melesat tanpa suara, membelah keheningan malam di jalanan pinggiran Kyoto yang berkelok seperti ular tidur. Di dalam mobil terdepan, Arka mencengkeram kemudi dengan kekuatan sedemikian rupa hingga buku-buku jarinya menonjol, memutih laksana pualam. Waktu seolah merayap dengan kejam. Detik-detik itu menjadi siksaan, setiap ketukannya di pelipis adalah bisikan yang semakin jelas bahwa ia sudah terlambat. Di luar, pepohonan kuno berdiri seperti nisan raksasa yang bisu, bayangan mereka yang panjang dan kurus seakan mencoba meraih mobil itu dan menelannya ke dalam kegelapan.“Kita sudah dekat,” suara Kevin memecah keheningan yang menyesakkan itu. Nada cemasnya nyaris tak terdengar di atas deru mesin yang halus. Dia memegang ponselnya. Di layar, ada titik merah berkedip yang menunjukkan lokasi villa yang didapatkan dari Kenji. “Rencana tetap sama. Kenji bilang gerbang depan mustahil ditembus tanpa memicu alarm. Kita akan menyelinap lewat jalan setapak di belakang, langsung







