Sore itu, langit Kyoto berwarna jingga lembut, menyisakan semburat hangat di ujung cakrawala. Arka duduk di dalam mobil hitam yang dipinjam dari kru produksi, tangannya mencengkeram kemudi sambil memeriksa ponselnya. Pukul 16.30, waktu yang tepat untuk menjemput Alya di penginapan. Ia menghela napas, mencoba meredam kegelisahan yang terus menggerogoti pikirannya. Interaksi dengan Sasha tadi di aula hotel membuatnya waspada, tapi fokusnya saat ini adalah Alya dan ancaman yang mengintai istrinya. Ia mengetik cepat di ponselnya, “Ly, aku udah di depan penginapan. Kamu udah selesai kelas?” Lalu mengirim pesan itu sebelum menyalakan mesin mobil. Jalanan Kyoto sore itu mulai ramai, dengan sepeda-sepeda yang melintas dan pejalan kaki yang menikmati udara segar. Arka menarik tudung jaketnya ke atas, berusaha menyamarkan wajahnya agar tidak menarik perhatian, meski duduk di dalam mobil memberi sedikit privasi. Di penginapan, Alya baru saja selesai merapikan tas selempangnya, memastikan b
Keesokan paginya, sinar matahari Kyoto menyelinap lembut melalui celah-celah shoji di kamar penginapan. Alya terbangun dengan perasaan campur aduk. Hangatnya pelukan Arka semalam masih terasa, tapi bayangan rahasia tentang Om Tio dan ancaman Rio terus mengintai di sudut pikirannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu bangkit dari ranjang. Arka sudah bangun lebih dulu, berdiri di dekat meja kecil sambil merapikan beberapa barang ke dalam tasnya. Ia mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans, rambutnya masih sedikit berantakan, tapi matanya terlihat segar. Melihat Alya bangun, ia menoleh dan tersenyum tipis. “Pagi, Ly,” sapanya lembut, sambil menutup ritsleting tasnya. “Udah siap pindah ke hotel?” Alya mengangguk, meski ada sedikit keraguan di wajahnya. “Iya, cuma… agak sayang ninggalin penginapan ini. Suasananya tenang.” Arka berjalan mendekat, tangannya menyentuh pundak Alya dengan lembut. “Tenang aja, hotelnya nggak bakal kalah nyaman. Yang penting, kamu
Arka terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Tatapannya singkat melirik ke arah Alya yang sedang duduk di dekat meja, lalu kembali ke layar ponsel.“Pindah ke hotel? Kenapa harus begitu, Vin?” suaranya rendah tapi jelas mengandung nada protes.Kevin terdengar menghela napas di seberang. “Alasannya standar, Ka. Mereka ingin lebih gampang koordinasi jadwal dan keamanan kru. Lagian hotelnya juga dekat dengan lokasi syuting, jadi praktis.”Arka berdiri dari kursinya, langkahnya gelisah mondar-mandir. “Praktis buat mereka, iya. Tapi aku nggak tenang kalau ninggalin Alya sendirian di penginapan. Kamu tahu sendiri, Rio masih berkeliaran di luar sana. Aku nggak bisa ninggalin dia, Vin.”Di seberang, Kevin mendesah, lalu nada suaranya melunak. “Makanya aku bilang, nggak usah khawatir. Produser udah kasih izin. Kamu boleh bawa Alya tinggal bareng di hotel itu. Mereka ngerti situasi kalian. Lagian…” Ia tertawa kecil, “Kalian kan suami istri sah. Bukan masalah, justru wajar.”Arka terdiam sejenak, m
Langkah mereka berhenti ketika suara kamera terdengar samar dari kejauhan. Klik… klik… Alya langsung menoleh, tubuhnya menegang.Arka mengernyit. “Kamu dengar?”Alya mengangguk cepat, matanya menyapu sekitar taman. Namun yang tampak hanya beberapa turis asing dan pasangan lansia Jepang yang sedang memberi makan koi. Alya mencoba tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, tapi jantungnya berdebar kencang.Rio? pikirnya cemas.Seakan ingin menenangkan, Arka meremas pelan tangannya. “Nggak usah takut. Aku ada di sini.”Alya hanya mengangguk, meski hatinya semakin waswas. Ia tahu, Rio tak akan berhenti begitu saja.Di sisi lain kota Kyoto, Rio duduk di sebuah kafe kecil dengan laptop terbuka. Wajahnya dingin, jari-jarinya lincah menekan tombol keyboard. Di layar, terpampang beberapa foto terbaru Alya dan Arka di taman Ryouku yang diambil dari kejauhan dengan lensa panjang.“Cantik, Ly… bahkan dalam ketakutanmu,” gumam Rio, menyunggingkan senyum miring.Ponselnya bergetar. Pesan dari Damar masu
Alya menahan napas di pelukan itu, matanya terasa panas seolah air mata ingin jatuh. Ia memejamkan mata lebih rapat, mencoba menenangkan diri. "Andai Arka tahu kebenaran ini, apa dia masih akan memelukku seperti sekarang?" pikirnya getir. Arka, tanpa sadar, mengusap lembut lengan Alya. “Kamu kelihatan capek banget, Ly. Istirahat ya. Besok kita masih ada jadwal pemotretan pagi.” Alya hanya mengangguk, tak sanggup menjawab lebih dari itu. Dalam hati ia berjanji akan menjaga rahasia tentang Om Tio sekuat mungkin, setidaknya sampai ia menemukan cara yang tidak akan melukai Arka. Sementara itu, di kamar hotel berbeda, Rio duduk bersandar di kursi dengan wajah puas. Di tangannya, layar laptop memantulkan dokumen digital yang sama dengan yang dikirimkannya ke Risa. “Bagus… sekarang Alya pasti resah sendiri. Rahasia ini berat, Ly. Cepat atau lambat, Arka akan tahu. Dan saat itu terjadi, kau tak akan punya tempat untuk bersembunyi selain padaku,” gumamnya dengan senyum dingin. Rio
Di sebuah kafe, Alya bersama Kevin dan kru lainnya tampak duduk mengelilingi meja panjang. mDi tengah obrolan seru para kru, Kevin yang semula sibuk dengan ponselnya tiba-tiba ia melirik ke arah Alya dan membuka obrolan.“Ly, kamu tahu nggak, sejak main di Series Cinta Kontrak Sang CEO itu, banyak brand yang melirik kamu.. Mereka suka sama aura kamu yang natural. Mumpung lagi vakum dari akting, kenapa nggak sekalian coba dunia modeling? Aku yakin kamu bakal cocok.” Alya menegakkan punggung, sedikit panik. “Aku? Jadi model? Aku… nggak bisa, Mas Kevin. Aku nggak terbiasa begitu.” Kevin tersenyum penuh siasat. “Lho, tadi aja kamu keliatan natural banget sama Arka. Dan aku yakin brand bakal suka, apalagi kalau kalian berdua dipaketin. Pasangan artis, suami istri, siapa yang bisa nolak?” Ucapan itu membuat Alya langsung menunduk. “Kok bawa-bawa Arka segala, sih…” Tepat saat itu, Arka kembali ke meja sambil membawa dua gelas minuman. Ia mengerutkan dahi, lalu duduk. “Eh, gue kenapa ti