Temaram cahaya bulan purnama membanjiri angkasa, sinarnya yang pucat menembus kegelepan dalam hutan.
Malam itu tak terlihat ada awan hitam yang mengawang di antara bintang-bintang, langit begitu cerah, dan suasana hening tanpa desau angin yang menggerakkan daun-daun di pohon.
Jauh di dalam hutan belantara yang tertutup oleh pepohonan dan semak belukar, ada sebuah gua yang bagian dalamnya diterangi cahaya obor, di tempat itu duduklah tiga orang lelaki untuk suatu perbincangan.
Yang pertama dan sekaligus yang paling tua bernama Datuk Bahuwirya, dia seorang pendekar linuih, terkenal dengan julukan sebagai Mpu Seta, karena kebiasannya yang suka mengenakan pakaian dari kain sutera putih.
Yang kedua seorang lelaki muda berbaju coklat dan berikat kepala hitam. Dia duduk sambil mengasuh sebilah pedang di atas pahanya. Namanya Jagat Pramudita. Lelaki muda ini merupakan anak tunggal Mpu Seta.
Adapun orang ketiga yang juga duduk di tempat itu ialah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala yang serba berwarna biru. Namanya Jaka Purnama. Dia adalah sahabat dekat Jagat Pramudita dan sekaligus murid Mpu Seta.
“Ada perihal apa sehingga Ayah memanggil kami berdua untuk datang kemari?” tanya Jagat Pramudita.
Mpu Seta kemudian mengeluarkan sebuah gulungan lontar dari balik jubah yang ia kenakan. Dia meletakkan gulungan itu di hadapannya. Jagat Pramudita dan Jaka Purnama hanya diam saat melihat benda tersebut.
“Apa ini, Ayah?” Jagat Pramudita merasa penasaran.
Mpu Seta menarik nafas yang begitu dalam dan lalu menghembuskannya. Kemudian dia menjawab, “Ini adalah gulungan lontar yang berisi tentang ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan.”
Seketika itu Jagat Pramudita dan Jaka Purnama pun sontak terkejut. Karena nama ajian itu memang pernah mereka dengar.
“Maaf, Guru.” Jaka Purnama memberi hormat kepada Mpu Seta dengan menyatukan kedua telapak tangannya. “Bukankah ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan merupakan jurus terlarang yang telah menghebohkan dunia persilatan? Sudah banyak korban nyawa berjatuhan akibat ganasnya ajian tersebut!”
Mpu Seta menganggukkan dagu ketika mendengarnya. Dia menatap ke Jaka Purnama dan lalu berkata, “Jurus itu sebenarnya akulah yang menciptakan. Tetapi murid pertamaku yang bernama Argani Bhadrika telah menyalahgunakan ilmu tersebut. Kini nama ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sudah membuat gempar di seantero dunia persilatan.”
Dua orang lelaki yang duduk di hadapan Mpu Seta itu saling menatap satu sama lain. Mereka terkejut setelah mengetahui hal tersebut. Sebelumnya Mpu Seta tidak pernah menceritakan hal ini pada mereka.
Mpu Seta tidak heran melihat ekpresi wajah anak tunggal dan juga murdinya itu, dia bisa memakluminya.
Mpu Seta melanjutkan, “Argani membikin keonaran dan menebar kerusuhan dimana-mana. Semua itu dia lakukan hanya demi mencapai hasratnya untuk memiliki keempat senjata sakti yang bernama Empat Pusaka Penakluk Jagat. Konon siapa pun yang memilikinya akan dapat menguasai dunia persilatan.”
Jagat Pramudita dan Jaka Purnama mengangguk paham dengan apa yang Mpu Seta jelaskan itu. Belakangan ini kehebohan besar memang tengah melanda dunia persilatan. Banyak para pendekar yang mati di tangan seorang lelaki bertopeng pemilik ajian Tatapan Rawali Menembus Awan. Ternyata lelaki itu juga adalah murid Mpu Seta, namun dia telah murtad.
Jagat Pramudita berkata, “Ayah, menurut cerita yang aku dengar dari orang-orang, bahwa si penebar huru-hara itu selalu menutupi wajahnya dengan topeng kayu. Darimana ayah tahu bahwa itu adalah Argani Bhadrika, orang yang dahulu pernah menjadi murid Ayah?”
“Tentu saja aku sangat mengetahuinya,” tegas Mpu Seta. “Meski sudah tiga belas tahun lamanya aku menyendiri di dalam gua ini, jauh dari keramaian dunia, tetapi sahabatku yang bernama Janaloka masih sering datang berkunjung, dia menceritakan kepadaku tentang berbagai kejadian-kejadian di luar sana.”
“Tapi aku baru tahu kalau ayah punya murid yang bernama Argani Bhadrika. Sejak kapan itu, Ayah?” tanya Jagat Pramudita sambil mengerutkan alis. “Bahkan aku terkejut kalau ternyata ilmu terlarang itu Ayahlah yang sudah menciptakan.”
Mpu Seta tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia bisa mengerti kalau anaknya itu sekarang kaget, sebab kejadian ini adalah peristiwa yang sudah sangat lama di masa lalu
Mpu Seta menjelaskan, “Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan memang aku sendiri yang menciptakannya, dan ilmu tersebut belum pernah kuwariskan kepada seorang pun jua, kecuali hanya kepada murid pertamaku itu, yakni Argani Bhadrika. Saat dia belajar ilmu silat dariku, kau kala itu masih sangat kecil dan masih berada dalam ayunan, Jagat.”
“Maaf, Guru,” tukas Jaka Purnama. “Saat ini dimana-mana orang menilai bahwa ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan adalah ilmu terlarang, karena jurus itu sangat kejam dan berbahaya. Bahkan banyak para pendekar tua yang menyebutnya sebagai ilmu iblis.”
Mpu Seta menekan dadanya dengan telapak tangan dan terbatuk-batuk. Jagat Pramudita pun menuangkan air rebusan daun kopi ke dalam gelas dan lalu memberikannya kepada Mpu Seta.
“Minumlah dulu, Ayah,” kata Jagat Pramudita, seraya menyodorkan sebuah gelas.
Setelah orang tua itu minum beberapa tegukan, dia mengusap-usap dadanya sebentar, dan lalu mulai berbicara lagi.
“Kamu benar, Jaka Purnama,” Mpu Seta mengangguk. “Ilmu itu memang akan menjadi mengerikan apabila digunakan oleh orang yang jahat. Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan hanya bisa dilawan dengan ajian yang sarupa, atau ajian yang lebih tiinggi dari itu, tidak banyak ilmu yang mungkin mampu menandinginya.”
Mpu Seta mengangkat gelasnya dan minum lagi air rebusan daun kopi beberapa tegukan. Kemudian dia lanjut berbicara. “Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan terbagi jadi sembilan tingkatan. Jika orang yang mendalaminya telah sampai di tingkatan yang ketujuh, maka batinnya akan mengalami gejolak syahwat dan amarah yang berkobar-kobar. Dia harus mampu menjalaninya dengan penuh kesabaran hingga menyelesaikan sampai tingkat kesembilan.”
Alis Jaka Purnama terangkat sebelah. Dia tak bisa membayangkan betapa sulitnya untuk dapat menguasai ajian tersebut. “Sungguh ilmu yang sangat berat sekali. Tentu tidak sembarangan orang dapat menguasainya”
“Iya, sebab ini memang bukanlah ilmu kanuragan biasa. Dibutuhkan kegigihan dan juga ketabahan untuk mendalaminya,“ kata Mpu Seta kepada Jaka Purnama. Orang tua itu lalu melanjutkan lagi penjelasannya, “Tujuan akhir dari ajian ini adalah untuk mencapai moksa, yaitu kesucian jiwa. Dengan mencapai kesucian jiwa, maka terbukalah jalan untuk kembali kepada Tuhan. Itulah sebenarnya inti ajian tersebut.”
Jagat Pramudita dan Jaka Purnama takjub mendengarkan penjelasan Mpu Seta. Mereka sangat menyayangkan kalau ajian tersebut kini telah disalahgunakan untuk perbuatan jahat, sangat bertentangan dengan tujuan utamanya yaitu untuk mensucikan jiwa.
“Argani Bhadrika hanya mampu menguasainya hingga tingkatan ketujuh,” kata Empu Seta. “Dia tidak mampu menahan gejolak nafsu sehingga akal dan hati nuraninya pun kalah. Apabila si penempuh ajian tersebut gagal pada tingkatan yang ketujuh, maka wajahnya akan berubah menjadi buruk rupa. Itu sebagai gambaran dari buruknya hati orang tersebut. Barangkali hal demikian sudah menimpa Arghani, itulah kenapa dia selalu menutupi wajahnya dengan topeng kayu.”
Jagat Pramudita lalu berucap, “Kalau satu orang Argani saja dengan ajian itu bisa menggemparkan dunia persilatan, bagaimana lagi jika seandainya gulungan lontar ini jatuh ke tangan para penjahat lain, tentu akan lebih banyak lagi bencana bermunculan.”
“Iya, tentu saja demikian,” angguk Jaka Purnama sependapat.
“Oleh sebab itulah aku memanggil kalian berdua datang kemari,” ujar Mpu Seta. “Ada tugas penting yang hendak aku berikan kepada kalian terkait dengan huru-hara yang sedang terjadi saat ini.”
Mpu Seta mengambil lagi gelasnya dan minum beberapa tegukan. Kemudian dia memandang kepada putranya. “Jagat Pramudita.”
“Iya, Ayah. Aku siap untuk menjalankan tugas apapun yang Ayah berikan padaku.” Jagat Pramudita menghaturkan hormat dengan menyatukan dua telapak tangan.
Mpu Seta pun memberinya sebuah amanah. “Aku tugaskan kamu untuk menyimpan dan menjaga gulungan lontar ini, Anakku. Jangan sampai jatuh ke tangan siapa pun.”
Dengan tegas putranya itu menjawab, “Aku bersumpah di hadapanmu, Ayah, bahwa aku akan menjaga benda ini walau harus nyawa yang jadi taruhan!”
“Bagus, Anakku. Memang begitulah seyogyanya sifat seorang satria.” Mpu Seta merasa bangga.
Orang tua itu kemudian menoleh kepada Jaka Purnama, dia juga akan memberinya sebuah tugas.
“Jaka Purnama, pergilah ke Lembah Cendana di kaki gunung Bhanurasmi. Carilah orang yang bernama Ki Nawasena, dia adalah kakak seperguruanku. Mintalah bimbingannya untuk meningkatkan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi. Sebab Tenaga Dalam Inti Indurashmi yang kuturunkan padamu masih belum sempurna. Hanya Ki Nawasena satu-satunya orang yang memahami ilmu itu melebihi aku. Jika ilmu tersebut berhasil kau sempurnakan, aku yakin dengannya akan dapat mengalahkan Argani Bhadrika.”
Jaka Purnama memberi hormat dengan menyatukan telapak tangan. “Baiklah, Guru, aku akan segera mencari tempat itu dan menemui orang yang Guru maksud.”
Tangan kanan Mpu Seta lalu menjangkau ke belakang, tampaknya dia sedang mengambil sesuatu. Ternyata dia mengeluarkan jubah sutera putih yang kerap dia kenakan sewaktu muda dulu.
“Jaka Purnama, ambillah jubah sutera putih ini,” ucap Empu Seta, seraya menyodorkan jubah itu ke anak muridnya tersebut. Jaka Purnama pun meraihnya dengan dua tangan.
Mpu Seta lau tersenyum menatap wajah Jaka Purnama. “Pakailah olehmu jubah itu, dengan demikian, Ki Nawasena akan percaya bahwa kau benar-benar adalah muridku yang aku utus.”
Jaka Purnama memperhatikan pada jubah sutera di tangannya itu. Dia merasa pakaian ini terlalu agung untuk dia kenakan, tapi ini adalah perintah gurunya, dan dia tahu kalau Mpu Seta paling tidak suka jika perintahnya tidak dipatuhi.
Mpu Seta sekarang duduk dengan lebih santai, dia menegakkan lututnya yang sebelah kiri dan memeluknya dengan kedua tangan. Sambil menatap ke langit-langit gua yang tersinari cahaya obor, dia mulai merenung.
“Seharusnya masalah ini aku sendirilah yang turun tangan menyelesaikannya. Namun aku sudah bersumpah untuk tidak lagi ikut campur di dunia persilatan yang penuh dengan pertumpahan darah dan memutuskan menjadi seorang petapa hingga akhir hayatku.”
“Sudahlah, Ayah, tidak ada yang perlu disesalkan,” ucap Jagat Pramudita menenangkan batin ayahnya. “Dunia persilatan memang sedari dulu selalu ricuh dengan permusuhan antar para pendekar, saling bunuh, dan bahkan menjadi tempat untuk beradu kesombongan. Sebagai seorang resi yang telah mencapai kewaskitaan, Ayah tidak patut lagi berbaur dalam dunia yang demikian.”
Mpu Seta menganggukkan dagu. Dia sadar bahwa apa yang dikatakan putranya itu memang benar.
Berkat perjuangan yang gigih dari para pasukan kerajaan dengan panah, golok, dan tombak mereka, akhirnya semua kala putih raksasa pun dapat juga dibinasakan.Namun, pertempuran itu merenggut banyak sekali nyawa para prajurit. Jumlah mereka yang semula ada seribu orang kini hanya tersisa tinggal dua ratus orang saja yang masih hidup.Senopati Taraka menghampiri Tubagus Dharmasuri. Dia melihat kalau Zirah Sisik Naga dapat melindungi tubuh si Patih Kerajaan itu dari hantaman tongkat Dewa Kalajengking. Tapi walau pun perisai itu sangat sakti, dia tetap harus membantu patih tersebut dalam menghadapi Dewa Kalajengking. “Kita tidak boleh memberinya kesempatan membaca mantra lagi. Lihatlah, sudah banyak sekali prajurit yang tewas! Jika kala putih raksasa yang seperti tadi muncul lagi lebih banyak, maka pertempuran ini akan jadi makin sulit,” jelas Tubagus Dharmasuri mengingatkan.“Aku mengerti, Gusti Patih. Kita harus mengepungnya habis-habisan dan jangan memberinya jeda walau sebentar,” uja
“Kenapa kalian dari tadi masih bengong? Apa sudah tak punya nyali lagi untuk bertarung?” tanya Dewa Kalajengking pada Tubagus Dharmasuri dan Senopati Taraka.Pertarungan mereka tadi sempat terhenti sejenak karena kedua kesaktria kerajaan itu terpana melihat duel yang berlangsung antara Nyai Jamanika dan Mpu Bhiantar.“Tentu saja kami tidak takut menghadapimu, Bajingan Jahat!” jawab Senopati Taraka bersuara lantang.Dewa Kalajengking yang kembali serius kemudian mengangkatnya tongkat tinggi-tinggi, dia memutar-mutarnya di atas kepala dengan dua belah tangan. Lalu setelah itu, dihentakkannyalah tongkat tersebut ke tanah sekuat tenaga. Tiba-tiba delapan ekor kala putih raksasa keluar lagi dari dalam bumi. Binatang-binatang mengerikan itu langsung bergerak cepat mengelilingi Tubagus Dharmasuri dan juga Senopati Taraka.Semua arah kini dikepung oleh kala putih yang mengelilingi mereka. Kedua kesatria kerajaan itu terkurung di tengah lingkaran. Binatang-binatang yang menjijikkan itu siap u
Bab 132Dendam kesumat menahun yang sudah sangat lama bersemayam dalam dada Nyai Jamanika malam itu menggelegar bak petir yang siap menghancurkan apa pun.Sebagai seorang penyihir dan sekaligus pendekar yang sangat menjunjung tinggi martabat dirinya, Nyai Jamanika tak pernah rela menerima kekalahan tempo hari itu, dia telah bersumpah pada dirinya sendiri akan terus mencari orang yang dia dendami walau hingga ke jurang neraka sekalipun.Kondisi Mpu Bhiantar kini menahan sakit pada luka bakar di sekujur badan. Sekarang bayangan tentang masa lampau kembali melintas di ingatannya, suatu hari dimana pertarungan antara dia dan Nyai Jamanika pernah terjadi untuk yang pertama kali. Saat itu Mpu Bhiantar muncul demi menolong adik seperguruannya, Nyai Maheswari.Nyai Maheswari memiliki sebuah kitab catatan racun yang diwariskan oleh gurunya terdahulu. Konon, dalam kitab itu menghimpun segala dasar pengetahuan mengenai ilmu racun. Jenis racun apa saja bi
Tubuh Senopati Taraka jatuh berdebuk. Hantaman tongkat tadi membuat dadanya nyeri sekali. Tongkat tersebut sekarang kembali ke tangan si pemiliknya. Sisa-sisa dari serpihan salju masih tampak menempel pada jubah hitam Dewa Kalajengking, dia pun menyapih-nyapihnya dengan tangan.Tubagus Dharmasuri segera membantu Senopati Taraka untuk bangkit.“Kau tidak apa-apa, Senopati?” tanya sang patih.“Aku baik-baik saja,” jawab Senopati Taraka. “Penyihir itu mampu melepaskan diri dari selimut salju yang aku ciptakan, bahkan perisai saljuku juga berhasil ditembus oleh tongkatnya.”“Dia memang lawan yang tangguh, namun beruntunglah kau tadi selamat dari kala putih yang hendak menyengatmu,” kata Tubagus Dharmasuri.Dewa Kalajengking membusungkan dada. Dengan suara yang lantang dia berucap, “Ayo maju, Kalian Berdua! Apa kalian takut menghadapiku? Aku ingin melihat kemampuan para punggawa dari Jayakastara yang katanya terkenal hebat. Apakah itu cuma omong kosong belaka?”“Ilmu sihirmu sangat menjiji
Bab 130Setelah menerima perintah dari Tubagus Dharmasuri, Giandra pun bergegas meninggalkan puncak Gunung Ratri untuk kembali ke istana, dia berharap dirinya tak akan terlambat melindungi Prabu Surya Buana dan keluarga kerajaan.Sementara itu, Tubagus Dharmasuri dan yang lain harus menghadapi dua penyihir jahat yang telah muncul di hadapan mereka. Walau pun secara jumlah kelompok mereka jauh lebih banyak, tapi yang menjadi lawan kali ini bukan dua penyihir sembarangan, mereka pemilik ilmu hitam paling berbahaya di jagat persilatan.“Lebih baik kita mulai saja permainannnya sekarang,” ujar Dewa Kalajengking. “Mari kita lihat, hai Patih Tua, yang mana lebih kuat dalam pertempuran ini, apakah para prajuritmu, atau pasukan kala putih peliharaanku.”Dewa Kelengking lalu merentangkan kedua tangannya dan mulai membaca mantra. Dengan suara berbisik, mulutnya berkomat-kamit, bahkan Nyai Jamanika yang tegak di sebelahnya pun tak bisa
Malam hari yang dingin di puncak Gunung Ratri. Aroma belerang dari dalam kawah tercium tajam hingga menusuk ke hidung. Saat itu Tubagus Dharmasuri bersama Giandra dan juga rombongan yang lain akhirnya berhasil sampai di tempat tujuan.Kira-kira sepuluh tombak di hadapan mereka, Gua Sarang Siluman tampak jelas sekali kelihatan tersinari oleh cahaya perak bulan purnama.“Itu dia tempatnya. Di sanalah dahulu makhluk yang bernama Iblis Hitam pernah bersemayam,” ujar Mpu Bhiantar kepada yang lain.Senopati Taraka mengamati mulut gua itu. Dia tak melihat ada sosok siapa pun di sana kecuali hanya kegelapan semata.“Aneh sekali. Apakah benar ini adalah markas besar Persaudaraan Iblis? Aku tak melihat ada pancaran cahaya obor yang menyala dari dalam sana.” kata Senopati Taraka.Tubagus Dharmasuri pun menoleh kepada para prajurit yang berkumpul di belakangnya. Dia mengingatkan, “Kalian harus siap-siap. Kita tidak tah