Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 2 : Melodi Rintihan Naga

Share

Bab 2 : Melodi Rintihan Naga

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2024-10-03 23:09:15

Pedang Penebas Setan di tangan Datuk Subrata kini basah dengan lumuran darah. Dari ujung lancipnya yang menghadap ke bawah bertetesan bekas darah Iblis Hitam yang berwarna merah pekat.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Datuk Subrata pada Datuk Ancala Raya.

Dengan nafas yang masih ngos-ngosan dia menjawab, “Aku baik-baik saja. Hampir tadi siluman itu membunuhku. Dia sangat kuat sekali.”

Nenek Kumari dan Datuk Gastiadi yang sudah bangun berjalan menghampiri Datuk Subrata dan Datuk Ancala Raya.

“Kita harus segera menggiring makhluk terkutuk ini masuk ke dalam sarangnya. Karena hanya di sarangnyalah dia akan bisa dibunuh,” kata Datuk Subrata mengingatkan kembali pada para sahabatnya.

Lengan kanan Iblis Hitam yang semula tadi sempat putus dan terguling di tanah, sekarang tiba-tiba tumbuh lagi di tempat yang sama. Dengan proses yang sangat cepat, lengan buntung itu kembali sempurna seperti sediakala.

Datuk Ancala Raya akhirnya mencabut Seruling Naga Emas yang terselip di pinggangnya. Dia mendekatkan lubang seruling itu kebibir dan mulai memainkan sebuah melodi.

Alunan bunyi seruling itu terdengar menggema hingga ke segala penjuru. Melodi yang dimainkan oleh Datuk Ancala Raya terdengar begitu lirih dan seakan menyayat-nyayat gendang telinga. Semua orang terpaksa menutup kuping saat seruling Naga Emas dimainkan.

Iblis Hitam menyumpali dua lubang kupingnya dengan jari telunjuk. Dia berteriak kesakitan. “Aaaa! Dasar keparat! Melodi apa ini!”

Seruling Naga Emas adalah senjata pusaka milik aliran silat Lenggo Geni. Hanya Datuk Ancala Raya satu-satunya orang yang pandai memainkan seruling tersebut. Irama seruling yang dimainkannya itu bernama Melodi Rintihan Naga.

Saat melodi sakral itu dimainkan, maka langit pun seketika menjadi gelap, awan-awan hitam berkumpul menghijab sinar matahari, deburan angin bertiup kencang dan bergemuruh, cahaya-cahaya kilat menari di angkasa, dan diikuti pula dentuman suara halilintar yang sambung menyambung. Melodi ini sungguh dapat mengubah suasana menjadi menakutkan!

Iblis Hitam akhirnya tidak kuasa lagi mendengar alunan melodi tersebut. Dia pun segera melarikan diri ke puncak gunung Ratri dan masuk ke dalam gua untuk berlindung.

Karena Iblis Hitam sudah masuk ke sarangnya, Datuk Ancala Raya pun berhenti meniup seruling.

“Dia sekarang bersembunyi di dalam. Ayo, inilah waktunya untuk membunuh siluman jahat itu!” kata Datuk Gastiadi.

Tanpa menunggu lama lagi, mereka berempat pun berlari menuju ke arah gua untuk mengejar si Iblis Hitam.

Gua Sarang Siluman terletak di bagian puncak tertinggi gunung Ratri. Jalan menuju gua yang menanjak ke atas, ditambah lagi banyak bebatuan besar di sekitarnya tidak menyulitkan para pendekar sepuh itu untuk mendaki. Sebab kaki-kaki mereka sudah terlatih menempuh medan yang sulit.

Para pendekar itu bergerak dengan sangat lincah. Mereka melompat di atas batu-batu besar seperti gerombolan harimau yang tengah berlomba mencapai puncak bukit.

Dari jarak yang sudah sangat dekat dengan pintu gua, terciumlah oleh mereka aroma yang menyengat hidung, yakni bau daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian.

Iblis Hitam masih merasakan sakit di kedua belah kupingnya. Sambil duduk di atas sebuah batu besar, dia sibuk mengorek-ngorek lubang kupingnya dengan jari telunjuk, berusaha menghilangkan sisa dengung yang membuatnya kurang nyaman.

Kepalanya juga masih sakit, dan penglihatan matanya jadi kabur, pengaruh kekuatan dari melodi Jeritan Naga benar-benar telah membuatnya pusing. Baru kali ini Iblis Hitam dibuat kabur oleh lawannya saat pertarungan. 

Keempat pendekar sepuh berlari masuk melewati pintu gua. Mereka semua lalu berdiri di hadapan Iblis Hitam. Sekarang dia dikepung dan tak mungkin lagi bisa kabur.

“Hari ini sudah tibanya saat kematianmu,” kata Datuk Subrata, seraya mencabut senjata pusaka Pedang Penebas Setan dari punggungnya.

Iblis Hitam sadar kalau dia tidak akan selamat, dia lupa kalau dia tidak boleh bertarung apabila sudah berada di dalam sarangnya, tampaknya para pendekar sepuh telah mengetahui hal itu. Tapi walau demikian, Iblis Hitam  juga tentu tidak mau langsung menyerah begitu saja tanpa harga diri.

Iblis Hitam berusaha melakukan perlawanan. Dia bergerak maju untuk menyerang lawan-lawannya. Nenek Kumari pun segera menghunuskan tongkatnya dengan kuat menghantam ke perut Iblis Hitam, membuatnya terdorong ke belakang hingga pinggangnya membentur ke batu besar tempat tadi dia duduk.

Datuk Gastiadi lalu mengeluarkan Tiga Mutiara Inti Samudera dari balik bajunya. Mulutnya pun berkomat-kamit melafalkan mantra dengan cepat, kemudian dia meniup ke batu-batu mutiara itu.

Seketika batu-batu mutiara di telapak tangan Datuk Gastiadi memancarkan cahaya kuning keemasan. Cahaya tersebut lalu berubah wujud menjadi sebuah rantai emas yang panjang.

Datuk Gastiadi mengayunkannya ke tubuh Iblis Hitam, rantai emas itu pun membelenggu tubuh Iblis Hitam yang besar dengan sangat kuat.

Akibat pengaruh dari rantai emas itu, seluruh kesaktian pada diri Iblis Hitam pun sirna. Datuk Subrata tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia segera berlari dan lalu melompat sambil menggenggam pedang di tangan kanannya.

Dengan sekali tebasan saja yang dilakukan oleh Datuk Subrata ke leher Iblis Hitam, arterinya pun langsung putus, darah merah muncrat membasahi wajah serta pakaian Datuk Subrata.

Batang leher Iblis Hitam terpenggal dari badannya. Kepalanya jatuh ke bawah dan terguling ke dekat perapian. Tubuh besar siluman jahat tersebut akhirnya tumbang. Dia mati dengan begitu mengenaskan.

Kini keempat pendekar sepuh menghela nafas panjang. Mereka merasa lega karena makhluk biadab itu akhirnya berhasil dibinasakan. Setelah ini tidak akan adalagi huru-hara yang melanda para penduduk di Desa Lubuk Cempaka. Semua orang akan bisa hidup tenang tanpa gangguan siluman jahat.

Baru beberapa saat setelah kematian Iblis Hitam, tiba-tiba suara siluman itu kembali terdengar menggema pada dinding-dinding gua.

“Kalian para pendekar keparat! Suatu hari nanti aku akan menuntut balas kepada kalian semua dan seluruh anak cucu keturunan kalian!”

Datuk Subrata dan para sahabatnya pun melihat ke langit-langit gua, bahkan mereka juga memperhatikan ke seluruh dinding gua. Suara itu menggema sangat nyaring dan jelas, namun tidak kelihatan wujud orangnya yang berbicara.

“Tubuhku memang sudah kalian bunuh, tapi sukmaku akan tetap abadi selama dunia ini belum hancur. Tunggulah lima puluh tahun kemudian, aku akan kembali menitis dan membalas dendam pada kalian semua!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 134 : Gunungan Es

    Berkat perjuangan yang gigih dari para pasukan kerajaan dengan panah, golok, dan tombak mereka, akhirnya semua kala putih raksasa pun dapat juga dibinasakan.Namun, pertempuran itu merenggut banyak sekali nyawa para prajurit. Jumlah mereka yang semula ada seribu orang kini hanya tersisa tinggal dua ratus orang saja yang masih hidup.Senopati Taraka menghampiri Tubagus Dharmasuri. Dia melihat kalau Zirah Sisik Naga dapat melindungi tubuh si Patih Kerajaan itu dari hantaman tongkat Dewa Kalajengking. Tapi walau pun perisai itu sangat sakti, dia tetap harus membantu patih tersebut dalam menghadapi Dewa Kalajengking. “Kita tidak boleh memberinya kesempatan membaca mantra lagi. Lihatlah, sudah banyak sekali prajurit yang tewas! Jika kala putih raksasa yang seperti tadi muncul lagi lebih banyak, maka pertempuran ini akan jadi makin sulit,” jelas Tubagus Dharmasuri mengingatkan.“Aku mengerti, Gusti Patih. Kita harus mengepungnya habis-habisan dan jangan memberinya jeda walau sebentar,” uja

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 133 : Pertarungan Yang Sengit

    “Kenapa kalian dari tadi masih bengong? Apa sudah tak punya nyali lagi untuk bertarung?” tanya Dewa Kalajengking pada Tubagus Dharmasuri dan Senopati Taraka.Pertarungan mereka tadi sempat terhenti sejenak karena kedua kesaktria kerajaan itu terpana melihat duel yang berlangsung antara Nyai Jamanika dan Mpu Bhiantar.“Tentu saja kami tidak takut menghadapimu, Bajingan Jahat!” jawab Senopati Taraka bersuara lantang.Dewa Kalajengking yang kembali serius kemudian mengangkatnya tongkat tinggi-tinggi, dia memutar-mutarnya di atas kepala dengan dua belah tangan. Lalu setelah itu, dihentakkannyalah tongkat tersebut ke tanah sekuat tenaga. Tiba-tiba delapan ekor kala putih raksasa keluar lagi dari dalam bumi. Binatang-binatang mengerikan itu langsung bergerak cepat mengelilingi Tubagus Dharmasuri dan juga Senopati Taraka.Semua arah kini dikepung oleh kala putih yang mengelilingi mereka. Kedua kesatria kerajaan itu terkurung di tengah lingkaran. Binatang-binatang yang menjijikkan itu siap u

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 132 : Jurus Ular Hijau Mematuk Gajah

    Bab 132Dendam kesumat menahun yang sudah sangat lama bersemayam dalam dada Nyai Jamanika malam itu menggelegar bak petir yang siap menghancurkan apa pun.Sebagai seorang penyihir dan sekaligus pendekar yang sangat menjunjung tinggi martabat dirinya, Nyai Jamanika tak pernah rela menerima kekalahan tempo hari itu, dia telah bersumpah pada dirinya sendiri akan terus mencari orang yang dia dendami walau hingga ke jurang neraka sekalipun.Kondisi Mpu Bhiantar kini menahan sakit pada luka bakar di sekujur badan. Sekarang bayangan tentang masa lampau kembali melintas di ingatannya, suatu hari dimana pertarungan antara dia dan Nyai Jamanika pernah terjadi untuk yang pertama kali. Saat itu Mpu Bhiantar muncul demi menolong adik seperguruannya, Nyai Maheswari.Nyai Maheswari memiliki sebuah kitab catatan racun yang diwariskan oleh gurunya terdahulu. Konon, dalam kitab itu menghimpun segala dasar pengetahuan mengenai ilmu racun. Jenis racun apa saja bi

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 131 : Senjata Cakram Besi

    Tubuh Senopati Taraka jatuh berdebuk. Hantaman tongkat tadi membuat dadanya nyeri sekali. Tongkat tersebut sekarang kembali ke tangan si pemiliknya. Sisa-sisa dari serpihan salju masih tampak menempel pada jubah hitam Dewa Kalajengking, dia pun menyapih-nyapihnya dengan tangan.Tubagus Dharmasuri segera membantu Senopati Taraka untuk bangkit.“Kau tidak apa-apa, Senopati?” tanya sang patih.“Aku baik-baik saja,” jawab Senopati Taraka. “Penyihir itu mampu melepaskan diri dari selimut salju yang aku ciptakan, bahkan perisai saljuku juga berhasil ditembus oleh tongkatnya.”“Dia memang lawan yang tangguh, namun beruntunglah kau tadi selamat dari kala putih yang hendak menyengatmu,” kata Tubagus Dharmasuri.Dewa Kalajengking membusungkan dada. Dengan suara yang lantang dia berucap, “Ayo maju, Kalian Berdua! Apa kalian takut menghadapiku? Aku ingin melihat kemampuan para punggawa dari Jayakastara yang katanya terkenal hebat. Apakah itu cuma omong kosong belaka?”“Ilmu sihirmu sangat menjiji

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 130 : Jurus Angin Salju Mendebur Gunung

    Bab 130Setelah menerima perintah dari Tubagus Dharmasuri, Giandra pun bergegas meninggalkan puncak Gunung Ratri untuk kembali ke istana, dia berharap dirinya tak akan terlambat melindungi Prabu Surya Buana dan keluarga kerajaan.Sementara itu, Tubagus Dharmasuri dan yang lain harus menghadapi dua penyihir jahat yang telah muncul di hadapan mereka. Walau pun secara jumlah kelompok mereka jauh lebih banyak, tapi yang menjadi lawan kali ini bukan dua penyihir sembarangan, mereka pemilik ilmu hitam paling berbahaya di jagat persilatan.“Lebih baik kita mulai saja permainannnya sekarang,” ujar Dewa Kalajengking. “Mari kita lihat, hai Patih Tua, yang mana lebih kuat dalam pertempuran ini, apakah para prajuritmu, atau pasukan kala putih peliharaanku.”Dewa Kelengking lalu merentangkan kedua tangannya dan mulai membaca mantra. Dengan suara berbisik, mulutnya berkomat-kamit, bahkan Nyai Jamanika yang tegak di sebelahnya pun tak bisa

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 129 : Penyerangan di Depan Gua Sarang Siluman

    Malam hari yang dingin di puncak Gunung Ratri. Aroma belerang dari dalam kawah tercium tajam hingga menusuk ke hidung. Saat itu Tubagus Dharmasuri bersama Giandra dan juga rombongan yang lain akhirnya berhasil sampai di tempat tujuan.Kira-kira sepuluh tombak di hadapan mereka, Gua Sarang Siluman tampak jelas sekali kelihatan tersinari oleh cahaya perak bulan purnama.“Itu dia tempatnya. Di sanalah dahulu makhluk yang bernama Iblis Hitam pernah bersemayam,” ujar Mpu Bhiantar kepada yang lain.Senopati Taraka mengamati mulut gua itu. Dia tak melihat ada sosok siapa pun di sana kecuali hanya kegelapan semata.“Aneh sekali. Apakah benar ini adalah markas besar Persaudaraan Iblis? Aku tak melihat ada pancaran cahaya obor yang menyala dari dalam sana.” kata Senopati Taraka.Tubagus Dharmasuri pun menoleh kepada para prajurit yang berkumpul di belakangnya. Dia mengingatkan, “Kalian harus siap-siap. Kita tidak tah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status