Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 6 : Amukan Pedang Penebas Setan

Share

Bab 6 : Amukan Pedang Penebas Setan

Author: Adil Perwira
last update Huling Na-update: 2024-10-23 10:22:25

Jaka Purnama menyapukan pandangannya ke sekeliling, sekarang tersisa enam orang lagi yang belum maju. Mereka masih mencari-cari kesempatan untuk menyerang.

“Kurang ajar, ternyata kemampuanmu boleh juga, Pendekar!” teriak Aryajanggala kagum, tapi juga merasa kesal.

Dua orang musuh tiba-tiba bergerak secara bersamaan dari arah kiri dan kanan. Mereka menghunuskan golok ke depan!

Jaka Purna segera mengelak dengan melakukan teknik kayang sampai ujung jarinya menyentuh tanah. Dua golok yang tersorong dari arah berlawanan itu hanya melintas di atas dadanya, bahkan malah membuat kedua penjahat itu jadi saling bertikaman satu sama lain.

Dari posisi kayang, Jaka Purnama bangkit dan kembali berdiri. Dia melepas caping yang menutupi kepala dua orang lelaki itu. Lalu Jaka Purnama pun memegang kepala keduanya dan membenturkan jidat mereka satu sama lain.

“Bummm!”

Perbenturan itu membuat jidat keduanya jadi benjol dan mengakibatkan keduanya pusing. Untuk sesaat mereka terhuyung-huyung dan lalu akhirnya tumbang.

Sementara itu di dalam rumah, Anindhita juga sedang bertarung di ruangan tengah menghadapi para perampok. Dia cukup kelelahan sampai leher dan wajahnya basah oleh berkeringat.

Pakainnya yang semula berwarna ungu polos kini jadi berbelang dengan bercak-bercak merah. Itu sebab karena terkena cipratan darah dari beberapa penjahat yang berhasil dia bunuh.

Pedang Penebas Setan ternyata memang hebat. Dengan senjata itu Anindhita mampu mematahkan golok setiap lawannya dan menebas leher-leher mereka hingga penggal.

Lantai rumah yang semula bersih beralaskan tikar pandan kini penuh simbahan darah, badan dan juga kepala-kepala yang putus tampak bergelimpangan.

Sekarang tersisa satu penjahat lagi yang berdiri menggenggam golok. Anindhita bersiap untuk menantikan serangan. Namun alih-alih berani maju menyerang, si penjahat yang tinggal sendirian itu malah tangannya gemetaran.

Penjahat itu perlahan mundur karena takut, tapi sorot matanya tetap memandang Anindhita dengan sikap penuh waspada. Kulit mukanya tampak pucat, karena dia sudah tahu betapa mengerikan senjata yang ada di tangan Anindhita itu.

Anindhita mengacungkan ujung pedangnya lurus. Seolah memberi isyarat kepada si penjahat yang tinggal satu orang itu supaya pergi dari sini kalau tidak mau mati.

Selangkah demi selangkah Anindhita bergerak maju, dia terus memaksa mundur penjahat tersebut hingga sampai meninggalkan ruangan tengah.

Kedua belah kaki si penjahat gemetar karena pedang Anindhita terus mengacung ke depan mukanya, namun saat dia telah berdiri dekat dengan pintu, tiba-tiba enam orang perampok yang lain muncul lagi dan masuk ke dalam rumah. Mereka semua juga membawa golok. Sekarang ada tujuh orang lelaki bersenjata yang tegak di hadapan Anindhita.

Mau tidak mau, Anindhita harus bertarung lagi melawan ketujuh penjahat itu. Dia harus berjuang demi mempertahankan harta bendanya, keselamatan dirinya, dan lebih lagi keselamatan anak bayinya.

Dari dalam kamar tiba-tiba terdengarlah suara tangisan si bayi dalam ayunan. Anak itu menangis memanggil ibunya.

Sambil tangan kanannya tetap mengacungkan pedang ke arah musuh, Anindhita menoleh ke belakang. Dia tidak mungkin mendatangi bayinya yang saat ini membutuhkannya, sebab para penjahat bengis ini harus dibereskan terlebih dahulu, barulah setelahnya Anindhita bisa kembali ke dalam kamar.

Tiba-tiba kemudian ada lagi lima orang perampok masuk ke dalam rumah itu. Sekarang genaplah jumlah mereka menjadi dua belas orang. Mereka semua berkumpul di hadapan Anindhita dengan masing-masing menggenggam golok.

Akhirnya tanpa pikir panjang lagi, Anindhita memulai serangan duluan, dia pun berlari ke depan dan mengayunkan pedangnya dengan sangat brutal!

Bunyi benturan antara pedang Anindhita dengan golok-golok para penjahat terdengar berdengung sambung menyambung. Anindhita tidak lagi banyak berpikir, tanpa harus memilah sasaran, Pedang Penebas Setan terus saja menyerang apa pun yang ada di dekatnya, entah itu batang leher lawan, lengan, betis, dan termasuk perut atau bahkan selangkangan, semuanya dibabat habis oleh pedang pusaka itu yang sudah mengamuk sejadi-jadinya!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 128 : Dendam Yang Akhirnya Tunai

    “Tampaknya kau sangat dendam sekali padaku, hey Anak Muda,” kata Jimbaang Loreng. Dia bisa merasakan bara api kemarahan dalam dada Patrioda. Hal itu terlihat dari sorot mata Patrioda yang menatapnya tak berkedip.“Sebelum syafak merah lenyap di Barat, kau akan lebih dulu kukirim ke nereka,” kata si murid Datuk Ancala Raya itu. Walau badannya telah beberapa kali kena cakaran, tapi dia tetap kuat bertahan.Jimbalang Loreng menggerakkan misainya yang kiri. Pendekar harimau itu menunjuk ke arah Patrioda.“Sombong sekali kau, Anak Bau Curut. Justru dirimulah yang akan kukirim menyusul gurumu yang sudah berkalang tanah.”Patrioda tak mau lagi banyak bicara, tanpa perlu menjawab Jimbalang Loreng, dia pun lalu memasang kuda-kuda tengah, kemudian melakukan gerakan silat.Nya api tiba-tiba muncul berbentuk seekor naga, berkelok-kelok mengelilingi tubuh Patrioda mulai dari ujung kaki hingga sampai ke puncak kepala.Jimbalang Loreng pun juga bersiap-siap. Dia harus lebih waspada lagi sekarang, ka

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 127 : Kulit Yang Sudah Mati Rasa

    Syafak merah masih bersinar di sebelah Barat. Pertarungan di lereng Gunung Ratri kini telah memasuki permulaan malam. Satu persatu bintang mulai menduduki langit. Cahaya perak bulan purnama menerangi kegelapan dalam hutan.Bagai hantu dengan rambut yang putih terurai, Nyai Jamanika berjalan menghampiri ketiga lawannya. Senopati Wibisana dan yang lain pun tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi si ahli sihir ini.“Dari tadi aku tak jua melihat si Bhiantar yang keparat itu muncul. Aku sudah bosan bermain dengan para cecunguk seperti kalian!” ujar Nyai Jamanika.Senopati Wibisana menjawab, “Mpu Bhiantar memang tidak ikut bersama kami. Kenapa kau ingin mencarinya?”“Bukan urusanmu harus ikut tahu,” tukas Nyai Jamanika. “Katakan saja dimana dia sekarang, karena aku lebih menginginkan nyawanya daripada nyawa para cecunguk seperti kalian.”Senopati Wibisana pun diam sebentar. Dia sebetulnya tidak ingin memb

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 126 : Bukan Lagi Disebut Manusia

    Kecamuk perang masih berlanjut hingga matahari lenyap di kaki cakrawala. Walaupun Panglima Sanca selaku pimpinan Nogo Ireng telah tewas, tapi musuh berikutnya yang sekarang lebih sulit dihadapi adalah Nyai Jamanika. Nenek Peot ini begitu tangguh dan tidak bisa dipojokkan.Senopati Wibisana bersama dengan Alindra dan Patrioda mengeroyok perempuan tua ini. Walau digempur dari berbagai arah, dia tetap bisa mengatasi setiap serangan. Malah Senopati Wibisana dan para pendekar yang kemudian beberapa kali terpental akibat pukulan tongkat darinya.‘Heh, jadi cuma segitu kemampuan kalian? Ternyata para pejuang kerajaan hanyalah kesatria-kesatria bau kencur!”Kekuatan mereka bertiga tampaknya tak sebanding untuk melawan Nyai Jamanika. Bagaimana bisa, dia adalah pendekar sepuh yang sudah sangat senior dalam bertarung dan penguasaan ilmu kanuragan.Melihat anggotanya yang mulai kewalahan menghadapi si nenek peot, Damayanti yang sudah berhasil membunuh Panglima Sanca pun ikut bergabung untuk memba

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 125 : Kematian Panglima Sanca

    Keadaan menjadi semakin genting. Para pendekar dan prajurit tidak mungkin hanya terus bertahan dengan menangkis setiap anak panah yang melanda dari balik kabut. Harus ada jalan untuk menghentikan ini.Sementara yang lain sibuk digempur oleh panah habis-habisan, Damayanti yang kesakitan di bawah berjuang untuk kembali bangkit. Serangan dari Jimbalang Loreng tadi masih menyisakan nyeri di dadanya.Karena kabut hitam ini terlalu tebal, Senopati Wibisana akhirnya paham kalau sihir ini sebenarnya tercipta dari kekuatan tenaga dalam. Jika ada tenaga dalam yang lebih kuat mampu melawannya, barangkali kabut ini akan musnah.“Kita harus menyatukan kekuatan kita untuk menghancurkan kabut sihir ini,” kata Senopati Wibisana pada yang lain.“Aku setuju,” jawab Alindra. “Kita tidak mungkin hanya tetap begini menerima gempuran dari mereka.”“Terserahlah dengan cara apa saja, yang penting kabut hitam ini segera lenyap,” ujar Patrioda. Dia pun tampaknya sudah jengkel juga sekarang.Senopati Wibisana l

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 124 : Gempuran Anak Panah

    Hari sudah berganti senja. Warna langit yang tadinya terang kini telah kelabu. Para pendekar dan Prajurit kerajaan masih terus menyusuri lereng Gunung Ratri. Dengan tetap waspada akan kehadiran musuh, rombongan itu berhati-hati dan memperhatikan ke sekeliling hutan.Di tengah belantara yang luas ini, dimana pohon-pohon besar yang berdaun lebat memenuhi di sekitar mereka, sangat menguntungkan bagi pasukan musuh yang suka bersembunyi, jika sedikit saja mereka lengah, maka serangan bisa datang dengan tiba-tiba.Senopati Wibisana tetap berdiri di barisan paling depan. Sebagai ketua rombongan, dialah yang paling berusaha waspada dari yang lain. Dari tadi bola matanya terus saja menyapu ke segala penjuru.“Damayanti, aku tahu di antara kita semua kaulah yang instingnya paling tajam. Apa kau merasakan sesuatu?” tanya Senopati Wibisana.Damayanti yang berjalan di belakangnya dari tadi juga berusaha merasakan kehadiran lawan. Tapi sampai sekarang, naluri pendekarnya tak menangkap energi apa pu

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 123 : Posisi Terciduk

    Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 122 : Kenangan Tak Terlupakan

    Di tempat yang berjarak cukup jauh dari lokasi para pendekar dan prajurit kerajaan, Persaudaraan Iblis saat itu juga sedang menyusun rencana, mereka membicarakan tentang strategi untuk menyambut kedatangan lawan.Seorang anggota baru telah muncul dan ikut bergabung. Dia adalah Prabaswara, lelaki kepercayaan Panglima Sanca yang biasa menggantikannya dalam mengetuai Gerombolan Nogo Ireng.Dahulu sewaktu Giandra menyerang ke Gunung Payoda sendirian, pernah terjadi pertarungan antara dia dengan lelaki ini. Prabaswara dibuat sekarat oleh Giandra dan bahkan hampir mati. Peristiwa tersebut pun jadi kenangan yang tak akan dilupakan oleh Prabaswara.Hari ini dendam lama itu berkobar, Prabaswara masih ingat wajah Giandra, sosok pendekar yang pernah membuatnya jatuh dari atap rumah hingga muntah darah di lantai.“Apa kau ingin menuntut balas pada pemuda yang tempo hari mengalahkanmu itu?” tanya Panglima Sanca. Dia tahu kalau ada kebencian yang masih terpendam di hati Prabaswara.“Aku sangat ingi

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 121 : Rasa Perhatian Yang Spesial

    Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 120 : Kobaran Api Biru

    Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status