Jaka Purnama menyapukan pandangannya ke sekeliling, sekarang tersisa enam orang lagi yang belum maju. Mereka masih mencari-cari kesempatan untuk menyerang.
“Kurang ajar, ternyata kemampuanmu boleh juga, Pendekar!” teriak Aryajanggala kagum, tapi juga merasa kesal.
Dua orang musuh tiba-tiba bergerak secara bersamaan dari arah kiri dan kanan. Mereka menghunuskan golok ke depan!
Jaka Purna segera mengelak dengan melakukan teknik kayang sampai ujung jarinya menyentuh tanah. Dua golok yang tersorong dari arah berlawanan itu hanya melintas di atas dadanya, bahkan malah membuat kedua penjahat itu jadi saling bertikaman satu sama lain.
Dari posisi kayang, Jaka Purnama bangkit dan kembali berdiri. Dia melepas caping yang menutupi kepala dua orang lelaki itu. Lalu Jaka Purnama pun memegang kepala keduanya dan membenturkan jidat mereka satu sama lain.
“Bummm!”
Perbenturan itu membuat jidat keduanya jadi benjol dan mengakibatkan keduanya pusing. Untuk sesaat mereka terhuyung-huyung dan lalu akhirnya tumbang.
Sementara itu di dalam rumah, Anindhita juga sedang bertarung di ruangan tengah menghadapi para perampok. Dia cukup kelelahan sampai leher dan wajahnya basah oleh berkeringat.
Pakainnya yang semula berwarna ungu polos kini jadi berbelang dengan bercak-bercak merah. Itu sebab karena terkena cipratan darah dari beberapa penjahat yang berhasil dia bunuh.
Pedang Penebas Setan ternyata memang hebat. Dengan senjata itu Anindhita mampu mematahkan golok setiap lawannya dan menebas leher-leher mereka hingga penggal.
Lantai rumah yang semula bersih beralaskan tikar pandan kini penuh simbahan darah, badan dan juga kepala-kepala yang putus tampak bergelimpangan.
Sekarang tersisa satu penjahat lagi yang berdiri menggenggam golok. Anindhita bersiap untuk menantikan serangan. Namun alih-alih berani maju menyerang, si penjahat yang tinggal sendirian itu malah tangannya gemetaran.
Penjahat itu perlahan mundur karena takut, tapi sorot matanya tetap memandang Anindhita dengan sikap penuh waspada. Kulit mukanya tampak pucat, karena dia sudah tahu betapa mengerikan senjata yang ada di tangan Anindhita itu.
Anindhita mengacungkan ujung pedangnya lurus. Seolah memberi isyarat kepada si penjahat yang tinggal satu orang itu supaya pergi dari sini kalau tidak mau mati.
Selangkah demi selangkah Anindhita bergerak maju, dia terus memaksa mundur penjahat tersebut hingga sampai meninggalkan ruangan tengah.
Kedua belah kaki si penjahat gemetar karena pedang Anindhita terus mengacung ke depan mukanya, namun saat dia telah berdiri dekat dengan pintu, tiba-tiba enam orang perampok yang lain muncul lagi dan masuk ke dalam rumah. Mereka semua juga membawa golok. Sekarang ada tujuh orang lelaki bersenjata yang tegak di hadapan Anindhita.
Mau tidak mau, Anindhita harus bertarung lagi melawan ketujuh penjahat itu. Dia harus berjuang demi mempertahankan harta bendanya, keselamatan dirinya, dan lebih lagi keselamatan anak bayinya.
Dari dalam kamar tiba-tiba terdengarlah suara tangisan si bayi dalam ayunan. Anak itu menangis memanggil ibunya.
Sambil tangan kanannya tetap mengacungkan pedang ke arah musuh, Anindhita menoleh ke belakang. Dia tidak mungkin mendatangi bayinya yang saat ini membutuhkannya, sebab para penjahat bengis ini harus dibereskan terlebih dahulu, barulah setelahnya Anindhita bisa kembali ke dalam kamar.
Tiba-tiba kemudian ada lagi lima orang perampok masuk ke dalam rumah itu. Sekarang genaplah jumlah mereka menjadi dua belas orang. Mereka semua berkumpul di hadapan Anindhita dengan masing-masing menggenggam golok.
Akhirnya tanpa pikir panjang lagi, Anindhita memulai serangan duluan, dia pun berlari ke depan dan mengayunkan pedangnya dengan sangat brutal!
Bunyi benturan antara pedang Anindhita dengan golok-golok para penjahat terdengar berdengung sambung menyambung. Anindhita tidak lagi banyak berpikir, tanpa harus memilah sasaran, Pedang Penebas Setan terus saja menyerang apa pun yang ada di dekatnya, entah itu batang leher lawan, lengan, betis, dan termasuk perut atau bahkan selangkangan, semuanya dibabat habis oleh pedang pusaka itu yang sudah mengamuk sejadi-jadinya!
Berkat perjuangan yang gigih dari para pasukan kerajaan dengan panah, golok, dan tombak mereka, akhirnya semua kala putih raksasa pun dapat juga dibinasakan.Namun, pertempuran itu merenggut banyak sekali nyawa para prajurit. Jumlah mereka yang semula ada seribu orang kini hanya tersisa tinggal dua ratus orang saja yang masih hidup.Senopati Taraka menghampiri Tubagus Dharmasuri. Dia melihat kalau Zirah Sisik Naga dapat melindungi tubuh si Patih Kerajaan itu dari hantaman tongkat Dewa Kalajengking. Tapi walau pun perisai itu sangat sakti, dia tetap harus membantu patih tersebut dalam menghadapi Dewa Kalajengking. “Kita tidak boleh memberinya kesempatan membaca mantra lagi. Lihatlah, sudah banyak sekali prajurit yang tewas! Jika kala putih raksasa yang seperti tadi muncul lagi lebih banyak, maka pertempuran ini akan jadi makin sulit,” jelas Tubagus Dharmasuri mengingatkan.“Aku mengerti, Gusti Patih. Kita harus mengepungnya habis-habisan dan jangan memberinya jeda walau sebentar,” uja
“Kenapa kalian dari tadi masih bengong? Apa sudah tak punya nyali lagi untuk bertarung?” tanya Dewa Kalajengking pada Tubagus Dharmasuri dan Senopati Taraka.Pertarungan mereka tadi sempat terhenti sejenak karena kedua kesaktria kerajaan itu terpana melihat duel yang berlangsung antara Nyai Jamanika dan Mpu Bhiantar.“Tentu saja kami tidak takut menghadapimu, Bajingan Jahat!” jawab Senopati Taraka bersuara lantang.Dewa Kalajengking yang kembali serius kemudian mengangkatnya tongkat tinggi-tinggi, dia memutar-mutarnya di atas kepala dengan dua belah tangan. Lalu setelah itu, dihentakkannyalah tongkat tersebut ke tanah sekuat tenaga. Tiba-tiba delapan ekor kala putih raksasa keluar lagi dari dalam bumi. Binatang-binatang mengerikan itu langsung bergerak cepat mengelilingi Tubagus Dharmasuri dan juga Senopati Taraka.Semua arah kini dikepung oleh kala putih yang mengelilingi mereka. Kedua kesatria kerajaan itu terkurung di tengah lingkaran. Binatang-binatang yang menjijikkan itu siap u
Bab 132Dendam kesumat menahun yang sudah sangat lama bersemayam dalam dada Nyai Jamanika malam itu menggelegar bak petir yang siap menghancurkan apa pun.Sebagai seorang penyihir dan sekaligus pendekar yang sangat menjunjung tinggi martabat dirinya, Nyai Jamanika tak pernah rela menerima kekalahan tempo hari itu, dia telah bersumpah pada dirinya sendiri akan terus mencari orang yang dia dendami walau hingga ke jurang neraka sekalipun.Kondisi Mpu Bhiantar kini menahan sakit pada luka bakar di sekujur badan. Sekarang bayangan tentang masa lampau kembali melintas di ingatannya, suatu hari dimana pertarungan antara dia dan Nyai Jamanika pernah terjadi untuk yang pertama kali. Saat itu Mpu Bhiantar muncul demi menolong adik seperguruannya, Nyai Maheswari.Nyai Maheswari memiliki sebuah kitab catatan racun yang diwariskan oleh gurunya terdahulu. Konon, dalam kitab itu menghimpun segala dasar pengetahuan mengenai ilmu racun. Jenis racun apa saja bi
Tubuh Senopati Taraka jatuh berdebuk. Hantaman tongkat tadi membuat dadanya nyeri sekali. Tongkat tersebut sekarang kembali ke tangan si pemiliknya. Sisa-sisa dari serpihan salju masih tampak menempel pada jubah hitam Dewa Kalajengking, dia pun menyapih-nyapihnya dengan tangan.Tubagus Dharmasuri segera membantu Senopati Taraka untuk bangkit.“Kau tidak apa-apa, Senopati?” tanya sang patih.“Aku baik-baik saja,” jawab Senopati Taraka. “Penyihir itu mampu melepaskan diri dari selimut salju yang aku ciptakan, bahkan perisai saljuku juga berhasil ditembus oleh tongkatnya.”“Dia memang lawan yang tangguh, namun beruntunglah kau tadi selamat dari kala putih yang hendak menyengatmu,” kata Tubagus Dharmasuri.Dewa Kalajengking membusungkan dada. Dengan suara yang lantang dia berucap, “Ayo maju, Kalian Berdua! Apa kalian takut menghadapiku? Aku ingin melihat kemampuan para punggawa dari Jayakastara yang katanya terkenal hebat. Apakah itu cuma omong kosong belaka?”“Ilmu sihirmu sangat menjiji
Bab 130Setelah menerima perintah dari Tubagus Dharmasuri, Giandra pun bergegas meninggalkan puncak Gunung Ratri untuk kembali ke istana, dia berharap dirinya tak akan terlambat melindungi Prabu Surya Buana dan keluarga kerajaan.Sementara itu, Tubagus Dharmasuri dan yang lain harus menghadapi dua penyihir jahat yang telah muncul di hadapan mereka. Walau pun secara jumlah kelompok mereka jauh lebih banyak, tapi yang menjadi lawan kali ini bukan dua penyihir sembarangan, mereka pemilik ilmu hitam paling berbahaya di jagat persilatan.“Lebih baik kita mulai saja permainannnya sekarang,” ujar Dewa Kalajengking. “Mari kita lihat, hai Patih Tua, yang mana lebih kuat dalam pertempuran ini, apakah para prajuritmu, atau pasukan kala putih peliharaanku.”Dewa Kelengking lalu merentangkan kedua tangannya dan mulai membaca mantra. Dengan suara berbisik, mulutnya berkomat-kamit, bahkan Nyai Jamanika yang tegak di sebelahnya pun tak bisa
Malam hari yang dingin di puncak Gunung Ratri. Aroma belerang dari dalam kawah tercium tajam hingga menusuk ke hidung. Saat itu Tubagus Dharmasuri bersama Giandra dan juga rombongan yang lain akhirnya berhasil sampai di tempat tujuan.Kira-kira sepuluh tombak di hadapan mereka, Gua Sarang Siluman tampak jelas sekali kelihatan tersinari oleh cahaya perak bulan purnama.“Itu dia tempatnya. Di sanalah dahulu makhluk yang bernama Iblis Hitam pernah bersemayam,” ujar Mpu Bhiantar kepada yang lain.Senopati Taraka mengamati mulut gua itu. Dia tak melihat ada sosok siapa pun di sana kecuali hanya kegelapan semata.“Aneh sekali. Apakah benar ini adalah markas besar Persaudaraan Iblis? Aku tak melihat ada pancaran cahaya obor yang menyala dari dalam sana.” kata Senopati Taraka.Tubagus Dharmasuri pun menoleh kepada para prajurit yang berkumpul di belakangnya. Dia mengingatkan, “Kalian harus siap-siap. Kita tidak tah