Jaka Purnama masih menghadapi musuh yang tinggal tersisa empat orang. Aryajanggala dari tadi belum juga maju, dia masih diam dan mengawasi, coba memperhatikan seberapa hebat Jaka Purnama bertarung.
Keempat musuh itu kembali berkeliling mengepung Jaka Purnama. Mereka memainkan golok dengan gaya bersilat-silat untuk memecah konsentrasinya.
Jaka Purnama memandangi lawannya itu satu persatu. Dia tetap waspada dan berusaha agar tidak lengah.
“Kali ini kau akan mampus, Pendekar!” ujar Aryajanggala “Cepat serang dan cabik-cabik dia!”
Mereka pun menyerang dari empat penjuru secara bersamaan. Jaka Purnama menyilangkan dua kepalan tangannya di depan dada. Cahaya putih pun tiba-tiba terpancar dari tubuh Jaka Purnama dan melingkupi dirinya
“Hiyaaaaa!” Jaka Purnama berteriak keras sambil merentangkan kedua belah tangan.
Cahaya putih itu seketika melebar dan memukul semua musuh yang maju. Bak daun melayang dihembus angin kencang, keempat penjahat itu terpantal jauh dan jatuh terguling.
Aryajanggala juga ikut terkena jangkauan cahaya tersebut. Namun tubuhnya hanya terdorong beberapa langkah ke belakang. Dia masih kuat berdiri dalam posisi kuda-kuda, sebab dia menahannya dengan mengaktifkan tenaga dalam pelindung.
Semua musuh yang jatuh terguling itu memuntahkan darah dari mulut mereka. Hanya dalam waktu beberapa saat mereka pun meregang nyawa dan tewas.
Sekarang yang tersisa hanya tinggal Aryajanggala sendirian.
“Rupanya kau memiliki tenaga dalam yang hebat. Tidak kusangka kalau kamampuanmu melebihi yang kubayangkan,” kata Aryajanggala.
Jaga Purnama memasang kuda-kuda dengan gaya menyamping. Dia menatap ke Aryajanggala dan berkata, “Sekarang giliranmu, Taring Beruang! Akan kuhabisi kau karena sudah berani membuat kegaduhan di desaku!”
“Heh, sombong sekali kau, Pendekar! Kau belum tahu kehebatanku!” sergah Aryajanggala. “Terimalah jurus Lentingan Ekor Buaya Putih dariku! Hiyaaa!”
Aryajanggala bergerak maju bagaikan macan hendak menerkam mangsa. Dia lalu melompat dan tubuhnya berputar di udara. Ayunan tendangan yang deras pun dilancarkan olehnya dengan kaki kanan. Dia hendak mengincar kepala Jaka Purnama.
Jaka Purnama kembali menyilangkan kedua tangan di depan dada, cahaya pun putih lagi-lagi muncul dan melingkupi tubuhnya. Cahaya itu seketika bergerak melebar dan menghatam Aryajanggala, membuatnya terpelanting ke belakang dan terhempas di atas pasir.
Sementara itu di pusat desa, Jagat Pramudhita dan para pemuda telah berhasil memukul mundur pasukan perampok. Mayat-mayat anggota Kelabang Merah bergelimpangan di tanah akibat kena jarum beracun.
Diantara mereka adapula yang leher-lehernya putus terkena tebasan dari pedang Jagat Pramudhita. Genangan darah yang berbau anyir membasahi jalanan desa malam itu.
Diantara para pemuda ada sekitar dua puluhan orang yang gugur. Tapi walau demikian, kini musuh telah berhasil dibuat ketakutan dan lari kocar-kacir. Perjuangan mereka tidak sia-sia untuk mempertahankan Desa Tanjung Bambu.
Tiba-tiba seorang lelaki tua berkumis tebal dengan kain batik coklat yang terikat di kepala berjalan menghampiri Jagat Pramudhita. Dia menepuknya dari belakang. Karena kaget, Jagat Pramudita pun membalik badan.
“Oh, Paman Waluyo rupanya, aku kira tadi siapa.,” ujar Jagat Pramudhita. Dia lalu menjura hormat pada lelaki tua itu. “Maaf kalau aku datang terlambat, Paman.”
“Tidak apa-apa, Nak. Baguslah sekarang kamu ada bersama kami. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika tadi kamu tidak muncul.” Lelaki tua itu kemudian memperhatikan ke sekelilingnya. “Dimana Jaka Purnama? Apa dia baik-baik saja?”
“Jaka sedang menghadang sisa gerombolan perampok di tepi pantai, Paman,” jawab Jagat Pramudita. “Mungkin saat ini dia tengah bertarung melawan si Taring Beruang, pemimpinan para penjahat yang menyerang desa kita.”
“Kalau begitu, ayo kita susul kesana sekarang!” ujar si lelaki tua itu. Dia lalu memanggil beberapa orang pemuda yang berada di tempat tersebut, “Gatot, Tejo, dan Kusuma, kalian pandulah orang-orang yang terluka untuk ke pendopo di samping rumahku. Di sana istri dan anak perempuanku akan membantu mengobati mereka.”
Tiga pemuda itu pun mengangguk paham. Mereka segera melaksanakan tugas yang dipinta barusan.
Jagat Pramudhita berkata, “Mari, Paman, kita susul Jaka Purnama Sekarang.”
Si lelaki tua mengganggukkan dagu. “Ayo, Nak. Mari!
Di tepi pantai, duel satu lawan satu masih. Pimpinan perampok itu kini mencabut sebilah keris dari pinggangnya. Keris itu merupakan senjata pamungkas yang hanya dia gunakan saat menghadapi musuh yang betul-betul kuat.
Aryajanggala mengenggam keris tersebut di tangan kanan dengan posisi tegak lurus. Di bawah sinar bulan yang pucat, tampaklah kalau keris itu terdiri atas sembilan lekukan.
Dia menempelkannya sebentar kekening dan menutup mata Ini adalah bentuk penghormatan kepada senjata sakti itu yang baru saja dicabut dari sarungnya.
Kemudian Aryajanggala mengambil sikap kuda-kuda dan bersiap menyerang. Dia berseru, “Kali ini tidak ada yang bisa menolongmu, Pendekar! Lihatlah senjata pamungkasku ini, Keris Lidah Naga!”
Jaka Purnama pun bersiap-siap. Di sebelah kanan mereka gulungan ombak mendebur ke tepian pantai, menyentuh kaki keduanya yang tengah berpijak di atas pasir. Di saat suara ombak laut mendesir nyaring, dua lelaki ini saling beradu pandangan mata tanpa tergubris oleh apa pun.
Aryajanggala mulai mengusap permukaan Keris Lidah Naga dari bawah hingga ke atas.. Tiba-tiba keris sakti itu memancarkan nyala api seperti layaknya sebuah obor.
“Hiyaaa!” Aryajanggala mengarahkan ujung keris itu lurus ke depan. Nyala api di kerisnya pun menjadi panjang dan menyambar Jaka Purnama.
Jaka Purnama kembali menggunakan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi untuk menahan serangan berbahaya itu. Cahaya putih berbentuk kubah muncul dan melindungi tubuhnya. Sambaran api itu terhalang dan tidak mampu menembus tameng tersebut.
“Kurang ajar! Bagaimana bisa Keris Lidah Naga milikku tidak dapat menembus perlindungannya! Orang ini hebat sekali!” kata Aryajanggala dalam hati.
Jaka Purnama lalu menarik kedua tangannya ke sisi pinggang dan bersiap membalikkan serangan. Dia menekuk kedua lututnya dan menekan nafas ke ulu hati untuk menambah kekuatan.
“Terimalah ini, jurus Sinar Bulan Membelah Samudera! Hiyaaa!” Jaka Purnama melangkahkan kaki kirinya maju sambil mendorong dua telapak tangan ke depan. Cahaya putih yang sangat terang pun keluar dari kedua telapak tangannya dan langsung menghantam Arya Janggala.
Seketika tubuh pimpinan perampok itu terlempar ke belakang, lalu jatuh terhempas dan terguling. Pakaiannya hangus terbakar akibat ajian yang menghantamnya tadi. Sekarang tubuhnya hanya telungkup di tepi pantai tanpa memiliki kekuatan lagi.
Kulit Aryajanggala melepuh dan mengeluarkan asap. Sambil dia terbatuk-batuk, darah kental pun keluar dari lubang hidung dan juga mulutnya. Darah itu menggenang di atas pasir putih dan lalu disapu desiran ombak.
“Tampaknya kau sangat dendam sekali padaku, hey Anak Muda,” kata Jimbaang Loreng. Dia bisa merasakan bara api kemarahan dalam dada Patrioda. Hal itu terlihat dari sorot mata Patrioda yang menatapnya tak berkedip.“Sebelum syafak merah lenyap di Barat, kau akan lebih dulu kukirim ke nereka,” kata si murid Datuk Ancala Raya itu. Walau badannya telah beberapa kali kena cakaran, tapi dia tetap kuat bertahan.Jimbalang Loreng menggerakkan misainya yang kiri. Pendekar harimau itu menunjuk ke arah Patrioda.“Sombong sekali kau, Anak Bau Curut. Justru dirimulah yang akan kukirim menyusul gurumu yang sudah berkalang tanah.”Patrioda tak mau lagi banyak bicara, tanpa perlu menjawab Jimbalang Loreng, dia pun lalu memasang kuda-kuda tengah, kemudian melakukan gerakan silat.Nya api tiba-tiba muncul berbentuk seekor naga, berkelok-kelok mengelilingi tubuh Patrioda mulai dari ujung kaki hingga sampai ke puncak kepala.Jimbalang Loreng pun juga bersiap-siap. Dia harus lebih waspada lagi sekarang, ka
Syafak merah masih bersinar di sebelah Barat. Pertarungan di lereng Gunung Ratri kini telah memasuki permulaan malam. Satu persatu bintang mulai menduduki langit. Cahaya perak bulan purnama menerangi kegelapan dalam hutan.Bagai hantu dengan rambut yang putih terurai, Nyai Jamanika berjalan menghampiri ketiga lawannya. Senopati Wibisana dan yang lain pun tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi si ahli sihir ini.“Dari tadi aku tak jua melihat si Bhiantar yang keparat itu muncul. Aku sudah bosan bermain dengan para cecunguk seperti kalian!” ujar Nyai Jamanika.Senopati Wibisana menjawab, “Mpu Bhiantar memang tidak ikut bersama kami. Kenapa kau ingin mencarinya?”“Bukan urusanmu harus ikut tahu,” tukas Nyai Jamanika. “Katakan saja dimana dia sekarang, karena aku lebih menginginkan nyawanya daripada nyawa para cecunguk seperti kalian.”Senopati Wibisana pun diam sebentar. Dia sebetulnya tidak ingin memb
Kecamuk perang masih berlanjut hingga matahari lenyap di kaki cakrawala. Walaupun Panglima Sanca selaku pimpinan Nogo Ireng telah tewas, tapi musuh berikutnya yang sekarang lebih sulit dihadapi adalah Nyai Jamanika. Nenek Peot ini begitu tangguh dan tidak bisa dipojokkan.Senopati Wibisana bersama dengan Alindra dan Patrioda mengeroyok perempuan tua ini. Walau digempur dari berbagai arah, dia tetap bisa mengatasi setiap serangan. Malah Senopati Wibisana dan para pendekar yang kemudian beberapa kali terpental akibat pukulan tongkat darinya.‘Heh, jadi cuma segitu kemampuan kalian? Ternyata para pejuang kerajaan hanyalah kesatria-kesatria bau kencur!”Kekuatan mereka bertiga tampaknya tak sebanding untuk melawan Nyai Jamanika. Bagaimana bisa, dia adalah pendekar sepuh yang sudah sangat senior dalam bertarung dan penguasaan ilmu kanuragan.Melihat anggotanya yang mulai kewalahan menghadapi si nenek peot, Damayanti yang sudah berhasil membunuh Panglima Sanca pun ikut bergabung untuk memba
Keadaan menjadi semakin genting. Para pendekar dan prajurit tidak mungkin hanya terus bertahan dengan menangkis setiap anak panah yang melanda dari balik kabut. Harus ada jalan untuk menghentikan ini.Sementara yang lain sibuk digempur oleh panah habis-habisan, Damayanti yang kesakitan di bawah berjuang untuk kembali bangkit. Serangan dari Jimbalang Loreng tadi masih menyisakan nyeri di dadanya.Karena kabut hitam ini terlalu tebal, Senopati Wibisana akhirnya paham kalau sihir ini sebenarnya tercipta dari kekuatan tenaga dalam. Jika ada tenaga dalam yang lebih kuat mampu melawannya, barangkali kabut ini akan musnah.“Kita harus menyatukan kekuatan kita untuk menghancurkan kabut sihir ini,” kata Senopati Wibisana pada yang lain.“Aku setuju,” jawab Alindra. “Kita tidak mungkin hanya tetap begini menerima gempuran dari mereka.”“Terserahlah dengan cara apa saja, yang penting kabut hitam ini segera lenyap,” ujar Patrioda. Dia pun tampaknya sudah jengkel juga sekarang.Senopati Wibisana l
Hari sudah berganti senja. Warna langit yang tadinya terang kini telah kelabu. Para pendekar dan Prajurit kerajaan masih terus menyusuri lereng Gunung Ratri. Dengan tetap waspada akan kehadiran musuh, rombongan itu berhati-hati dan memperhatikan ke sekeliling hutan.Di tengah belantara yang luas ini, dimana pohon-pohon besar yang berdaun lebat memenuhi di sekitar mereka, sangat menguntungkan bagi pasukan musuh yang suka bersembunyi, jika sedikit saja mereka lengah, maka serangan bisa datang dengan tiba-tiba.Senopati Wibisana tetap berdiri di barisan paling depan. Sebagai ketua rombongan, dialah yang paling berusaha waspada dari yang lain. Dari tadi bola matanya terus saja menyapu ke segala penjuru.“Damayanti, aku tahu di antara kita semua kaulah yang instingnya paling tajam. Apa kau merasakan sesuatu?” tanya Senopati Wibisana.Damayanti yang berjalan di belakangnya dari tadi juga berusaha merasakan kehadiran lawan. Tapi sampai sekarang, naluri pendekarnya tak menangkap energi apa pu
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr