Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 7 : Keris Lidah Naga

Share

Bab 7 : Keris Lidah Naga

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2024-10-23 15:00:00

Jaka Purnama masih menghadapi musuh yang tinggal tersisa empat orang. Aryajanggala dari tadi belum juga maju, dia masih diam dan mengawasi, coba memperhatikan seberapa hebat Jaka Purnama bertarung.

Keempat musuh itu kembali berkeliling mengepung Jaka Purnama. Mereka memainkan golok dengan gaya bersilat-silat untuk memecah konsentrasinya.

Jaka Purnama memandangi lawannya itu  satu persatu. Dia tetap waspada dan berusaha agar tidak lengah.

“Kali ini kau akan mampus, Pendekar!” ujar Aryajanggala “Cepat serang dan cabik-cabik dia!”

Mereka pun menyerang dari empat penjuru secara bersamaan. Jaka Purnama menyilangkan dua kepalan tangannya di depan dada. Cahaya putih pun tiba-tiba terpancar dari tubuh Jaka Purnama dan melingkupi dirinya

“Hiyaaaaa!” Jaka Purnama berteriak keras sambil merentangkan kedua belah tangan.

Cahaya putih itu seketika melebar dan memukul semua musuh yang maju. Bak daun melayang dihembus angin kencang, keempat penjahat itu terpantal jauh dan jatuh terguling.

Aryajanggala juga ikut terkena jangkauan cahaya tersebut. Namun tubuhnya hanya terdorong beberapa langkah ke belakang. Dia masih kuat berdiri dalam posisi kuda-kuda, sebab dia menahannya dengan mengaktifkan tenaga dalam pelindung.

Semua musuh yang jatuh terguling itu memuntahkan darah dari mulut mereka. Hanya dalam waktu beberapa saat mereka pun meregang nyawa dan tewas.

Sekarang yang tersisa hanya tinggal Aryajanggala sendirian.

“Rupanya kau memiliki tenaga dalam yang hebat. Tidak kusangka kalau kamampuanmu melebihi yang kubayangkan,” kata Aryajanggala.

Jaga Purnama memasang kuda-kuda dengan gaya menyamping. Dia menatap ke Aryajanggala dan berkata, “Sekarang giliranmu, Taring Beruang! Akan kuhabisi kau karena sudah berani membuat kegaduhan di desaku!”

“Heh, sombong sekali kau, Pendekar! Kau belum tahu kehebatanku!” sergah Aryajanggala. “Terimalah jurus  Lentingan Ekor Buaya Putih dariku! Hiyaaa!”

Aryajanggala bergerak maju bagaikan macan hendak menerkam mangsa. Dia lalu melompat dan tubuhnya berputar di udara. Ayunan tendangan yang deras pun dilancarkan olehnya dengan kaki  kanan. Dia hendak mengincar kepala Jaka Purnama.

Jaka Purnama kembali menyilangkan kedua tangan di depan dada, cahaya pun putih lagi-lagi muncul dan melingkupi tubuhnya. Cahaya itu seketika bergerak melebar dan menghatam Aryajanggala, membuatnya terpelanting ke belakang dan terhempas di atas pasir.

Sementara itu di pusat desa, Jagat Pramudhita dan para pemuda telah berhasil memukul mundur pasukan perampok. Mayat-mayat anggota Kelabang Merah bergelimpangan di tanah akibat kena jarum beracun.

Diantara mereka adapula yang leher-lehernya putus terkena tebasan dari pedang Jagat Pramudhita. Genangan darah yang berbau anyir membasahi jalanan desa malam itu.

Diantara para pemuda ada sekitar dua puluhan orang yang gugur. Tapi walau demikian, kini musuh telah berhasil dibuat ketakutan dan lari kocar-kacir. Perjuangan mereka tidak sia-sia untuk mempertahankan Desa Tanjung Bambu.

Tiba-tiba seorang lelaki tua berkumis tebal dengan kain batik coklat yang terikat di kepala berjalan menghampiri Jagat Pramudhita. Dia menepuknya dari belakang. Karena kaget, Jagat Pramudita pun membalik badan.

“Oh, Paman Waluyo rupanya, aku kira tadi siapa.,” ujar Jagat Pramudhita. Dia lalu menjura hormat pada lelaki tua itu. “Maaf kalau aku datang terlambat, Paman.” 

“Tidak apa-apa, Nak. Baguslah sekarang kamu ada bersama kami. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika tadi kamu tidak muncul.” Lelaki tua itu kemudian memperhatikan ke sekelilingnya. “Dimana Jaka Purnama? Apa dia baik-baik saja?”

“Jaka sedang menghadang sisa gerombolan perampok di tepi pantai, Paman,” jawab Jagat Pramudita. “Mungkin saat ini dia tengah bertarung melawan si Taring Beruang, pemimpinan para penjahat yang menyerang desa kita.”

“Kalau begitu, ayo kita susul kesana sekarang!” ujar si lelaki tua itu. Dia lalu memanggil beberapa orang pemuda yang berada di tempat tersebut, “Gatot, Tejo, dan Kusuma, kalian pandulah orang-orang yang terluka untuk ke pendopo di samping rumahku. Di sana istri dan anak perempuanku akan membantu mengobati mereka.” 

Tiga pemuda itu pun mengangguk paham. Mereka segera melaksanakan tugas yang dipinta barusan.

Jagat Pramudhita berkata, “Mari, Paman, kita susul Jaka Purnama Sekarang.” 

Si lelaki tua mengganggukkan dagu. “Ayo, Nak. Mari!

Di tepi pantai, duel satu lawan satu masih. Pimpinan perampok itu kini mencabut sebilah keris dari pinggangnya. Keris itu merupakan senjata pamungkas yang hanya dia gunakan saat menghadapi musuh yang betul-betul kuat.

Aryajanggala mengenggam keris tersebut di tangan kanan dengan posisi tegak lurus. Di bawah sinar bulan yang pucat, tampaklah kalau keris itu terdiri atas sembilan lekukan.

Dia menempelkannya sebentar kekening dan menutup mata Ini adalah bentuk penghormatan kepada senjata sakti itu yang baru saja dicabut dari sarungnya.

Kemudian Aryajanggala mengambil sikap kuda-kuda dan bersiap menyerang. Dia berseru, “Kali ini tidak ada yang bisa menolongmu, Pendekar! Lihatlah senjata pamungkasku ini, Keris Lidah Naga!”

Jaka Purnama pun bersiap-siap. Di sebelah kanan mereka gulungan ombak mendebur ke tepian pantai, menyentuh kaki keduanya yang tengah berpijak di atas pasir. Di saat suara ombak laut mendesir nyaring, dua lelaki ini saling beradu pandangan mata tanpa tergubris oleh apa pun.

Aryajanggala mulai mengusap permukaan Keris Lidah Naga dari bawah hingga ke atas.. Tiba-tiba keris sakti itu memancarkan nyala api seperti layaknya sebuah obor.

“Hiyaaa!” Aryajanggala mengarahkan ujung keris itu lurus ke depan. Nyala api di kerisnya pun menjadi panjang dan menyambar Jaka Purnama.

Jaka Purnama kembali menggunakan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi untuk menahan serangan berbahaya itu. Cahaya putih berbentuk kubah muncul dan melindungi tubuhnya. Sambaran api itu terhalang dan tidak mampu menembus tameng tersebut.

“Kurang ajar! Bagaimana bisa Keris Lidah Naga milikku tidak dapat menembus perlindungannya! Orang ini hebat sekali!” kata Aryajanggala dalam hati.

Jaka Purnama lalu menarik kedua tangannya ke sisi pinggang dan bersiap membalikkan serangan. Dia menekuk kedua lututnya dan menekan nafas ke ulu hati untuk menambah kekuatan.

“Terimalah ini, jurus Sinar Bulan Membelah Samudera! Hiyaaa!” Jaka Purnama melangkahkan kaki kirinya maju sambil mendorong dua telapak tangan ke depan. Cahaya putih yang sangat terang pun keluar dari kedua telapak tangannya dan langsung menghantam Arya Janggala. 

Seketika tubuh pimpinan perampok itu terlempar ke belakang, lalu jatuh terhempas dan terguling. Pakaiannya hangus terbakar  akibat ajian yang menghantamnya tadi. Sekarang tubuhnya hanya telungkup di tepi pantai tanpa memiliki kekuatan lagi.

Kulit Aryajanggala melepuh dan mengeluarkan asap. Sambil dia terbatuk-batuk, darah kental pun keluar dari lubang hidung dan juga mulutnya. Darah itu menggenang di atas pasir putih dan lalu disapu desiran ombak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 145 : Ada Yang Diam-diam Mengintai

    Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 144 : Pesan Terakhir Tubagus Dharmasuri

    Setelah lumayan jauh meninggalkan puncak Gunung Ratri, para pendekar kini sedang dalam perjalanan hendak turun ke kaki gunung. Tubagus Dharmasuri terus dipapah oleh Senopati Wibisana dan juga Alindra. Kondisinya yang terlalu lemah tak memungkinkan bagi sang patih tua itu untuk berjalan sendiri.Malam masih panjang, bintang-bintang pun tampak cemerlang bertaburan di langit, udara di hutan yang dingin menemani setiap langkah kaki mereka. Awalnya para pendekar sempat menggunakan ilmu peringan tubuh sewaktu kabur dari Dewa Kalajengking, tapi kini mereka memutuskan berjalan kaki pelan-pelan, sebab fisik mereka sudah tak kuasa melawan letih, dan keadaan pun sekarang sudah lebih aman.Alindra lalu memberi usul. “Kelihatannya Dewa Kalajengking tidak akan mengejar sampai ke sini. Bagaimana kalau kita istirahat dulu sembari menunggu Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka tiba?”“Baiklah, aku setuju. Kita butuh tempat untuk merebahkan gusti patih dan menawar luka dalamnya,” ujar Senopati Wibisana.Dam

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 143 : Pertolongan Yang Tepat Waktu

    “Hah … hah … hah ….” Senopati Taraka akhirnya terengah-engah kelelahan. Jurus tadi telah berhasil memusnahkan binatang peliharaan Dewa Kalajengking. Dia butuh jeda dulu untuk menarik nafas saat ini, karena jantungnya berdegup kencang akibat memforsir tenaga dalam. Namun, Dewa Kalajengking yang berdiri sekitar tujuh tombak di hadapannya tak sudi memberi waktu walau sebentar. Alih-alih penyihir itu lanjut lagi membaca mantra. Tanah pun terbelah! Tiga ekor kalajengking raksasa keluar lagi dari dalam bumi bak singa yang baru dilepas dari kandang. Senopati Taraka kali ini benar-benar dalam keadaan rawan. Dia harus bertarung lagi walau fisiknya makin melemah. Melihat pemandangan itu, Senopati Taraka pun berpikir, “Bagaimana bisa binatang raksasa ini tidak habis dari tadi? Setiap kali penyihir itu berkomat-kamit merafal mantra, selalu saja ada kalajengking besar yang muncul. Kekuatan sihirnya memang aneh dan tidak masuk di akal!”Dewa Kalajengking rupanya tahu kalau Senopati Taraka takjub

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 142 : Mundur Bukan Berarti Kalah

    “Gusti Patih,” pekik Senopati Taraka. Teriakannya itu membuat yang lain pun jadi ikut kaget.Semua mata pendekar kini tertuju pada Tubagus Dharmasuri. Sungguh tak diduga kalau orang sekuat dia ternyata juga bisa kalah. Padahal Tubagus Dharmasuri adalah yang paling sakti di antara yang lain. Dengan susah payah, Senopati Taraka pun cepat-cepat bangkit. Dia tergopoh-gopoh menghampiri sang patih yang tampaknya mengalami luka dalam.Sewaktu tadi Dewa Kalajengking menembakkan sinar merah dari telapak tangannya, Tubagus Dharmasuri adalah yang berada di posisi paling depan di antara para pendekar, maka wajarlah kalau dirinya yang paling kuat terkena terpaan energi penyihir itu.Sambil berusaha mengontrol nafas, Tubagus Dharmasuri mengangkat tangan kirinya, Senopati Taraka langsung tahu kalau patih itu minta dibantu untuk berdiri.“Bertahanlah, Gusti!” ucap Senopati Taraka seraya menaruh lengan Tubagus Dharmasuri di tengkuknya, dia pun menolongnya untuk bangun.Tubuh orang tua itu ternyata lum

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 141 : Hancurnya Zirah Sisik Naga

    Napas Patrioda berdengus bak banteng yang baru masuk ke dalam arena. Dia tak hirau lagi dengan apa pun di sekitarnya, sebab perhatiannya saat ini cuma tertuju pada satu titik, yaitu Dewa Kalajengking yang sebentar lagi akan dia terkam! Tanpa berkedip, Patrioda menatap sosok besar yang berdiri setinggi dua tombak itu. Dia rasa kalau dirinya harus berlari dan melonjak ke udara bila ingin mencakar tubuh Dewa Kalajengking dengan kukunya.Patrioda pun berseru, “Akan kuselesaikan semuanya sekarang! Terimalah ini, Jurus Cakar Naga Mencabik Gunung! Hiyaaa!”Bak Macan tutul yang kelaparan, Patrioda bergerak secepat angin. Dengan lonjakan kaki yang kuat di tanah, tubuhnya pun lalu membubung tinggi untuk menjangkau badan Dewa Kalajengking.Musuhnya itu sama sekali tak berkelit, Dewa Kalajengking malah membentangkan tangannya lebar-lebar, seolah mempersilahkan Patrioda yang hendak menyerangnya. Dengan bengis, kedua cakar Patrioda yang serupa bara api pun serta merta langsung mencarik kulit Dewa

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 140 : Ajian Kulit Setan Kawah Merapi

    Alindra dan Damayanti akhirnya kembali pulih setelah tadi terkena pukulan ekor dari Dewa Kalajengking. Semua pejuang kerajaan pun berkumpul di belakang Patrioda. Mereka masih belum mengambil tindakan, selain hanya jadi penonton untuk sementara waktu.Senopati Wibisana yang sebelumnya jauh tertinggal di belakang kini juga turut bergabung dengan yang lain. Melihat kondisi Alindra sudah dapat berdiri setelah diobati oleh Mpu Bhiantar, dia pun merasa lega, tapi walau demikian, dia tak ingin kalau Alindra sampai kenapa-napa lagi.“Sebaiknya kau jangan ikut bertarung dulu, Alindra. Sebab tenagamu pasti banyak terkuras setelah menggunakan Jurus Delapan Mahkota Teratai Jingga. Simpan dulu sisa kekuatanmu untuk pemulihan seutuhnya.”Kata-kata itu membuat Alindra tersipu malu. Pipinya pun tiba-tiba menjadi merah. Baru kali ini dia temukan kalau ada lelaki yang sangat perhatian pada dirinya. “Benar apa yang dikatakan oleh gusti senopati itu,” ujar Mpu Bhiantar menasehati Alindra. “Kalau kau mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status