Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

Share

Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

Author: Adil Perwira
last update Huling Na-update: 2024-10-23 20:00:00

"Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.

“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.

Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”

“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”

Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”

“Aku juga sangat mencintaimu, Kang Mas, namun sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir. Terimakasih karena selama ini Kang Mas sudah menyayangiku, menjaga, dan mengasihiku dengan setulus hati. Selamat tinggal, Kang Mas Jaka Purnama.”

Setelah kalimat terakhir yang diucapkannya itu, mata Anindhita pun tertutup. Bibirnya kelihatan masih terbuka, namun nafasnya sudah putus, perempuan yang sangat dikasihi oleh Jaka Purnama itu kini telah tiada.

Tangisan seorang bayi di ayunan tiba-tiba pecah dari dalam kamar. Seakan anak itu bisa merasakan dan mengatahui bahwa roh ibunya telah pergi meninggalkan dunia.

Waluyo duduk berjongkok di samping Jaka Purnama. Tangannya mengusap-usap bahu si lelaki yang tengah berduka itu.  Dia berusaha menenangkannya. 

Dengan suara lirih, Waluyo berucap, “Sudahlah, Nak. Kuatkan jiwamu. Relakanlah kepergian isterimu. Aku juga berat menerima kenyataan ini. Karena walau bagaimana pun, Anindhita juga merupakan puteri dari kakangku, Datuk Subrata. Tapi benar apa yang tadi Anindhita telah katakan, bahwa sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir.”

Jaka Purnama membelai pipi Anindhita, kemudian dia  mencium kening isterinya itu dengan penuh cinta.

“Kenapa kejadian seperti ini harus menimpa padamu, Anindhita. Kau adalah perempuan yang baik, tapi kenapa takdir begitu kejam terhadap dirimu. Mengapa kita harus berpisah.”

Waluyo dan Jagat Pramudita hanya bisa terharu. Mereka bisa membayangkan bagaimana beratnya kalau harus berpisah dari orang yang dicintai. Harapan menua bersama dan manisnya kemesraan di hari-hari lalu kini telah putus, menjelma jadi awan kelabu yang mengguyurkan hujan air mata.

Jaka Purnama mengambil pedang pusaka yang tergeletak di lantai, dia pun memasukkannya kembali ke dalam sarung. Itu adalah pusaka milik keluarga isterinya yang selalu dicari-cari oleh banyak pendekar di dunia persilatan. 

Dalam beberapa waktu, Jaka Purnama kembali mengingat kenangan masa lampau saat pertama kali dia bertemu dengan Anindhita. 

Bermula pada suatu sore saat Jaka Purnama dalam perjalanan pulang ke Desa Tanjung Bambu dari sehabis menziarahi kuburan ayah dan ibunya di Desa Hulu Sungai.

Kala itu warna langit sudah memucat, Jaka Purnama melihat ada serombongan prajurit kerajaan yang membawa sebuah tandu besar sedang dicegat oleh gerombolan perampok bersenjata.

Perampok-perampok itu diketuai oleh Wandra Parama, seorang lelaki yang menjuluki dirinya sebagai Panglima Sanca. Dia memakai julukan itu agar terdengar lebih menakutkan.

Pimpinan perampok tersebut meminta rombongan prajurit supaya  menyerahkan permaisuri yang berada di dalam tandu. Dia tidak mengizinkan mereka lewat jika keinginannya tidak dipenuhi.

Di antara para prajurit yang mengiringi permaisuri, ada seorang perempuan cantik berbaju ungu yang duduk di atas kuda putih. Sebilah pedang tampak tergantung di punggungnya. Penampilannya mirip seorang pendekar. 

Perempuan tersebut melompat dari atas kuda hingga dia pun berdiri tegak di hadapan semua perampok. “Kalian penjahat-penjahat tidak tahu diri! Beraninya mencegat permaisuri dari kerajaan Jayakastara! Memang ada urusan apa kalian?”

“Sri Dewi Jayasri adalah kekasihku. Aku sudah lama memiliki hubungan dengannya,” jawab Panglima Sanca.

“Heh, mana mungkin seorang permaisuri kerajaan bisa punya hubungan dengan penjahat tengik sepertimu,” tukas perempuan berbaju ungu.

“Sudah, jangan banyak omong!” tegas Panglima Sanca. “Jika kalian tidak segera menyerahkan permaisuri kepadaku, maka pasukanku akan menghabisi kalian semua!”

Perempuan itu menatap pada Panglima Sanca dengan sorot mata yang tajam. “Sombong sekali kau, Penjahat Tengik! Aku tahu kau adalah Wandra Parama, penjahat yang suka menodai kesucian gadis-gadis!”

Jaka Purnama mengintip peristiwa itu dari balik pohon besar. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan.

Panglima sanca yang tersinggung langsung mecabut pedang dari pinggangnya. “Kurang ajar kau, hai Perempuan! Akan kucabik-cabik tubuhmu dengan pedang tajamku ini!” 

“Maju sini! Dasar Penjahat Busuk!” Anindhita menantang.

Dengan mengangkat ujung pedangnya ke langit, Panglima Sanca memberi isyarat kepada para anak buahnya. “Ayo semuanya, serang!!”

Para prajurit yang tegak di belakang Anindhita juga segera mencabut senjata mereka untuk melindungi sang permaisuri. Perkelahian pun akhirnya pecah diantara dua kelompok tersebut.

Jaka Purnama fokus memperhatikan duel antara Panglima Sanca dan si perempuan berbaju ungu. Dia sampai dibuat ternganga karena kagum.

Serangan demi serangan dilancarkan oleh Panglima Sanca, tapi si perempuan mampu menghindarinya dengan cepat, tak ada satu pun sayatan pedang yang berhasil melukai tubuhnya..

Langkah kaki perempuan itu sangat lincah dan tangannya juga begitu lihai memainkan pedang, Panglima Sanca berhasil dibuat terdesak olehnya hingga semakin mundur ke belakang.

“Gadis ini punya kemampuan bela diri yang hebat,” ujar Jaka Purnama dalam hati.

Merasa geram karena dirinya dibuat terdesak, Panglima Sanca lalu mengeluarkan jurus pedang andalannya, yakni jurus Pedang Mengamuk Membelah Hujan. 

Panglima Sanca balas menyerang dengan beringas. Benturan demi benturan antar dua pedang berdengung berulang kali. Sebagai penonton, Jaka Purnama sangat terpukau, ternyata perempuan berbaju ungu itu masih mampu menghadapi jurus tersebut.

Panglima Sanca berteriak, “Hiyaaa!”

Dia menebaskan pedangnya sekuat tenaga dengan penuh amarah. Si perempuan pun segera membujurkan pedang miliknya di samping wajah untuk menahan tebasan tersebut.

Ketika dua mata pedang itu saling berbenturan, tiba-tiba pedang di tangan Panglima Sanca patah karena kalah. Jaka Purnama sontak terkejut, dia kaget melihat betapa kerasnya pedang di tangan perempuan itu.

Si perempuan kemudian menendang dada Panglima Sanca. Penjahat itu terjungkal ke belakang. Namun dengan cepat dia bisa segera bangun lagi. Panglima Sanca masih belum mau mengaku walau senjatanya sudah patah. 

Si perempuan kemudian mengayunkan pedangnya ke leher Panglima Sanca. Sayangnya serangan ini sangat terburu-buru dan kurang perhitungan, Panglima berhasil mengelak dengan sedikit menunduk sambil melangkah maju. Di saat yang sama pula, dia melepaskan pukulan dengan telapak tangan kanannya ke dada perempuan tersebut. Si perempuan pun jatuh ke tanah.

Perempuan berbaju ungu tiba-tiba memuntahkan darah. Pukulan telapak tangan yang mengenainya tadi cukup dahsyat. Itu adalah merupakan jurus tenaga dalam.

Dengan Bangga Panglima Sanca tertawa. “Hahahahaha! Rasakanlah itu, Pendekar Cantik! Itulah ajian milikku yang dinamakan Pukulan Badai Menerpa Awan.”

Melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, Panglima Sanca ingin segera maju menyerang, tapi Jaka Purnama yang saat itu mengintip di atas pohon tidak tinggal diam, dia segera melemparkan tiga bilah jarum beracun dan tepat mengenai ke leher Panglima Sanca.

“Aaaaa! Keparat! Siapa yang sudah menyerangku diam-diam!” Panglima Sancara berputar dan melihat ke segala arah, tapi dia tidak menemukan si penyerangnya itu.

Jaka Purnama tiba-tiba muncul dengan berlari di udara. Dia langsung menerjang Panglima Sanca dengan kedua kakinya. Penjahat itu pun terpelanting jauh hingga badannya membentur pohon beringin.

Tanpa pikir panjang, Jaka Purnama segera mendekati perempuan berbaju ungu yang menderita luka dalam. Dia membantunya untuk bangkit.

“Terimakasih banyak, Pendekar. Kau telah menyelamatkanku,” ujar si perempuan.

“Bertahanlah, kau baru saja terkena pukulan tenaga dalam. Aku akan coba untuk mengobatimu.” Jaka Purnama menggunakan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi, dia berusaha mengalirkannya kebagian tubuh si perempuan yang terkena pukulan.

Melihat ketua mereka yang sudah di kalahkan, para penjahat itu akhirnya mundur. Mental mereka redup sebab sang pimpinan sudah mengerang kesakitan di tanah akibat tertusuk tiga bilah jarum beracun. 

“Bawa ketua kalian pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan mencabut nyawanya!” tegas Jaka Purnama pada gerombolan perampok Itu.

Para penjahat itu segera membantu ketua mereka untuk bangkit. Mereka akhirnya kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.

Para prajurit kerajaan pun menghampiri Jaka Purnama. Mereka semua menyatukan kedua tangan dan memberi hormat. 

Salah seorang dari mereka berkata, “Terimakasih banyak, Pendekar. Anda telah mengalahkan ketua dari gerombolan penjahat busuk itu.”

Jaka Purnama hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa pun. Dia kembali menoleh pada perempuan berbaju ungu. 

“Bagaimana dengan luka dalammu? Apa kau baik-baik saja?” tanya Jaka Purnama khawatir.

“Aku baik-baik saja, Pendekar,” jawab si perempuan. “Bekat pertolonganmu, sekarang rasa nyeri akibat pukulan tadi sudah berkurang.”

Sejenak terjadilah saling tatap antara Jaka Purnama dan si perempuan berbaju ungu. Kuntum-kuntum bunga mawar pun tanpa diduga bermekaran di hati keduanya.

Seketika itu ada rasa yang sangat indah telah lahir, keindahannya bak musim semi datang bersinggah, ia tak terbahasakan, tapi gejolaknya tak terpungkiri. Keduanya sudah sama-sama dewasa untuk menyikapi perasaan apa itu namanya. 

“Boleh aku tahu siapa namamu,” tanya Jaka Purnama ingin berkenalan.

“Namaku Anindhita,” jawab si perempuan sambil tersenyum manis. “Aku adalah pengawal pribadi Permaisuri Sri Dewi Jayasri. Boleh aku tahu siapa nama Tuan Pendekar.”

Jaka Purnama pun balas tersenyum dan menjawab, “Namaku Jaka Purnama.”

Sejak hari itu, bunga-bunga mawar tak dapat tercegah terus bermekaran di hati keduanya. Mereka jadi sering melakukan pertemuan dan sering berbincang. Seiring waktu yang berjalan, hubungan keduanya pun semakin dekat, hingga mereka memutuskan untuk menikah dan menjalani hidup bersama.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 145 : Ada Yang Diam-diam Mengintai

    Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 144 : Pesan Terakhir Tubagus Dharmasuri

    Setelah lumayan jauh meninggalkan puncak Gunung Ratri, para pendekar kini sedang dalam perjalanan hendak turun ke kaki gunung. Tubagus Dharmasuri terus dipapah oleh Senopati Wibisana dan juga Alindra. Kondisinya yang terlalu lemah tak memungkinkan bagi sang patih tua itu untuk berjalan sendiri.Malam masih panjang, bintang-bintang pun tampak cemerlang bertaburan di langit, udara di hutan yang dingin menemani setiap langkah kaki mereka. Awalnya para pendekar sempat menggunakan ilmu peringan tubuh sewaktu kabur dari Dewa Kalajengking, tapi kini mereka memutuskan berjalan kaki pelan-pelan, sebab fisik mereka sudah tak kuasa melawan letih, dan keadaan pun sekarang sudah lebih aman.Alindra lalu memberi usul. “Kelihatannya Dewa Kalajengking tidak akan mengejar sampai ke sini. Bagaimana kalau kita istirahat dulu sembari menunggu Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka tiba?”“Baiklah, aku setuju. Kita butuh tempat untuk merebahkan gusti patih dan menawar luka dalamnya,” ujar Senopati Wibisana.Dam

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 143 : Pertolongan Yang Tepat Waktu

    “Hah … hah … hah ….” Senopati Taraka akhirnya terengah-engah kelelahan. Jurus tadi telah berhasil memusnahkan binatang peliharaan Dewa Kalajengking. Dia butuh jeda dulu untuk menarik nafas saat ini, karena jantungnya berdegup kencang akibat memforsir tenaga dalam. Namun, Dewa Kalajengking yang berdiri sekitar tujuh tombak di hadapannya tak sudi memberi waktu walau sebentar. Alih-alih penyihir itu lanjut lagi membaca mantra. Tanah pun terbelah! Tiga ekor kalajengking raksasa keluar lagi dari dalam bumi bak singa yang baru dilepas dari kandang. Senopati Taraka kali ini benar-benar dalam keadaan rawan. Dia harus bertarung lagi walau fisiknya makin melemah. Melihat pemandangan itu, Senopati Taraka pun berpikir, “Bagaimana bisa binatang raksasa ini tidak habis dari tadi? Setiap kali penyihir itu berkomat-kamit merafal mantra, selalu saja ada kalajengking besar yang muncul. Kekuatan sihirnya memang aneh dan tidak masuk di akal!”Dewa Kalajengking rupanya tahu kalau Senopati Taraka takjub

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 142 : Mundur Bukan Berarti Kalah

    “Gusti Patih,” pekik Senopati Taraka. Teriakannya itu membuat yang lain pun jadi ikut kaget.Semua mata pendekar kini tertuju pada Tubagus Dharmasuri. Sungguh tak diduga kalau orang sekuat dia ternyata juga bisa kalah. Padahal Tubagus Dharmasuri adalah yang paling sakti di antara yang lain. Dengan susah payah, Senopati Taraka pun cepat-cepat bangkit. Dia tergopoh-gopoh menghampiri sang patih yang tampaknya mengalami luka dalam.Sewaktu tadi Dewa Kalajengking menembakkan sinar merah dari telapak tangannya, Tubagus Dharmasuri adalah yang berada di posisi paling depan di antara para pendekar, maka wajarlah kalau dirinya yang paling kuat terkena terpaan energi penyihir itu.Sambil berusaha mengontrol nafas, Tubagus Dharmasuri mengangkat tangan kirinya, Senopati Taraka langsung tahu kalau patih itu minta dibantu untuk berdiri.“Bertahanlah, Gusti!” ucap Senopati Taraka seraya menaruh lengan Tubagus Dharmasuri di tengkuknya, dia pun menolongnya untuk bangun.Tubuh orang tua itu ternyata lum

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 141 : Hancurnya Zirah Sisik Naga

    Napas Patrioda berdengus bak banteng yang baru masuk ke dalam arena. Dia tak hirau lagi dengan apa pun di sekitarnya, sebab perhatiannya saat ini cuma tertuju pada satu titik, yaitu Dewa Kalajengking yang sebentar lagi akan dia terkam! Tanpa berkedip, Patrioda menatap sosok besar yang berdiri setinggi dua tombak itu. Dia rasa kalau dirinya harus berlari dan melonjak ke udara bila ingin mencakar tubuh Dewa Kalajengking dengan kukunya.Patrioda pun berseru, “Akan kuselesaikan semuanya sekarang! Terimalah ini, Jurus Cakar Naga Mencabik Gunung! Hiyaaa!”Bak Macan tutul yang kelaparan, Patrioda bergerak secepat angin. Dengan lonjakan kaki yang kuat di tanah, tubuhnya pun lalu membubung tinggi untuk menjangkau badan Dewa Kalajengking.Musuhnya itu sama sekali tak berkelit, Dewa Kalajengking malah membentangkan tangannya lebar-lebar, seolah mempersilahkan Patrioda yang hendak menyerangnya. Dengan bengis, kedua cakar Patrioda yang serupa bara api pun serta merta langsung mencarik kulit Dewa

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 140 : Ajian Kulit Setan Kawah Merapi

    Alindra dan Damayanti akhirnya kembali pulih setelah tadi terkena pukulan ekor dari Dewa Kalajengking. Semua pejuang kerajaan pun berkumpul di belakang Patrioda. Mereka masih belum mengambil tindakan, selain hanya jadi penonton untuk sementara waktu.Senopati Wibisana yang sebelumnya jauh tertinggal di belakang kini juga turut bergabung dengan yang lain. Melihat kondisi Alindra sudah dapat berdiri setelah diobati oleh Mpu Bhiantar, dia pun merasa lega, tapi walau demikian, dia tak ingin kalau Alindra sampai kenapa-napa lagi.“Sebaiknya kau jangan ikut bertarung dulu, Alindra. Sebab tenagamu pasti banyak terkuras setelah menggunakan Jurus Delapan Mahkota Teratai Jingga. Simpan dulu sisa kekuatanmu untuk pemulihan seutuhnya.”Kata-kata itu membuat Alindra tersipu malu. Pipinya pun tiba-tiba menjadi merah. Baru kali ini dia temukan kalau ada lelaki yang sangat perhatian pada dirinya. “Benar apa yang dikatakan oleh gusti senopati itu,” ujar Mpu Bhiantar menasehati Alindra. “Kalau kau mem

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status