LOGIN"Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.
“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.
Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”
“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”
Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”
“Aku juga sangat mencintaimu, Kang Mas, namun sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir. Terimakasih karena selama ini Kang Mas sudah menyayangiku, menjaga, dan mengasihiku dengan setulus hati. Selamat tinggal, Kang Mas Jaka Purnama.”
Setelah kalimat terakhir yang diucapkannya itu, mata Anindhita pun tertutup. Bibirnya kelihatan masih terbuka, namun nafasnya sudah putus, perempuan yang sangat dikasihi oleh Jaka Purnama itu kini telah tiada.
Tangisan seorang bayi di ayunan tiba-tiba pecah dari dalam kamar. Seakan anak itu bisa merasakan dan mengatahui bahwa roh ibunya telah pergi meninggalkan dunia.
Waluyo duduk berjongkok di samping Jaka Purnama. Tangannya mengusap-usap bahu si lelaki yang tengah berduka itu. Dia berusaha menenangkannya.
Dengan suara lirih, Waluyo berucap, “Sudahlah, Nak. Kuatkan jiwamu. Relakanlah kepergian isterimu. Aku juga berat menerima kenyataan ini. Karena walau bagaimana pun, Anindhita juga merupakan puteri dari kakangku, Datuk Subrata. Tapi benar apa yang tadi Anindhita telah katakan, bahwa sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir.”
Jaka Purnama membelai pipi Anindhita, kemudian dia mencium kening isterinya itu dengan penuh cinta.
“Kenapa kejadian seperti ini harus menimpa padamu, Anindhita. Kau adalah perempuan yang baik, tapi kenapa takdir begitu kejam terhadap dirimu. Mengapa kita harus berpisah.”
Waluyo dan Jagat Pramudita hanya bisa terharu. Mereka bisa membayangkan bagaimana beratnya kalau harus berpisah dari orang yang dicintai. Harapan menua bersama dan manisnya kemesraan di hari-hari lalu kini telah putus, menjelma jadi awan kelabu yang mengguyurkan hujan air mata.
Jaka Purnama mengambil pedang pusaka yang tergeletak di lantai, dia pun memasukkannya kembali ke dalam sarung. Itu adalah pusaka milik keluarga isterinya yang selalu dicari-cari oleh banyak pendekar di dunia persilatan.
Dalam beberapa waktu, Jaka Purnama kembali mengingat kenangan masa lampau saat pertama kali dia bertemu dengan Anindhita.
Bermula pada suatu sore saat Jaka Purnama dalam perjalanan pulang ke Desa Tanjung Bambu dari sehabis menziarahi kuburan ayah dan ibunya di Desa Hulu Sungai.
Kala itu warna langit sudah memucat, Jaka Purnama melihat ada serombongan prajurit kerajaan yang membawa sebuah tandu besar sedang dicegat oleh gerombolan perampok bersenjata.
Perampok-perampok itu diketuai oleh Wandra Parama, seorang lelaki yang menjuluki dirinya sebagai Panglima Sanca. Dia memakai julukan itu agar terdengar lebih menakutkan.
Pimpinan perampok tersebut meminta rombongan prajurit supaya menyerahkan permaisuri yang berada di dalam tandu. Dia tidak mengizinkan mereka lewat jika keinginannya tidak dipenuhi.
Di antara para prajurit yang mengiringi permaisuri, ada seorang perempuan cantik berbaju ungu yang duduk di atas kuda putih. Sebilah pedang tampak tergantung di punggungnya. Penampilannya mirip seorang pendekar.
Perempuan tersebut melompat dari atas kuda hingga dia pun berdiri tegak di hadapan semua perampok. “Kalian penjahat-penjahat tidak tahu diri! Beraninya mencegat permaisuri dari kerajaan Jayakastara! Memang ada urusan apa kalian?”
“Sri Dewi Jayasri adalah kekasihku. Aku sudah lama memiliki hubungan dengannya,” jawab Panglima Sanca.
“Heh, mana mungkin seorang permaisuri kerajaan bisa punya hubungan dengan penjahat tengik sepertimu,” tukas perempuan berbaju ungu.
“Sudah, jangan banyak omong!” tegas Panglima Sanca. “Jika kalian tidak segera menyerahkan permaisuri kepadaku, maka pasukanku akan menghabisi kalian semua!”
Perempuan itu menatap pada Panglima Sanca dengan sorot mata yang tajam. “Sombong sekali kau, Penjahat Tengik! Aku tahu kau adalah Wandra Parama, penjahat yang suka menodai kesucian gadis-gadis!”
Jaka Purnama mengintip peristiwa itu dari balik pohon besar. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan.
Panglima sanca yang tersinggung langsung mecabut pedang dari pinggangnya. “Kurang ajar kau, hai Perempuan! Akan kucabik-cabik tubuhmu dengan pedang tajamku ini!”
“Maju sini! Dasar Penjahat Busuk!” Anindhita menantang.
Dengan mengangkat ujung pedangnya ke langit, Panglima Sanca memberi isyarat kepada para anak buahnya. “Ayo semuanya, serang!!”
Para prajurit yang tegak di belakang Anindhita juga segera mencabut senjata mereka untuk melindungi sang permaisuri. Perkelahian pun akhirnya pecah diantara dua kelompok tersebut.
Jaka Purnama fokus memperhatikan duel antara Panglima Sanca dan si perempuan berbaju ungu. Dia sampai dibuat ternganga karena kagum.
Serangan demi serangan dilancarkan oleh Panglima Sanca, tapi si perempuan mampu menghindarinya dengan cepat, tak ada satu pun sayatan pedang yang berhasil melukai tubuhnya..
Langkah kaki perempuan itu sangat lincah dan tangannya juga begitu lihai memainkan pedang, Panglima Sanca berhasil dibuat terdesak olehnya hingga semakin mundur ke belakang.
“Gadis ini punya kemampuan bela diri yang hebat,” ujar Jaka Purnama dalam hati.
Merasa geram karena dirinya dibuat terdesak, Panglima Sanca lalu mengeluarkan jurus pedang andalannya, yakni jurus Pedang Mengamuk Membelah Hujan.
Panglima Sanca balas menyerang dengan beringas. Benturan demi benturan antar dua pedang berdengung berulang kali. Sebagai penonton, Jaka Purnama sangat terpukau, ternyata perempuan berbaju ungu itu masih mampu menghadapi jurus tersebut.
Panglima Sanca berteriak, “Hiyaaa!”
Dia menebaskan pedangnya sekuat tenaga dengan penuh amarah. Si perempuan pun segera membujurkan pedang miliknya di samping wajah untuk menahan tebasan tersebut.
Ketika dua mata pedang itu saling berbenturan, tiba-tiba pedang di tangan Panglima Sanca patah karena kalah. Jaka Purnama sontak terkejut, dia kaget melihat betapa kerasnya pedang di tangan perempuan itu.
Si perempuan kemudian menendang dada Panglima Sanca. Penjahat itu terjungkal ke belakang. Namun dengan cepat dia bisa segera bangun lagi. Panglima Sanca masih belum mau mengaku walau senjatanya sudah patah.
Si perempuan kemudian mengayunkan pedangnya ke leher Panglima Sanca. Sayangnya serangan ini sangat terburu-buru dan kurang perhitungan, Panglima berhasil mengelak dengan sedikit menunduk sambil melangkah maju. Di saat yang sama pula, dia melepaskan pukulan dengan telapak tangan kanannya ke dada perempuan tersebut. Si perempuan pun jatuh ke tanah.
Perempuan berbaju ungu tiba-tiba memuntahkan darah. Pukulan telapak tangan yang mengenainya tadi cukup dahsyat. Itu adalah merupakan jurus tenaga dalam.
Dengan Bangga Panglima Sanca tertawa. “Hahahahaha! Rasakanlah itu, Pendekar Cantik! Itulah ajian milikku yang dinamakan Pukulan Badai Menerpa Awan.”
Melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, Panglima Sanca ingin segera maju menyerang, tapi Jaka Purnama yang saat itu mengintip di atas pohon tidak tinggal diam, dia segera melemparkan tiga bilah jarum beracun dan tepat mengenai ke leher Panglima Sanca.
“Aaaaa! Keparat! Siapa yang sudah menyerangku diam-diam!” Panglima Sancara berputar dan melihat ke segala arah, tapi dia tidak menemukan si penyerangnya itu.
Jaka Purnama tiba-tiba muncul dengan berlari di udara. Dia langsung menerjang Panglima Sanca dengan kedua kakinya. Penjahat itu pun terpelanting jauh hingga badannya membentur pohon beringin.
Tanpa pikir panjang, Jaka Purnama segera mendekati perempuan berbaju ungu yang menderita luka dalam. Dia membantunya untuk bangkit.
“Terimakasih banyak, Pendekar. Kau telah menyelamatkanku,” ujar si perempuan.
“Bertahanlah, kau baru saja terkena pukulan tenaga dalam. Aku akan coba untuk mengobatimu.” Jaka Purnama menggunakan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi, dia berusaha mengalirkannya kebagian tubuh si perempuan yang terkena pukulan.
Melihat ketua mereka yang sudah di kalahkan, para penjahat itu akhirnya mundur. Mental mereka redup sebab sang pimpinan sudah mengerang kesakitan di tanah akibat tertusuk tiga bilah jarum beracun.
“Bawa ketua kalian pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan mencabut nyawanya!” tegas Jaka Purnama pada gerombolan perampok Itu.
Para penjahat itu segera membantu ketua mereka untuk bangkit. Mereka akhirnya kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.
Para prajurit kerajaan pun menghampiri Jaka Purnama. Mereka semua menyatukan kedua tangan dan memberi hormat.
Salah seorang dari mereka berkata, “Terimakasih banyak, Pendekar. Anda telah mengalahkan ketua dari gerombolan penjahat busuk itu.”
Jaka Purnama hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa pun. Dia kembali menoleh pada perempuan berbaju ungu.
“Bagaimana dengan luka dalammu? Apa kau baik-baik saja?” tanya Jaka Purnama khawatir.
“Aku baik-baik saja, Pendekar,” jawab si perempuan. “Bekat pertolonganmu, sekarang rasa nyeri akibat pukulan tadi sudah berkurang.”
Sejenak terjadilah saling tatap antara Jaka Purnama dan si perempuan berbaju ungu. Kuntum-kuntum bunga mawar pun tanpa diduga bermekaran di hati keduanya.
Seketika itu ada rasa yang sangat indah telah lahir, keindahannya bak musim semi datang bersinggah, ia tak terbahasakan, tapi gejolaknya tak terpungkiri. Keduanya sudah sama-sama dewasa untuk menyikapi perasaan apa itu namanya.
“Boleh aku tahu siapa namamu,” tanya Jaka Purnama ingin berkenalan.
“Namaku Anindhita,” jawab si perempuan sambil tersenyum manis. “Aku adalah pengawal pribadi Permaisuri Sri Dewi Jayasri. Boleh aku tahu siapa nama Tuan Pendekar.”
Jaka Purnama pun balas tersenyum dan menjawab, “Namaku Jaka Purnama.”
Sejak hari itu, bunga-bunga mawar tak dapat tercegah terus bermekaran di hati keduanya. Mereka jadi sering melakukan pertemuan dan sering berbincang. Seiring waktu yang berjalan, hubungan keduanya pun semakin dekat, hingga mereka memutuskan untuk menikah dan menjalani hidup bersama.
Dengan menumpukan tangan di lantai teras yang terbuat dari batu, Prabu Surya Buana berjuang untuk bangkit. Argani pun lantas mendekatinya. Ketua Persaudaraan Iblis itu tentu tidak akan membiarkan lawannya yang hendak kembali berdiri. Baru beberapa langkah saja Argani berjalan, saat kaki kirinya mulai menginjak di atas lantai teras yang terbuat dari susunan batu, alih-alih terdengar ada suara yang berseru lantang sekali. “Akulah lawanmu, hai Bajingan!”Mendengar dirinya dipanggil dengan sebutan yang amat tak enak didengar oleh kuping, maka Argani pun memutar pandangannya ke belakang. Seorang pemuda rupanya telah berdiri tegak dengan dada busung dan sinar mata yang tegas. Orang itu tidak lain adalah Giandra.Argani pun membalikkan tubuhnya. Dia tak jadi mendekati Prabu Surya Buana. Kemunculan Giandra membuat Argani sangat jengkel. Seharusnya menurut Argani para pejuang kerajaan saat ini masih berada di Gunung Ratri, namun ternyata, ada satu orang yang sekarang sudah kembali, ini tentu
Baru sesaat Prabu Surya Buana tiba di halaman istana, dia lanngsung disambut dengan pemandangan yang benar-benar tidak menyenangkan. Di depan matanya sendiri, sang prabu menyaksikan mayat para pengawal yang bergeletakan di tanah. Tak ada satupun dari mereka yang masih hidup.Semua tubuh yang terkapar itu mati dalam keadaan hangus. Kulit mereka hitam legam bagaikan layaknya arang. Argani Bhadrika memang sangat kejam sekali.Melihat ada sosok yang berpakaian agung baru keluar dari dalam istana, Argani pun tak mau bertele-tele lagi, dia tahu kalau ini adalah Prabu Surya Buana, maka dia pun ingin langsung menantangnya saja sekarang.Pertemuan dengan sang raja ini sudah begitu lama direncanakan oleh Argani. Bila di akhir malam ini dia berhasil membunuh raja tersebut, niscaya tujuannya untuk mendapatkan takhta akan segera menjadi kenyataan.Prabu Surya Buana pun mengamati Argani yang mulai mendekat. Batinnya lantas bertanya-tanya siapakah orang ini. Sebelumnya sang prabu memang tak pernah b
Di akhir malam yang hampir mendekati waktu subuh, para pengawal semuanya berkumpul di halaman istana, mereka digemparkan dengan sebuah keributan, empat orang dari mereka yang menjaga pintu gerbang telah tewas tergeletak dengan mulut bersimbah darah.Saat itu hanya tinggal dua belas orang pengawal yang masih melindungi istana, sedangkan sisanya yang lain telah ikut pergi ke medan perang menjadi prajurit. Dengan jumlah yang amat sedikit ini, kekuatan mereka tak akan sepadan untuk menghadapi Argani Bhadrika.Kehadiran Argani yang muncul secara tiba-tiba bagaikan hantu di penghujung malam tentu membuat mereka jadi terheran-heran. Bagaimana bisa orang tak dikenal ini datang ke istana dan langsung melakukan porakporanda.Si peneror ini sudah membunuh empat penjaga yang berdiri di depan gerbang. Tak ada satu pun dari pengawal kerajaan yang mengenali Siapakah lelaki ini. Percakapan singkat pun lalu terjadi di antara para pengawal itu.“Sia
Siluman Kera Putih dan Prabaswara saling bergerak dari arah berlawanan. Yang satu kelihatan ingin melimbai gada dan yang satu lagi hendak membabatkan golok. Langkah keduanya bagaikan arus sungai yang deras. Tak lagi mengenal kata surut apalagi tertahan.Saat golok Prabaswara akan mulai menyabet ke leher, tangan kirinya yang kosong menempel di dada, bersiap menepis bila Siluman Kera Putih juga akan memukul.Ternyata hal yang terjadi malah diluar perhitungan Prabaswara. Sabda Alam yang menyongsong dari arah berlawanan melentikkan tubuhnya ke belakang. Mata golok yang tajam itu gagal menyentuh dirinya. Tiba-tiba lalu dari bawah, ayunan gada yang berduri menghantam ke selengkangan Prabaswara!Pukulan dahsyat itu sampai sampai membuatnya terlonjak, bola matanya terbalalak menatap ke langit, dan saking menahan sakit yang tak dapat dibahasakan, mulut Prabaswara pun tak bisa lagi bersuara.Dengan kaki yang gemetar Prabaswara berjalan mundur. Bak pohon limbung didera tiupan angin, langkahnya t
Bayu Halimun terus mengejar orang yang dahulu pernah menjadi sahabat dekatnya itu. Dia tak tahu kemanakah Pangeran Kelelawar ingin membawanya. Mereka terbang melewati pohon-pohon besar di tengah kegelapan hutan yang sunyi.Walau mata Pangeran Kelelawar tak menoleh ke belakang, namun kehadiran Bayu Halimun yang dari tadi mengikuti dapat dirasakan olehnya. Aura kegelapan milik siluman burung hantu itu memang tak pernah berubah. Energinya sangat negatif. Itu disebabkan karena dia telah lama bergabung dalam persaudaraan Iblis, berkumpul dengan orang-orang jahat yang membuat jiwanya jadi tambah gelap.Setelah cukup jauh melayang di bawah binar purnama yang muram, akhirnya Pangeran Kelelawar menemukan juga lokasi yang cocok untuk meladeni Bayu Halimun. Yaitu hamparan rumput luas yang lumayan lengang dari pepohonan. Dalam pertarungan ini, Mahesa Bhamantara bertekad akan mengerahkan seluruh kemampuan kanuragan yang dia miliki. Bila dirinya berhasil mengalahkan Bayu Halimun, dia berharap deng
Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di







