Wluyo dan Jagat Pramudita akhirnya tiba jua di pantai malam itu. Mereka terkejut menyaksikan ada sesosok tubuh yang telungkup di bibir pantai dengan kondisi mengenaskan. Keduanya segera menghampiri Jaka Purnama.
“Jaka, kau tidak apa-apa?” tanya Jagat Pramudita.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Jaka Purnama.
Waluyo menepuk bahu Jaka Purnama dan tersenyum. “Syukurlah kalau begitu.” Dia kemudian menunjuk ke tubuh Aryajanggala yang telungkup dalam kondisi sekarat. “Apakah lelaki ini yang dijuluki sebagai Taring Beruang, pimpinan gerombolan Kelabang Merah?”
Jaka Purnama menganggukkan dagu. “Iya, dia sudah kukalahkan dengan ajian Sinar Bulan Membelah Samudera.”
“Ajian Sinar Bulan Membelah Samudera?” Waluyo mengerutkan kening. “Aku baru mendengar kalau ada nama jurus seperti itu. Apakah itu jurus dari gurumu, Mpu Seta?”
Jagat Pramudita tersenyum menatap Waluyo. Dia kemudian yang menjawab pertanyaan tersebut.“Sinar Bulan Membelah Samudera merupakan salah satu jurus andalan yang memakai kekuatan dari Tenaga Dalam Inti Indurashmi, Paman.”
“Oh, jadi begitu, Tenaga Dalam Inti Indurashmi, ya.” Waluyo lalu menoleh lagi ke Aryajanggala. Sosok itu tampak sudah tak berdaya. Sekujur badan lelaki itu melepuh dan pakaiannya pun gosong. Waluyo baru tahu kalau ternyata Tenaga Dalam Inti Indurashmi sungguh adalah ajian yang benar-benar hebat.
Beberapa orang pemuda kemudian juga muncul tempat itu, termasuk diantara mereka ialah Gatot, pemuda yang tadi diperintahkan oleh Waluyo untuk menuntun para warga yang terluka agar segera diobati.
“Semua warga yang luka sudah berkumpul di pendopo dan sedang dirawat, Paman,” ujar Gatot melaporkan.
“Baguslah kalau begitu,” kata Waluyo. Dia kemudian menunjuk kepada karung-karung beras, buntalan berisi uang dan perhiasan, serta hewan-hewan ternak yang terikat di pohon. “Sekarang kamu dan yang lainnya bawalah kembali semua barang dan juga kambing milik penduduk yang tadi diangkut oleh perampok. Gerombolan Kelabang Merah sudah berhasil kita kalahkan, desa sudah aman sekarang.”
“Baik, Paman, siap!” Gatot mengangguk. Dia kemudian berbalik ke belakang dan berseru kepada teman-temannya yang lain, “Ayo angkut semua barang milik warga itu! Kita kembalikan kepada para pemiliknya. Ayo cepat!”
Tak lama kemudian, Jaka Purnama tiba-tiba teringat dengan anak dan istrinya yang berada di rumah. Dia merasa khawatir bagaimana kondisi mereka saat ini.
“Paman Waluyo, Jagat, aku harus segera pulang ke rumah dan melihat keadaan anak serta istriku sekarang.” Wajah Jaka Purnama terlihat gelisah.
Waluyo mengangguk setuju. “Baiklah, Nak. Aku dan Jagat Pramudita juga akan ikut bersamamu.”
Mereka bertiga pun bergegas menuju ke rumah Jaka Purnama, sementara para pemuda sibuk mengangkat barang-barang dan menggiring hewan ternak untuk dibawa kembali ke desa.
Tak ada satu pun lagi yang peduli dengan si pimpinan perampok. Aryajanggala terkapar seperti mayat di tepi pantai. Bahkan dia memang terlihat seakan-akan sudah tewas.
Namun Aryajanggala sebenarnya masih bernafas, hanya saja dia tak kuasa menggeser tubuhnya, selain hanya diam merasakan deburan ombak yang berulangkali menyiraminya badannya.
Ketika semua orang sudah pergi, pelan-pelan dia mengangkat wajahnya yang telungkup dan memandang ke depan. “Awas saja nanti kau, Pendekar. Suatu hari aku akan membuat perhitungan denganmu!” ucap Aryajanggala dalam hati. Dia hanya bisa menahan rasa sakit dari luka bakar yang membuatnya kulitnya jadi seperti kulit ikan gosong.
Hanya selang beberapa waktu kemudian, muncullah sesosok siluman berkepala burung hantu terbang di udara dengan dua sayap berwarna perak. Siluman tersebut turun dan mendekati tubuh Aryajanggala.
Dia membalikkan badan si pimpinan perampok itu dan lalu menaruh tangannya di atas dada Aryajanggala. Siluman tesebut dapat merasakan kalau orang ini masih hidup, hanya saja dia terlihat seperti pingsan karena telah terkena pukulan yang begitu dahsyat.
Diangkatnyalah kemudian tubuh Aryajanggala dan lalu dibawanya terbang meninggalkan tempat itu.
Sementara di lokasi yang berbeda, Jaka Purna telah di depan rumah dan melihat kalau pintu rumahnya telah ambruk. Dia pun masuk ke dalam, Jagat Pramudita dan juga Waluyo mengikuti di belakangnya.
Genangan darah berbau anyir membelai indra penciuman mereka saat pertama melangkah melewati pintu.
Cahaya lentera masih menyala dan menerangi seisi ruangan walau agak redup. Mayat-mayat perampok terlihat bergelimpangan di lantai, dan golok-golok yang patah juga berserakan.
Menyaksikan hal tersebut, Jaka Purnama tahu kalau isterinya sudah betarung dengan menggunakan Pedang Penebas Setan. Sebab pusaka itu selalu ganas dan meminta nyawa apabila telah tercabut dari sarungnya.
Pada jarak sekitar lima depa di hadapan Jaka Purnama, tubuh Anindhita tersandar di dinding dengan pakain ungu yang bersimbah darah.
Jaka Purnama tambah terkejut saat melihat ada segolok yang tertancap di perut isterinya itu. Dia pun segera berlari menghampiri Anindhita.
“Tampaknya kau sangat dendam sekali padaku, hey Anak Muda,” kata Jimbaang Loreng. Dia bisa merasakan bara api kemarahan dalam dada Patrioda. Hal itu terlihat dari sorot mata Patrioda yang menatapnya tak berkedip.“Sebelum syafak merah lenyap di Barat, kau akan lebih dulu kukirim ke nereka,” kata si murid Datuk Ancala Raya itu. Walau badannya telah beberapa kali kena cakaran, tapi dia tetap kuat bertahan.Jimbalang Loreng menggerakkan misainya yang kiri. Pendekar harimau itu menunjuk ke arah Patrioda.“Sombong sekali kau, Anak Bau Curut. Justru dirimulah yang akan kukirim menyusul gurumu yang sudah berkalang tanah.”Patrioda tak mau lagi banyak bicara, tanpa perlu menjawab Jimbalang Loreng, dia pun lalu memasang kuda-kuda tengah, kemudian melakukan gerakan silat.Nya api tiba-tiba muncul berbentuk seekor naga, berkelok-kelok mengelilingi tubuh Patrioda mulai dari ujung kaki hingga sampai ke puncak kepala.Jimbalang Loreng pun juga bersiap-siap. Dia harus lebih waspada lagi sekarang, ka
Syafak merah masih bersinar di sebelah Barat. Pertarungan di lereng Gunung Ratri kini telah memasuki permulaan malam. Satu persatu bintang mulai menduduki langit. Cahaya perak bulan purnama menerangi kegelapan dalam hutan.Bagai hantu dengan rambut yang putih terurai, Nyai Jamanika berjalan menghampiri ketiga lawannya. Senopati Wibisana dan yang lain pun tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi si ahli sihir ini.“Dari tadi aku tak jua melihat si Bhiantar yang keparat itu muncul. Aku sudah bosan bermain dengan para cecunguk seperti kalian!” ujar Nyai Jamanika.Senopati Wibisana menjawab, “Mpu Bhiantar memang tidak ikut bersama kami. Kenapa kau ingin mencarinya?”“Bukan urusanmu harus ikut tahu,” tukas Nyai Jamanika. “Katakan saja dimana dia sekarang, karena aku lebih menginginkan nyawanya daripada nyawa para cecunguk seperti kalian.”Senopati Wibisana pun diam sebentar. Dia sebetulnya tidak ingin memb
Kecamuk perang masih berlanjut hingga matahari lenyap di kaki cakrawala. Walaupun Panglima Sanca selaku pimpinan Nogo Ireng telah tewas, tapi musuh berikutnya yang sekarang lebih sulit dihadapi adalah Nyai Jamanika. Nenek Peot ini begitu tangguh dan tidak bisa dipojokkan.Senopati Wibisana bersama dengan Alindra dan Patrioda mengeroyok perempuan tua ini. Walau digempur dari berbagai arah, dia tetap bisa mengatasi setiap serangan. Malah Senopati Wibisana dan para pendekar yang kemudian beberapa kali terpental akibat pukulan tongkat darinya.‘Heh, jadi cuma segitu kemampuan kalian? Ternyata para pejuang kerajaan hanyalah kesatria-kesatria bau kencur!”Kekuatan mereka bertiga tampaknya tak sebanding untuk melawan Nyai Jamanika. Bagaimana bisa, dia adalah pendekar sepuh yang sudah sangat senior dalam bertarung dan penguasaan ilmu kanuragan.Melihat anggotanya yang mulai kewalahan menghadapi si nenek peot, Damayanti yang sudah berhasil membunuh Panglima Sanca pun ikut bergabung untuk memba
Keadaan menjadi semakin genting. Para pendekar dan prajurit tidak mungkin hanya terus bertahan dengan menangkis setiap anak panah yang melanda dari balik kabut. Harus ada jalan untuk menghentikan ini.Sementara yang lain sibuk digempur oleh panah habis-habisan, Damayanti yang kesakitan di bawah berjuang untuk kembali bangkit. Serangan dari Jimbalang Loreng tadi masih menyisakan nyeri di dadanya.Karena kabut hitam ini terlalu tebal, Senopati Wibisana akhirnya paham kalau sihir ini sebenarnya tercipta dari kekuatan tenaga dalam. Jika ada tenaga dalam yang lebih kuat mampu melawannya, barangkali kabut ini akan musnah.“Kita harus menyatukan kekuatan kita untuk menghancurkan kabut sihir ini,” kata Senopati Wibisana pada yang lain.“Aku setuju,” jawab Alindra. “Kita tidak mungkin hanya tetap begini menerima gempuran dari mereka.”“Terserahlah dengan cara apa saja, yang penting kabut hitam ini segera lenyap,” ujar Patrioda. Dia pun tampaknya sudah jengkel juga sekarang.Senopati Wibisana l
Hari sudah berganti senja. Warna langit yang tadinya terang kini telah kelabu. Para pendekar dan Prajurit kerajaan masih terus menyusuri lereng Gunung Ratri. Dengan tetap waspada akan kehadiran musuh, rombongan itu berhati-hati dan memperhatikan ke sekeliling hutan.Di tengah belantara yang luas ini, dimana pohon-pohon besar yang berdaun lebat memenuhi di sekitar mereka, sangat menguntungkan bagi pasukan musuh yang suka bersembunyi, jika sedikit saja mereka lengah, maka serangan bisa datang dengan tiba-tiba.Senopati Wibisana tetap berdiri di barisan paling depan. Sebagai ketua rombongan, dialah yang paling berusaha waspada dari yang lain. Dari tadi bola matanya terus saja menyapu ke segala penjuru.“Damayanti, aku tahu di antara kita semua kaulah yang instingnya paling tajam. Apa kau merasakan sesuatu?” tanya Senopati Wibisana.Damayanti yang berjalan di belakangnya dari tadi juga berusaha merasakan kehadiran lawan. Tapi sampai sekarang, naluri pendekarnya tak menangkap energi apa pu
Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr