Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 8 : Mengejutkan Di Rumah

Share

Bab 8 : Mengejutkan Di Rumah

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2024-10-23 16:00:00

Wluyo dan Jagat Pramudita akhirnya tiba jua di pantai malam itu. Mereka terkejut menyaksikan ada sesosok tubuh yang telungkup di bibir pantai dengan kondisi mengenaskan. Keduanya segera menghampiri Jaka Purnama.

“Jaka, kau tidak apa-apa?” tanya Jagat Pramudita.

“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Jaka Purnama.

Waluyo menepuk bahu Jaka Purnama dan tersenyum. “Syukurlah kalau begitu.” Dia kemudian menunjuk ke tubuh Aryajanggala yang telungkup dalam kondisi sekarat. “Apakah lelaki ini yang dijuluki sebagai Taring Beruang, pimpinan gerombolan Kelabang Merah?”

Jaka Purnama menganggukkan dagu. “Iya, dia sudah kukalahkan dengan ajian Sinar Bulan Membelah Samudera.”

“Ajian Sinar Bulan Membelah Samudera?” Waluyo mengerutkan kening. “Aku baru mendengar kalau ada nama jurus seperti itu. Apakah itu jurus dari gurumu, Mpu Seta?”

Jagat Pramudita tersenyum menatap Waluyo. Dia kemudian yang menjawab pertanyaan tersebut.“Sinar Bulan Membelah Samudera merupakan salah satu jurus andalan yang memakai kekuatan dari Tenaga Dalam Inti Indurashmi, Paman.”

“Oh, jadi begitu, Tenaga Dalam Inti Indurashmi, ya.” Waluyo lalu menoleh lagi ke Aryajanggala. Sosok itu tampak sudah tak berdaya. Sekujur badan lelaki itu melepuh dan pakaiannya pun gosong. Waluyo baru tahu kalau ternyata Tenaga Dalam Inti Indurashmi sungguh adalah ajian yang benar-benar hebat.

Beberapa orang pemuda kemudian juga muncul tempat itu, termasuk diantara mereka ialah Gatot, pemuda yang tadi diperintahkan oleh Waluyo untuk menuntun para warga yang terluka agar segera diobati.

“Semua warga yang luka sudah berkumpul di pendopo dan sedang dirawat, Paman,” ujar Gatot melaporkan.

“Baguslah kalau begitu,” kata Waluyo. Dia kemudian menunjuk kepada karung-karung beras, buntalan berisi uang dan perhiasan, serta hewan-hewan ternak yang terikat di pohon. “Sekarang kamu dan yang lainnya bawalah kembali semua barang dan juga kambing milik penduduk yang tadi diangkut oleh perampok. Gerombolan Kelabang Merah sudah berhasil kita kalahkan, desa sudah aman sekarang.”

“Baik, Paman, siap!” Gatot mengangguk. Dia kemudian berbalik ke belakang dan berseru kepada teman-temannya yang lain, “Ayo angkut semua barang milik warga itu! Kita kembalikan kepada para pemiliknya. Ayo cepat!”

Tak lama kemudian, Jaka Purnama tiba-tiba teringat dengan anak dan istrinya yang berada di rumah. Dia merasa khawatir bagaimana kondisi mereka saat ini.

“Paman Waluyo, Jagat, aku harus segera pulang ke rumah dan melihat keadaan anak serta istriku sekarang.” Wajah Jaka Purnama terlihat gelisah.

Waluyo mengangguk setuju. “Baiklah, Nak. Aku dan Jagat Pramudita juga akan ikut bersamamu.”

Mereka bertiga pun bergegas menuju ke rumah Jaka Purnama, sementara  para pemuda sibuk mengangkat barang-barang dan menggiring hewan ternak untuk dibawa kembali ke desa.

Tak ada satu pun lagi yang peduli dengan si pimpinan perampok. Aryajanggala terkapar seperti mayat di tepi pantai. Bahkan dia memang terlihat seakan-akan sudah tewas.

Namun Aryajanggala sebenarnya masih bernafas, hanya saja dia tak kuasa menggeser tubuhnya, selain hanya diam merasakan deburan ombak yang berulangkali menyiraminya badannya.

Ketika semua orang sudah pergi, pelan-pelan dia mengangkat wajahnya yang telungkup dan memandang ke depan. “Awas saja nanti kau, Pendekar. Suatu hari aku akan membuat perhitungan denganmu!” ucap Aryajanggala dalam hati. Dia hanya bisa menahan rasa sakit dari luka bakar yang membuatnya kulitnya jadi seperti kulit ikan gosong.

Hanya selang beberapa waktu kemudian, muncullah sesosok siluman berkepala burung hantu terbang di udara dengan dua sayap berwarna perak. Siluman tersebut turun dan mendekati tubuh Aryajanggala. 

Dia membalikkan badan si pimpinan perampok itu dan lalu menaruh tangannya di atas dada Aryajanggala. Siluman tesebut dapat merasakan kalau orang ini masih hidup, hanya saja dia terlihat seperti pingsan karena telah terkena pukulan yang begitu dahsyat.

Diangkatnyalah kemudian tubuh Aryajanggala dan lalu dibawanya terbang meninggalkan tempat itu. 

Sementara di lokasi yang berbeda, Jaka Purna telah di depan rumah dan melihat kalau pintu rumahnya telah ambruk. Dia pun masuk ke dalam, Jagat Pramudita dan juga Waluyo  mengikuti di belakangnya.

Genangan darah berbau anyir membelai indra penciuman mereka saat pertama melangkah melewati pintu.

Cahaya lentera masih menyala dan menerangi seisi ruangan walau agak redup. Mayat-mayat perampok terlihat bergelimpangan di lantai, dan golok-golok yang patah juga berserakan.

Menyaksikan hal tersebut, Jaka Purnama tahu kalau isterinya sudah betarung dengan menggunakan Pedang Penebas Setan. Sebab pusaka itu selalu ganas dan meminta nyawa apabila telah tercabut dari sarungnya.

Pada jarak sekitar lima depa di hadapan Jaka Purnama, tubuh Anindhita tersandar di dinding dengan pakain ungu yang bersimbah darah.

Jaka Purnama tambah terkejut saat melihat ada segolok yang tertancap di perut isterinya itu. Dia pun segera berlari menghampiri Anindhita.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 145 : Ada Yang Diam-diam Mengintai

    Malam yang dingin semakin larut. Lereng Gunung Ratri yang penuh pepohonan meranti sudah terlewati di belakang Giandra. Kini dia sedang berada di sebuah kawasan lembah yang masih tertutup hutan.Giandra coba-coba menghitung-hitung jarak perjalanan, menurut perkiraannya, dia nanti akan sampai di istana bertepatan dengan waktu terbit fajar.“Aku tidak boleh terlambat. Semoga saja Argani Bhadrika belum tiba di gerbang istana kerajaan. Jangan sampai bajingan itu mencelekai gusti prabu,” bantin Giandra dalam hati.Dari satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain, Giandra terus melompat menggunakan ilmu peringatan tubuh. Temaram pucat cahaya bulan sudah cukup sebagai lentera yang menemaninya sepanjang jalan.Kecepatan Giandra saat melesat di udara dapat melebih laju seekor kuda perang. Sepanjang jalan Giandra tak melihat apa pun di sekitar kecuali hanya kegelapan belantara liar.Bayangan silam kembali terlintas di pikiran Giandra. Di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 144 : Pesan Terakhir Tubagus Dharmasuri

    Setelah lumayan jauh meninggalkan puncak Gunung Ratri, para pendekar kini sedang dalam perjalanan hendak turun ke kaki gunung. Tubagus Dharmasuri terus dipapah oleh Senopati Wibisana dan juga Alindra. Kondisinya yang terlalu lemah tak memungkinkan bagi sang patih tua itu untuk berjalan sendiri.Malam masih panjang, bintang-bintang pun tampak cemerlang bertaburan di langit, udara di hutan yang dingin menemani setiap langkah kaki mereka. Awalnya para pendekar sempat menggunakan ilmu peringan tubuh sewaktu kabur dari Dewa Kalajengking, tapi kini mereka memutuskan berjalan kaki pelan-pelan, sebab fisik mereka sudah tak kuasa melawan letih, dan keadaan pun sekarang sudah lebih aman.Alindra lalu memberi usul. “Kelihatannya Dewa Kalajengking tidak akan mengejar sampai ke sini. Bagaimana kalau kita istirahat dulu sembari menunggu Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka tiba?”“Baiklah, aku setuju. Kita butuh tempat untuk merebahkan gusti patih dan menawar luka dalamnya,” ujar Senopati Wibisana.Dam

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 143 : Pertolongan Yang Tepat Waktu

    “Hah … hah … hah ….” Senopati Taraka akhirnya terengah-engah kelelahan. Jurus tadi telah berhasil memusnahkan binatang peliharaan Dewa Kalajengking. Dia butuh jeda dulu untuk menarik nafas saat ini, karena jantungnya berdegup kencang akibat memforsir tenaga dalam. Namun, Dewa Kalajengking yang berdiri sekitar tujuh tombak di hadapannya tak sudi memberi waktu walau sebentar. Alih-alih penyihir itu lanjut lagi membaca mantra. Tanah pun terbelah! Tiga ekor kalajengking raksasa keluar lagi dari dalam bumi bak singa yang baru dilepas dari kandang. Senopati Taraka kali ini benar-benar dalam keadaan rawan. Dia harus bertarung lagi walau fisiknya makin melemah. Melihat pemandangan itu, Senopati Taraka pun berpikir, “Bagaimana bisa binatang raksasa ini tidak habis dari tadi? Setiap kali penyihir itu berkomat-kamit merafal mantra, selalu saja ada kalajengking besar yang muncul. Kekuatan sihirnya memang aneh dan tidak masuk di akal!”Dewa Kalajengking rupanya tahu kalau Senopati Taraka takjub

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 142 : Mundur Bukan Berarti Kalah

    “Gusti Patih,” pekik Senopati Taraka. Teriakannya itu membuat yang lain pun jadi ikut kaget.Semua mata pendekar kini tertuju pada Tubagus Dharmasuri. Sungguh tak diduga kalau orang sekuat dia ternyata juga bisa kalah. Padahal Tubagus Dharmasuri adalah yang paling sakti di antara yang lain. Dengan susah payah, Senopati Taraka pun cepat-cepat bangkit. Dia tergopoh-gopoh menghampiri sang patih yang tampaknya mengalami luka dalam.Sewaktu tadi Dewa Kalajengking menembakkan sinar merah dari telapak tangannya, Tubagus Dharmasuri adalah yang berada di posisi paling depan di antara para pendekar, maka wajarlah kalau dirinya yang paling kuat terkena terpaan energi penyihir itu.Sambil berusaha mengontrol nafas, Tubagus Dharmasuri mengangkat tangan kirinya, Senopati Taraka langsung tahu kalau patih itu minta dibantu untuk berdiri.“Bertahanlah, Gusti!” ucap Senopati Taraka seraya menaruh lengan Tubagus Dharmasuri di tengkuknya, dia pun menolongnya untuk bangun.Tubuh orang tua itu ternyata lum

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 141 : Hancurnya Zirah Sisik Naga

    Napas Patrioda berdengus bak banteng yang baru masuk ke dalam arena. Dia tak hirau lagi dengan apa pun di sekitarnya, sebab perhatiannya saat ini cuma tertuju pada satu titik, yaitu Dewa Kalajengking yang sebentar lagi akan dia terkam! Tanpa berkedip, Patrioda menatap sosok besar yang berdiri setinggi dua tombak itu. Dia rasa kalau dirinya harus berlari dan melonjak ke udara bila ingin mencakar tubuh Dewa Kalajengking dengan kukunya.Patrioda pun berseru, “Akan kuselesaikan semuanya sekarang! Terimalah ini, Jurus Cakar Naga Mencabik Gunung! Hiyaaa!”Bak Macan tutul yang kelaparan, Patrioda bergerak secepat angin. Dengan lonjakan kaki yang kuat di tanah, tubuhnya pun lalu membubung tinggi untuk menjangkau badan Dewa Kalajengking.Musuhnya itu sama sekali tak berkelit, Dewa Kalajengking malah membentangkan tangannya lebar-lebar, seolah mempersilahkan Patrioda yang hendak menyerangnya. Dengan bengis, kedua cakar Patrioda yang serupa bara api pun serta merta langsung mencarik kulit Dewa

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 140 : Ajian Kulit Setan Kawah Merapi

    Alindra dan Damayanti akhirnya kembali pulih setelah tadi terkena pukulan ekor dari Dewa Kalajengking. Semua pejuang kerajaan pun berkumpul di belakang Patrioda. Mereka masih belum mengambil tindakan, selain hanya jadi penonton untuk sementara waktu.Senopati Wibisana yang sebelumnya jauh tertinggal di belakang kini juga turut bergabung dengan yang lain. Melihat kondisi Alindra sudah dapat berdiri setelah diobati oleh Mpu Bhiantar, dia pun merasa lega, tapi walau demikian, dia tak ingin kalau Alindra sampai kenapa-napa lagi.“Sebaiknya kau jangan ikut bertarung dulu, Alindra. Sebab tenagamu pasti banyak terkuras setelah menggunakan Jurus Delapan Mahkota Teratai Jingga. Simpan dulu sisa kekuatanmu untuk pemulihan seutuhnya.”Kata-kata itu membuat Alindra tersipu malu. Pipinya pun tiba-tiba menjadi merah. Baru kali ini dia temukan kalau ada lelaki yang sangat perhatian pada dirinya. “Benar apa yang dikatakan oleh gusti senopati itu,” ujar Mpu Bhiantar menasehati Alindra. “Kalau kau mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status