LOGIN"Kita butuh rencana," Nadia menegaskan sambil meletakkan laptop di meja makan Alya. Layarnya menampilkan video viral duet Alya dan Faris yang sudah ditonton lebih dari tiga juta kali. "Counter narrative, seperti yang kukatakan tadi."
Alya mengerang frustrasi, menutup wajahnya dengan bantal sofa. Ini hari yang panjang, dan sepertinya belum akan berakhir. Setelah telepon canggung dengan Faris dan komentar mengejutkan dari Dika di fotonya, kini seluruh "squad" bertekad membuat rencana besar untuk menghadapi situasi ini.
"Aku tidak mengerti kenapa ini harus jadi masalah besar," Alya mengintip dari balik bantal. "Itu cuma video lama. Orang-orang akan lupa dalam seminggu."
"Terlalu naif, sayang," Indah menggelengkan kepalanya sambil mengunyah donat terakhir. "Dalam dunia psikologi media sosial, segala sesuatu yang viral memiliki dampak jangka panjang pada persepsi publik."
"Aku bukan selebr
Alya membuka mata saat sinar matahari menerobos tirai jendela kamarnya. Satu jam lagi weker akan berbunyi, tapi entah kenapa dia sudah terbangun lebih awal. Mungkin karena hari ini adalah hari penting, satu hari sebelum kumpul besar angkatan mereka. Alya meraih ponsel pintarnya dan melihat notifikasi yang sudah membanjiri layar. Grup "SMA Tanpa Drama" semakin ramai, terutama setelah pertemuan mereka semalam di kafe."Ya Allah, udah jam berapa ini?" gumamnya sambil melihat jam. Pukul enam pagi. "Masih sempat salat Subuh."Setelah menyelesaikan salat, Alya kembali mengecek ponselnya. Ada pesan pribadi dari Luna."Hei, udah bangun? Jangan lupa jam 9 kita ketemu di salon Nadia. Operasi final make over sebelum besok."Alya tersenyum. Dia tidak menyangka teman-temannya akan seantusias ini untuk membantu penampilannya. Padahal, seharusnya semua ini sudah tidak penting lagi. Faris sudah punya
Maya duduk sendiri di sudut Kafe Nostalgia, memperhatikan efek domino dari rencana yang telah ia susun selama berbulan-bulan. Notebook-nya terbuka di hadapannya, penuh dengan coretan, diagram hubungan, dan catatan tentang semua teman lamanya. Beberapa nama sudah dicentang: Faris dan Alya, pasangan pertama yang berhasil dipersatukan kembali. Dirinya dan Rizky, yang akhirnya mengungkapkan status pernikahan mereka. Kini matanya tertuju pada nama-nama lain yang belum tercentang: Nadia dan Bimo, Luna dan seseorang yang masih bertanda tanya, Indah dan beberapa kemungkinan pasangan."Merencanakan konspirasi berikutnya?"Suara itu mengejutkan Maya. Ia mendongak dan mendapati Rizky berdiri di sampingnya, memegang dua cangkir kopi. Dengan cepat, Maya menutup notebooknya."Hanya mengecek perkembangan," Maya tersenyum misterius. "Duduklah, suamiku. Kita sudah tidak perlu berpura-pura lagi sekarang."
Faris merasakan jantungnya berdebar kencang saat ia dan Alya bergegas kembali memasuki Kafe Nostalgia. Tangan mereka masih bertautan, seolah takut kehilangan satu sama lain lagi. Dika berjalan di depan, membimbing mereka melewati kerumunan teman-teman lama yang kini tampak berkumpul di dekat panggung kecil."Apa yang terjadi?" Alya berbisik pada Faris, matanya menyapu ruangan yang mendadak riuh."Entahlah," Faris menggeleng. "Tapi sepertinya ada hubungannya dengan Maya dan Rizky."Ketika mereka akhirnya berhasil menerobos kerumunan, pemandangan di depan mereka membuat keduanya terkesiap. Di atas panggung kecil, Rizky berdiri dengan gugup, mikrofon di tangan, sementara Maya duduk di kursi di sampingnya dengan wajah pucat. Di depan mereka, Luna berdiri dengan notebook milik Maya di tangannya, ekspresinya campuran antara kaget dan penuh kemenangan."...jadi," Luna sedang berbicara, suaranya menggema melalui pengeras suara, "setelah menemukan notebook ini yan
Alya tidak bisa melepaskan pandangannya dari dua orang yang baru saja memasuki kafe. Pria paruh baya dengan rambut beruban itu memiliki postur tegap dan wajah tegas yang mengingatkannya pada Faris. Di sampingnya, seorang wanita muda dengan hijab modis berdiri dengan anggun, mengamati seisi ruangan dengan tatapan penasaran."Siapa mereka?" Alya berbisik pada Luna."Entahlah," Luna menyipitkan mata, mode detektifnya aktif. "Tapi lihat wajah Faris. Dia terlihat seperti baru melihat hantu."Alya melirik ke arah Faris dan memang benar, wajahnya pucat pasi. Dika di sampingnya tampak sama tegangnya, berbisik sesuatu dengan cepat ke telinga Faris.Suasana kafe yang tadinya riuh kini menjadi sunyi. Semua orang merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi udara. Pak Surya, yang masih berdiri di dekat panggung, bergegas menyambut dua pendatang baru tersebut."Selamat malam," Pak Surya tersenyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu?""Saya Ahmad Faris Senio
Kafe Nostalgia berdiri dengan megah setelah renovasi, tetapi masih mempertahankan nuansa retro yang menjadi ciri khasnya. Di balik dinding kaca yang lebar, lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan suasana hangat yang menyambut setiap pengunjung. Meja-meja kayu yang dipernis mengkilap dan kursi-kursi berbantal merah jambu tersusun rapi. Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil dengan mikrofon dan piano mengingatkan pada malam-malam musik akustik yang dulu sering diadakan.Luna adalah yang pertama tiba bersama Alya dan teman-teman perempuannya. Mereka langsung disambut oleh Pak Surya yang berdiri di pintu masuk dengan senyum lebar."Ah, siswi-siswi kesayanganku," Pak Surya merentangkan tangannya. "Atau sekarang harus kupanggil wanita-wanita sukses?""Pak Surya!" Alya tersenyum lebar dan memeluk mantan guru BK mereka itu. "Bapak tidak berubah sama sekali.""Kecuali rambutnya yang semakin putih," Luna menambahkan dengan cengiran nakal."Dan per
Dika memandangi layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Pesan terkirim ke Faris tentang pertemuannya dengan Alya di mal beberapa jam lalu. Ia tidak menceritakan semuanya, tentu saja. Terutama bagian di mana ia hampir mengakui bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Atau bagian di mana ia mulai meragukan orientasi seksualnya sendiri."Apa yang terjadi padaku?" gumam Dika sambil melemparkan ponselnya ke tempat tidur hotel.Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kota Jakarta yang sibuk. Langit sore mulai berubah jingga, menandakan malam akan segera tiba. Malam pra-reuni yang mungkin akan menjadi titik balik dalam karir aktingnya, atau mungkin... hidupnya.Dika adalah aktor metode terbaik di kelasnya. Ia selalu mendalami setiap peran yang ia mainkan, hidup sebagai karakter tersebut, bahkan di luar panggung. Itulah mengapa Faris memilihnya untuk peran "suami" ini. Tapi Dika tidak pernah menyangka bahwa peran ini akan membuatnya mempertanyakan beg







