Faris membuka mata perlahan. Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai yang tak tertutup sempurna. Untuk beberapa detik, ia mengerjap bingung, mencoba mengingat di mana dia berada. Kamar hotel. Tentu saja. Ia sudah menginap di sini sejak kemarin, sejak pertemuan tak terduga di kafe dengan teman-teman SMA.
Saat kesadarannya mulai pulih sepenuhnya, Faris menyadari ada yang aneh. Ada beban di samping tempat tidurnya. Ia menoleh perlahan dan mendapati Dika tertidur dengan lelap, bertelanjang dada, dengan wajah polos seperti bayi. Jantung Faris serasa jatuh ke perut.
"Ya Allah," bisiknya pelan sambil perlahan menggeser tubuhnya menjauh.
Ingatan semalam perlahan terbentuk. Dika mabuk setelah acara di kafe. Bukan mabuk alkohol tentu saja, tapi mabuk jus mangga yang ternyata ia alergi. Faris terpaksa membawanya ke kamar hotel karena Dika menolak memberitahu alamat rumahnya dalam kondisi setengah sadar.
"Seharusnya aku minta kamar tambahan," gumam F
Alya tidak bisa melepaskan pandangannya dari dua orang yang baru saja memasuki kafe. Pria paruh baya dengan rambut beruban itu memiliki postur tegap dan wajah tegas yang mengingatkannya pada Faris. Di sampingnya, seorang wanita muda dengan hijab modis berdiri dengan anggun, mengamati seisi ruangan dengan tatapan penasaran."Siapa mereka?" Alya berbisik pada Luna."Entahlah," Luna menyipitkan mata, mode detektifnya aktif. "Tapi lihat wajah Faris. Dia terlihat seperti baru melihat hantu."Alya melirik ke arah Faris dan memang benar, wajahnya pucat pasi. Dika di sampingnya tampak sama tegangnya, berbisik sesuatu dengan cepat ke telinga Faris.Suasana kafe yang tadinya riuh kini menjadi sunyi. Semua orang merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi udara. Pak Surya, yang masih berdiri di dekat panggung, bergegas menyambut dua pendatang baru tersebut."Selamat malam," Pak Surya tersenyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu?""Saya Ahmad Faris Senio
Kafe Nostalgia berdiri dengan megah setelah renovasi, tetapi masih mempertahankan nuansa retro yang menjadi ciri khasnya. Di balik dinding kaca yang lebar, lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan suasana hangat yang menyambut setiap pengunjung. Meja-meja kayu yang dipernis mengkilap dan kursi-kursi berbantal merah jambu tersusun rapi. Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil dengan mikrofon dan piano mengingatkan pada malam-malam musik akustik yang dulu sering diadakan.Luna adalah yang pertama tiba bersama Alya dan teman-teman perempuannya. Mereka langsung disambut oleh Pak Surya yang berdiri di pintu masuk dengan senyum lebar."Ah, siswi-siswi kesayanganku," Pak Surya merentangkan tangannya. "Atau sekarang harus kupanggil wanita-wanita sukses?""Pak Surya!" Alya tersenyum lebar dan memeluk mantan guru BK mereka itu. "Bapak tidak berubah sama sekali.""Kecuali rambutnya yang semakin putih," Luna menambahkan dengan cengiran nakal."Dan per
Dika memandangi layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Pesan terkirim ke Faris tentang pertemuannya dengan Alya di mal beberapa jam lalu. Ia tidak menceritakan semuanya, tentu saja. Terutama bagian di mana ia hampir mengakui bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Atau bagian di mana ia mulai meragukan orientasi seksualnya sendiri."Apa yang terjadi padaku?" gumam Dika sambil melemparkan ponselnya ke tempat tidur hotel.Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kota Jakarta yang sibuk. Langit sore mulai berubah jingga, menandakan malam akan segera tiba. Malam pra-reuni yang mungkin akan menjadi titik balik dalam karir aktingnya, atau mungkin... hidupnya.Dika adalah aktor metode terbaik di kelasnya. Ia selalu mendalami setiap peran yang ia mainkan, hidup sebagai karakter tersebut, bahkan di luar panggung. Itulah mengapa Faris memilihnya untuk peran "suami" ini. Tapi Dika tidak pernah menyangka bahwa peran ini akan membuatnya mempertanyakan beg
Alya menelusuri lorong-lorong mal dengan langkah berat. Meski sudah membeli pakaian untuk pra-reuni malam ini, ia masih merasa ada yang kurang. Sesuatu yang akan membuatnya terlihat istimewa. Bukan untuk membuat Faris terkesan, tentu saja. Atau setidaknya, itulah yang terus ia katakan pada dirinya sendiri."Mungkin aku butuh aksesori tambahan?" gumamnya pada diri sendiri sambil memandangi etalase toko perhiasan.Luna dan yang lainnya sudah pulang duluan, kembali ke apartemen Alya untuk bersiap-siap. Alya memutuskan untuk tinggal sebentar, beralasan ingin membeli sesuatu yang terlupakan. Padahal, ia hanya butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikirannya yang kacau."Apa yang sebenarnya aku harapkan dari malam ini?" Alya bertanya pada bayangannya di kaca etalase. "Faris sudah bahagia dengan pilihannya. Aku seharusnya ikut bahagia untuknya."Tapi kenapa rasanya begitu sulit? Kenapa dadanya masih terasa sesak setiap kali mengingat foto Faris dengan "suami"-ny
Rizky menatap layar ponselnya dengan campuran takjub dan ngeri. Halaman Instagram dengan nama @UstadzRizkyLoveStory baru saja dibuat kemarin, tetapi sudah memiliki tiga puluh lima unggahan dan lebih dari seratus pengikut. Kebanyakan unggahan berisi potongan foto Rizky saat mengajar di pesantren, yang entah bagaimana dipadukan dengan foto Maya yang diambil dari sampul belakang novel-novelnya. Beberapa bahkan sudah diedit sedemikian rupa hingga tampak seperti mereka sedang berpose bersama."Astaghfirullah," Rizky mengusap wajahnya yang lelah. "Ini sudah kelewatan."Ia sedang berada di ruang guru pesantren, menunggu waktu untuk mengajar kelas fikih setelah Ashar nanti. Biasanya, waktu menunggu ini ia gunakan untuk membaca atau menyiapkan materi. Namun, sejak kemarin, perhatiannya teralihkan oleh "fenomena shipper" yang muncul di kalangan santri-santrinya."Ustadz Rizky," sebuah suara memanggilnya dari pintu.Rizky buru-buru mengunci ponselnya dan mendongak.
Maya mengetuk-ngetukkan pensilnya ke meja kafe dengan gelisah. Laptop di hadapannya menampilkan dokumen Word yang masih setengah jadi, draft novel terbarunya yang terinspirasi dari drama reuni yang sedang ia orkestrasi dengan diam-diam. Sengaja ia memilih kafe kecil di sudut kota, jauh dari jangkauan teman-teman lamanya, untuk menghindari kemungkinan ketahuan."Lima puluh ribu kata lagi," gumamnya sambil menyesap kopi yang mulai dingin. "Akhir yang sempurna untuk novel terbaik yang pernah kutulis."Maya tersenyum kecil, membayangkan bagaimana seluruh konflik yang ia ciptakan akan mencapai klimaks di hari reuni nanti. Semua puzzle yang ia susun perlahan-lahan mulai membentuk gambar utuh. Alya dan Faris, dengan segala drama putus-nyambung mereka. Nadia dan Bimo, dengan kisah perundungan yang berubah menjadi cinta. Luna dan berbagai teori konspirasinya. Dan tentu saja, dirinya dan Rizky, dengan rahasia besar yang belum siap ia bagikan dengan dunia."Kupikir akan me