Di bangku belakang, Hana menatap pemandangan jalan dari balik kaca jendela. Sesekali ia menatap langit yang tanpa ditemani bulan maupun bintang dengan hati dan tatapan kosong. Wanita itu tak berniat sedikitpun menengok ke kursi depan.Tadi Hana tidak ada pilihan lantaran Kai yang memilih menumpang mobil sang ayah. Kalau tidak, dia pun tak sudi berada dalam satu mobil itu bersamanya. Dia sudah mati-matian menghindar, malah sekarang dirinya dipertemukan dalam kondisi seperti itu demi Kai.Melalui kaca spion, Mahendra mengamati setiap gerak-geriknya dalam diam. Dia tahu detik itu bukan saatnya untuk berbicara. Dia khawatir kejengkelan si wanita cantik akan bertambah beberapa level dan dia tak mau itu terjadi.Sempat berhenti di salah satu apotik, Mahendra kembali ke mobil dengan menenteng kresek putih berlogo apotik di tangan kanannya. Lalu, mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang. Langit mulai menghitam saat mobil mereka membelah jalan ibukota yang tak pernah kenal kata sepi. Heni
"Pulanglah, Nak Hendra. Hari sudah malam. Biarkan Hana dan anaknya istirahat dulu."Mahendra membalikkan badan dan menemukan sang pemilik suara. Seorang ibu tangguh yang sudah berusia senja tetapi masih sanggup menerima pesanan ratusan kue dari pelanggannya. Mata ibu terlihat penuh harap agar pria yang berada di hadapan tidak mengganggu anak dan cucunya lagi. Benci, sepertinya sudah tidak, karena beriringan dengan waktu rasa itu semakin terkikis. Hanya saja, dia tak mau pria yang pernah menghancurkan masa depan putrinya kini kembali saat dia sudah berhasil mengembalikan segenap harapan hidup untuk putri dan cucunya."Maaf, Tante, kalau saya ganggu. Saya pamit dulu."Segan dan malu menghadapi orang tua itu, Mahendra pun patuh dan melangkah keluar. Dirinya merasa terusir dari rumah secara tidak langsung. Tidak ada ramah tamah di wajah ibu Hana, ia merasa dirinya tidak diterima di keluarga itu. Ia dapat merasakan perbedaan sikap wanita senja yang se
"Ma, bacakan cerita untuk Kai."Bocah itu duduk dan meminta ketika Hana sedang berdiri di depan meja hias. Wanita itu sedang berusaha menata perasaan yang nyaris hancur ketika melihat masa lalunya hadir kembali. Nyata dan sangat dekat. "Kai, kenapa bangun lagi? Apa ada yang sakit?" Dia mendekati dan menyentuh dahinya. Masih hangat. Sepertinya dia harus memberikan obat penurun panas kepadanya. Hana kembali ke dapur dan mengambil obat yang biasa dikonsumsi jika Kai demam. Obat dari Mahendra di meja sama sekali tak tersentuh olehnya.Setelah selesai minum obat, Kai kembali berbaring dan Hana mulai membacakan buku cerita untuknya hingga bocah enam tahun itu tertidur. Memandang wajah putranya yang terlelap, diam-diam Hana menyadari ada garis wajah Mahendra yang terpahat melekat di sana. Mirip sekali. Bedanya, Mahendra mempunyai kumis tipis, sedangkan Kaindra tidak.Terkadang, tanpa diundang terlintas bayangan wajah Mahendra merajai pikiran,
Terdengar suara bariton yang tiba-tiba mengusik perhatian dan pandangannya. Muak mendengar kalimat yang terkesan sok mengatur, Hana pun berbalik badan dan langsung masuk ke dalam rumah tanpa menanggapinya. Pria itu mengikutinya. "Han, aku bertanya dan butuh kejelasan dari kamu. Kamu tahu, kini aku kembali dan mau minta maaf. Jadi, aku mohon, dengarkan dulu penjelasanku ...."Kalimat itu terpotong begitu saja saat Hana pun melontarkan kalimat yang mematahkan kepingan hatinya. "Maaf mungkin Anda salah orang. Jadi tolong jangan menjadi pengganggu hidupku. Kita tidak saling kenal." Dia berlalu dan tak menghiraukan bagaimana mimik pria yang terus mengekorinya. "Han, beri aku kesempatan, jangan begini caranya menghindari aku. Sudah empat tahun aku mencari keberadaanmu dan kini aku senang bisa menemuimu lagi. Dan kurasa kamu cukup pintar untuk menangkap maksudku."Sejurus itu, Hana berbalik dan menampilkan tatapan melotot dengan raut api kebe
"Mana uangnya?"Pertanyaan yang tidak ingin didengar pun terucapkan oleh orang itu untuk kesekian kali. Telinga Hana berdengung kala mendengar bentakan pria yang ada di hadapannya sekarang."Maaf, Bang. Uangnya belum terkumpul. Tapi aku janji kalau sudah ada, aku akan lunasi semuanya." Dengan nada sedikit bergetar, Hana berusaha terlihat baik-baik saja karena dirinya tidak mau dicap lemah. Ia ingin tampak kuat agar pria itu tidak mem-bully-nya lagi."HALAH, alasan saja kau ini! Sudah hampir satu tahun kalian tinggal gratis. Janjinya mau bayar tapi apa? Baru seuprit saja. Kayaknya kalian tidak bisa tinggal di sini lagi sekarang. Mending aku sewakan ke orang lain biar ada untungnya."Pria itu memukul pintu berkali-kali membuat jantung Hana nyaris lompat dari rongganya. Kaget dan perasaan ngeri pun tiba seketika. Tidak ada yang ditakutkan seumur hidupnya, ia wanita tangguh dan kuat. Namun, jika sudah menyangkut keterancaman hidup keluarganya, ia akan
Mahendra adalah satu-satunya putra yang hidup bergemilang harta. Orangtuanya merupakan pemilik perusahaan minuman yang terkenal di Nusantara sedangkan orangtua Hana hanyalah seorang pedagang bubur jalanan dan ibunya tukang kue yang menitipkan barang dagangannya dari satu pasar ke pasar lain. Jomplang memang. Namun, atas nama cinta, Mahendra tidak pernah mempermasalahkan perbedaaan yang terlihat sangat jelas. Rasa cinta yang besar membuat pria ambisius itu ingin memilikinya dengan cara yang salah sehingga tidak sengaja menitipkan benih ke rahim Hana.Namun, niat menikahi sang pacar bukan hanya di bibir saja. Dia akan menunaikan janjinya jika sudah merasa mapan dengan jabatan direktur. Dia tidak ingin kehidupan Hana serba kekurangan seperti yang dirasakan Hana sekarang.Bagi Mahendra, tidaklah sulit mendapatkan wanita untuk dijadikan pendamping hidup. Lihat saja dirinya yang tampan, mapan, tubuh yang sempurna dan kepribadian tegas. Jelas semua kelebihan kau
Setelah sekian menit mendesak kedua sahabat Hana beberapa kali, Mahendra gagal untuk kedua kalinya membujuk agar mereka mau membuka mulut. Tidak ada kabar yang dia dapatkan di sana. Kedua wanita itu memilih bungkam dan tak memberitahu apapun tentang kehidupan Hana sejak kepergiannya.Bagaimana Hana menjalankan semuanya? Siapa sosok Arsenio dan Kai? Bagaimana kelanjutan kuliah Hana pun, Mahendra masih meraba-raba. Mereka, sahabat Hana yang bisa diandalkan, memihak pada Hana dan tidak sedikitpun berniat menghianatinya.Mungkin tadinya Hana berpikir bahwa kedua sahabatnyalah yang memberitahu pria itu di mana keberadaannya. Ternyata, bukan.Tadinya, Mahendra bertanya keberadaan Hana kepada Annisa dan Laina. Mereka memang bergeming. Tentu, Mahendra tidak tinggal diam dan punya cara bagaimana mendapatkan alamat rumah Hana.Kedua wanita itu tidak tahu kalau Mahendra memberi titah kepada si supir, Pak Dadang untuk mengikuti mereka saat mengendarai motor,
"Maaf, Pak. Tolong jangan mempersulit saya! Saya harus bertanggungjawab atas Kai dan memastikan Kai sampai di rumah dengan selamat.""Iya, nanti akan saya antar ....""Maaf, Pak. Saya tidak bisa."Tak ingin berdebat, Mang Udin menyudahi percakapan dengan menunduk hormat, memberi kode agar Mahendra mengerti maksudnya. Lalu, si tukang ojek itu menarik tangan Kai.Melihat sikap tanggung jawabtersebut, Mahendra merasa tidak punya pilihan lain selain menyerah. Dia pun tak mau membuat Hana kesal karena mengajak Kai menghabiskan waktu istirahat tanpa sepengetahuannya.Selain itu, dia merasa salut dan mengacungkan jempol dengan kegigihan yang dimiliki sang tukang ojeg untuk menjaga Kai. Dalam hati, ia pun tersenyum lega.***"Bro, siapa nama lengkap cewekmu itu? Kamu tahu?"Berdiri sambil menyelipkan satu tangan ke saku, Aldo memasang wajah serius bertanya saat mereka sudah berada di ruangan Mahendra. Satu tangan A