Ini sepenggal kisah masa lalu yang belum usai antara Mahendra dan Hanami. "Aku mohon menikahlah denganku. Aku akan menebus semua kebodohan masa lalu kita. Aku janji akan membahagiakan kamu dan anak kita." "Jangan harap. Di antara kita hanyalah masa lalu. Jangan mimpi aku mau menikah denganmu." "Lihat saja, suatu saat aku akan membuatmu yakin dengan apa yang aku niatkan. Kamu akan menjadi milikku satu-satunya sampai hayat hidupku." "Gila." "Iya, aku memang sudah tergila-gila denganmu."
View More"Tidak mungkin, Han. Kita hanya melakukannya satu kali. Mana mungkin bisa langsung hamil?" Mahendra memelankan nada bicaranya, tak mau orang yang di sekitar ikut mendengar percakapan mereka.
"Tapi itu kenyataannya, Dra."Hanami mencoba meyakinkan sang kekasih dengan merogoh tas yang ada di pangkuan, mengeluarkan test pack dan menunjukkan kepadanya. Dengan tangan sedikit bergetar, pria tampan itu pun mengambil dan menatap hasil test dengan mata membola.Awalnya, wanita bernama lengkap Hanami Ramadhani juga tidak menyangka akan mendapati kenyataan memalukan, pun tak mau hal tersebut terjadi. Namun, hasil test alat kehamilan cukup menunjukkan kalau dia benar-benar hamil. Terus, dia harus bagaimana?"Dua garis itu artinya positif?" Pria beralis tebal itu bertanya pelan, hanya ingin memastikan. Wajahnya diliputi rasa panik.Gadis itu mengangguk pelan dengan wajah meredup, lelah dan tak tahu harus bagaimana. Dia merasa tubuhnya lemas, sering mual dan muntah di pagi hari. Ditambah yang membuatnya bingung, tamu bulanan sudah tak berkunjung selama dua bulan. Di situlah awalnya dia mulai resah dan curiga kalau dia hamil setelah kejadian dua bulan yang lalu.Inisiatif membeli test pack di apotik lalu sesuai petunjuk, dia mencoba urinnya dan hasil yang ditunjukkan adalah dua garis. Iya, fix, dia hamil."Coba kamu tes lagi pakai merek yang lain, barang kali yang ini error."Pria itu masih belum bisa menerima kenyataan kalau kekasih yang dicintainya tengah hamil akibat perbuatan zina mereka di rumah kosong setelah acara pesta wisuda. Ada guratan kegelisahan yang terbit di wajah, jelas sekali terlihat dan tak sanggup disembunyikan.Mendengar itu, Hana langsung merogoh tas berwarna merah muda miliknya dan mengeluarkan tiga test pack lain lalu diletakkan ke atas meja. Alat pendeteksi dengan berbagai merek hasil yang ditunjukkan adalah sama. Dua garis merah."Aku sudah test empat kali dengan merek yang berbeda, tetapi hasilnya sama."Suaranya bergetar, ingin menangis dan menyesal dengan apa yang sudah terjadi. Benar kata orang kalau penyesalan memang selalu datang belakangan.Dengan cepat tangan kokoh Mahendra meraih ketiga alat tersebut, ingin meyakinkan apa yang dikatakan Hana adalah benar. Wajah yang tenang tadi seketika berubah menjadi raut penuh putus asa dan gelisah.Ada sengatan kekhawatiran di dada, jika kedua orangtuanya mengetahui putra kebanggaan mereka telah menodai anak gadis orang. Pria itu bisa saja membu nuh papanya yang mempunyai penyakit riwayat jantung koroner. Tidak, dia belum sanggup membayangkan dan terlebih itu tidak boleh terjadi.Menarik napas dan membuangnya kasar, dia menumpukan siku ke atas meja lalu menopangkan kepala ke atas punggung tangan. Membenamkan wajah di balik tangan, ingin sekali dia menyembunyikan rasa kekhawatirannya agar gadis yang di samping tidak melihat kondisi tersebut. Frustasi pun mulai menggerogoti pikiran."Gimana, Dra? Kamu jangan diam saja. Apa yang harus kita lakukan? Aku belum berani memberitahu ibu. Aku khawatir beliau pasti akan marah dan sedih."Hana bukan tak tahu Mahendra sedang menyembunyikan kegusaran seperti yang ia rasakan. Namun, dia juga tak mau sang kekasih melipat tangan dengan apa yang sudah dia lakukan."Iya, jangan kasih tahu dulu. Kita selesaikan tanpa campur tangan siapapun."Suara itu terdengar lirih, dia belum menunjukkan wajahnya. Kini dia menopang kepala di atas tangan yang terlipat di atas meja. Aroma kopi di kafe yang seharusnya menenangkan, tetapi justru perasaan gundah yang dirasakan. Mereka bahkan tak nyaman bukan karena dengan suasana, tetapi masalah yang baru menghampiri membuat kedua hati itu tidak tenang."Kamu mau tanggung jawab, Dra? Kamu tidak akan meninggalkan aku, kan?"Hana mulai mengguncang lengannya. Dia ingin kepastian dan menagih apa yang pernah dijanjikan pria itu sebelum mereka melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan pasangan suami istri. Matanya mulai buram ditutupi air yang masih bisa ditahan."Iya, tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu, aku sangat mencintaimu. Aku akan mencari cara. Kamu yang tenang, biarkan aku berpikir dulu."Setelah mengangkat kepala, dia melayangkan ciuman ke kening, pipi lalu ke pucuk kepala sang kekasih yang sekarang dilanda keresahan. Lalu, meletakkan kepala Hana ke ceruk lehernya. Apa yang diucapkan semuanya benar, dia sangat mencintai gadis itu. Namun, mungkin cara mengungkapkannya adalah keliru."Tidak akan meninggalkanmu. Kamu percaya padaku."Bisikan itu berhasil menurunkan satu level kecemasan Hanami. Wanita itu bisa mendengar dentuman jantung yang tak berirama di sana. Pikiran mereka berdua sama-sama dihantui rasa bersalah, berusaha mencari jalan keluar atas kasus itu.Setelah satu jam mereka berada dalam keheningan, akhirnya Mahendra membuka suara setelah dia menyesap cokelat panas yang sudah dingin. Namun, cokelat yang seharusnya terasa manis, kini terasa pahit di lidahnya."Ayo, ikut aku!"Mahendra pun menarik tangannya meninggalkan kafe tersebut lalu melajukan mobil menuju ke supermarket. Sesampai di sana, Hana yang masih belum mengerti maksud pria itu pun hanya bisa melipat dahi."Kamu tahu, kan, aku akan melanjutkan kuliah di Jepang sesuai rencana orangtuaku. Dan yang kutahu kamu mendukung aku waktu itu. Kita bisa melanjutkan hubungan LDR sesuai kesepakatan kita. Kamu ingat?"Hanami menyimak dan mengangguk dengan hati yang berkecambuk. Tentu saja dia ingat hal tersebut, tetapi sekarang kasusnya berbeda, dia hamil. Ada benih cinta di rahimnya yang diberikan pria itu."Kita masih terlalu muda untuk menjadi orangtua. Harusnya kita kejar dulu mimpi kita, cita-cita kita, setelah itu kita akan menikah dan mempunyai banyak anak. Kamu paham maksudku, Sayang?"Mahendra menggenggam kedua tangan Hana, kemudian mencium punggung tangannya. Ia memeluk harapan agar gadis delapan belas tahun itu mau mengerti keadaannya yang belum bisa menerima kehadiran seorang bayi saat itu. Dia ingin mewujudkan ambisi dan cita-cita. Jepang, itulah impiannya."Maksud kamu, Dra? Kamu tidak mau bayi ini dilahirkan?"Rasa kecewa mulai memenuhi dada, hati itu hancur ketika dia membaca gelagat aneh Mahendra yang memintanya melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Pria itu tidak menyahuti dan berbalik melihat jejeran buah yang terpampang di toko tersebut."Kita beli ini dan kamu harus menghabiskannya."Mahendra memilih dan mengambil beberapa jenis buah lalu hendak berjalan menuju ke kasir. Ia tak mengacuhkan raut muram yang tercetak di wajah pacarnya."Dra, jika aku makan buah-buah itu, bukankah akan membahayakan janinku?"Secepat kilat Hana menggeleng sambil mengelus perutnya yang masih rata. Wanita cantik itu mencoba menahan tangannya dan meminta penjelasan. Ia belum bisa menerima rencana sang kekasih."Justru itu yang kita inginkan, Han.""Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments