Suara keheningan kini menyelimutiku dengan Max. Tidak ada pembicaraan yang berani aku keluarkan untuk sekedar mengajak Max berbicara. Setelah menyelesaikan masalahku dengan Alex, Max masih terdiam, seperti biasa kami berdua bungkam dan asing satu sama lain.
Aku lebih memilih melihat pemandangan di luar kaca mobil, dan Max, fokus dengan kemudinya. Jarak rumah om Rinto memerlukan waktu dua jam lamanya. Jakarta - Bandung memanglah dekat, tapi entah kenapa semua terasa sangat jauh ketika bersama Max.
Rasanya lebih baik aku menaiki bus daripada harus satu mobil dengan Max.
Melihat senja yang sudah hampir tenggelam, aku meringis pelan seraya berdumal senja bisakah kamu membawa kesedihan di hatiku ini.
__
Tepat di jam tujuh malam, mobil yang dikendarai Max akhirnya berhenti di depan halaman rumah yang pernah aku datangi sewaktu Max melamarku dulu. Kuhelakan nafas panjang, mengingat kenangan itu, bagaimana suasana di dalam nanti, apa aku akan merasakan atmosfer yang sama lagi.
Aku bisa keluar dari dalam mobil yang terasa menyesakan dada tadi saja sudah sangat lega apalagi didalam nanti. Percayalah sepanjang perjalan,.selain melihat pemandangan aku juga berpura pura tidur, untuk mengurangi rasa canggungku.
Saat aku ingin melangkah menyusul Max, mendadak kedua kakiku berhenti. Ketika melihat tubuh Max berhenti di depan ku. Aku terdiam bingung.
Sorot mata Max miliriku, sepertinya Max sedang melihat penampilanku. Buru- buru aku tundukan wajahku dan menatap penampilan ku untuk sedikit membenarkannya, antisipasi kalau memang benar penampilanku ku saat ini berantakan.
“Ayo” suara brinton di depan ku itu berhasil menghentikan gerakan tanganku. “Kita harus masuk bersama" katanya sudah mengulurkan tangannya dan tersenyum.
Aku terpaku melihat itu. Apa maksudnya?
“Kenapa diam Laras? Keluarga saya sudah menunggu di dalam” katanya lagi. “Ayo, kamu boleh genggam tangan saya”
Benarkah Max mengatakan hal yang sangat langkah ini? Menggenggam tangannya? Ketahuilah jika memang ini bukan mimpi, ini adalah kedua kalinya aku bersentuhan fisik dengan Max, dan itu hanya sebatas menggenggam tangan nya saja. Genggaman pertama saat dia memasangkan cincin di pertunangan kami dan genggaman kedua adalah saat malam ini.
Melihat wajahnya yang tersenyum itu entah kenapa diriku merasa hangat. Baru kali ini Max tersenyum secara terang - terang di depanku.
Dengan tersipu malu, aku ulurkan tangan ku ke dalam genggaman tangan nya, rasa hangat dari genggaman nya langsung menyentuh kulit ku.
Aku gugup, sangat gugup. Jantungku sudah berdebar menggelitik perasaanku, entah kenapa aku merasa sedikit senang melihat tidak ada tatapan dingin dari Max.
Aku tatap Max seraya ikut menampilkan senyum manis. Lalu tak lama dia mendengus memajukan wajahnya.
“Jadilah tunangan saya yang baik malam ini . Cukup diam dan bersandiwara kalau kita baik baik saja”
Seketika senyum ku surut. Apa maksudnya? Bersandiwara? Max melakukan ini hanya untuk pura pura? Aku meringis dalam, kenapa harus bersandiwara.
“Ah ya cincin ini” ucapnya sambil menatap jemari ku yang sudah melingkarkan sebuah cincin pertunangan kami di sana. “Saya sudah membuangnya”
Aku lepaskan tangan ku yang sedang di genggam itu dengan perlahan, dia menatapku bingung. lalu aku langsung melepaskan kalung pada leherku dan meloloskan 1 buah cincin yang aku jadikan bandulan pada kalung itu.
“Ini cincin kamu”ucapku memberikan cincin pertunangan itu pada Max.
Max mengerutkan alisnya bertanya- tanya
“Kamu menyimpannya selama ini?”
Aku mengangguk. “Maaf, waktu itu aku lihat kamu membuang cincin ini di taman” kataku gugup. “Aku yang mengambilnya dan.. menyimpannya untukmu. Aku pikir itu akan berguna lagi, jika memang kamu tidak mau memakainya.”
Mendengar hal itu Max bungkam. Dia jadi ingatan pada saat pertama kali dia membeli cincin ini. Saat mengetahui ayahnya menjodohkan Max dengan perempuan yang tidak dikenalnya dan menyuruh Max untuk menyiapkan sebuah cincin. Max baru menyiapkan cincin tersebut Pada malam acara pertunangannya itu.
Itu juga yang menjadi Alasan mengapa Max datang terlambat pada malam itu, Max mencari toko perhiasan di malam hari yang masih buku dan dia juga ingat dia memilih cincin ini dengan begitu asal. Bahkan harga cincin ini tak terlalu mahal. Cincin sederhana yang tak terlalu mewah, dan cincin yang tak pernah Max pakai semenjak Max bertunangan dengan wanita ini, bahkan Max sudah membuangnya. Namun, tidak menyangka jika wanita ini menemukan dan menyimpan cincinnya, tanpa sepengetahuannya sama sekali,entah kenapa itu membuat Max sedikit kesal.
Max pasang cincin itu dengan cepat, kemudian dia kembali membawa jemari Laras cepat.
Langkah ku sedikit tergesa, di sela sela itu aku beranikan diri untuk membalas menggenggam erat tangan Max.. Ku gengam tangan itu seakan-akan aku tidak mau kehilanganya. Walaupun ini memang sebuah sandiwara. Akan aku gunakan waktu ini sebaik mungkin..
“Akhirnya kamu datang juga Nak,” sahut suara paruh di depan ku.
“Ayo masuk, ayah sudah hidangkan makan malam yang enak buat kalian” ajak Rinto kemudian memandu kami berdua masuk ke dalam sampai pada meja makan.
Suasana di ruangan makan begitu tenang dan khidmat, namun tidak dengan Bu Rina yang sedari tadi menatapku dengan tidak bersahabat. Aku jadi tidak nyaman melihat itu. Aku tundukan wajahku mencoba mengabaikannya
“akhm!” Rinto sengaja mengeluarkan suaranya lalu menyenggol Rina di samping. “Laras bagaimana kabar Bi Sri ?” tanya Rinto, memecahkan keheningan.
Aku angkat wajahku perlahan. “Bi Sri baik om, dia sehat”
Rinto tersenyum ,“ Kalau kamu bagaimana kabarnya? Sehat kan?”
“Saya sehat dan baik baik saja om” jawab ki menatap Rinto dengan tersenyum senang.
“Sudah lama, Om tidak bertemu kamu Laras, maaf Om belum punya waktu untuk berkunjung ke rumah kamu”
Aku mengeleng.“Tidak masalah Om, saya yang seharusnya minta maaf karena tidak pernah bertemu dengan om dan Tante Rina” lirihku,
“Bukan salah kamu kok. Max yang seharusnya ajak kamu kesini” kata Rinto melirik Max acuh. “Jangan sibuk bekerja terus”
Aku yang mendengar itu hanya bisa tersenyum kuku, saat Max mengabaikan semua ucapan Rinto dan memilih fokus pada piring di mejanya.
“Oh ya! sudah sampai mana persiapan kalian untuk menikah nanti?”
Sontak Aku, Max dan Bu Rina yang sedang menyantap makan dengan tenang terkejut kaget.
“Sayang ke- Napa jadi membahas soal pernikahan?” Bu Rina tergagap menatap Rinto. “Max masih harus urus perusahan, lagi pula Laras juga pasti belum siap untuk memikirkan tentang pernikahan” sambungnya menatapku mengancam. “Iya kan Laras?’’
Aku yang sejak tadi mendengarkan dalam diam, sedikit terhenyak, aku angkat wajahku dengan bingung. “Ah.. itu saya-
“Kami masih membahasnya yah” potong Max tiba tiba membuatku terkejut.
“Jangan terlalu lama Max. Bagaimanapun juga lebih cepat lebih baik. Apa yang memangnya ingin kamu bahasa lagi Max? Ayah ingin kamu segera menikah"
“Ya. Max akan segera menikah dengan Laras” ucapnya sukses membuat ku sontak menatapnya dengan terkejut.
Haloo terima kasih yang sudah singgah, saya sedang merevisi total bab untuk selanjutnya jangan sungkan untuk komen cerita ini ya
Percakapan itu berlanjut dengan Rinto yang tersenyum puas mendengar jawaban Max, dan Bu Rina yang sepertinya tidak percaya kalau Max akan mengantarkan sesuatu yang tidak mungkin itu. Begitupun dengan aku... yang sangat terkejut dengan semua ini. Apa benar Max ingin menikah denganku? “Syukurlah kalau kamu memang mempunyai rencana seperti itu, Max. Apapun rencananya pasti ayah akan mendukungmu” ujar Rinto antusias. “Kira - kira seperti apa konsep pernikahan yang kalian inginkan nanti” Max mendengus, “Semua tergantung Laras yah, Max akan ikuti kemauan Laras nanti” Rinto mengangguk, bergantian menatap Laras.“apa ayah boleh tau Laras?” Aku semakin bersemu malu, apa Max benar mau mengikuti konsep pernikahan impian ku. Ak
Sore di hari Sabtu begitu tenang, begitupun dengan diriku dan Alex sekarang. Hari ini aku menepati janjiku untuk menemaninya ke sebuah toko hadiah. Setelah berkeliling dan mencari hadiah yang cocok untuk tante Ani, disinilah aku berada. Di Sebuah toko sushi yang tidak jauh dari toko kado tadi. Alex menepati janjinya untuk mentraktirku dan membelikan sushi, bahkan dia menambahkan pesanan sushi kesukaanku tanpa aku minta. Alex memang sahabatku yang luar biasa, dia selalu tau apa saja yang aku suka. “Terima kasih, Pak Alex” ucapku tersenyum lebar menatapnya yang sedang menyiapkan pesanan Susi di depanku. Dia mendengus tertawa kecil. Tak lama dia taruh satu Susi di piringku. “Pokoknya kamu harus makan yang banyak ya, Ra” katanya layaknya orang tua yang sedang memperhatikan anaknya.
Keesokan paginya... aku terbangun dengan senyuman lebar di wajahku. Semalam aku bermimpi indah. Bermimpi tentang Max yang mengajakku makan malam disebuah restoran mewah dan berdansa di tengah tempat yang megah. Mengingat itu senyum ku semakin mengembang apalagi ketika Max selalu tersenyum di dalam mimpiku semalam. Dan di akhir mimpiku Max menciumku dengan sangat manis. Bisa aku pastikan jika pipi ku sudah bersemu sekarang ini. Ya Tuhan rasanya mimpi semalam begitu nyata. Apa semua ini karena efek aku percaya akan ada sebuah peluang dari Max nanti? Jika memang begitu, bolehkah aku terus mengharapkan hal itu, dan bagaimana jika mimpi itu menjadi kenyataan suatu saat nanri. Percayalah Aku pasti tidak dapat menolaknya.
“Maaf siapa ya?” Suara wanita yang sedari tadi memandangku terdengar setelah aku berdehem keras. Aku angkat wajah ku, menatap perempuan itu dengan dingin. “Apa Max ada?” tanya ku Balik. Dia tak menjawab, hanya mengubah raut wajahnya dengan berdecih melipat kedua tangan di depan dada. “Dia ada di dalam. Ada perlu apa ya mencari Max? Saya bisa sampaikan.” “Saya ingin bertemu dengan Max. Bisa tolong kamu panggilkan dia” Sela ku menatap wanita ini dengan sinis. Terdengar dia membuang nafas kasar. Wajahnya seakan akan mengatakan jika aku adalah pengganggu di sini. “Maaf sepertinya dia sibuk nggak bisa diganggu, kamu bisa datang besok lagi. kalau memang tidak ingin disampaikan ole
Max POV ____________________________________________ Max tidak percaya jika Laras akan mengunjungi nya seperti ini. Apalagi memberikan sebungkus cupcake untuknya. Max tidak tau jika Laras akan melangkah maju untuk berani mengunjungi apartemennya tanpa ada kasus pekerjaaan di antaranya. Sejujurnya, Max sangat canggung pada posisinya saat ini. Keberadaan Laras dan Ria di apartemennya membuat Max mau tak mau mengambil pilihan untuk mengajak Laras makan malam bersama. Max tidak mau Laras salah paham dengan adanya Ria sekarang, itulah kenapa Max mencegah Laras untuk pulang tadi. Max sudah bilang kalau dia tidak mau ada kabar miring pada hubungannya nanti. Sampai makan malam bersama pun tiba. Max akhirnya selesai menyiapkan hidangan yang tadi di buat. Terlih
Max membopong Laras menuju kamarnya, membaringkan wanita itu dengan perlahan lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Laras dengan tenang. Sejenak Max menatap wanita yang sedang tertidur di hadapannya itu dalam diam, mengingat kembali apa yang dilakukan wanita tersebut saat di meja makan tadi. Senyum tipis pun mengembang, tatkala wanita ini berani membentak Ria dan menyentuh wajah nya dengan sangat dekat. Di sela ingatan dengan kejadian tadi. Max membenarkan letak posisi rambut Laras yang sedikit menutupi wajahnya itu. Max ingat ucapan wanita ini ketika membandingkan dengan Ria. Max mengelus pipi mulus itu dengan lembut. “Cantik” gumam Max tanpa sadar dan direspon dengan menggeliat Laras dalam tidurnya. Clekk. Ter
Ciuman Max semakin cepat tak menunjukan tanda melambat. Laras semakin bergairah dibuatnya, tangannya kini bergerak menelusuri tubuhnya. Dia pun melakukan hal yang sama. Namun ketika Laras akan membuka kancing baju lelaki itu. Seketika Max menarik tangannya dan menghentikan ciuman mereka. “Saat nya bangun Laras” katanya meninggalkan Laras sendiri di atas ranjang. Bersama dengan bunyi suara yang begitu mengganggu, dan membuat Laras langsung mengerjapkan kedua mata saat suara yang mengganggu di sampingnya itu adalah sebuah alarm yang berbunyi. Dengan perlahan, Laras mengangkat tubuhnya, mengambil alarm tersebut dan langsung menghentikan bunyi yang mengganggunya itu. Dia pun kembali memejamkan mata sambil mengukir senyum, ketika Laras kira akan kembali melanjutkan kegiatan bersama dengan lelaki tadi. Namun, men
Keesokan pagi... Aku datang lebih awal dari biasanya. Sesampainya di kantor aku langsung bergegas menyiapkan kopi untuk Max yang saat ini belum tiba. Dan tidak lupa aku langsung mengecek jadwal Max hari ini. Aku melepaskan nafas lega ketika melihat di layar tablet yang kupegang list Max tidak begitu padat. Mendadak semangatku memuncak, aku pastikan bisa selesaikan semua hari ini dan... aku pasti bisa membuat Max terkesan akan kinerja ku. Ini adalah kesempatan ku untuk menunjukkan kepadanya kalau aku bisa mengambil hatinya mengingat kejadian semalam Max begitu manis padaku. Percayalah sepulang dari apartemen Max aku tidak bisa tidur semalaman. Jam sudah menunjukan pukul delapan pagi dan terlihat Max keluar dari dalam lift khusus menuju ruangannya.