Share

Chapter 8

Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?" 

Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini."

"Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu. 

"Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja."

"Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong.

"Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya. 

"Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku tidak papa." Dia tersenyum gugup, dan Arch, sesaat kemudian melepas seulas senyum samar pula di wajahnya.

Sembari mendesah Arch berkata, "Sarah, aku mendengar dari Naura, bahwa kau ke sini untuk—hei!" Arch mengalihkan pandang pada Ben, yang berdiri beberapa langkah dari mereka, tengah memandang mereka dengan tatapan nan heran sekaligus tak suka. "Apakah kau teman Sarah? Maaf kalau aku tak sengaja mengabaikanmu."

"Sarah," ujar Ben mengabaikan sapaan Arch, "siapa dia?"

Sarah terkesiap. Dia memalingkan wajah pada Ben, dan kemudian untuk sesaat menatap Arch, dengan ragu beralih kembali pada Ben, lalu berkata setelah semua itu, "Dia Arch."

"Aku tidak menanyakan namanya. Aku sudah mendengar kau memanggilnya, tadi. Yang kumaksud adalah apakah dia—em, temanmu?"

"Maaf, jika aku menyela," timpal Arch pada Ben tanpa sungkan, "nada bicaramu—entahlah siapa namamu—terdengar tidak begitu bersahabat. Apakah Sarah melakukan kesalahan padamu, hingga kau seolah terlihat marah?"

"Diamlah, Bung! Aku tidak bicara denganmu," sergah Ben tak peduli. "Sarah, jawablah pertanyaanku!"

"Bagaimana kalau aku saja yang menjawabnya?" sela Arch tak kalah menyebalkan. Sarah untuk sesaat menahan senyum geli.

"Diamlah!" sergah Ben hilang akal. "Kenapa kau terus menyela?! Astaga! Kau juga tiba-tiba datang tanpa diundang!"

"Oh," tukas Arch, "maafkan aku kalau begitu. Aku datang ke sini untuk mencari Sarah." 

"Untuk apa kau mencari Sarah? Kau pikir seseorang akan menculiknya di rumah sepupunya sendiri?" 

"Ya Tuhan," desah Arch dengan senyum geli. "Kau terlihat gusar sekali. Padahal aku tak berniat cari masalah denganmu. Untuk kau ketahui," jelas Arch dengan sabar lagi santai, "aku datang ke pesta ini bersama Sarah. Saat aku mendapati pasangan pestaku menghilang, maka aku mencarinya."

"Pasangan pesta?" ulang Ben. "Datang bersama?" Arch mengangguk. "Omong kosong! Sarah tak pernah mengajak pria manapun untuk pergi berdua saja bersamanya."

"Oh," kata Arch, yang rupanya sedikit terperanjat dengan fakta baru itu, kemudian melirik Sarah dan mendapati gadis itu tersipu sembari mengalihkan pandangan dengan canggung ke arah yang tak tentu. "Tapi kali ini kami menginginkannya," timpal Arch. "Kami merencanakannya bersama, dan kami melakukan apa yang sudah kami rencanakan. Benar begitu kan, Sarah?"

Sarah, sejenak menatap Arch yang mengedipkan sebelah matanya dengan samar-samar tersenyum jahil, kemudian mengangguk patuh sembari menahan ekspresi geli. Arch terlihat mulai ingin memprovokasi Ben, dan Sarah entah kenapa tak berminat menghentikannya.

"Memangnya siapa kau?" kata Ben, terlihat kentara sekali tak suka.

"Aku?" Arch sejenak melirik Sarah. "Aku ... siapamu, Sarah?" lanjut Arch sembari menolehkan wajahnya dengan sempurna pada gadis di sampingnya itu.

Sarah terkesiap. Gadis itu sekilas memasang ekspresi yang samar-samar bingung di wajahnya, namun wajah bingung itu hanya tertuju pada Arch, hingga Ben pun tidak bisa memperhatikannya. 

Sementara Arch menunggu responnya, Sarah hanya bisa diam. Tak sedikitpun dia menemukan ide untuk menyambut umpan yang telah dilempar Arch. Dia tahu mungkin Arch bermaksud mengajaknya melakonkan sebuah peran, atau mungkin bermain-main, atau mungkin—Sarah terperangah saat kemudian Arch tiba-tiba meraih tangannya dan menggenggamnya. "Aku adalah pacarnya," ucap Arch kemudian dengan lugas.

"Apa?" sambar Ben tanpa penundaan, merasa terguncang bagai disambar petir. Wajahnya nampak terperanjat dan Arch seolah bisa melihat pemuda itu hampir pingsan. 

Merasa khawatir Sarah juga akan terguncang—yang nyata-nyata memang benar—Arch lantas berujar, "Sarah, kau ingin mengatakan sesuatu?" 

"Sarah!" sambar Ben. "Katakan kalau dia salah! Pria bule ini pasti meracau, kan?"

Sarah terdiam. Tatapannya tertuju pada Arch dengan fokus, dan pria warga negara asing itu samar-samar menunjukkan ekspresi minta maaf. Untuk sekejap—sekejap saja—Sarah menoleh pada Ben, dan Sarah menangkap keterkejutan menyedihkan di wajah pemuda itu, yang lantas membuat Sarah kembali mengalihkan pandang pada Arch dengan pemikiran tercerahkan, dan lantas berusaha menguatkan diri untuk berkata sedikit tersendat, "I-iya. Itu benar."

"Omong kosong, Sarah! Kau bohong!" seru Ben.

"Oh, astaga, Sarah! Dia pacarmu, sekarang? Ini luar biasa!" seru suara yang lain.

Arch dan Sarah seketika menoleh pada si pendatang baru, dan mendapati sepupu Sarah, Naura, datang menghambur dengan tertawa gembira menyambut narasi dusta yang baru saja diucapkan Arch dan Sarah. "Arch," desah Sarah gelisah sembari mengeratkan genggamannya di tangan Arch, dan Arch yang mendengar panggilan lemah itu lantas berupaya menguatkan dengan kemampuan maksimalnya. 

Pria itu mengeratkan genggamannya pula sembari berbisik pelan, "Tenanglah." Segera setelah itu dia melihat, Naura menghambur pada Sarah dan menghadiahinya pelukan erat yang mengharukan, dan kemudian beralih menyelamati Arch dan Arch pun menjawab, "Terima kasih."

"Ini mengejutkan, Sarah Sayang!" ucap Naura. "Aku benar-benar mengucapkan selamat untuk kalian! Dan—Arch, apa kau tahu? Kau adalah pacar pertama Sarah selama dua puluh sembilan tahun hidupnya, ketahuilah itu wahai pria yang beruntung! Banyak sekali pemuda yang mendekatinya, tapi Sarah tak pernah sekalipun melirik mereka." Naura terkekeh. "Ini benar-benar kabar besar! Maksudku kabar gembira! Tidak. Kabar besar yang menggembirakan!"

Sarah tersipu. Di antara naik-turun irama perasaannya, dia melirik Arch, dan mendapati pria itu tersenyum sembari meliriknya pula. Sarah menduga, pria asing itu mungkin merasa terkejut, kaget, atau bahkan aneh mengetahui fakta tersembunyi tentang dirinya, yang secara eksplisit baru saja diucapkan oleh Naura. 

Ben, yang sedari tadi menyimak keriuhan itu dengan hati kesal, mengedikkan bahu, lantas berjalan mendekat pada trio yang tengah berbahagia, dan berujar dengan ekspresi tak sungguh-sungguh, "Selamat kalau begitu! Kuucapkan selamat!" Ben mengajukan tangannya pada Sarah dan mengajaknya berjabat tangan. Sarah menerimanya. Namun selepas itu, tepat seperti dugaan Sarah dan Arch, pemuda patah hati itu tak berkenan menyelamati si pria bule, yang sangat bisa dimaklumi, itu berasal dari duka hatinya yang tentunya dalam. Naura pun turut memahaminya, dan kemudian mendesah prihatin.

Sebagai teman Ben sejak lama, Naura tahu betapa Ben sangat mengidolakan Sarah. Namun sayang, idolanya itu tak berkenan memberinya tempat di dalam hati. Naura juga turut menyaksikan sendiri, bahwa kisah sedih itu telah berubah menjadi konyol, berkat aksi menyedihkan Ben yang terus memaksakan diri dan bahkan tak sungkan menekan Sarah, dan alhasil justru membuat Sarah semakin tidak menyukainya. Sebuah keniscayaan yang tak mengherankan bagi Naura, mengingat Sarah sejak bayi memiliki karakter dasar tak suka dipaksa-paksa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status