Share

Chapter 7

Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" 

Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. 

Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman.

Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu berujar, "Kau tidak ikut masuk, Ben?"

Ben tersenyum. Dengan ekspresi tenang dia menjawab, "Tidak. Kurasa kau pun tidak ingin masuk, saat ini."

"Tapi aku adalah kerabat penyelenggara acara ini," sanggah Sarah, "sementara kau adalah tamunya. Naura pasti berharap kau ikut membaur bersama semua tamu yang lain dan bersenang-senang."

"Kau terlihat cantik sekali malam ini, Sarah," tukas Ben mengabaikan protes Sarah. "Kurasa Naura tak kan menghukumku jika aku hanya meminta sedikit waktu saja untuk berbincang dengan sepupunya."

Ben berjalan mendekat ke arah Sarah, dan Sarah yang merasa enggan lantas menghentikannya, "Ben, kurasa lebih baik kau masuk."

"Tidak. Bagaimana kabarmu? Aku hanya ingin berbincang sebentar saja denganmu setelah lama tidak bertemu."

"Benarkah?" sela Sarah sambil lalu. "Tapi seingatku beberapa bulan lalu kita bertemu." Sarah mulai berjalan meninggalkan Ben, menuju ke meja taman. 

"Di acara tahun baru di puncak? Ayolah, itu sudah lama. Sarah, aku menginginkan pertemuan yang lebih sering denganmu. Apa kau tahu," ucap Ben sembari berjalan mengikuti Sarah di belakangnya, "aku berulang kali mencoba—"

"Ben, kumohon, masuklah ke ruangan pesta. Aku sedang ada keperluan saat ini. Aku akan menyusulmu nanti. Saat ini aku sedang—astaga!" pekik Sarah lemah.

"Kau mencari sesuatu?"

Sarah terpaku di samping meja, dan setelah kembali mencoba menyapukan pandang ke seluruh permukaan meja, dia mendesah kesal dengan mengusapkan tangan ke kepalanya dengan keras secara otomatis. "Hilang lagi! Ya Tuhan!"

"Sarah, ada apa?"

"Tidak ada apa-apa."

"Sarah, aku mungkin bisa membantumu asal kau mau bicara padaku."

"Ben!" pekik Sarah. "Tidak bisakah kau diam?"

"Apa yang terjadi?" tukas Ben.

"Aku—baiklah," ucap Sarah sembari menarik nafas panjang. Dia mencoba berpikir sejenak dengan jernih, dan kemudian berkata, "Ben, mungkin benar kau bisa membantuku. Aku mau tanya, apakah kau melihat sebuah kotak perhiasan kecil di meja ini, atau mungkin kau melihat seseorang mengambilnya? Jangan salah paham, Ben, maksudku, karena aku melihat kau ada di sini sejak sebelum aku datang, aku berpikir mungkin kau melihatnya. Mungkin kau bisa membantuku. Aku—"

"Oh, Sarah," sela Ben, "seandainya saja aku melihatnya." Nada bicara Ben menurun di ujung kalimat.

"Jadi maksudmu kau tidak melihatnya?"

Ben menggelengkan kepala. Untuk sekejap dia memandang Sarah dengan ekspresi tak terbaca, dan kemudian berusaha mendekat kepada Sarah yang terlihat sekali kesal dan kecewa. Dengan sebelah tangan berusaha menggapai pundak Sarah, dia berkata, "Sarah, aku akan berusaha membantumu."

Sarah mengelakkan tubuhnya dari Ben sebelum tangan Ben berhasil mendarat di pundaknya, lalu berkata sembari berjalan menjauh, "Kalau kau tidak melihatnya, berarti tidak ada lagi yang bisa kau lakukan untuk membantuku. Terima kasih, Ben. Aku akan menemukannya sendiri."

"Sarah," sergah Ben sembari memegang pergelangan tangan Sarah, mencoba menahan kepergiannya, "kumohon jangan bersikap seperti itu padaku. Kau tahu aku menyukaimu. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan untuk mencoba menunjukkan besarnya perasaanku?"

"Kau mulai lagi, Ben," tukas Sarah dengan malas sembari melepaskan tangannya dari genggaman Ben. "Maaf, Ben, aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Tapi aku—aku sedang berusaha mencari sebuah barang. Aku—aku mencari kotak perhiasan yang harus segera kutemukan!"

"Sepenting itukah nilai benda itu untukmu?"

"Tentu saja!" timpal Sarah kesal.

Ben terdiam. Sarah pun sama. Untuk sesaat mereka terlibat dalam sebuah suasana sunyi yang aneh, dan menurut Sarah suasana seperti itu tidak perlu tercipta. Sejak pertama kali Ben mengungkapkan perasaannya pada Sarah tiga tahun yang lalu, Sarah sudah mencoba menyampaikan berulang kali, bahwa dia tidak berminat sama sekali menjalin hubungan romansa dengan pemuda itu. Tidak, bahkan sampai detik ini. Namun Ben, begitu pantang menyerah, dan sayangnya upaya-upaya yang dilakukannya dinilai Sarah mulai sering terasa mengganggu.

Ben, tanpa diduga, tertawa konyol setelah beberapa saat. Sarah memakukan pandang padanya dengan tatapan tak mengerti, dan Ben lalu berujar, "Apakah kau sudah memiliki kekasih?" 

Sarah terkesiap. Pertanyaan itu terasa mengejutkan baginya, aneh, dan terdengar menjebak. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Jawab saja," tukas Ben. "Perhiasan itu tidak akan menjadi begitu berharga jika bukan berasal dari orang yang penting. Bukankah begitu?"

Sarah terdiam. Untuk sesaat dia tercenung, memikirkan kemungkinan apa yang akan dia ucapkan. Jika berbohong bisa menjadi salah satu cara untuk menghentikan aksi pantang menyerah Ben yang terus berusaha mendekatinya, maka Sarah amat sangat tertarik untuk mencobanya. Namun, berbohong bukanlah kebiasaan Sarah, dan rasanya dia sulit untuk menyatakannya. 

Bahkan jika pun dia memilih untuk berbohong, maka bukankah Ben akan menyelidiki dengan serius siapa kekasih Sarah? Sarah tak kuasa bergidik, membayangkan sejauh apa kenekatan Ben akan bertambah, jika mengetahui dia semata-mata berbohong, demi menghindari Ben. Tepat di saat itu, Sarah merasa, seandainya saja dia benar-benar punya kekasih.

Sarah, dibarengi dengan ekspresi suram lantas berminat untuk menjauh, meninggalkan tempat itu berikut kebersamaannya dengan Ben yang dia rasa membuatnya tidak nyaman. Namun, lagi-lagi Ben menahannya. "Sarah," ucapnya. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Sarah, dan Sarah mulai tak suka. 

"Ben, lepaskan," ucap Sarah, masih berusaha tenang.

"Tentu, tapi bicaralah sebentar denganku. Aku yakin, jawabanmu untuk pertanyaanku tadi adalah tidak. Aku benar, bukan? Kau belum memiliki kekasih."

"Ben," sergah Sarah, masih berusaha tenang, namun sebenarnya merasa hampir meledak, "aku tidak menjawab pertanyaanmu, semata karena aku merasa pertanyaan itu tidak penting untuk dijawab. Kau tidak perlu merasa tertarik untuk ikut campur urusanku, Ben. Aku tidak suka."

"Benarkah? Oh," tukas Ben dengan gaya santai yang menjengkelkan menurut Sarah. "Aku kecewa melihatmu menganggap bahwa aku mengganggumu, Sarah. Padahal sebenarnya bukan itu maksudku. Aku hanya merasa, alangkah baiknya jika kita bisa saling terbuka satu sama lain. Maksudku, kenapa kau, tidak mencoba bersikap lebih lunak padaku?"

Sarah mendesah lelah. "Jika yang kau maksud adalah bahwa kau memintaku menerimamu, Ben, maaf, aku tidak bisa. Kita sudah bicarakan ini sebelumnya."

"Kenapa?" bantah Ben. "Kau tidak punya kekasih saat ini—aku yakin—yang itu artinya kau tidak sedang mencintai siapapun. Kenapa kau tidak mencoba membuka pintumu untukku?"

"Ben," sergah Sarah, mulai merasa tak sabar, "harus berapa kali kukatakan padamu, aku tidak suka kau terus memaksaku. Keputusanku sudah jelas, tolong mengertilah! Lebih baik sekarang kita akhiri perbincangan ini." Sarah berusaha keras melepaskan tangannya dari cengkeraman Ben yang justru semakin kencang, hingga membuatnya berkata dengan kesal, "Ben, lepaskan!"

Ben diam tak menjawab, namun tangannya justru semakin mengencang seiring dengan upaya Sarah untuk melepasnya. 

Didorong rasa geram karena gagal melepaskan diri, Sarah lalu menghadiahi Ben dengan pelototan tajam penuh kemarahan, hingga matanya yang memerah beradu pandang dengan mata Ben yang tatapannya gigih bergeming. Setelah beberapa saat terlibat adu pandang mencekam, Ben, akhirnya mengendurkan fokus tatapannya, dan perlahan melepaskan cengkeramannya. Sarah bisa merasakan bekas cengkeraman itu di tangannya, yang membuatnya sedikit merasa sakit, namun Sarah tak menyampaikan protes apapun selain memegangi pergelangan tangan kanannya itu, lalu mundur beberapa langkah dan berbalik arah untuk meninggalkan tempat itu—bermaksud untuk tak memperpanjang drama konyol yang terjadi.

Namun, tepat saat dia membalikkan tubuhnya, tanpa sengaja dia menabrak sesosok pria kekar yang lalu dengan segera memegangi tubuh Sarah yang hampir limbung pasca tubrukan. "Sarah, kau tidak apa-apa?" ucap pria itu.

Gestur Sarah yang terlihat memegangi pergelangan tangan kanannya pun membuat sang pria kekar resah, dan menambahkan dalam ucapannya, "Ada apa dengan tanganmu?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status