Share

Chapter 5

Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."

Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal. 

"Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?"

"Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu? Apakah mereka berpacaran?"

Meira, yang karena satu keperluan, melintas di pojokan ruangan resto, dan mendengar obrolan nan asyik dua orang pegawai itu, lantas berkenan memberi mereka interupsi, "Jangan banyak bergosip! Kalau Nona Sarah mendengarnya, kalian bisa berada dalam masalah."

Ultimatum itu sontak membuat duo pegawai itu diam tak berani melanjutkan obrolan usil mereka, dan kemudian berlalu meninggalkan Meira dengan sungkan. Namun, seolah melanjutkan tingkah konyol duo pegawai itu, Meira memperhatikan Sarah dan Arch, lalu berujar pelan pada dirinya sendiri, "Ya Tuhan, memang benar! Mereka terlihat cocok sekali. Luar biasa!"

Arch mendapati Sarah benar-benar larut dalam sebuah dunia pemikiran nan asing di luar sana, tak berkonsentrasi sama sekali dengan kebersamaan mereka berdua kala itu, hingga pemuda warga negara asing itu berkata pelan, "Kuharap kau baik-baik saja, Sarah."

Sarah tersentak. Sembari berkata, "Oh!", dia menegakkan posisi duduknya, dan terkejut mendapati dua gelas teh telah tersaji di depan mereka berdua, padahal Sarah tak menyadari kala teh itu disajikan di depannya. 

"Apa semua baik-baik saja?" tanya Arch.

"Ya. Semua baik-baik saja. Em—Arch," ucap Sarah terbata, "mari kita kembali bicara soal ... em—barangmu yang hilang." Sarah berkata gugup dengan ujung jari yang mengetuk-ngetuk meja dengan cemas berulang kali. Arch yang mendapati pemandangan ini lantas memajukan tubuhnya yang sebelumnya dia sandarkan dengan rileks ke kursi. 

"Sarah, tolonglah," ucap Arch, "jangan salah paham. Aku tidak bermaksud mengatakan hal tidak baik soal penginapan ini. Aku memang kehilangan sebuah barang, tapi—"

"Aku minta maaf soal gelang itu, Arch!" potong Sarah dengan sigap meski tak terencana. Kalimat Arch entah kenapa terasa mencekam baginya, dan dia tak kuasa menunggu kalimat itu diakhiri oleh Arch. 

Arch terkesiap. "Gelang?" ucapnya pelan, cenderung terdengar keluar begitu saja dari mulutnya secara spontan. Sarah menelan ludah tak kuasa menjawab. "Darimana kau tahu aku kehilangan gelang, Sarah?" lanjut Arch. 

Sarah menundukkan wajahnya. Dia memejamkan matanya dengan erat, dan Arch yang sadar situasi lalu dengan segera memegang punggung tangan Sarah yang berada di atas meja untuk sesaat saja sembari berkata, "Tenanglah! Jangan takut!", kemudian melepaskannya. Sarah pun terperangah. Sesaat kemudian, dia tersenyum lega, dan kegelisahan di wajahnya terlihat memudar.

"Kalau begitu benar," lanjut Arch dengan tenang, "aku kehilangan gelang itu di penginapan ini. Kurasa ingatanku memang tidak begitu payah." Sarah melirik Arch untuk sesaat dan mendapati pria itu menatapnya kemudian tersenyum. "Seingatku aku menyimpannya di saku jaketku, Sarah," ucapnya kemudian. 

"Benar," timpal Sarah. "Kau menyimpannya di saku jaketmu, dan kau lupa mengambilnya sebelum kau menyerahkannya pada Meira untuk dicuci."

"Ah! Itulah kesalahanku," sambar Arch. "Aku lupa soal itu. Payahnya diriku."

"Dan yang terjadi kemudian adalah," lanjut Sarah mengabaikan interupsi Arch, "Meira menyerahkan gelang itu padaku untuk dikembalikan. Sayangnya, saat aku hendak mengembalikannya padamu, sepupuku meneleponku. Aku memasukkan kotak perhiasan kecil itu ke kantong jaketku, lalu mengangkat telepon itu dan asyik bicara dengannya, hingga tanpa sengaja ... melupakan rencanaku untuk mengembalikan gelang itu padamu. Dan setelah itu, aku pergi begitu saja ke rumah sepupuku, karena dia memintaku untuk ke rumahnya, membantunya mengecek persiapan pesta pertunangannya nanti malam, dan—"

"Wah! Pesta pertunangan! Selamat untuknya."

"Terima kasih!" jawab Sarah spontan atas interupsi Arch. "Tapi aku belum selesai, Arch, sayangnya ... aku ... saat aku ke rumahnya, aku melepas jaket itu, dan setelah itu ... aku .... " 

Sarah terdiam setelah suaranya memudar dengan loyo. Arch menangkap sinyal ketidakberesan itu sekaligus roman muka nan sedih, yang lantas membuatnya merasa tak tega untuk membuatnya menjadi lebih buruk. Dengan ekspresi tenang, dia melanjutkan alur narasi sedih yang mungkin menjadi kelanjutan kisah itu, "Dan kau melupakan jaket itu. Kau meninggalkannya di rumah sepupumu. Begitukah?"

Sarah, memandang Arch dengan tatapan penuh sesal lalu mengangguk. "Ya," ucapnya.

Tak dinyana, Arch justru tersenyum. Bahkan ucapannya setelah itu terkesan main-main. "Sudah menjadi nasib gelang itu kalau begitu, Sarah. Dilupakan dan diabaikan oleh banyak orang." Arch mengakhiri ucapannya dengan tawa konyol. Namun anehnya, ekspresinya setelah itu juga tak terlihat gusar.

"Arch, kau tidak marah karena ini?" tanya Sarah. 

"Marah? Untuk apa?" tukas Arch.

"Kau percaya dengan ceritaku?"

Arch tertawa menyambut ucapan itu dan dengan ringan berkata, "Sudah kubilang, aku percaya padamu, Sarah. Kau tidak perlu cemas."

"Ah, ini membuatku lega," desah Sarah. "Tapi ... bagaimana kau bisa merasa setenang itu? Bagaimana kalau aku gagal mengembalikannya padamu? Apakah gelang itu untuk kekasihmu?"

Arch melirik Sarah untuk sekejap. Tak langsung berkata-kata, dia menggerakkan tangannya terlebih dahulu untuk mengambil gelas teh di depannya dan meminumnya. "Tepatnya bukan seperti itu, Sarah," ucapnya kemudian dengan tenang. "Gelang itu bukan untuk kekasihku. Faktanya, aku tidak punya kekasih. Itu adalah gelang milik adik temanku. Dia meninggalkannya di rumah kakaknya saat berkunjung ke Jerman, bulan lalu. Dia lalu menghubungi kakaknya dan memintanya mengirimkannya. Tapi karena mengetahui aku akan ke Indonesia, maka kakaknya memilih menitipkannya padaku. Kebetulan aku juga mengenal adiknya itu dengan baik. "

Arch, untuk sesaat memandang Sarah yang terlihat khusyuk menyimak, lalu saat dia hendak melanjutkan ceritanya, Sarah mendahuluinya, "Apakah maksudmu, adik temanmu itu tinggal di Indonesia?"

"Ya!" Arch mengiakan.

"Di mana tepatnya?"

"Di Yogyakarta. Sudah dua tahun ini dia resmi menjadi warga negara Indonesia."

"Oh," desah Sarah. "Jadi gelang itu bukan milikmu. Ini lebih kacau lagi," ucapnya kemudian. "Kau mengantonginya di sakumu. Apakah kau sudah berencana bertemu dengannya, semalam?"

Arch untuk sekejap tersenyum geli. "Ya. Awalnya. Tapi aku belum sempat menghubunginya. Tapi kenapa kau terlihat begitu risau, Sarah? Kenapa kau merasa ragu dan takut kau tidak akan bisa mengembalikan gelang itu?"

Sarah terdiam untuk sesaat. Dia melirik Arch penuh makna. Setelah menghela nafas panjang, dia kemudian berujar, "Tidak. Tidak ada apa-apa. Ini hanya masalah sederhana." Sarah dengan memasang harapan tinggi kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Naura saat itu juga, di depan Arch, memberitahunya perihal gelang dan jaketnya. 

Percakapan itu berlangsung beberapa saat, karena Naura harus menanyakannya pada Bi Ira, namun di akhir percakapan dia memberikan kabar gembira, bahwa gelang itu telah diselamatkan oleh si asisten rumah tangga sebelum jaketnya dicuci—si asisten rupanya tak ingat jika itu bukan termasuk salah satu koleksi pakaian majikannya.

Akan tetapi, ketika Sarah mengatakan dia berniat mengambilnya segera, Naura menukasnya dengan bertanya, "Apakah gelang ini milikmu? Aku belum pernah melihat kau memakai gelang ini. Ya Tuhan, cantik sekali."

"Astaga, apakah kau membuka kotak itu?" tanya Sarah dengan geram, sementara Arch hanya tersenyum mendengarnya.

"Ya. Gelang berlian ini cantik sekali. Kau membelinya sendiri? Ah, tidak, tidak. Kau selalu mengajakku jika ingin membeli perhiasan, dan aku belum pernah melihat yang satu ini. Atau seseorang memberikannya padamu? Wah! Jangan-jangan kau sudah punya pacar!"

"Berhenti berbicara ngawur! Kau tahu aku tidak punya pacar. Ya ampun! Amankan gelang itu! Jaga, dan jangan sampai hilang. Gelang itu milik salah satu tamu penginapanku, dan aku harus mengembalikannya."

"Apa?" sela Naura. "Apa yang sudah terjadi, sampai kau bisa menyimpan perhiasan milik tamumu di kantong jaketmu? Kau bisa dituduh mencuri, dasar gadis konyol!"

"Aku tahu! Astaga!" timpal Sarah. "Arch—maksudku tamuku, pemilik gelang itu, kini menunggu gelang itu dikembalikan. Jadi pastikan gelang itu aman, okay?!"

"Oh! Jadi namanya Arch!" seru Naura tercerahkan. "Dia seorang pria! Apakah kalian dekat?"

"Apa maksudmu?" sergah Sarah. "Jangan bica—"

"Berapa lama dia akan tinggal di penginapanmu?" potong Naura.

"Dia? Em, mungkin seminggu. Kami akan jalan-jalan beberapa hari. Tapi—ah, ya Tuhan. Untuk apa kau tanyakan itu? Astaga!" Sarah mulai terlihat kewalahan, dan Arch tersenyum geli merasa terhibur.

"Ah, ya Tuhan! Jalan-jalan bersama!" ulang Naura dengan tawa riang. "Kalau begitu kalian dekat! Aku punya rencana kalau begitu."

"Apa maksudmu?"

"Jangan kesal, Sarah Sayang. Tapi kau, tidak boleh mengambil gelang ini sendirian. Kau harus datang bersama pemiliknya. Sampaikanlah padanya, aku mengundangnya di acara pertunanganku nanti malam."

"Apa?!"

Keterkejutan Sarah tak mendapat kesempatan untuk ditanggapi, karena Naura ketika itu telah menutup teleponnya. Sarah menggumam tak karuan saat menurunkan ponsel dari telinganya, dan ketika secara terpaksa dia menyampaikan permintaan gila Naura itu pada Arch, Arch terlihat diam sesaat lalu kemudian tersenyum.

Sarah, terheran-heran melihat respon Arch, dan menjadi lebih heran lagi saat mendengar Arch mengatakan, "Sebuah kehormatan bagiku mendapatkan undangan sepupumu. Aku akan memenuhi undangannya."

"Kau?" ucap Sarah terperangah. "Memenuhi permintaan konyol sepupuku?"

"Kau merasa keberatan datang kesana bersamaku?"

"Oh," ucap Sarah dalam ekspresi yang terlihat bingung. "Tidak." Suasana hening untuk sesaat. "Aku tahu kita harus mengambil gelang itu. Aku minta maaf untuk semua kekacauan ini, Arch."

Arch untuk sekejap memandang Sarah dengan ekspresi tak terbaca, lalu dengan tenang berkata, "Kau tidak perlu meminta maaf ataupun merasa bersalah, Sarah. Kutegaskan padamu, itu tidak perlu."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status