Share

05. Rumah Ardhan

Weekend telah tiba. Seperti rencana yang sudah dibuat beberapa hari yang lalu, Lyana dan yang lainnya akan menghabiskan harinya di rumah Ardhan. Setelah selesai mengepang rambut dan memakai sepatu kets, Lyana mengambil tas selempang kecilnya yang berwarna hitam yang hanya muat untuk diisikan dompet dan ponsel. Setelah sudah siap, Lyana keluar dari kamarnya. 

***

Tiba di anak tangga terakhir, Lyana melihat adiknya sedang duduk santai sembari menonton tv dan memakan beberapa cemilan. Dyana tak sengaja melihat kakaknya yang sudah rapi. Memakai T-shirt putih dibalut dengan cardigan berwarna coral, sepatu kets berwarna putih yang sudah melekat di kakinya, memakai tas selempang berwarna hitam dan rambut yang selalu dikepang. Terkadang Dyana merasa insecure dengan kakaknya yang sangat cantik. Meskipun wajah kakaknya mirip dengannya, perlu Dyana akui bahwa kecantikan sang kakak mampu mengalahkannya.

"Kakak mau ke mana, pagi-pagi gini? Rapi banget." 

Rapi? Benarkah pakaian yang Lyana kenakan terlalu rapi? Menurutnya ini sudah paling santai. 

"Kakak mau ke rumah Kak Ardhan. Kamu mau ikut?"

"Rumah Kak Ardhan? Wah, boleh tuh. Udah lama banget aku nggak ke rumah Kak Ardhan. Lagipula aku nggak ngapa-ngapain. Kalau gitu aku ganti baju dulu ya, Kak?" Lyana mengangguk sembari tersenyum. 

"Kakak tunggu di teras, ya?" Dyana mengangguk setuju, dan detik berikutnya ia berlari menuju kamarnya yang letaknya berdampingan dengan kamar sang kakak, sedangkan Lyana memilih menunggu di teras rumah sambil memesan taksi online.

***

Sesampainya di rumah Ardhan, Lyana membayar ongkos taksi online ditumpanginya bersama Dyana, kemudian menggandeng tangan sang adik masuk ke dalam rumah Ardhan. Lyana datang agak telat dari jam yang telah ditentukan, karena ia mampir ke supermarket terlebih dahulu untuk membeli beberapa jenis cemilan dan bahan-bahan untuk membuat Falscher Hase bersama dengan Bu Listy—Ibu Ardhan.

***

Sesampainya di ruang tengah, Lyana melihat sudah ramai dan sepertinya benar dugaannya, bahwa ia terlambat.

"Hai, sorry gue terlambat," sapa Lyana sekaligus meminta maaf karena terlambat datang.

"Nggak apa-apa, Ly. Santai aja." Lyana meletakkan sebuah kantong besar yang berisi cemilan di atas meja, kemudian ia mengajak Dyana untuk duduk di sofa yang masih kosong.

"Ly, lo kenapa nggak pernah cerita sih, kalau lo punya kembaran?" tanya Christy terkejut sambil menatap ke arah Dyana. Yang ditatap malah tersenyum malu.

"Iya Ly, cantik banget kembaran lo," tambah Argha. Sedangkan Arsha hanya diam sembari menatap Lyana dan Dyana bergantian. Keduanya sangat mirip dan cantik, namun Lyana lebih cantik dari Dyana, menurut Arsha.

"Kakak cantik dan Kakak ganteng, aku bukan kembaran Kak Lyana, tapi aku adik satu-satunya Kak Lyana," ucap Dyana mengklarifikasikan agar tidak terjadi kesalah pahaman.

"Stelle dich vor," titah Lyana sembari tersenyum. ("Perkenalkan dirimu")

"Perkenalkan, namaku Dyana. Aku kelas sepuluh, sekolah di SMA Bakti Mulia, dan aku bukan kembarannya Kak Lyana," ucap Dyana diakhiri kekehan kecil.

"Apa buktinya kalau lo bukan kembaran Lyana?" tanya Argha yang masih tak percaya.

"Eh kampret! Dyana itu benar, umur Lyana dan Dyana selisih dua tahun. Wajah mereka memang mirip, tapi bukan berarti mereka kembar." Kini giliran Chania yang bersuara. Argha langsung diam setelahnya.

"Dek, kenalin. Yang di sebelah Kak Chan namanya Kak Arsha, yang di sebelah Kak Arsha namanya Kak Argha, te―"

"Oh, jadi kakak ganteng yang nggak percaya kalau aku adiknya Kak Lyana ini namanya Kak Argha. Hai Kak, salam kenal." potong Dyana cepat. Lyana menghela napas pelan.

"Dyana," panggil Lyana lembut. Sebenarnya bukan sekadar panggilan, tetapi sebuah peringatan lembut untuk Dyana karena sudah memotong ucapan Lyana, dan itu tidak sopan. Dyana yang menyadarinya langsung menunjukkan deretan gigi putihnya. 

"Eh iya Kak, maaf." Lyana tersenyum, dan Arsha ikut tersenyum saat Lyana tersenyum.

"Karakter kalian sepertinya bertolak-belakang," ucap Argha menebak-nebak.

"Betul sekali! Karakter mereka berbeda tiga ratus enam puluh derajat, nggak pakai celcius." Lyana, Alisa, Dyana, dan Argha tertawa mendengarnya. Sedangkan Christy kebingungan, dan Arsha masih fokus menatap Lyana diam-diam.

"Memang kenapa, kalau pakai celcius?" Chania melongo mendengar pertanyaan dari Christy.

"Gue cuma bercanda." Chania mulai geram dengam Christy yang terkadang polos.

"Sifat dan karakter Dyana hampir sama dengan Chania, makanya kalau mereka disatukan akan berisik," jelas Alisa sembari terkekeh.

"Guys, ini minumannya. Sorry telat," ucap Ardhan sembari menaruh nampan berukuran besae yang berisi delapan gelas lemon tea dan beberapa cemilan.

"Kak Ardhan." 

"Dyana." Dyana menghampiri Ardhan dan memeluknya. Ardhan membalas pelukannya. Wajar saja, mereka baru bertemu setelah dua tahun berpisah.

Dyana sudah menganggap Ardhan seperti kakaknya, begitupun dengan Ardhan yang menganggap Dyana seperti adik sendiri, terlebih Ardhan adalah anak tunggal, dan ia sangat menginginkan seorang adik perempuan, tetapi rahim ibunya sudah diangkat karena ada kanker yang bersarang di sana dan menyebabkan Ibu Listy tidak bisa hamil lagi.

"Kak Ardhan, aku kangen banget sama Kakak," ucap Dyana melepas pelukan Ardhan.

"Sama, Kakak juga. Kamu apa kabar?" 

"Baik banget. Apalagi pas ketemu sama Kak Ghaga, dia asyik banget orangnya." Ardhan menyernyit.

"Kak Ghaga siapa?" tanya Ardhan bingung.

"Itu lho, yang di sebelah Kak Arsha." Ardhan menoleh ke orang yang duduk di sebelah Arsha. Ternyata Ghaga yang dimaksud Dyana adalah Argha. Ardhan tidak bisa untuk menahan ketawanya. Sedangkan Argha membelalakkan kedua matanya, kemudian bersuara.

"Nama gue bagus, lho. Kenapa malah lo panggil Ghaga?" protes Argha tak terima.

"Suka-suka aku."

"Ghaga bukannya nama burung, ya?" tanya Christy yang terlalu polos.

"ITU GAGAK!" sewot Argha. Lyana, Alisa, Chania, Dyana, dan Ardhan tertawa, sedangkan Arsha diam saja, masih memperhatikan Lyana yang sedang tertawa. Terkadang, Arsha ikut tersenyum saat melihat Lyana tertawa.

"Kenapa nggak sekalian kamu panggil Lady Ghaga aja?" tanya Chania jahil.

"That's good idea." Argha hanya bisa melongo mendengarnya.

"Astaghfirullah, kasihanilah orang tua gue yang memberi gue nama yang bagus, tapi diganti dengan seenak jidatnya sama orang yang tak dikenal." Lyana, Alisa, Chania, Christy, Ardhan, dan Dyana tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba Lyana teringat satu hal.

"Dhan, Tante Listy ada?" tanya Lyana pelan. Ardhan menoleh, kemudian mengangguk. 

"Ada, di kamarnya. Lo mau ketemu?" kini giliran Lyana yang mengangguk.

"Ke dalam aja." Lyana menggelengkan kepala cepat.

"Nggak deh." Rasanya sangat tidak sopan jika ia langsung masuk ke dalam sendirian, meskipun ia sudah belasan tahun mengenal Ardhan dan keluarganya. 

"Lho, kenapa? Mama biasanya jam segini nggak ngapa-ngapain, paling cuma main laptop." 

"Nggak ah, nggak sopan." 

"Astaga Lyan, jadi selama ini lo masuk ke kamar gue itu sopan? Lagipula, kita bukan baru kenal seminggu-dua Minggu, tapi kita udah kenal belasan tahun. Dan, di kamar Mama nggak ada harimau kok, jadi aman," ucap Ardhan meyakinkan. Ia sangat heran dengan sahabatnya ini. Meski sudah belasan tahun bersama, tetap saja Lyana selalu tidak mau jika masuk ke dalam rumah Ardhan selain ke ruang tamu, jika tidak ditemani oleh pemilik rumah. 

Lyana menghela napas, kemudian menoleh ke sebelahnya yang terdapat sang adik sedang tertawa.

"Dek, ke kamar Tante Listy, yuk?" ajak Lyana. Dyana menghentikan tawanya dan menoleh ke sang kakak.

"Ngapain, Kak?" Lyana menunjukkan kantong berukuran sedang yang sedari tadi masih dalam genggamannya. 

"Ngasih ini." 

"Ayo, aku juga udah kangen banget sama Tante Listy. Sini Kak, aku aja yang bawa kantongnya." Dyana mengambil alih kantong yang dipegang Lyana, kemudian ia berdiri. 

"Guys, gue ke Tante Listy dulu, ya?" yang lainnya mengangguk sebagai jawaban. 

"Kakak-kakak yang cantik dan ganteng, aku sama Kak Lyana ke dalam dulu, ya. Jangan kangen." Lyana terkekeh mendengarnya, begitupun dengan Alisa, dan yang lain. 

Mata Arsha seakan tak mau lepas dari Lyana, bahkan hingga Lyana sudah tidak terlihat pun pandangannya masih tertuju pada Lyana, seolah tak mau beraloh menatap yang lain. 

***

Tiba di depan kamar Ibu Listy, Lyana mengetuk pintu kamar yang ada di hadapannya. Saat si empunya kamar menyahut, Lyana dan Dyana memundurkan langkahnya dua langkah, dan selang beberapa detik, pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya yang memakai baju setelan berwarna merah maroon. Sangat cocok dengan warna kulitnya yang berwarna putih tersebut. 

"Hai Tante," sapa Lyana dan Dyana sembari menyunggingkan senyuman.

"Lyana, Dyana, kalian apa kabar?" tanya Ibu Listy sambil merentangkan tangannya memberi kode agar Lyana dan Dyana memeluknya. 

"Baik Tante. Tante sendiri gimana?" tanya Lyana balik sembari melepaskan pelukannya.

"Seperti yang kalian lihat. Oh ya, mama-papa kalian apa kabar?" 

"Sehat kok, Tante."

"Syukurlah kalau begitu."

"Kalian ke sini naik apa? Bawa mobil? Kok Ardhan nggak kasih tau Tante, kalau kalian mau datang?" Lyana menggeleng cepat.

"Kita ke sini naik taksi, Tante. Mungkin Ardhan lupa kasih tau Tante kalau kita mau datang."

"Iya mungkin, ya."

"Oh ya, Tante lagi sibuk, nggak?" tanya Dyana membuka suara.

"Nggak kok, hari ini Tante free."

"Kalau gitu Tante mau nggak buat Falscher hase bareng aku dan kakak? Aku sama kakak kangen banget sama Falcsher hase buatan Tante. Kita juga udah beli bahan-bahannya, lho." ucap Dyana sambil menunjukkan bungkus plastik yang dipegangnya. Ibu Listy tersenyum.

"Seharusnya kalian nggak usah beli bahan-bahannya, karena Tante masih punya stok di dapur."

"Nggak apa-apa Tante, lagipula kita mau buat banyak,"

"Ya udah terserah kamu aja. Yuk, kita cus ke dapur." Ibu Listy merangkul kakak-beradik ini menuju dapur.

***

Selesai membuat Falscher hase di dapur bersama Ibu Listy, Lyana dan Dyana berjalan menuju halaman belakang rumah Ardhan. Sebelumnya Ardhan sudah mengirimi Lyana pesan, memberitahunya bahwa Ardhan dan yang lain pindah ke halaman belakang rumah Ardhan dan meminta Lyana dan Dyana jika sudah selesai memasak bersama ibunya, segera menyusul ke halaman belakang rumahnya.

"Halo kakak-kakak yang cantik dan ganteng, Dyana dan kakak kembali lagi dengan membawakan sesuatu yang membuat perut kenyang," sapa Dyana saat memasuki halaman belakang rumah Ardhan. 

Dyana meletakkan nampan yang berisikan wadah yang sudah terisi penuh oleh Falscher hase, dan delapan buah piring kecil. Sedangkan Lyana meletakkan nampan yang berisikan air putih biasa dengan delapan gelas di atas meja.

Tatapan Arsha masih tertuju pada Lyana, bahkan hingga Lyana memberikan sepiring kecil Falscher hase pun, tatapan Arsha masih enggan beralih pada Lyana.

Arsha memutuskan untuk berhenti menatap Lyana sebentar, dan memilih untuk makan Falscher hase yang diberikan Lyana barusan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status