Share

06. Sebuah Kesepakatan

Lyana baru saja tiba di kelas, tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu yang membuatnya tertawa. Ia melihat Christy berpenampilan agak berbeda dari sebelumnya. Rambut diikat dua, dan memakai kacamata bulat. Sangatlah lucu, bagi Lyana.

"Style baru, Ty?" tanya Lyana sengaja. 

"Style dari mana? Ini tuh gara-gara Chania," jawab Christy cemberut.

"Tapi lo terlihat tambah cantik Ty, kalau kayak gitu," tambah Chania di sela-sela ketawanya.

"Udah-udah, kasihan Christy," bela Lyana. Christy membuka kacamata yang dipakaikan Chania tadi, lalu membuka ikat rambutnya dan merapihkannya lagi. 

"Guys, gimana kalau kita main ToD?" tanya Alisa memberi usul.

"Boleh juga tuh, udah lama gue nggak main ToD." sahut Chania setuju.

"Lo gimana Ly, Ty? Mau ikut kan?" tanya Alisa. Lyana dan Christy mengangguk. 

"Oke, dimulai dari Chania, setelah itu gue, lalu Lyana, dan seterusnya. Oke, sekarang giliran Chania. Truth or Dare?" tanya Alisa.

"Truth." 

"Oke, siapa orang yang lo suka sekarang?" Chania merutuki dirinya sendiri, menyesal karena sudah memilih truth. 

"Ayo jawab!" paksa Alisa. Sedangkan Lyana dan Christy hanya diam menunggu Chania menjawab.

"Gue boleh kasih inisialnya aja, nggak?" tanya Chania hati-hati.

"Nggak boleh." jawab Lyana, Alisa, dan Christy bersama.

"Kalau kasih tau kelasnya aja?" tanya Chania lagi.

"Syichania! Gue nanya siapa, bukan kelas berapa." sahut Alisa penuh penekanan.

"Ayo cepat jawab. Di antara kita nggak boleh ada rahasia," desak Lyana. Chania menghela napas berat.

"Oke-oke. Gue lagi suka sama ...." Chania menggantungkan kalimatnya.

"Sama siapa?"

"Revan."

"Revan kelas kita?" tanya Lyana memastikan.  Dengan cepat Chania membekap mulut Lyana.

"Sssttt ... jangan berisik!" Lyana melepaskan tangan Chania dari mulutnya.

"Lo serius suka sama Revan? Bukannya lo sering banget ngeledek dia?" tanya Alisa masih tak percaya.

"Itu satu-satunya cara supaya gue bisa ngontrol perasaan gue saat lagi di dekat dia. Kalian nggak tau sih, gimana deg-degannya jantung gue kalau dia tiba-tiba sok care sama gue," ucap Chania menjelaskan apa yang sedang ia rasakan saat ini sambil memegang dadanya seolah jantungnya saat ini sedang tidak baik-baik saja.

"LEBAY!" sahut Lyana dan Alisa yang langsung diberikan tatapan membunuh dari Chania.

"Sejak kapan lo suka sama Revan?" Christy tiba-tiba bertanya.

"Sejak kelas sepuluh." 

"WHAT?" Lyana, Alisa, dan Christy sangat terkejut mendengar pengakuan Chania.

"Kenapa lo nggak cerita?" sepertinya pembicaraan mulai serius.

"Karena awalnya gue hanya sekedar terpesona sama dia dan gue belum benar-benar yakin sama perasaan gue. Tapi sekarang gue yakin, kalau gue memang benar suka sama Revan."

"Oke, kita lanjut lagi mainnya," ucap Alisa. Kini giliran Chania yang harus memilih antara truth or dare.

"Truth or dare?" tanya Lyana. 

"Truth." Baru saja Lyana ingin membuka suaranya, Chania sudah dukuan bertanya.

"Kenapa lo suka sama Argha? Apa yang menarik dari dia?" Pertanyaan Chania tersebut mampu membuat Lyana, Alisa, dan Christy membelalakkan kedua matanya. Alisa berpirasat bahwa Chania ingin membalasnya karena tadi ia menanyakan hal yang hampir sama.

"Lo suka sama Argha?" tanya Lyana sambil menatap Alisa intens.

"Iya, Alisa tuh suka sama Argha sejak kelas sebelas," jawab Chania mewakili Alisa. Alisa mendengkus.

"Yang ditanya gue." 

"Biarin aja. Lagipula lo pasti nggak akan jawab, jadi nggak ada salahnya kan, kalau gue yang jawab?" Alisa menghela napas berat, ia menduga sepertinya Lyana akan mengintrogasinya.

"Kenapa lo nggak cerita?" Dugaan Alisa tepat sasaran. Mau tidak mau ia harus jujur kepada Lyana, lagipula Lyana adalah sahabatnya dan Lyana berhak mengetahuinya.

"Gue takut Argha tau."

"Memang kenapa, kalau Argha tau?" pancing Lyana.

"Gue takut Argha nggak punya rasa yang sama kayak gue, dan akhirnya dia il-feel." 

"Itu kan cuma ketakutan lo. Nggak baik lho, memendam perasaan lama-lama," ucap Chania bijak.

"Udah-udah, kenapa jadi introgasi gue, sih?" 

"Ah iya, lo belum jawab pertanyaan Chania. Apa yang membuat lo suka sama Argha?" tanya Lyana ulang.

Mendengar pertanyaan yang sama dari Lyana membuat Alisa salah tingkah.

"Karena ...." Alisa menggantungkan kalimatnya.

"Karena apa?"

"Karena gue merasa, Argha tuh beda dari yang lain."

"Beda dari yang lain? Argha bukan manusia, kah?" tanya Christy yang mampu membuat Lyana, Alisa, dan Chania memutarkan matanya malas.

"Bukan itu maksud gue."

"Lalu?"

"Intinya beda deh, susah jel―" 

"Hello, welcome back with Trio 'A," teriak Argha yang baru saja datang sambil menggebrak meja yang membuat seisi kelas 12 IPS-5 terkejut. Di belakang Argha terdapat Ardhan dan Arsha yang sedang terkekeh.

Sedangkan Chania menatap Argha tajam.

"Woy Curut! Bisa nggak sih, kalau datang nggak usah teriak-teriak? Ini sekolah bukan hutan. Kalau lo mau belajar jadi tarzan, bukan di sini tempatnya. Dan, kalau datang nggak usah gebrak meja. Lo pikir ini meja punya bapak lo?" omel Chania kesal. Namun yang diomeli malah nyengir tanpa dosa.

"Kalian lagi main apa? Kayaknya seru banget."

"Kita lagi main ToD. Kalian mau ikutan?" tanya Lyana.

"Boleh tuh. Dhan, Sha, lo berdua ikutan nggak?" tawar Argha yang kemudian diangguki oleh Arsha dan Argha.

"Oke, sekarang giliran Ardhan."

"Truth or Dare?" tanya Argha cepat.

"Dare."

"Cium pipi Lyana." Lyana membelalakkan matanya tak percaya. Dare seperti apa ini?

"Lo apa-apaan sih?" sahut Alisa tak terima dengan dare yang diberikan Argha.

"Nggak apa-apa. Ini kan cuma dare."

"Tapi nggak harus cium pipi juga. Ini di sekolah, kalau yang lain li―"

Cup.

Lyana mematung seketika. Sebuah kecupan singkat mendarat di pipi kanan Lyana. Lyana tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang. Ardhan benar-benar melakukan dare dari Argha. 

Bukan hanya Lyana yang terkejut, Alisa, Chania, Christy, dan Arsha sama terkejutnya seperti Lyana. Berbeda dengan Ardhan dan Argha yang menunjukkan ekspresi santai, seolah tak ada kejadian apa-apa barusan.

"Udah," ucap Ardhan membuka suara. 

Lyana membenarkan posisi duduknya dan menyelipkan beberapa helai rambut yang keluar dari kepangannya.

"Oke, kita lanjut." Ardhan menoleh ke arah Lyana yang berada di sebelahnya dan menatapnya. Terlihat masih ada keterkejutan yang sangat kentara di wajah Lyana. Ardhan menjadi tak enak pada Lyana.

"Sorry Lyan," bisik Ardhan tepat di telinga Lyana yang membuat si pemilik telinga tersentak. Lyana menoleh ke arah Ardhan yang mulai menjauhi telinganya dan mencoba untuk tersenyum meski kikuk.

"It's okay."

Keduanya kembali diam dan memilih untuk melihat lima temannya bermain ToD, dan menunggu giliran mereka. Ardhan mulai merasa bosan karena sedari tadi ia belum mendapatkan gilirannya. Ardhan menoleh ke arah Lyana lagi.

"Keluar yuk, Lyan?" ajak Ardhan. Lyana menoleh dan mengerutkan keningnya.

"Ngapain?" 

"Cari udara segar, bosan gue." Lyana memikir sebentar, menimamg-nimang ajakan Ardhan untuk keluar. 

"Ayo." Lyana dan Ardhan berdiri.

"Gue sama Lyan udahan," ucap Ardhan tiba-tiba yang membuat lima temannya menoleh ke arahnya dan Lyana bergantian.

"Kenapa?"

"Mau keluar. Ayo Lyan." Lyana dan Ardhan berjalan beriringan keluar kelas, sedangkan yang lainnya melanjutkan permainan yang semakin seru.

***

Lyana dan Ardhan berjalan memasuki area lapangan. Tidak sedikit dari murid SMA Jayakarta yang menatap mereka dengan berbagai tatapan. Dari mulai baper, iri, hingga tatapan tak suka. 

Lyana dan Ardhan mempercepat langkahnya menuju bangku panjang yang berada di bawah pohon rindang di pinggir lapangan. 

"Kita duduk di sini aja ya, Lyan? Sambil lihat kelas sebelas main basket," ucap Ardhan sambil mendudukkan bokongnya di bangku, kemudian diikuti oleh Lyana.

"Lo nggak ikut main basket, Dhan?" tanya Lyana. Ardhan menggelengkan kepala.

"Males, ah." 

Mereka terdiam beberapa detik sambil menonton murid kelas sebelas yang sedang bermain basket.

"Lyan," panggil Ardhan sambil menoleh ke arah Lyana.

"Hmm?" sahut Lyana yang masih fokus menonton siswa kelas sebelas bermain basket.

"Buat kesepakatan, yuk?" Lyana langsung menoleh dengan kerutan di dahinya.

"Kesepakatan apa?" 

"Kesepakatan bahwa di antara kita nggak boleh ada yang memiliki perasaan lebih,"

Deg.

Entah kenapa, dada Lyana terasa sesak saat mendengarnya. Namun sebisa mungkin Lyana bersikap santai seperti biasa.

"Gue nggak mau persahabatan kita hancur hanya karena perasaan lebih yang tumbuh di antara kita. Dan juga, gue nggak mau hubungan gue sama Alia rusak. Gue sayang sama lo sebagai sahabat, dan gue juga cinta sama Alia. Gue nggak mau kehilangan kalian. Kalian sangat berarti di dalam hidup gue," jelas Ardhan. 

Lyana mencoba mencerna setiap kata yang dikeluarkan Ardhan. Sesaat kemudian, Ardhan menyodorkan jari kelingkingnya.

"Gimana, Lyan? Apa lo sepakat?" tanpa berpikir panjang, Lyana langsung menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Ardhan sembari tersenyum, meski dadanya masih terasa sesak.

"Sepakat." Mereka saling melemparkan senyum, dan tanpan ketahui, Lyana merasakan sesak saat menyepakati kesepakatan yang baru saja mereka buat. 

Ardhan melepaskan tautan jari kelingkingnya dan beralih untuk memeluk Lyana, tetapi dengan cepat Lyana menahannya. 

"Mau ngapain?" tanya Lyana yang masih menahan tubuh Ardhan.

"Mau peluk."

"Nggak boleh," cegah Lyana cepat.

"Kenapa nggak boleh, Lyan? Biasanya boleh."

"Apa lo nggak lihat, sekarang kita ada di mana?" Ardhan melihat sekelilingnya yang terdapat murid yang sedang berkeliaran karena bel masuk belum berbunyi. Belum lagi pemandangan di hadapannya yang terdapat siswa kelas sebelas sedang bermain basket. Ardhan mengerti sekarang, alasan Lyana melarangnya untuk memeluk Lyana. Ardhan menoleh ke arah Lyana kemudian menunjukkan cengirannya.

"Iya juga ya, ya udah kapan-kapan aja,"ucap Ardhan yang diangguki oleh Lyana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status