Apa yang harus ia pilih di saat-saat genting ini?
Dipta merenung dikelilingi tatapan penasaran teman-temannya. Kepalanya menunduk seakan tak sanggup melihat wajah mereka. Mengakui Sella sebagai tunangannya secara sepihak saja sudah terdengar seperti mimpi buruk. Ditambah Dipta harus berbohong di depan tuan dan nyonya Ariston, bahkan di hadapan Samuel sendiri. Tanpa sadar hembusan napas berat lolos dari mulutnya.
Mendadak Dipta jadi teringat Sella. Perempuan itu hanya terlihat lemah karena penyakit mentalnya. Sebenarnya Sella jauh lebih tenang dan bijak dari dirinya saat menghadapi masalah. Dipta berpikir apa yang akan dilakukan Sella jika diperhadapkan dalam situasi seperti ini.
“Ta, lo harus coba rencana ini.”
Seruan Juna membuyarkan lamunan Dipta. Roni dan Bobby berdiri tegang menunggu reaksinya. Dari balik lensa kacamatanya, Dipta menyaksikan pandangan Juna yang terlihat begitu sayu. Dipta tahu betul sekeras apa Juna membagi waktu antara pekerjaan paruh waktu dan kegiatan band. Hati Dipta diselimuti perasaan tak tega. Rasa sakit itu menyeruak lebih dalam saat ia menyadari Roni juga bernasib sama seperti Juna. Laki-laki bernama lengkap Roni Josephin itu sering sakit-sakitan tapi ia harus mengerjakan dua hal sekaligus, kuliah dan bermusik di band.
“Ta, coba lo pikirkan apa yang akan dipilih Sella kalau ada di situasi ini?” Pertanyaan Roni mengudara, membelah kehampaan di wajah Dipta.
“Sejak kita membentuk Young Bee di kelas dua SMA, Sella selalu mendukung kita,” imbuh Roni seraya tersenyum. “Bahkan sampai hari ini.”
“Iya, bahkan Sella pernah janji mau datang ke Jakarta Dream Concert buat nonton penampilan kita.” Suara antusias Juna menginterupsi kesenduan di tengah mereka. “Akhirnya kita bisa dapat kesempatan manggung di sana. Sella pasti datang ke Jakarta buat kita, Ta.”
Ucapan Juna melempar Dipta kembali ke masa lalu. Pada masa-masa remaja mereka yang penuh ambisi akan impian. Kala itu mereka masih empat murid SMA yang dipenuhi semangat untuk membentuk band dan sukses bersama. Meski jalan mereka tak mudah dan kerap diliputi kegagalan, tapi kehadiran Sella yang mendukung Young Bee begitu membekas di hati Dipta. Ia memandangi ketiga temannya, mereka pasti sangat ingin tampil di Jakarta Dream Concert dan ditonton Sella. Tapi nahasnya, hari ini Dipta melakukan kesalahan bodoh dan membuatnya terjerat kasus tabrak lari yang melibatkan Samuel Ariston. Keluarga Ariston pasti tak akan melepaskannya semudah itu. Lalu Dipta akan berakhir mengecewakan ketiga sahabatnya dan perempuan yang dicintainya.
“Kira-kira bagaimana perasaan Sella ya kalau tahu kita gagal tampil di konser impian kita karena lo tersandung kasus sama keluarga Ariston?” Bobby mencetuskan pertanyaan yang membuat dada Dipta kian sesak.
“Gue nggak mau mengecewakan Young Bee dan Sella.” Dipta akhirnya buka mulut kendati suaranya terdengar getir. “Setelah gue pikir-pikir, Sella nggak akan marah sama rencana ini. Kalau itu demi Ikon Bee, Sella pasti menerimanya.”
Bobby, Juna, dan Roni terkejut setengah mati saat tahu-tahu Dipta melangkah cepat menuju pintu masuk di basement tempat parkir. Mereka bertiga sudah bertaruh pada hasil terburuk jika Dipta menolak rencana ini. Namun, tiba-tiba Dipta yang penakut itu berubah pikiran dan bahkan terbirit-birit lari ke dalam rumah sakit.
“Ta, lo yakin?” tanya Bobby kelimpungan. “Lo nggak takut, kan?”
“Gue pemimpin Young Bee, Bob. Gue juga yang nabrak Samuel. Jadi, gue harus tanggung jawab!” jawab Dipta penuh keyakinan.
Dipta menyusuri koridor rumah sakit dan naik ke lantai atas dengan tangga darurat. Antrean panjang di depan lift membuat Dipta urung menggunakan fasilitas itu. Ia harus segera menyelesaikan masalah ini dan kembali fokus pada latihan band. Bobby, Juna, dan Roni mengekor di belakangnya dengan perasaan senang sekaligus cemas.
Baru saja Dipta sampai di lantai tempat Samuel dirawat, tapi kakinya mendadak gemetar. Bobby menepuk pundaknya, berusaha menenangkan. Juna dan Roni menarik kedua tangannya agar tubuhnya yang terdiam kaku itu bergerak menuju ruang UGD. Dipta menelan ludah saat jaraknya dengan ruang UGD hanya tinggal selangkah. Tinggal hitungan detik lagi dan ia akan menghadapi murka orang tua Samuel. Tanpa sadar Dipta memejamkan mata saat Bobby mendorong pintu ruang UGD.
Dipta berpikir ia akan langsung melihat wajah merah padam tuan dan nyonya Ariston di balik pintu mengerikan itu. Tapi ternyata ia salah. Dipta malah menemukan wajah Samuel yang berkeringat dan dirundung kegelisahan. Laki-laki itu sudah turun dari ranjang dan kini berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat. Dipta terkejut dihampiri Samuel yang berjalan pincang itu.
“Tolong gue! Bawa gue kabur dari sini! Tolong!” pinta Samuel memelas.
“Heh, kenapa minta tolong ke orang yang udah nabrak lo?” tanya Dipta kebingungan.
“Lo nggak lihat kondisi badan gue?” sahut Samuel sembari berdecak sebal. “Kaki gue pincang! Tangan gue diperban! Bisa tamat hidup gue kalau bokap dan nyokap gue lihat gue kayak gini! Makanya bawa gue kabur dari sini!”
Dipta tercengang mendengar permintaan Samuel. Yang benar saja? Dipta sudah bersalah karena menabrak Samuel. Lalu kini ia diminta membawa kabur Samuel dari rumah sakit secara diam-diam? Dipta memegangi kepalanya yang mendadak pusing. Sementara itu Samuel yang ketakutan terus menggoyangkan tubuhnya dengan ketar-ketir.
“Gue mohon sama lo! Bawa gue kabur dari sini sekarang juga!” desak Samuel.
Bobby, Juna, dan Roni yang melihat pemandangan membingungkan itu tak tahu harus berbuat apa. Dipta kelimpungan didesak Samuel. Korban tabrak lari menyuruh pelaku tabrak lari melarikannya dari rumah sakit? Roni mendengkus penuh curiga. Ia mencium ada yang tidak beres dari Samuel.
“Tungguh, deh!” sela Roni dengan mimik serius. “Samuel, kenapa lo tiba-tiba mau kabur dari orang tua lo? Memangnya lo bakal dihukum kayak gimana?”
Dengan tangan kirinya yang tidak terbalut perban, Samuel memperagakan gerakan memotong leher. Semua orang terperanjat, tak terkecuali Dipta yang wajahnya kini sepucat Samuel. Raut pasi Samuel dan gerakan tangan kirinya yang bagai sakit tremor itu telah menjelaskan segawat apa riwayat laki-laki itu di tangan orang tuanya.
“Pagi ini keluarga gue mengadakan acara penting dan gue kabur ke bandara.” Samuel menjelaskan dengan terburu-buru, sorot matanya terus memperhatikan kaca jendela ruang UGD untuk memastikan orang tuanya belum datang.
Empat orang anak muda yang berdiri mengelilingi Samuel tercekat mendengar alasannya ingin kabur dari rumah sakit.
“Acara pagi ini penting banget,” lanjut Samuel. “Sialnya gue malah ditabrak mobil si cowok culun ini dan luka-luka! Bokap dan nyokap gue pasti marah besar! Untungnya mereka nggak langsung mampir ke sini. Dokter gue bilang kalau dia mau ngobrol dulu sama orang tua gue.”
“Tu-tunggu!” Dipta menginterupsi dengan teriakan keras. Samuel yang sedari tadi berbicara dengan berbisik-bisik terang saja dibuat kesal oleh Dipta.
“Sssst! Jangan teriak bodoh! Nanti kedengaran sama suster—“
“Bukan itu!” Dipta kembali memotong makian Samuel. “Lo bilang apa tadi? Mobil si cowok culun ini? Eh, biarpun mata gue minus dan gue penakut, tapi gue itu laki-laki yang bertanggung jawab! Buktinya gue nggak kabur.”
Bobby, Juna, dan Roni yang mengendus bau pertengkaran langsung menjauhkan Dipta dari hadapan Samuel secepat mungkin. Wajah Samuel yang semula kusam itu seketika diselimuti rona merah padam. Dipta memberontak dari pegangan ketiga temannya dan berjalan menghampiri Samuel. Jarak mereka kini hanya terpaut sat jengkal telapak tangan.
“Gue bukan cowok culun. Paham?” tanya Dipta ketus. “Gue minta sama lo untuk nggak membawa kasus ini lebih jauh lagi. Ingat, lo yang seenak jidat lari dari dalam kedai.”
“Mustahil kasus tabrak lari yang menimpa putra tunggal Hans Ariston nggak dibawa ke jalur hukum,” balas Samuel sinis. “Gue nggak bisa mengendalikan orang tua gue. Lo terpaksa harus menyewa pengacara kondang buat melawan bokap gue.”
Sekejap Dipta menjadi berang. Ia dirasuki perasaan marah kepada dirinya sendiri. Juga rasa tak berdaya setelah dihujani ancaman dari Samuel. Dipta menoleh dengan tujuan awal meminta saran teman-temannya. Tapi Bobby, Juna, dan Roni justru tertunduk lesu bersama-sama seakan tak lagi memiliki harapan. Dipta mengembalikan pandangannya ke bola mata tajam Samuel dengan perasaan menyesal.
“Keadaan gue udah sangat terdesak saat ini. Impian teman-teman gue dan masa depan band kami jadi taruhan.” Dipta menghela napas, dengan frustasi ia menggusak rambutnya lalu menatap dalam-dalam mata Samuel.
“Gue sangat bersedia bertanggung jawab, tapi jangan sampai terjerat dalam perangkap kejam keluarga lo. Apa yang bisa gue lakukan?” tanya Dipta sungguh-sungguh.
Senyum miring Samuel mencuat. Ia menepuk bahu Dipta dengan tangan kirinya.
“Ada satu jalan keluar,” bisik Samuel. “Keadaan gue juga genting banget sekarang. Untungnya gue punya rencana buat menghindar dari hukuman orang tua gue dan itu bisa menyelamatkan hidup lo juga. Tapi ada syaratnya.”
Dipta memajukan badannya dan merengkuh tangan Samuel erat-erat.
“Apa? Apa syaratnya? Gue bakal lakukan semua yang lo minta.”
Samuel menghembuskan napas lega. Ia berpikir masalahnya akan terselesaikan dengan bantuan Dipta.
“Syaratnya gampang. Bawa gue kabur dari sini tanpa ketahuan orang tua gue. Lalu sembunyikan gue di tempat aman sampai acara keluarga Ariston di hari ini selesai. Gimana?”
“Oke! Gue setuju!” Dipta menerima jabat tangan Samuel. Senyum tegangnya terukir sangat jelas di bibirnya yang bergetar. Tapi ia sudah bersumpah akan melakukan apapun untuk masa depan Young Bee.
***
Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan. Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk. “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.  
Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan. Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi. Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka u
Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta. Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan Whatsapp di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna. “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?”
Desakan Samuel, kata-katanya yang sulit dipercaya, dan cengkeraman jari-jarinya di kerah kemejanya. Dipta tak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi. Sejak masih di bangku sekolah pun ia tak suka berkelahi. Keyakinan itu bertahan sampai sekarang, ketika ia mulai beranjak dewasa dan kuliah di perguruan tinggi. Akan tetapi hari ini, satu nama yang terlontar dari mulut korban tabrak larinya telah menghancurkan keyakinan Dipta. “Lo sahabat Sella waktu SMA? Cowok yang nemenin dia waktu terapi penyembuhan trauma?” tanya Samuel bertubi-tubi. Nadanya suaranya keluar bagai tercekik. Dipta masih merasakan sekujur tubuhnya kaku saat saling beradu tatap dengan Samuel. Derak hujan menampar-nampar at
Samuel kurang suka hujan. Terlebih saat ia harus terjebak di tengah Jakarta karena hujan. Pasalnya hujan tidak hanya membuat kendaraan tertahan memenuhi jalan karena banjir dan macet, hujan juga membuatnya kedinginan. Seperti saat ini, ia merasakan pukulan Dipta yang memberi sensasi panas di pipinya. Samuel tidak hanya menggigil kedinginan, ia juga marah karena Dipta menyerangnya. Beruntung suara teriakan Bobby di luar mobil mengundang satpam apartemen dan penjaga parkir restoran seafood berlari mendekat. Dengan tambahan kekuatan gedoran dan teriakan dua pria dewasa, Dipta akhirnya menyerah. Ia melepaskan Samuel yang mulai kehabisan napas. Gerakan refleks Dipta yang melepasnya tak menyurutkan rasa kesal di benak Samuel, ia justru semakin marah karena Dipta berhenti dengan terpaksa. &nb
“Lupakan soal itu dulu. Itu urusan kita berdua nanti.” Dipta mengacungkan layar ponselnya yang memuat pesan teks aplikasi dari Roni. Samuel ingin sekali mengamuk setelah pesan bertabur emotikon sedih itu disodorkan Dipta ke wajahnya. Tapi ia harus tetap tenang di situasi yang ramai ini. Perkelahian di dalam mobil tadi saja sudah memalukan. Samuel harus menjaga image di muka umum agar status artisnya tidak hancur hanya karena cowok culun bernama Dipta. “Sesuai janji lo. Kita udah mati-matian bawa lo kabur dari UGD. Sekarang tolong bebasin Juna dan Roni. Mereka jadi korban buat menyelamatkan lo. Kalau orang tua lo tau apa alasan lo kabur dari acara perjodohan ke bandara dan akhirnya kecelakaan. Gue rasa mereka bakal—“ “Ssst!
Terjebak di rumah orang kaya yang benci padamu terasa seperti terperosok ke lubang singa. Roni tahu ia pandai mendeskripsikan sesuatu dengan agak berlebihan. Terjun ke dalam prodi Sastra Inggris membuatnya tampak bak pujangga Inggris pada zaman kerajaan abad pertengahan. Tapi kali ini ia tidak berlebihan. Dua gelas jus jeruk di atas meja kaca, belasan toples kue kering, dan senyum ramah asisten rumah tangga sama sekali tidak membantu mencairkan suasana yang terlampau tegang. Juna malah tenggelam dalam kebiasaannya menggerakkan jempol kaki saat mereka menunggu nyonya Ariston berbicara. Kuliah di jurusan Sastra Indonesia dan aktif di teater prodi sepertinya membuat Juna pandai bersandiwara. Roni mengatakan hal ini karena wajah Juna datar. Ulangi sekali lagi. Datar. Polos dan kalem meski sedang dipelototi nyonya Ariston. “Jun, kok muka lo bisa bertahan lempeng kayak jol tol gitu, sih?” bisik Roni. “Iya, dong. Gue menerapkan ilmu teater di jurusan gue den
Bendungan Hilir adalah rumah bagi anak-anak Young Bee. Sejak kecil mereka sudah terbiasa tidur sembari menatap hamparan gedung pencakar langit. Dipta dipertemukan takdir dengan Bobby, Juna, dan Roni di Perumahan Benhil Permai. Tidak seperti namanya yang katanya permai, perumahan tempat mereka tinggal justru langganan tergusur banjir. Kendati bermukim di perumahan, empat sekawan itu masih mencicipi segala problematika Ibu Kota dalam masa remaja mereka. Bukan Jakarta namanya kalau tak akrab dengan kemegahan di antara keruhnya banjir dan kemacetan. Satu hal yang paling Dipta syukuri dari tinggal di Benhil adalah kehadiran Bobby, Juna, dan Roni. Hal kedua yang juga sangat ia syukuri adalah kenyataan bahwa Benhil adalah pusat kuliner Kota Jakarta. Selepas pulang sekolah di SMA 38, Dipta yang uang jajannya paling banyak itu akan diseret Bobby dan Juna ke warung