Share

Misi Penyelamatan Samuel

            Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan.

            Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk.

            “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.

            “Ini demi Young Bee, Ron.” Dipta menjawab lesu. “Kita harus tampil di Jakarta Dream Concert apa pun yang terjadi.”

            Roni menangkupkan wajahnya yang kusut di telapak tangan. Juna dan Bobby mulai gelisah tak karuan.

            “Ta-tapi gimana caranya?” tanya Juna seraya mencolek pinggang Bobby. “Bob, lo biasanya banyak akal. Kasih saran, dong.”

            Sejak pagi tadi, Bobby sudah dibuat pusing dengan ulah Dipta dan kasus tabrak lari Samuel. Kini ia sudah kehilangan tenaga untuk bicara. Ia hanya bisa menggeleng untuk menjawab permintaan Juna. Alhasil laki-laki pendek itu mengumpat kesal. Dipta sendiri tak menyahut apa-apa selagi ketiga temannya menemui jalan buntu. Samuel hanya bisa meremas-remas surai blondenya, pikirannya juga buntu.

            “Kita harus kabur sekarang!” pekik Samuel frustasi. “Kita harus berhasil kabur sebelum orang tua gue keluar dari ruangan dokter. Ayo, apa rencana lo?”

            Dipta menggaruk-garuk tengkuk lehernya meski tak gatal. Ini kebiasaannya saat terjebak dalam situasi tak menguntungkan. Tak lama serangan pusing mendera kepalanya. Tapi siapa sangka, kalau pikirannya yang mumet itu justru mencetuskan sebuah ide cemerlang. Dipta merapatkan wajahnya ke celah kaca di pintu. Ruang UGD dekat dengan toilet yang berarti memiliki ruang janitor tempat menyimpang alat-alat kebersihan. Atensi Dipta beralih pada ransel Roni dan Juna.

            “Jun, lo bawa baju ganti ‘kan? Ron, lo baru aja ambil pesanan jaket bomber Ikon Bee buat manggung di Jakarta Dream Concert ‘kan?” tanya Dipta bertubi-tubi. Ia memohon lewat matanya agar pertanyaannya dijawab anggukan kepala.

           “Iya, kok lo tau?” tanya Juna dan Roni kompak.

            Kedua laki-laki itu mengangguk. Roni memang mendapat kiriman seragam jaket Young Bee melalui kurir tadi pagi. Juna yang meskipun agak lambat berpikir tapi cinta kebersihan itu memang selalu membawa pakaian ganti.

            “Itu dia penyelamat kita!” seru Dipta seraya menyeringai lebar.

            Bobby, Juna, dan Roni terkesiap melihat seringai lebar Dipta. Cukup lama mereka diam sampai akhirnya Roni yang berotak lebih cemerlang di antara mereka berempat menjetikkan jari. Ia langsung paham rencana Dipta. Sementara Juna dan Bobby harus memandangi cerah Dipta selama beberapa saat sebelum mengangguk antusias.

            “Eh, jangan bilang lo berempat mau nyamar jadi dokter dan gue jadi pasien?” Samuel bertanya cemas. “Apa kita nggak bisa langsung lari?”

            “Sekarang lo yang bodoh,” tukas Dipta. “Semua koridor di rumah sakit ini dipasang kamera CCTV. Kalau orang tua lo menemukan kamar ini kosong, mereka pasti akan cek rekaman CCTV dan riyawat kita semua dipastikan tamat!”

Menyadari pertanyaan konyolnya, Samuel spontan menepuk kening. Dipta yang memimpin misi penyelamatan Samuel langsung membagi tugas. Ia dan Bobby akan melarikan Samuel dari ruang UGD menuju basement parkir. Juna dan Roni tidak ikut bersama mereka, dua laki-laki itu akan berjaga di depan dan belakang untuk mengawasi keadaan.

            “Lagipula kita nggak nyamar jadi dokter,” lanjut Dipta sembari memandangi tiga sahabatnya. “Kita akan nyamar jadi petugas kebersihan dengan baju ganti Juna dan jaket seragam Young Bee. Nah, pertama kita pergi ke toilet dulu buat ganti baju. Setelah itu kita ambil tong sampah, sapu, dan alat pel. Terus kita pura-pura balik ke sini untuk membersihkan kamar dan di saat itulah kita bawa kabur Samuel!”

            Samuel tercengang mendengar rencana Dipta. Matanya berkedip cepat tak karuan saat berusaha mencerna arti dari rencana itu. Maksudnya Dipta ingin memasukkan dirinya ke tong sampah agar bisa dibawa kabur dari rumah sakit? Napas Samuel tercekat, Dipta itu sinting.

            “Lo gila! Maksud lo gue harus masuk ke tong sampah dan didorong kalian berempat sampai ke bawah, hah?” Samuel berkacak pinggang, wajahnya merah padam. “Mana mungkin lo bisa memperlakukan putra tunggal Hans Ariston—“

           “Please, Samuel. Don’t be stupid. Pakai otak lo sedikit.” Roni menimpali dengan gemas. “Percuma kalau lo kita giring keluar tapi muka lo terekam di CCTV!”

           Samuel menepuk kening lagi. Kendati membatin tak terima, Samuel terpaksa menuruti semua perlakuan tak senonoh ini demi keselamatan hidupnya. Ia tak rela kartu kreditnya direbut dan semua fasilitas dari keluarga Ariston dirampas darinya. Terlebih jika semua kemalangan itu terjadi hanya karena Sella yang tak pernah mau bertemu dengannya. Samuel mendengkus sebal, misi ini harus sukses besar.

           “Oke, semua sepakat?” tanya Dipta memastikan dan semua orang mengangguk.

            Setelah persiapan dirasa sudah lengkap, Dipta menyusun rencana-rencana cadangan dan solusi yang bisa mereka ambil saat datang situasi tak terduga. Misi penyelamatan Samuel akhirnya tersusun sempurna. Dipta dan Bobby yang pertama keluar. Saat berjalan menuju toilet pria, mereka berusaha tidak menoleh ke arah CCTV di sudut atas koridor. Begitu sampai mereka langsung berbegas mengganti baju. Beruntung seorang petugas yang baru saja pergi meninggalkan ruang janitor dalam keadaan tidak terkunci.

            “Ini bantuan dari Tuhan, Bob!” gumam Dipta terharu.

            “Iya, Ta. Ayo ambil tong sampahnya.” Bobby merangsek masuk ke ruang janitor dan menyeret tong sampah beroda dibantu Dipta.

            Mereka membawa masuk tong sampah dengan sorot mata bangga. Juna dan Roni yang sudah berganti pakaian itu saling berpandangan bahagia. Semua orang bahagia, kecuali Samuel. Dahinya terlipat penuh rasa jijik. Terutama saat ia melihat ada air sampah menetes dari bagian bawah tong beroda itu. Bobby membuka tutup tong sampah dan dengan senyum nakalnya mempersilakan Samuel untuk masuk.

            Samuel menelan ludah dan berusaha menutup mata saat memasukkan satu kakinya ke dalam tong—yang ternyata berbau lebih busuk dari perkiraannya—. Saat berjongkok di dalam tong sampah, Samuel merasakan segala penderitaan terburuk di dunia tengah mengutuknya. Kakinya yang panjang membuat tubuhnya terjepit di dalam sana. Ia harus mati-matian menahan napas saat Bobby menggeser penutup tong sampah.

            “Udah siap semua?” tanya Dipta gugup, ia baru saja selesai merapikan jaket di tubuhnya. Ketiga temannya mengangguk, tak kalah gugup.

             “Oke! Ron, lo keluar dulu dan jaga di depan. Jun, lo keluar paling belakang dan awasi pergerakan orang tua Samuel.” Dipta membagi tugas, mimik wajahnya perpaduan perasaan tegang dan tingkat percaya diri yang cukup tinggi.

            Roni dan Juna saling berpandangan seakan-akan mereka adalah agen rahasia yang akan segera memulai misi penting. Dikepung ceceran sampah, udara pengap, suasana yang tegang seperti itu membuat Samuel bergidik ngeri. Pagi ini, statusnya sebagai putra tunggal pewaris kekayaan Hans Ariston lenyap terhapus bau sampah rumah sakit.

            Roni berjalan tenang keluar dari ruang UGD. Dari balik satu daun pintu yang terbuka, Roni memberi sinyal lewat anggukan kepala bahwa orang tua Samuel dan dokter itu belum terlihat di koridor. Dipta mengangguk, posisi mereka aman. Kini saatnya mendorong ranjang.

            “Bob, ayo tarik!” jerit Dipta setengah histeris.

            Bobby mulai menyeret tong dari arah depan. Dipta ikut mendorong sekuat tenaga dari belakang. Mereka harus berpacu dengan waktu agar misi penyelamatan Samuel berhasil. Sialnya baru sampai di tengah koridor dan mereka sudah kewalahan. Tak pernah disangka oleh Bobby dan Dipta kalau Samuel seberat itu.

            “Samuel, lo berat banget!” keluh Bobby sambil terengah-engah.

            Samuel tak sanggup membalas gerutuan Bobby. Ia sibuk menutup akses masuk bau sampah ke hidungnya. Terhimpit oleh sampah dan terguncang-guncang membuat Samuel mual. Ia hampir muntah saat tong terasa bergerak turun dan memberi sensasi teraduk-aduk di kepalanya. Rupanya dugaan Samuel benar, tong sedang turun menggunakan lift.

            “Ron, gimana keadaan di bawah? Ramai?” Dipta menelepon Roni untuk menanyakan situasi. Roni sudah terlebih turun dengan lift sebelum mereka.

            “Aman, Ta. Nggak terlalu ramai. Lo berdua langsung ke basement aja. Berusaha jangan ada orang lain yang masuk ke lift selain lo sama Bobby, ya.”

            Panggilan telepon dari Roni berakhir. Dipta menanggapi peringatan dari sahabatnya itu dengan begitu serius. Wajar saja, misi penyelamatan ini berpotensi rusak kalau ada saksi mata yang melihat mereka. Awalnya Dipta sudah ketar-ketir pintu lift akan terbuka di tengah perjalanan. Tapi entah ada keberuntungan dari mana, sampai ke basement tidak ada orang lain yang menekan tombol lift. Bobby menghamburkan tatapan membeliak yang aneh. Sepertinya semesta mendukung misi penyelamatan Samuel.

            Tak mau membuang-buang waktu, Dipta dan Bobby mengerahkan tenaga lebih banyak dari sebelumnya untuk mendorong tong sampah. Nahasnya, Samuel semakin mual karena guncangan yang bertambah besar. Ia benar-benar muntah saat tong sampai di depan bagasi mobil Dipta.

            “Lo berdua gila! Pelan-pelan sedikit, dong! Gue muntah—“

            Samuel belum menyelesaikan pidato kemarahannya saat Juna tiba-tiba muncul dari arah lift. Mulutnya yang sibuk memaki itu mendadak terkunci. Dipta, Bobby, dan Roni terbelalak melihat laki-laki pendek itu berlari kesetanan menuju mereka. Pertanda buruk. Hanya itu yang ada di pikiran mereka bertiga.

            “Buruan kabur, Ta! Orang tua Samuel sadar anaknya hilang dan sekarang lagi turun ke bawah!” seru Juna kelabakan.

            Dipta, Bobby, dan Roni tak sempat bereaksi seperti berteriak histeris. Mereka langsung kalang kabut menjejalkan tubuh bongsor Samuel ke dalam bagasi. Perawakan Samuel sedikit lebih tinggi dari anak-anak Ikon Bee. Sehingga laki-laki berpostur atletis itu terpaksa menderita lagi karena kedua kakinya tertekuk di dalam bagasi.

            “Woi, perlakuan kalian ke gue itu sama sekali nggak manusiawi!” jerit Samuel.

            Nahasnya, tidak ada yang menghiraukan teriakan malang Samuel. Dipta kembali sibuk membagi rencana. Roni dan Juna tidak akan pergi satu mobil dengan mereka. Kedua laki-laki itu akan naik taksi untuk mengalihkan perhatian orang tua Samuel yang tengah mengejar mereka.

            “Pokoknya misi ini harus berhasil!” pekik Dipta frustasi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status