Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan.
Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi.
Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka utama dan satu-satunya dari teror desakan itu tak lain adalah Samuel.
“Woi, lebih cepat! Ayo, lebih cepat! Nanti kita terkejar! Jangan lelet, dong!”
Samuel—yang bau badannya resmi menjadi campuran dari aroma sampah dan muntah itu— terus meneriaki Dipta dari bagasi. Dipta kelimpungan menghadapi teriakan Samuel yang menurutnya lebih mirip makian. Samuel sendiri terkikik geli di bagasi. Ia merasa statusnya sebagai pasien tabrak lari telah dilecehkan. Pasalnya ia dibiarkan tergeletak di bagasi yang sempit ini tanpa rasa kemanusiaan.
“Ini mobil bukan pesawat!” Bobby yang sudah tak tahan akhirnya balas berteriak.
“Gue juga tau,” timpal Samuel ketus. “Gue cuma mau bikin ribut aja karena lo berdua nggak bisa memanusiakan pasien tabrak lari. Masa putra tunggal Hans Ariston yang baru ditabrak mobil cowok culun harus tiduran di bagasi! Yang bener aja!”
“Aduh, mulut lo itu kayak lambe turah!” Bobby menjerit gemas. “Tenang aja, nanti kita bakal melayani lo dengan baik. Tadi itu situasinya lagi gawat darurat! Ditambah badan lo bau sampah!”
“Iya, ini mobil mama gue. Bisa habis riwayat gue kalau bawa pulang mobil ini dan jok tengahnya bau sampah.” Dipta tak mau kalah mengumpati balik Samuel.
Terang saja Samuel meradang. Sayang sekali tubuhnya hanya bisa berbaring di dalam bagasi. Diperparah dengan nyeri di kaki dan tangannya yang terbalut perban. Akhirnya Samuel melampiaskan kekesalannya dengan memukuli kaca mobil menggunakan tangannya yang tidak sakit.
“Samuel, berhenti mukulin kaca mobil mama gue! Lo juga ‘kan masih sakit. Jangan cari masalah lagi!” Kewarasan Dipta terjun bebas ke titik terdalam frustasinya.
Mendengar Dipta akan menggila, Samuel yang malah asyik tertawa itu melanjutkan aksinya. Bobby menyumbat kedua lubang telinganya, enggan tercemari adu mulut Samuel dan Dipta. Meski sudah disumbat, telinga Bobby tetap memerah karena teriakan Samuel dan Dipta yang bersahut-sahutan memenuhi mobil. Bobby sungguh tak habis pikir. Perjalanan melarikan diri ini bahkan masih berstatus genting. Tapi kedua laki-laki asing ini terus merecoki keadaan dengan sinting.
Di tengah pertengkaran Samuel dan Dipta, ponsel Bobby yang tenggelam di saku jaket gombrongnya tiba-tiba berbunyi. Air mukanya mendidih karena perasaan marah dan takut. Panggilan dari Juna mengantarkan aroma mimpi buruk.
“Bob, lo sama Dipta lagi di mana? Gawat, nih! Taksi gue sama Juna dibuntuti mobil orang tua Samuel!”
Seketika jiwa dan raga Bobby hanyut dalam kolam keputusasaan. Dengan gontai ia mencolek bahu Dipta. Untungnya Dipta menyadari colekan lemahnya dan akhirnya berhenti menyumpahi Samuel. Bobby langsung menyodorkan ponselnya yang terisi penuh oleh teriakan cempreng Juna.
“Gimana nih, Bob?” Suara Dipta terdengar serak, hasil dari debat dengan Samuel dan kecemasan tingkat tinggi.
“Nggak ada cara lain,” kata Bobby seraya mengantongi ponselnya. “Kebut, Ta!”
Kegilaan Dipta pecah karena seruan Bobby. Ia menginjak pedal sedalam-dalamnya dan mobil mamanya sukses besar melesat melewati barisan mobil di jalan raya. Hanya satu harapan yang bisa dirapalkan Dipta di tengah aksi kebut-kebutannya. Semoga mata minusnya bekerja dengan baik dan ia tak perlu membawa pulang mobil dalam keadaan lecet.
***
Di sisi lain, tepatnya di tengah padatnya arus lalu lintas, Juna dan Roni tidak hanya terjebak macet di dalam taksi yang kurang beruntung karena dikemudikan sopir cerewet. Tapi mereka juga terjebak dalam kurungan malapetaka. Sebetulnya masih kurang dramatis jika disebut malapetaka. Pasalnya mobil sedan Lexus orang tua Samuel hanya berjarak tiga mobil saja dari taksi mereka yang teronggok tak berdaya di tengah jalan raya.
“Mampus kita, Ron.” Juna yang bekerja full time sebagai profesional overthinker itu mulai mengeluarkan suara tangisan.
Roni biasanya selalu bersikap tenang. Itulah kekuatannya yang selama ini berjasa mengisi kekurangan Ikon Bee. Sialnya hari ini pikiran Roni benar-benar kusut. Semesta dan dewi keberuntungan memusuhinya. Ia diterpa kasus tabrak lari Dipta, misi penyelamatan Samuel yang berujung aksi kejar-kejaran, dan ancaman orang tua Samuel yang nyaris akan membunuh mereka. Semua anak-anak Young Bee tahu kalau Roni Josephin sang gitaris adalah penggemar berat film aksi. Sejujurnya dulu saat SMA, Roni sempat berdoa agar ia terlibat aksi keren seperti dalam film yang ditontonnya.
Hari ini doa Roni terkabul. Tapi anehnya ia malah ingin ditelan bumi ketimbang menikmati adegan aksinya.
“Oh, bumi telan saja aku.” Roni bersenandung sedih. Ia sama sekali tidak mirip pemeran utama pria dalam film aksi favoritnya.
“Kalau lo kayak gitu jadi mirip pemeran utama sinetron pelakor. Tentang suami baik hati yang diselingkuhi istrinya itu, lho.” Juna mencetuskan dua kalimat yang membuat Roni semakin yakin kalau selain pendek dan lelet berpikir, Juna juga tidak berakhlak.
Roni menatap tepat ke mata Juna. Bibirnya siap meluncurkan hujatan. Tapi sepertinya nasib Juna jauh lebih beruntung dari dirinya hari ini. Ketukan tegas yang bertalu-tali di kaca taksi menyelamtakan Juna dari amukan Roni. Sayangnya ketukan yang disertai raut galak itu sama sekali tidak menyelamatkan misi mereka. Justru menghancurkannya.
“Bo-bokapnya Samuel.” Juna terbata saat menunjuk pria yang membungkuk di kaca taksi sebelah kanan.
Kemacetan di ruas jalan raya Jakarta Pusat yang selalu padat itu kini digenangi kemarahan salah satu dari keluarga Ariston, pemilik firman hukum terbesar di Jakarta. Semua pengendara motor dan mobil berbondong-bondong menoleh ke sumber keributan. Hans Ariston berkacak pinggang di samping taksi. Istrinya sibuk mengeluarkan perintah bernada makian kepada dua laki-laki apes di dalam taksi.
Juna dan Roni mati kutu. Sopir taksi yang berwajah masam mulai merasa terganggu dengan tatapan para pengendara di sekitar taksinya. Ia menoleh dengan dua bola mata yang melotot lebar. Dari tatapan mata yang beringas itu pun Juna tahu kalau mereka secara tidak manusiawi resmi diusir dari taksi. Tapi Roni menggeleng kecil.
“Kita harus nahan orang tua Samuel biar misi ini berhasil,” bujuk Juna.
Tapi Roni bersikeras dengan pilihannya menetap di taksi dan dipelototi si supir. Juna sendiri tak bisa berhenti gelisah karena keadaan di luar semakin gawat. Kendaraan di sebelah mereka mulai bergerak. Pertanda kemacetan akan segera usai. Sialnya taksi mereka masih teronggok di tengah jalan dengan tuan dan nyonya Ariston yang menghadang.
“Kalau lo milih keluar, bisa habis riwayat lo.” Roni bergumam gemas saat tangan Juna memegang pintu taksi.
“Biarin gue aja yang bermasalah sama keluarga Ariston,” kata Juna tak terduga. “Asal jangan Dipta. Tanpa Dipta, Young Bee nggak akan bisa tampil.”
Mata Roni membeliak. Ia tertampar ucapan Juna sampai telat mencegat laki-laki pendek itu keluar dari taksi. Roni masih mendapati dirinya termangu saat Juna berdiri di luar taksi. Ia tak habis pikir Juna akan nekat mengorbankan posisinya di band, sekaligus impiannya. Memang mustahil tampil tanpa vokalis. Tapi penampilan Young Bee tak akan lengkap tanpa kehadiran bassist.
“Juna!” Roni akhirnya turun sembari meneriaki sahabatnya yang kelewat nekat itu.
“Kalian ‘kan yang nabrak anak saya Samuel?” semprot Hans Ariston begitu Roni yang bertubuh kurus keluar.
Mulut Juna terkatup rapat. Pikirannya berkelana mencari alasan. Begitu pula Roni.
“Bu-bukan, Pak.” Roni menjawab gugup. “Bukan saya, Pak.”
“Terus kenapa istri saya melihat si pendek ini pergi dari ruang UGD? Kalian mencoba kabur, ya?” cecar Hans Ariston tanpa ampun.
“Nggak, Pak.” Hanya itu jawaban yang bisa Roni pikirkan dan berikan. Ia merasa sangat bersalah kepada Juna karena sahabatnya bertugas mengawasi situasi dari belakang.
Dua orang kaya di hadapan mereka malah semakin meradang mendengar jawaban Roni. Otak cemerlang Roni tiba-tiba kehabisan akal. Diinterogasi keluarga pemilik firma hukum dan dikelilingi puluhan orang ternyata lebih mengerikan dari yang Roni duga.
“Saya fans berat Samuel, Pak. Saya dengar kabar kalau Samuel kecelakaan. Jadi, saya pergi ke rumah sakit itu untuk melihat keadaannya.”
Roni kaget setengah mati saat makhluk di sebelahnya tiba-tiba bersuara. Bukan suara yang baik karena ia bisa melihat wajah nyonya Ariston memucat. Roni melirik laki-laki mungil bernama belakang Mahabarata itu dengan takjub sekaligus bingung. Takjub karena kegesitan Juna mencari alibi di tengah situasi genting. Dan bingung karena bisa-bisanya laki-laki itu mengaku sebagai fans Samuel. Oh, ralat. Fans berat Samuel! Yang benar saja.
Roni menemukan mulutnya terbuka lebar ketika menonton akting Juna yang mendadak keren bagai Jackie Chan. Sementara ia merasa malu pada dirinya sendiri yang terlihat—kata Juna, bukan kata dirinya—seperti pemeran protagonis tersakiti dalam sinetron suara hati istri. Diam-diam Roni berpikir kalau Juna sebenarnya punya banyak sisi keren, tapi dengan nahas tertutupi oleh sikap lelet dan akhlaknya yang minim.
“Apa? Kok, kamu bisa tahu Samuel kecelakaan secepat itu?” Magdalena Ariston menjerit marah. “Kamu penguntit! Ayo ikut saya ke rumah! Kita bicarakan ini empat mata!”
Juna tak sempat berkelit karena tahu-tahu cubitan Magdalena Ariston sudah bersarang di telinga kirinya. Roni sempat menahan pergerakan beringas wanita sosialitas itu. Tapi ia kalah karena Magdalena menjerit keras di mukanya. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah saat dijewer dan digiring ke mobil Lexus hitam.
Kendati alibi dan keberanian Juna berakhir buruk. Setidaknya Juna berhasil menahan orang tua Samuel mengejar mobil Dipta. Roni menyadari kemenangan mereka saat sahabatnya itu tersenyum lebar meski telinganya bengkak. Pagi ini, Juna Mahabarata telah menjelma menjadi Pandawa yang mengalahkan raksasa. Roni bangga padanya.
***
Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta. Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan Whatsapp di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna. “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?”
Desakan Samuel, kata-katanya yang sulit dipercaya, dan cengkeraman jari-jarinya di kerah kemejanya. Dipta tak pernah membayangkan situasi ini akan terjadi. Sejak masih di bangku sekolah pun ia tak suka berkelahi. Keyakinan itu bertahan sampai sekarang, ketika ia mulai beranjak dewasa dan kuliah di perguruan tinggi. Akan tetapi hari ini, satu nama yang terlontar dari mulut korban tabrak larinya telah menghancurkan keyakinan Dipta. “Lo sahabat Sella waktu SMA? Cowok yang nemenin dia waktu terapi penyembuhan trauma?” tanya Samuel bertubi-tubi. Nadanya suaranya keluar bagai tercekik. Dipta masih merasakan sekujur tubuhnya kaku saat saling beradu tatap dengan Samuel. Derak hujan menampar-nampar at
Samuel kurang suka hujan. Terlebih saat ia harus terjebak di tengah Jakarta karena hujan. Pasalnya hujan tidak hanya membuat kendaraan tertahan memenuhi jalan karena banjir dan macet, hujan juga membuatnya kedinginan. Seperti saat ini, ia merasakan pukulan Dipta yang memberi sensasi panas di pipinya. Samuel tidak hanya menggigil kedinginan, ia juga marah karena Dipta menyerangnya. Beruntung suara teriakan Bobby di luar mobil mengundang satpam apartemen dan penjaga parkir restoran seafood berlari mendekat. Dengan tambahan kekuatan gedoran dan teriakan dua pria dewasa, Dipta akhirnya menyerah. Ia melepaskan Samuel yang mulai kehabisan napas. Gerakan refleks Dipta yang melepasnya tak menyurutkan rasa kesal di benak Samuel, ia justru semakin marah karena Dipta berhenti dengan terpaksa. &nb
“Lupakan soal itu dulu. Itu urusan kita berdua nanti.” Dipta mengacungkan layar ponselnya yang memuat pesan teks aplikasi dari Roni. Samuel ingin sekali mengamuk setelah pesan bertabur emotikon sedih itu disodorkan Dipta ke wajahnya. Tapi ia harus tetap tenang di situasi yang ramai ini. Perkelahian di dalam mobil tadi saja sudah memalukan. Samuel harus menjaga image di muka umum agar status artisnya tidak hancur hanya karena cowok culun bernama Dipta. “Sesuai janji lo. Kita udah mati-matian bawa lo kabur dari UGD. Sekarang tolong bebasin Juna dan Roni. Mereka jadi korban buat menyelamatkan lo. Kalau orang tua lo tau apa alasan lo kabur dari acara perjodohan ke bandara dan akhirnya kecelakaan. Gue rasa mereka bakal—“ “Ssst!
Terjebak di rumah orang kaya yang benci padamu terasa seperti terperosok ke lubang singa. Roni tahu ia pandai mendeskripsikan sesuatu dengan agak berlebihan. Terjun ke dalam prodi Sastra Inggris membuatnya tampak bak pujangga Inggris pada zaman kerajaan abad pertengahan. Tapi kali ini ia tidak berlebihan. Dua gelas jus jeruk di atas meja kaca, belasan toples kue kering, dan senyum ramah asisten rumah tangga sama sekali tidak membantu mencairkan suasana yang terlampau tegang. Juna malah tenggelam dalam kebiasaannya menggerakkan jempol kaki saat mereka menunggu nyonya Ariston berbicara. Kuliah di jurusan Sastra Indonesia dan aktif di teater prodi sepertinya membuat Juna pandai bersandiwara. Roni mengatakan hal ini karena wajah Juna datar. Ulangi sekali lagi. Datar. Polos dan kalem meski sedang dipelototi nyonya Ariston. “Jun, kok muka lo bisa bertahan lempeng kayak jol tol gitu, sih?” bisik Roni. “Iya, dong. Gue menerapkan ilmu teater di jurusan gue den
Bendungan Hilir adalah rumah bagi anak-anak Young Bee. Sejak kecil mereka sudah terbiasa tidur sembari menatap hamparan gedung pencakar langit. Dipta dipertemukan takdir dengan Bobby, Juna, dan Roni di Perumahan Benhil Permai. Tidak seperti namanya yang katanya permai, perumahan tempat mereka tinggal justru langganan tergusur banjir. Kendati bermukim di perumahan, empat sekawan itu masih mencicipi segala problematika Ibu Kota dalam masa remaja mereka. Bukan Jakarta namanya kalau tak akrab dengan kemegahan di antara keruhnya banjir dan kemacetan. Satu hal yang paling Dipta syukuri dari tinggal di Benhil adalah kehadiran Bobby, Juna, dan Roni. Hal kedua yang juga sangat ia syukuri adalah kenyataan bahwa Benhil adalah pusat kuliner Kota Jakarta. Selepas pulang sekolah di SMA 38, Dipta yang uang jajannya paling banyak itu akan diseret Bobby dan Juna ke warung
Udara malam yang dingin memeluk tubuh Dipta tanpa belas kasihan. Ia masih duduk termangu disinari lampu studio yang hampa. Bobby yang terakhir meninggalkannya sendirian setelah tersenyum lelah dan menepuk pelan bahunya. Satu per satu sahabatnya telah pergi dari sisinya yang membeku penuh penyesalan. Tak ada lagi kehangatan dan hati kecil Dipta yang sakit dapat memahami hal itu. Roni dan Juna pasti sudah sangat mengantuk. Mereka pasti sudah lelah terlibat dalam masalahnya dengan Samuel yang seakan tak berujung. Dipta menggumamkan ucapan terima kasih dari bibirnya yang kelu, tepat ketika jaket gombrong Bobby tak terlihat lagi di ambang pintu. Pemilik jaket merah muda itu sudah bergabung dengan Roni dan Juna, menyusuri jalan pulang. Dipta menarik kakinya dan meringkuk. Malam sudah larut dan ia memikirkan seseorang di Denpasar yang kata ramalan cuaca akan dit
Belasan jam yang laluDenpasar, Bali Tak butuh waktu terlalu lama untuk sampai di Bali. Beranjak tengah hari, Sella sudah keluar dari pesawat. Beruntung liburan “terpaksa” selama lima hari di Jakarta membuatnya tak perlu membawa koper besar. Ia termasuk penumpang yang beruntung karena tak harus berjibaku di tengah kerumunan untuk mengambil koper dari bagasi pesawat. Bandar Udara Ngurah Rai sangat padat begitu Sella berjalan ke pintu depan, bahkan tidak ada ruang bebas untuk sekadar mendorong koper di sela-sela kerumunan orang. Sella berkacak pinggang melihat keriuhan di depannya, perjalanannya sudah tertunda karena ia tak ingin berbaur dengan lautan manusia di bandara. Sejak kecil, keramaian memang sudah menjadi musuh bebuyutannya. Ia benci harus berdesak-desakkan dengan orang-orang asin