Berhentilah sejenak. Putar tubuhmu dan pandangi aku seperti yang pernah kau lakukan dulu. Kau tahu, aku merasa takut sekarang. Melihat tanganmu yang masih ragu membalas uluran tanganku membuatku tenggelam lebih dalam dari apa yang pernah aku bayangkan. Sangat sulit. Bahkan hanya dengan memperkirakan semua ini akan segera terjadi.
Berhentilah berjalan. Untuk beberapa saat berikan aku senyum menawan itu. Senyum yang tersungging rapi di garis bibirmu. Bibir ranum yang selalu teroles lipstik berwarna cerah itu. Ya, lampirkan senyum memabukkan itu. Sekali lagi. Maka aku akan benar-benar kehilangan kendali untuk mencintai. Karena kau begitu sempurna.
Jadi, apakah kau masih berpikir bahwa aku adalah kesalahan terbaik? Yang datang ke hidupmu tanpa diminta dan menghancurkannya tanpa perasaan. Kurasa tidak. Karena sampai detik kepergianmu ke Bali, aku masih percaya bahwa kau tak pernah jatuh ke dalam dekapan yang salah. Atau jatuh cinta dengan pria yang salah.
Karena aku tak pernah mau mengoyakkan hati lembut itu jika kau tak membuatku jenuh menunggu.
Sekarang tunggulah aku. Di bandar udara yang ramai dan bising itu, menantilah untukku. Karena aku mencintaimu.
Tunggulah aku.
Meski kau tak tahu tentang hati ini, tapi kau bisa memahaminya dari jauh. Aku pun berada dalam lubang yang sama, merindukanmu yang tak pernah berada seujung jari pun dari lirikan mataku. Aku menulis surat-surat ini untuk kemudian mengulumnya menjadi sampah. Melipat setiap potongan katanya untuk kemudian menjadi burung kertas yang terbang di udara, tanpa arah.
Aku kehilangan manik matamu yang teduh itu. Lebih dari itu, mungkin aku telah kehilangan puluhan sajak yang melambung saat kau membacanya. Aku kehilangan hampir semuanya? Benar, tapi di detik-detik yang terasa lambat ini biarkan aku berharap bisa menemukan kepingan kenangan yang tertinggal. Serpihan atau bahkan remah-remah memori yang berjalan ketika aku tahu kau berada di sini, satu kota denganku, menghirup udara dan semerbak cinta yang meluap, sama denganku. Kau berada di sini, di Jakarta. Izinkan aku berpikir kau akan berada di sana, menungguku sebelum pesawat yang akan membawamu pergi lepas landas.
Untuk menerbangkanmu lebih jauh dari sebelumnya.
***
“Sam, gue lihat Sella di Bandara Soekarno Hatta. Pagi ini gue nganter nyokap berangkat ke Australia. Seriusan! Gue bertaruh itu Sella, cewek yang lo suka.”
Pesan mengejutkan dari sahabatnya Arthur masuk di tengah sesi sarapan keluarga Ariston. Beberapa jam lalu ia masih duduk dengan wajah tertekuk di depan meja makan yang menghamparkan lusinan makanan mewah. Bagi orang tuanya, hari ini akan mencetak sejarah paling membanggakan dalam silsilah keluarga besar Ariston. Pertemuan keluarganya dengan keluarga pebisnis terkemuka akan berlangsung malam nanti. Sialnya ia baru diberitahu pagi ini bahwa acara pertemuan itu akan berakhir rencana pertunangan antara dirinya dengan anak perempuan tunggal dari rekan bisnis ayahnya.
Samuel Ariston ingin menolak keras, tapi ia tak mampu karena karier bermusiknya terancam kandas di tangan orang tuanya.
Samuel Ariston, hanya dua kata itu yang tertera di plakat nama pria berkebangsaan Indonesia-Amerika yang kini tengah melangkahkan kakinya lebar-lebar, berlari semburat. Acara keluarga besar Ariston belum usai tapi Samuel memilih meninggalkan semua kemegahan dan tawa di dalam pesta itu. Menyeruak kepingan kenangan yang muncul di hadapannya setelah ia mendengar kabar kedatangan Sella di Jakarta, yang parahnya akan segera meninggalkan kota besar ini menuju Bali beberapa menit lagi.
Samuel terus merutuki dirinya saat kedua kakinya lemas dan terjatuh di atas jalan yang padat dengan kerumunan orang. Belum sesuap makanan pun yang masuk ke perutnya sejak pagi. Jadi wajar jika saat ini tubuhnya tak bisa diajak bekerja sama dengan baik. Tapi demi melihat arolji yang menunjukkan bahwa keberangkatan pesawat yang akan membawa Sella semakin dekat, Samuel rela menyeret paksa tubuhnya. Berlari dengan butiran keringat yang berhamburan dan nafas tersengal-sengal yang hampir memecahkan jantungnya saat itu juga. Taksi atau bus tidak akan menjadi pilihannya saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang terlampau padat membuat seluruh mobil yang berkutat di jalan besar itu berhenti. Alhasil laju mobilnya sempat tersendat hampir satu jam untuk sampai di sini. Berlari dengan sisa tenaga adalah pilihan terbaik saat ini.
Meski jauh di dalam hati kecilnya Samuel yakin wanita itu tak akan mau menoleh dan tersenyum kecil padanya, sekali pun ia datang dengan tubuh penuh keringat. Kendati begitu, senyum terakhir Kim Sella yang selalu membekas di otaknya membuatnya tetap berlari. Menembus kemustahilan dan kepahitan yang akan segera terjadi.
“Jangan dekati Sella lagi! Perbuatan jahat ayahmu membuatnya menderita sampai trauma tinggal di Jakarta!”
Samuel tersentak. Memorinya terlempar pada masa pesta kelulusan SMA saat dirinya menerima telepon tanpa nama. Orang asing itu mengancamnya untuk tidak mendekati Sella lagi. Samuel masih ingat betapa syok dirinya waktu itu. Pertengkarannya dengan sang ayah di tengah makan malam keluarga Ariston meninggalkan bekas luka yang begitu besar. Samuel ingin melupakan kejadian yang menimpa Sella. Tapi sialnya tiba-tiba ada orang asing yang mengetahui kejadian itu dan kembali mengingatkannya. Batin Samuel terluka.
Tapi hari ini, Samuel bertekad tak akan ada seorang pun yang mampu menghalangi atau bahkan menghentikan langkahnya. Ia sangat menggebu-gebu berlari dari area parkir bandara. Rasa cinta yang meluap dan kumpulan sajak cinta yang tergenang di bibirnya hampir saja meletup hari ini. Di tengah nafas memburunya yang hampir habis itu, ia masih bisa menembus kerumunan orang di sekitar bandara yang padat. Di punggungnya, laki-laki berparas tampan dengan seringai nakal di wajahnya itu merasakan ada bayangan seseorang yang mendorong dirinya untuk berlari lebih cepat.
Dan orang itu adalah Sella Lorinia.
“Jangan! Jangan sekarang!” Pria berkemeja putih dengan lengan tergulung itu mendengus kesal saat netranya melihat sebuah pesawat yang melintas ribuan kilometer di atas kepalanya.
Otak Samuel yang terlampau rancu itu segera menyimpulkan sebuah kenyataan pahit bahwa pesawat itu adalah pesawat yang membawa Sella pulang ke Bali. Tapi Samuel masih bisa menepis pikiran buruk itu dan berlari menerobos belasan mobil yang melintas di jalan. Ia hampir saja tertabrak oleh salah satu mobil itu sampai akhirnya ia bisa berhenti sejenak. Membungkuk dengan kedua tangan yang memegang lutut saat dirinya sudah berada di depan pintu masuk bandara.
“Apa aku terlambat?” batinya sesal.
Samuel merasa seluruh tulang yang melekat di tubuhnya akan remuk sekarang. Tapi sekali lagi, bayangan Sella membuatnya kembali berjalan memasuki bandara. Dengan sedikit terhuyung karena kepalanya berkunang-kunang, kedua kakinya yang terbalut celana jins itu berlari kecil. Matanya dengan tajam dan gesit berputar di sekeliling bandara, mencari sosok mungil yang selalu dirindukannya.
“Apa penerbangan dari Jakarta menuju Bali sudah berangkat?”
Hati kecilnya berdegup kencang. Dengan hati-hati dan diserbu rasa khawatir, Samuel memberanikan diri menanyakan soal keberangkatan pesawat Sella.
Petugas bandara di depannya terdiam cukup lama. Matanya masih fokus berkutat pada layar komputer di depannya. Lalu akhirnya petugas itu mengangkat kepala, melontarkan kalimat demi kalimat yang menulikan telinga Samuel saat itu juga.
“Ya, sudah berangkat lima belas menit yang lalu.”
***
Samuel menyesap kopi panasnya. Membiarkan kehangatan yang ditimbulkan oleh secangkir minuman itu meresap dan membakar hatinya. Sepasang mata menawannya yang mendadak gelap itu memandang pantulan dirinya di kaca kedai. Seorang pria menyedihkan berambut pirang yang termangu tanpa alasan. Ya, tanpa alasan. Karena setinggi apa pun rindu menerbangkan hasrat cintanya yang kian meninggi. Sekejam apa pun takdir merampasnya tanpa pamit. Sella akan tetap berjalan pergi, meninggalkan remah kenangan dan luka. Sama seperti sebelumnya. Padahal Samuel jelas tahu, tak ada alasan baginya untuk datang dengan segaris senyum di wajah. Atau dengan puluhan sajak yang terlepas dari bibirnya. Karena Sella akan tetap pergi. Dengan takdir yang tak akan mempersatukan kembali. “Ingin memesan varian kopi t
“Akh! Aduh! Sial banget gue hari ini!” Samuel tidak tahu benda keras apa yang menghantam lengannya hingga membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Kini ia berakhir tersungkur di aspal setelah menjerit kesakitan. Seingatnya, lima menit yang lalu otaknya mengepul seperti sedang mengeluarkan asap tebal. Jadi karena tak tahan, ia berlari keluar restoran tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang tengah ramai dan padat oleh kendaraan. Lalu beginilah akhirnya. “Hei, lo nggak apa-apa? Waduh, gawat!” Samuel mengangkat kepalanya. Mengabaikan rasa nyeri di pergelangan kakinya saat suara asing dari pria berjaket gombrong itu menyapa. Bobby berjalan ketar-ketir mengelilingi Samuel yang terduduk lemas di te
“Bob, gue nabrak anak konglomerat! Gue nabrak anak konglomerat, Bob! Yang gue tabrak anak pemilik firma hukum terkenal! Bob, gue nabrak anak konglomerat!” Celotehan panik Dipta memenuhi telinga Bobby sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Bobby merasa ingin muntah saat Dipta berteriak untuk yang kesekian kali bahwa ia baru saja menabrak anak konglomerat. Nahasnya nyanyian putus asa Dipta adalah fakta. Fakta yang menjerumuskan mereka ke dalam masalah besar. Catat! Masalah besar, bukan masalah biasa. “Gi-gimana nih, Bob?” tanya Dipta gemetar. Mobilnya sedang mengantre di depan pintu masuk rumah sakit. Bobby melirik Samuel yang setengah terlelap di jok tengah. Penampilan laki-laki itu sangat mewah, bertolak belakang
Misi bunuh diri berkedok perlarian sementara itu tak berjalan mulus. Koridor RSU Jakarta yang cukup tenang pagi ini mendadak gaduh. Bobby lari pontang-panting mencari tempat persembunyian. Di belakangnya, Dipta—yang cukup payah dalam berlari—mulai sesak napas karena mengimbangi langkah Bobby. Tubuh Bobby yang ringan dan gerakan gesitnya sulit diikuti oleh Dipta yang sejak kecil sering mimisan. “Ta, cepetan dikit! Ayo!” Bobby berseru gemas sembari menarik-narik tangan Dipta yang tiba-tiba tergolek lemah di lantai. “Istirahat sebentar, Bob. Gue bisa mati kehabisan napas sebelum ketemu tuan dan nyonya Ariston,” jawab Dipta terengah-engah. Dipta berjalan setengah bungkuk didampingi Bobby. Bobby yang sudah bercuc
Apa yang harus ia pilih di saat-saat genting ini? Dipta merenung dikelilingi tatapan penasaran teman-temannya. Kepalanya menunduk seakan tak sanggup melihat wajah mereka. Mengakui Sella sebagai tunangannya secara sepihak saja sudah terdengar seperti mimpi buruk. Ditambah Dipta harus berbohong di depan tuan dan nyonya Ariston, bahkan di hadapan Samuel sendiri. Tanpa sadar hembusan napas berat lolos dari mulutnya. Mendadak Dipta jadi teringat Sella. Perempuan itu hanya terlihat lemah karena penyakit mentalnya. Sebenarnya Sella jauh lebih tenang dan bijak dari dirinya saat menghadapi masalah. Dipta berpikir apa yang akan dilakukan Sella jika diperhadapkan dalam situasi seperti ini. “Ta, lo harus coba rencana ini.” Seruan Juna membuyarkan lamun
Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan. Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk. “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.  
Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan. Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi. Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka u
Tak pernah terduga dalam benak Dipta, Jakarta yang selalu bergerak dengan layar besar tanpa henti itu akan terguyur hujan. Aktivitas di dalamnya memang tak berhenti. Deru klakson yang bersahutan dan ketukan tumit sepatu para pekerja saling mengisi ruang kosong di jalanan yang kadang tergenang air. Derit ban sepeda motor anak-anak sekolah yang bergesekan dengan aspal yang licin. Juga ketenangan di dalam mobil Dipta. Sebenarnya keadaan saat ini tak tepat jika dibilang ketenangan yang menghanyutkan jiwa. Terlihat jelas dari raut wajah Dipta yang tegang saat membaca pesan Whatsapp di ponselnya. Hanya melihat ekspresi Dipta saja Bobby dapat menebak dengan akurat seperti apa nasib Roni dan Juna. “Kita bisa kabur sampai sejauh ini pasti karena Juna dan Roni, kan?”