Intensitas hujan di Bandar Udara Soekarno-Hatta pagi ini semakin memperlihatkan puncaknya. Di ruang tunggu yang cukup lenggang, pria bertudung topi hitam dengan jaket kulit warna senada yang membebat tubuh terlihat muram. Gelas kopi dari kedai ternama dianggurkannya di kursi tak bertuan, suhu cairan kental kehitaman itu turun drastis saat derak air hujan terdengar menampar-nampar tanah. Mulutnya mendesah, hujan di Jakarta tak jauh berbeda dengan hujan di Denpasar.
Hujan baginya adalah penantian tak berujung. Seperti serbuk-serbuk magis yang saat ini tengah mendekap bumi dengan suara bergemuruh. Petrikor dan kopi hitam hambar di kursi ruang tunggu menyempurnakan diamnya, melanjutkan penantiannya, menyudahi aksi menunggunya yang hampir melewati ambang batas.
Sebuah suara melengking menyeruak tiba-tiba, tanpa rambu dan sukses besar mengalahkan berisik air hujan yang merajam tanah. Ada sebersit nada kerinduan yang jika ia tajamkan pendengaran akan terdengar begitu jelas. Pria itu menarik diri dari kursi yang untuk satu jam lamanya telah berjasa menghangatkan bokongnya yang dingin. Tatapannya tak pelak langsung bertemu dengan manik mata sosok itu, sosok kecil yang selalu bermandi sinar matahari Pantai Kuta. Seulas senyum hangat mengembang cepat seperti kue bolu yang baru dikeluarkan dari panggangan. Pria itu, mau tak mau, tersenyum rikuh. Tangannya menolak keras untuk terulur dan menyambut gadis itu dengan satu rengkuhan utuh. Namun, parfum lavendel dan juntaian rambut cokelatnya yang dimainkan angin membuat pria itu menyerah.
Gadis itu berdiri terlalu tegar padahal dalam rajutan hatinya, ada setidaknya ribuan kaca fantasi yang pecah menjadi kasmaran. Dan rindu pagi ini tawar sudah oleh luasnya jatuh cinta dalam hati dua manusia yang kembali dipertemukan.
“Sudah lama menunggu ya, Dipta?”
Pria itu, Dipta Mahendra, kembali tersenyum rikuh. “Apa pasir di Pantai Kuta masih sehangat dulu?”
“Sudah memudar. Hangatnya Kuta mulai rapuh.”
Bibir tipis Dipta terkatup. Ia mendorong bingkai kacamatanya dengan gugup. Ada pertanyaan yang ragu meluncur. Kini sebisa mungkin ia mempertahankan mulutnya tertutup.
“Aku tak tahu kamu datang ke Jakarta. Berarti Jakarta masih sebuah trauma bagimu sampai kamu selalu datang dan pergi tanpa kuketahui.”
“Maaf,” kata lawan bicaranya sembari menunduk. “Karena aku hanya mengirim pesan soal kedatanganku di hari terakhir aku akan pulang.”
Dipta termenung. Tak disangka olehnya harum petrikor yang diam-diam menggelitik indra tubuh mampu membahasakan isi hati gadis itu. Kakinya berjalan tenang, tak semburat pun mengambang tak bernyawa. Jarak di antara dua insan yang bertemu di kala hujan mengguyur kota kini terkikis sudah. Sisa sepuluh jengkal dan Dipta berhenti untuk menatap gadisnya lebih dalam.
“Aku tahu mengapa Pantai Kuta kita tak sehangat dulu lagi.” Dipta merapatkan topi hitamnya, kedua matanya kian tersembunyi di balik surai rambutnya yang kusut masai dan lidah topinya yang lapang. “Karena kamu sudah jatuh cinta dengan orang yang salah.”
“Sekarang pertanyaanku,” lanjut Dipta sembari menahan langkah gadis di sampingnya. “Apa kamu pernah jatuh cinta dengan orang yang salah, Sella?”
Sella Lorinia, gadis berperawakan mungil dengan manik mata sejernih air dan hati seluas samudera. Dirinya adalah manifestasi dari hujan, sejuk dan menghanyutkan. Jiwanya adalah penggambaran wujud petrikor secara sempurna, candu dan langka. Sementara pria di hadapannya lebih dari itu. Dipta Mahendra, pria dengan senyum empat musim yang selalu menuai rindu di hatinya yang selama tiga tahun tak pernah lagi bertemu.
“Pernah, tentu saja. Tapi aku tak tahu mengapa harus demikian.”
Dipta melebarkan senyumnya, terlalu lebar sampai sulit dijangkau dengan sentuhan.
“Aku tahu, karena aku juga pernah.” Dipta menatap Sella lekat-lekat, berharap kecil Sella menyadari bahwa itu adalah dirinya, gadis yang ia cintai dengan kesalahan.
“Terkadang hati yang menyatu dengan cinta membawamu pada suatu hubungan yang menyakitkan. Terkadang ia membuatmu seolah-olah mempunyai sayap untuk terbang, lalu menyadarkanmu bahwa angkasa tak bisa ditembus dengan sepasang sayap rapuh saja.”
Sella menelan salivanya lamat-lamat. Setelah Dipta menjawab pertanyaan yang mengguncang hatinya, kini ia merasa kalut melihat wajah hangat di depannya mulai membeku. Sedikit canggung ia menarik tangan yang terbalut jaket kulit itu dan menggenggamnya cukup erat. Atensi pria yang berdiri tegap di depannya segera beralih. Bola mata pekatnya yang tertutup ujung topi itu menyusuri lengkungan bibir Sella yang tengah tersenyum, lantas menyentuhnya dengan ujung jari telunjuk, dengan lembut.
“Tapi mengapa kamu jatuh cinta padanya? Orang itu. Pria yang menghancurkan hidupmu karena obsesinya. Beritahu aku agar aku bisa mencegahmu terus pergi seperti ini.”
Lagi, Sella sukses dibuat mati kutu dengan suara berat yang mendadak terdengar asing di telinganya. Perawakan tinggi dengan aroma maskulin yang menjadi ciri khasnya selalu membuat candu bak pelukan hangat di musim dingin. Serta pipi yang selalu tirus itu dan bibir tipis yang selalu ingin ia sapu dengan kecupan singkat di tengah musim gugur.
Sella kehilangan kendali sekarang. Teringat kenangan menyakitkan semasa hidupnya di Jakarta dan kecelakaan mobil yang menewaskan orang tuanya. Dua tragedi yang mengacaukan hidupnya itu melibatkan orang itu, pria yang telah ia cintai dengan penuh kesalahan. Matanya berkaca-kaca, menyembulkan gumpalan air mata yang akan segera jatuh kalau saja Dipta yang berdiri kaku di depannya tak segera angkat bicara.
“Sepertinya hanya ada satu jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanku itu. Karena ketika seseorang jatuh cinta, ia tidak tahu apakah orang yang ia cintai adalah takdirnya, miliknya sepenuhnya. Semudah itulah manusia jatuh cinta dan segampang itulah manusia mengatakan kalau cinta menyakitkan.”
Pria di depannya menahan nafas. Matanya jelas masih menari-nari mengamati wajah gadisnya yang memucat.
“Dipta, apakah itu jawabannya?”
Pria berperangai ramah itu mengangguk samar, memamerkan senyum canggungnya.
“Kurasa demikian.” Dipta mengangkat bahu, tertawa pelan.
“Jika begitu, apa kata maaf masih pantas dia ucapkan hari ini?” Sella bertanya penuh kerancuan. Ditatapnya lekat-lekat wajah Dipta yang menegang. Tubuh Dipta melakukan beberapa pergerakan kecil, terlihat gusar.
Tapi pada akhirnya Dipta menjawab, meski dengan segunung perasaan yang belum ia tumpahkan. Tentang masa lalunya dan pria misterius itu yang tak pernah mau Sella ceritakan padanya. Terutama tentang luka hati dan trauma gadis di hadapannya.
“Aku tak tahu. Jangan pikirkan orang itu. Pikirkan saja kebahagiaanmu. Hiduplah dengan bahagia sehingga kamu tak perlu terus meninggalkan Jakarta dan aku. Tapi yang pasti, untuk beberapa tahun yang akan datang. Bukalah semua ruang dihatimu, rindukan aku sebanyak yang kamu bisa. Karena ketika pesawat lepas landas, kita tak akan bertemu lagi, menciptakan memori musim semi seperti yang selalu kita lakukan.”
Sella mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum. “Aku akan selalu mencoba merindukan. Dirimu, terik matahari Jakarta, daun yang berguguran di perkarangan sekolah, dan memori musim panas itu.”
“Ya, lakukan itu untukku.” Dipta membuang muka. “Tapi beberapa tahun yang akan datang nanti, kamu akan kembali, kan?”
Sella terpegun mendengar teman masa kecilnya itu bertanya cemas. Kedua tangannya menyergap lengan Dipta. Sorot matanya memaku pergerakan pria pemilik senyum menawan itu, membuatnya tak punya kesempatan untuk mundur.
“Jika takdir masih mengizinkanku bertemu denganmu.”
Dipta mengangguk. “Kalau begitu langsung kabari aku kalau kamu datang lagi.”
Sella menghela nafasnya yang sempat tercekat beberapa detik. Tangannya meluncur dari lengan Dipta dan jatuh terkulai. Dipta yang melihat Sella berubah gontai langsung menghamburkan pelukannya. Singkat memang tapi itu cukup membuat Sella kembali menatapnya berbinar-binar.
“Jika sebaliknya bagaimana, Dipta?” Sella bertanya dengan pandangan kosong. “Bagaimana jika aku masih berpikir dia tak bersalah dan tetap trauma saat berada di Jakarta?”
Dipta tersenyum simpul. Senyum yang sedikit dipaksakan karena Sella bisa melihat dengan jelas pelupuk mata Dipta yang berair, serta bibir tipis kemerahannya yang bergetar tiada henti.
“Jika yang terjadi adalah sebaliknya maka rindukan saja aku, sebanyak yang kamu bisa lakukan,” kata Dipta nanar. “Belajar yang rajin di kampus dan bahagialah di Bali.”
Dipta berjalan meninggalkan gadis berjaket biru di depannya yang seketika berubah menjadi patung. Ia lantas mempercepat langkahnya saat keberangkatan pesawat yang akan membawa Sella ke Bali tinggal hitungan menit lagi. Sementara hujan berangsur reda dan akhirnya berhenti. Seperti perasaan Dipta saat ini.
Hanya satu yang Dipta sesali. Saat ini tinggal hitungan menit lagi dan mereka akan kembali merindukan, sebanyak yang Dipta dan Sella bisa lakukan.
Sella yang berstatus mahasiswa semester 4 dan baru saja menghabiskan liburan lima hari penuh trauma di Jakarta itu berjalan menjauhi Dipta. Punggung mereka saling berjauhan, terus menjauh seakan begitulah takdir memisahkan mereka.
Dipta keluar dari area ruang tunggu bandara, hatinya koyak. Ia menoleh dan Sella tak ada. Gadis itu pasti sudah hampir masuk ke pesawat. Di depan pintu masuk yang ramai, Dipta yang temenung dikejutkan oleh sambutan seseorang. Pria urakan itu bersedekap di pintu mobil. Gayanya yang tengil dengan jaket gombrong merah mudanya membuat Dipta meringis. Pria itu rekan satu bandnya, Bobby Julian. Bobby segera mengeluarkan umpatannya saat melihat kedatangan Dipta. Telunjuknya teracung, menunjuk dengan gemas arloji yang melingkar di pergelangan tangan gemuknya.
“Terlambat lima menit, Ta. Kita bakal terlambat latihan sama anak-anak, deh.” Bobby meremas rambut cepaknya lalu menutupinya dengan topi. “Kalau mau pacaran, nggak usah bikin janji latihan. Gue yang nanti kena marah anak-anak.”
Dipta mengepalkan tangan kuat-kuat. “Sella bukan pacar gue, Bob!”
Bobby terkejut, ia menarik diri dari posisi bersandar di pintu mobil dan terkekeh malu. “Eh, iya. Maaf, Ta. Gue lupa. Tapi gimana tadi obrolan lo sama dia? Lo berhasil menyakinkan dia buat tinggal di Jakarta?”
Pertanyaan Bobby membuat Dipta pusing, ia merasa seperti jatuh ke dalam lubang yang pengap dan sempit. Lalu-lalang penumpang pesawat yang mendorong troli berisi koper, ketukan tumit petugas Bandara, dan suara meraung-raung dari pusat informasi mengisi kekosongan di kepala Dipta. Ia menengok kecemasan di wajah Bobby dan tersenyum lemah.
“Dia masih trauma sama Jakarta,” ucapnya lesu. “Dia akan terus meninggalkan gue, akan terus begitu, sampai beberapa tahun yang akan datang. Semua ini gara-gara cowok itu.”
Bobby tertampar dengan jawaban Dipta. Ia memelintir mulutnya yang asal bertanya dan tak memikirkan kemungkinan terburuk dari jawaban sahabatnya.
“Cinta memang menyakitkan, Ta.” Bobby menepuk bahu Dipta.
Dipta tercenung karena perkataan Bobby. Kali ini kepalanya dipenuhi tanda tanya. Bagaimana mungkin manusia bisa dengan mudah mengatakan cinta menyakitkan?
Terkadang pertanyaan sulit bisa dijawab dengan amat sederhana. Sama halnya dengan kedua manusia yang tengah bergerak untuk kemudian saling menjauh saat ini. Sella atau Dipta mungkin tak akan pernah tahu, seandainya mereka mau membuka ruang kosong di hati mereka dan membiarkannya terlukis lagi oleh cinta, maka mungkin arti cinta akan berubah 180 derajat. Namun kenyataanya tak banyak manusia yang sedang dimabuk cinta tahu akan hal ini. Mereka hanya tahu melupakan, melupakan, dan merasa sakit. Tapi mungkin tidak untuk wanita yang saat ini tengah mendorong kopernya, berjalan tenang memasuki pesawat. Ia tahu mengapa ia jatuh cinta pada pria yang saat ini tengah berlari mengejarnya ke bandara dan ia juga tahu mengapa ia harus melupakannya.
Seperti yang selalu Dipta Mahendra tanyakan.
Karena ia telah jatuh cinta dengan orang yang salah.
***
Berhentilah sejenak. Putar tubuhmu dan pandangi aku seperti yang pernah kau lakukan dulu. Kau tahu, aku merasa takut sekarang. Melihat tanganmu yang masih ragu membalas uluran tanganku membuatku tenggelam lebih dalam dari apa yang pernah aku bayangkan. Sangat sulit. Bahkan hanya dengan memperkirakan semua ini akan segera terjadi. Berhentilah berjalan. Untuk beberapa saat berikan aku senyum menawan itu. Senyum yang tersungging rapi di garis bibirmu. Bibir ranum yang selalu teroles lipstik berwarna cerah itu. Ya, lampirkan senyum memabukkan itu. Sekali lagi. Maka aku akan benar-benar kehilangan kendali untuk mencintai. Karena kau begitu sempurna. Jadi, apakah kau masih berpikir bahwa aku adalah kesalahan terbaik? Yang datang ke hidupmu tanpa diminta dan menghancurkannya tanpa p
Samuel menyesap kopi panasnya. Membiarkan kehangatan yang ditimbulkan oleh secangkir minuman itu meresap dan membakar hatinya. Sepasang mata menawannya yang mendadak gelap itu memandang pantulan dirinya di kaca kedai. Seorang pria menyedihkan berambut pirang yang termangu tanpa alasan. Ya, tanpa alasan. Karena setinggi apa pun rindu menerbangkan hasrat cintanya yang kian meninggi. Sekejam apa pun takdir merampasnya tanpa pamit. Sella akan tetap berjalan pergi, meninggalkan remah kenangan dan luka. Sama seperti sebelumnya. Padahal Samuel jelas tahu, tak ada alasan baginya untuk datang dengan segaris senyum di wajah. Atau dengan puluhan sajak yang terlepas dari bibirnya. Karena Sella akan tetap pergi. Dengan takdir yang tak akan mempersatukan kembali. “Ingin memesan varian kopi t
“Akh! Aduh! Sial banget gue hari ini!” Samuel tidak tahu benda keras apa yang menghantam lengannya hingga membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Kini ia berakhir tersungkur di aspal setelah menjerit kesakitan. Seingatnya, lima menit yang lalu otaknya mengepul seperti sedang mengeluarkan asap tebal. Jadi karena tak tahan, ia berlari keluar restoran tanpa menghiraukan keadaan sekitar yang tengah ramai dan padat oleh kendaraan. Lalu beginilah akhirnya. “Hei, lo nggak apa-apa? Waduh, gawat!” Samuel mengangkat kepalanya. Mengabaikan rasa nyeri di pergelangan kakinya saat suara asing dari pria berjaket gombrong itu menyapa. Bobby berjalan ketar-ketir mengelilingi Samuel yang terduduk lemas di te
“Bob, gue nabrak anak konglomerat! Gue nabrak anak konglomerat, Bob! Yang gue tabrak anak pemilik firma hukum terkenal! Bob, gue nabrak anak konglomerat!” Celotehan panik Dipta memenuhi telinga Bobby sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Bobby merasa ingin muntah saat Dipta berteriak untuk yang kesekian kali bahwa ia baru saja menabrak anak konglomerat. Nahasnya nyanyian putus asa Dipta adalah fakta. Fakta yang menjerumuskan mereka ke dalam masalah besar. Catat! Masalah besar, bukan masalah biasa. “Gi-gimana nih, Bob?” tanya Dipta gemetar. Mobilnya sedang mengantre di depan pintu masuk rumah sakit. Bobby melirik Samuel yang setengah terlelap di jok tengah. Penampilan laki-laki itu sangat mewah, bertolak belakang
Misi bunuh diri berkedok perlarian sementara itu tak berjalan mulus. Koridor RSU Jakarta yang cukup tenang pagi ini mendadak gaduh. Bobby lari pontang-panting mencari tempat persembunyian. Di belakangnya, Dipta—yang cukup payah dalam berlari—mulai sesak napas karena mengimbangi langkah Bobby. Tubuh Bobby yang ringan dan gerakan gesitnya sulit diikuti oleh Dipta yang sejak kecil sering mimisan. “Ta, cepetan dikit! Ayo!” Bobby berseru gemas sembari menarik-narik tangan Dipta yang tiba-tiba tergolek lemah di lantai. “Istirahat sebentar, Bob. Gue bisa mati kehabisan napas sebelum ketemu tuan dan nyonya Ariston,” jawab Dipta terengah-engah. Dipta berjalan setengah bungkuk didampingi Bobby. Bobby yang sudah bercuc
Apa yang harus ia pilih di saat-saat genting ini? Dipta merenung dikelilingi tatapan penasaran teman-temannya. Kepalanya menunduk seakan tak sanggup melihat wajah mereka. Mengakui Sella sebagai tunangannya secara sepihak saja sudah terdengar seperti mimpi buruk. Ditambah Dipta harus berbohong di depan tuan dan nyonya Ariston, bahkan di hadapan Samuel sendiri. Tanpa sadar hembusan napas berat lolos dari mulutnya. Mendadak Dipta jadi teringat Sella. Perempuan itu hanya terlihat lemah karena penyakit mentalnya. Sebenarnya Sella jauh lebih tenang dan bijak dari dirinya saat menghadapi masalah. Dipta berpikir apa yang akan dilakukan Sella jika diperhadapkan dalam situasi seperti ini. “Ta, lo harus coba rencana ini.” Seruan Juna membuyarkan lamun
Dipta ditimpuki rasa penyesalan saat ia menjabat tangan Samuel dan mengesahkan kesepakatan maut berkedok misi penyelamatan itu. Bobby, Juna, dan Roni yang berdiri di belakangnya kehabisan kata-kata. Saat ini Dipta juga nyaris tak bisa membuka mulut tanpa menelan sesal. Mamanya selalu memberinya banyak nasihat, satu yang paling diingat Dipta adalah nasihat untuk selalu berpikir panjang saat ingin mengambil sebuah pilihan. Akan tetapi, pagi ini Dipta melanggar nasihat kesukaannya itu. Dipta baru saja mengambil pilihan yang bagai dua sisi koin, bisa berujung baik atau justru berakhir buruk. “Ta, lo serius mau bawa Samuel kabur dari sini?” tanya Roni sembari cengar-cengir tak percaya. Dipta yang Roni kenal tak pernah gegabah sepert ini.  
Seumur hidup Dipta, ia tak pernah menyetir mobil secepat ini. Dipta tumbuh dengan label anak baik dan julukan siswa teladan. Ia tak pernah menyentuh rokok atau terlibat tawuran pelajar. Bahkan jumlah presensinya yang kosong hanya bisa dihitung jari. Dipta selalu jadi bahan pujian kepala sekolah saat pidato upacara bendera karena tak pernah bolos kelas. Kesimpulannya hidup Dipta Mahendra adalah irisan kesempurnaan. Tapi hari ini Dipta sedang bersiap melepas status “anak baik” saat ia mendapati kecepatan mobilnya kian melambung tinggi. Sebenarnya Dipta menjerit-jerit sepanjang perjalanan melarikan diri ini. Ia tak mau tertangkap pengawasan mobil patroli polisi sedang menyetir ugal-ugalan. Tapi desakan dari arah belakang membuatnya terpaksa menginjak pedal gas lebih dalam. Tersangka u