Share

Bab 7 : Dia Kembali

Ralin point of view.

"Evaluasi Nadi!!" Teriakku pada Putri dan Teguh yang hanya terdiam.

"Dok!" Panggil Putri lirih sambil memegang lenganku. Aku tidak peduli, aku terus memompa jantung pasien.

Walaupun Rasanya seluruh badanku sudah ingin menyerah, keringat sudah membasahi baju kerjaku tapi mendengar anak pasien yang terus memanggil ayahnya dari luar rasanya ada nyeri di hatiku. Aku melihat gambaran diriku waktu seusianya, menangis memanggil papa yang tak pernah pulang lagi ke rumah mama.

"Dokter!!" panggil Teguh agak keras. Aku tetap tidak peduli, aku yakin pasien ini akan bertahan.

"Kembalilah Pak, kembali!!! Kembali untuk anakmu!" Ucapku dengan nafas tersengal pada pasien yang tidak mungkin mendengar kata-kataku, aku masih terus memompa jantungnya tidak peduli air mataku yang terus mengalir.

"RALIN!!"

Aku bahkan tidak peduli teriakan itu, aku tetap memompa jantung pasien. Pasien ini harus kembali, anaknya tidak boleh mengalami nasib sepertiku.

Tapi aku sadar aku tak cukup mampu, aku hanya manusia biasa yang punya batas kemampuan. Semua akan kembali pada takdirNYA, Allah sudah berkehendak dan tidak ada yang bisa merubah. Pasiennya tidak tertolong, aku yang turun dari bed pasien mulai hilang kesadaran.

"Waktu kematian, 9.23!" ucapku dengan sangat lirih bersamaan dengan tubuhku yang terasa ringan seperti melayang.

Satu wajah yang berhasil aku rekam sebelum benar-benar semuanya gelap.

Mas Nazril.

*******

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, mencoba menetralkan rasa pusing yang begitu hebat.

Astaghfirullah.. Aku menghela nafasku berkali-kali. Aku ingat kejadian tadi di UGD, tidak seharusnya aku melakukan hal itu. Aku sudah paham akan peluang hidup pasien itu tapi aku tetap memaksakan ambisiku. Aku terbawa suasana melihat anak yang menginjak remaja itu terus menangis memanggil ayahnya yang sedang meregang nyawa.

"Lin!"

"Mama!" Wanita yang paling aku sayang itu memelukku dan terus menguatkanku.

"Maaf ya Ma, Ralin ngerepotin lagi!"

Mama tersenyum, senyum teduh yang selama ini selalu memberikan efek tenang untukku. "Ralin tetap yang terhebat di mata Mama, tau kenapa?"

"Karena Ralin anak Mama!" jawabku sambil tertawa meskipun masih lemah, mama juga ikut tertawa sembari terus mengusap lenganku.

"Lin, Mama mau minta maaf juga. Tapi jangan anggap Mama meninggalkan kamu ya! Mama sudah terlanjur menyanggupi acara yang di Magelang, tapi kalau kamu enggak mau Mama berangkat, Mama bisa batalkan acaranya!"

Aku menggenggam tangan Mama. "Mama pergi saja, Ralin enggak apa-apa beneran. Ralin malah enggak enak kalau Mama batalin acara."

Aku hanya dehidrasi ringan, mungkin satu hari dirawat sudah cukup bagiku.

"Kamu kenapa sih dari kemarin kayaknya enggak nafsu makan? Kalau Mama tinggal harus makan ya! Nanti Mama video call kamu setiap waktunya makan!"

"Iya Mama Sayaaaang!"

"Mama sebenarnya tenang ninggalin kamu karena ada yang janji jagain kamu selama Mama pergi." kata Mama dengan senyum menggodanya. Aku mengerutkan kening.

"Coba tebak siapa??" tantang Mama.

Mas Nazril?

Akhirnya aku hanya menggeleng, tidak cukup percaya diri menyebutkan nama itu.

"Tuh!" kata Mama sambil menunjuk ke arah pintu.

"Gisel!!" Aku menutup mulutku karena terlalu kaget dan senang.

Aku beneran terkejut sekaligus sedikit kecewa dengan harapanku sendiri. Sepersekian detik tadi aku berharap Mas Nazril yang berdiri di sana, tapi aku juga sangat bahagia karena sahabatku ada di sini. Gisel langsung berlari dan memelukku, rindu sekali dengan sahabatku ini.

"Aku tinggal sebentar saja kamu sudah harus pakai infus begini sih Lin!"

"Sekali-kali ngerasain jadi pasien! Kapan datang?"

"Sudah dari kemarin, rencana siang tadi mau ke sini kasih kejutan buat. Eh malah aku yang terkejut denger dari tante kalau kamu pingsan pas kerja."

"Memang ini jam berapa?"

"Sudah jam 4 sore tau!"

Hah? Ya Tuhan betah banget aku pingsan.

Mama akhirnya harus pulang karena habis maghrib rombongannya akan berangkat ke Magelang. Mama akan menghadiri sebuah acara gathering dari komunitasnya sekaligus peresmian panti asuhan. Mama enggak enak kalau harus membatalkan acara itu karena pemiliknya adalah sahabat mama. Dan aku paham hal itu.

Aku kadang iri sama mama, beliau bertolak belakang denganku. Kalau aku cenderung menutup diri, mama sebaliknya. Beliau punya banyak teman dan kenalan. Mungkin itu tuntutan beliau sebagai seorang psikiater.

Aku melepas rindu dengan sahabatku ini, mengurai tumpukan cerita yang selama dua tahun kita lewatkan sampai enggak terasa matahari sudah tenggelam. Gisel membantuku untuk menunaikan sholat maghrib dan dengan setia menungguku sampa selesai.

Gisel baru pulang saat aku selesai makan dan sholat isya. Tadi juga ada Putri, Mas Edo dan beberapa teman lain yang menyempatkan diri menjengukku di sini. Aku sangat bersyukur banyak yang peduli padaku.

Atas dasar paksaanku akhirnya Gisel mau pulang, aku akan merasa sangat bersalah kalau harus menahannya di sini karena ini malam penting untuknya. Dia memang pulang ke Indonesia karena ingin merayakan Paskah bersama keluarganya. Gisel berjanji akan kembali kesini tengah malam nanti kalau acaranya selesai.

Dan sekarang aku sendiri, hanya berteman hp dan macbookku yang tadi dibawakan mama. Alhamdulillah aku sudah merasa jauh lebih baik tapi efek pingsan lama sampai jam 10 ini aku belum ngantuk sama sekali.

"Assalamualaikum!"

Aku menjawab salam tapi tidak bisa melihat siapa yang datang karena letak pintu yang agak tertutup tembok dari bedku. Mungkin perawat malam yang akan mengecek vital sign.

"Hai Lin!"

Sekian detik aku hanya berdiam diri, antara percaya dan tidak laki-laki yang belakangan ini muncul di mimpiku berdiri sambil tersenyum manis lengkap dengan jas putih yang masih dia pakai.

"Hai Mas! Jaga malam ya? Atau jaga siang?"

"Jaga kamu saja bagaimana?"

Haha bercanda orang ini! Tapi cukup membuatku gugup.

"Sudah enakan Lin?" tanyanya lagi

"Alhamdulillah," jawabku pelan sambil menetralkan rasa grogi.

Dia menarik kursi dan duduk di samping bedku. "Tante kemana?"

"Mama ke Magelang Mas, ada acara."

"Oh, berarti kamu sendirian?"

"Enggak, banyak teman kok! Itu pada jaga di luar."

Dia tertawa lebar, matanya menyipit dan lesung pipi yang terlihat samar menambah sempurna komposisi wajahnya.

"Lin, kalau kamu sudah sehat betul hubungi saya ya! Saya mau ajak ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Ya ada lah nanti! Saya pasti minta izin kok sama mama kamu. Enggak diizinin ya sudah saya izin lagi!"

Aku tertawa dan anehnya aku merasa lebih bersemangat, mungkin karena tadi aku sendiri dan sekarang aku ada teman ngobrol.

"Eh Lin, itu dipakai enggak?" tanyanya sambil menunjuk macbook di atas meja.

"Enggak Mas."

"Boleh pinjam sebentar?"

Aku mengangguk dan dia segera mengambilnya, membawanya ke meja yang ada di sebelah sana.

"Saya pinjem ya! Sudah di kejar-kejar Profesor Danu, belum bisa hidup tenang kalau laporan belum saya serahkan!"

"Kamu enggak pulang Mas?"

Mas Nazril hanya meringis, "Numpang sebentar! Password Lin?"

Aku menyebutkan deret angka yang merupakan susunan tanggal ulang tahunku secara acak. Aku masih heran kenapa dia jadi baik lagi? Dulu setelah teman-teman sekolahku menjauh, mereka akan benar-benar melupakanku enggak ada yang kembali.

"Tidur saja Lin kalau ngantuk!" katanya tanpa menoleh, mata dan tangannya tetap fokus mengetik.

"Saya main game kalau nanti ketiduran bangunin saja Mas!"

Dia hanya bergumam, aku memilih meneruskan game ku. Entah sampai jam berapa aku tidak ingat karena tiba-tiba aku merasa nyaman dan ngantuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status