Share

Bab 6 : Salah Paham

Sehari sejak kejadian Mas Nazril melihatku menangis, aku sengaja ke UGD untuk melihat responnya. Seperti yang sudah-sudah, teman-temanku akan menjauh perlahan setelah mengetahui sisi terlemahku. Awalnya mereka akan selalu menghindar saat aku sajak makan atau kegiatan lainnya dengan alasan sibuk, kemudian lama-kelamaan mereka akan benar-benar menjauh dan menghilang.

Malamnya aku sempat berdoa agar Mas Nazril adalah orang yang berbeda dengan teman-temanku dulu entah kenapa aku ingin sekali bisa menjadi temannya karena selama aku kenal dia, aku merasa dia adalah pendengar yang baik. Bukan berarti aku berharap mempunyai hubungan lebih, jujur hati kecilku juga ingin mempunyai sahabat untuk berbagi suka dan duka seperti kebanyakan orang tentunya selain mama dan Gisel.

Tapi sepertinya Allah sudah kasih peringatan sejak awal, Mas Nazril benar-benar menghindariku seperti awal mulanya teman-temanku dulu meninggalkanku. Waktu aku masuk ke UGD dan menyapa Putr, Mas Nazril hanya tersenyum sekilas lalu berpamitan untuk keluar. 

Aku memang bukan orang yang layak menjadi teman, mungkin semua perkataan  papa itu benar. Aku yang lelet, aku yang lemah, aku yang cengeng, aku yang pembangkang dan aku yang jauh sekali dengan kakak tiriku. Cukup alasan bagi mereka untuk menjauhiku.

Saat ini mungkin sudah sekitar dua minggu aku tidak lagi menyapa Mas Nazril, dalam artian ngobrol lama saling bertukar pikiran seperti sebelumnya. Aku hanya sekedar menyapa saat tidak sengaja kita bertemu. Aku juga enggak pernah lihat dia jemput Ilyas lagi. Tidak ada reaksi apapun darinya saat kita berpapasan dan itu berarti memang aku tidak boleh mencoba berharap apapun pada orang lain. Aku akan kembali menjadi Ralin yang biasanya, yang hanya menghabiskan waktu bersama Mama atau Gisel.

*******

Nazril point of view

Tumpukan berkas di meja ini membuat gue benar-benar frustasi, hampir dua minggu ini gue harus berkutat dengan tim audit internal rumah sakit. Prof. Danu memasukkan gue ke tim audit internal begitu gue bergabung di rumah sakit ini.

Sepertinya beliau kualat sama gue, dulu waktu masih koas seneng banget bikin gue spot jantung. Sekarang apa-apa gue, mungkin itu definisi benci jadi cinta.

Jadi tugas gue di tim audit internal bersama teman-teman yang lain adalah mengaudit kesesuaian kerja pegawai dengan standar prosedur yang ada setiap 6 bulan sekali, nah gue di tim klinis di bawah Prof. Danu. 

Sejak dua minggu lalu gue seperti lupa waktu, gue harus bagi pikiran antara kerjaan dan tugas 6 bulanan ini. Alhamdulillah semua tim sudah selesai mengaudit setiap unit dan minggu ini tinggal rekapan hasil temuan untuk selanjutnya dilaporkan kepada kepala rumah sakit. Tapi ada satu hal yang mengusik hati gue. Ralin!

Sejak kejadian waktu gue melihat dia menangis, dia seperti menghindar dari gue. Gue sudah lama enggak ngobrol sama dia karena proses audit ini yang benar-benar memakan waktu. Gue ngerasa ada sesuatu yang beda dengannya dibalik setiap senyum yang dia tunjukkan selama ini.

Dia wanita yang enggak ngebosenin dilihat,  cerdas juga, ramah banget murah senyum. Dari cerita Edo dia salah satu dokter kesayangan di rumah sakit ini karena sikapnya yang profesional dan berdedikasi tinggi. Tapi menurut gue jauh dari itu matanya memancarkan sesuatu yang beda, seperti seorang yang rapuh. Nantilah gue pakai kemampuan detektif gue buat cari tau lebih dalam.

"Ralin???" Gue menoleh saat suara Edo menyadarkan gue.

"Mana?" Tanya gue pada Edo yang sudah menyeringai lebar di samping gue. Ngomong-ngomong kunyuk satu ini juga masuk tim audit.

"Di hatimuuuu!!" Jawab Edo dengan nada ala cabe-cabean. Gue sikut perutnya agar dia diam tidak menganggu konsentrasi gue dalam menyusun laporan audit.

Tapi saat gue menatap kertas di meja, gue langsung menoleh ke Edo yang sudah tertawa keras. Gue beneran kaget kenapa di buku catatan gue ada nama Ralin? 

"Lo yang nulis Do?"

"Ya lo lah, siapa lagi? Masa iya gue nulis nama cewek lain langsung digantung sama bini gue!!"

Gue beneran enggak ngeh kenapa bisa tanpa sengaja menulis nama Ralin di buku gue. Mungkin karena tadi gue kepikiran sama dia, ya pasti karena itu.

"Lo naksir ya sama dia?"

"Hanya lelaki homo yang ngelihat dia enggak naksir. Eh Do, lo kenal Ralin sudah lama kan?"

"Kenapa? Sudah siap buka hati lagi Gus??" Tanya Edo sambil memainkan alisnya.

"Ck! Jawab saja jangan banyak omong!"

"Ya waktu doi mulai masuk sini, gue yang dimintain pendapat langsung dong gue pilih dia, selain nilai prakteknya bagus bonus cantik juga. Lumayan buat refreshing mata kalau lagi banyak kerjaan."

Si Kunyuk! Seharusnya tadi gue rekam terus kirim ke Ervina-istrinya. Tapi Ralin emang cantik sih, cantiknya pakai banget di atas rata-rata.

"Lo ngerasa ada yang beda enggak sih dari dia?"

"Kalau gue sih ngelihat cuma pakai mata biasa jadinya ya biasa saja, kecuali lo ngelihatnya pakai mata hati juga! Baru deh ada yang beda!" Jawabnya masih tetap cengengesan.

"Your Eyes!"

"Your Kitchen!" Balas Edo.

"Tolong deh Do! Yang waras dikit, bentar lagi anak lo lahir. Gue enggak rela keponakan gue dibesarkan oleh bapak model kaya lo!!"

Edo malah terbahak mendengar gue merajuk.

"Yang gue tahu dia tuh agak tertutup Ril, walaupun dia baik dan ramah banget ke anak-anak sini, suka bawain makanan juga tapi enggak ada yang tahu bagaimana kehidupan pribadinya. Doi tajir Ril, mamanya punya yayasan yang menaungi beberapa sekolah anak-anak, terus tau apotek assalam? Yang ada di mana-mana itu? Itu juga punya mamanya. Papanya juga katanya perusahaan propertinya di mana-mana sampai negara tetangga. Hanya itu yang gue tahu, kayaknya dia cuma tinggal berdua sama mamanya karena orangtuanya bercerai, terus kalau selebihnya gue enggak paham. Jiwa gosip gue enggak kaya lo!!"

Jadi kenapa waktu itu dia nangis sambil menyebut nama papanya??

"Gue dukung lo sama dia!!"

"Gue sudah enggak percaya sih sama dukungan lo. Dulu juga lo bilang begitu!"

"Haha, ya namanya manusia tempatnya salah, tapi gue salut sih sama lo yang sudah berhasil move on dari Lya! Setidaknya lo enggak beli rokok lagi waktu dinikahan gue karena melihat Lya menggandeng mesra suaminya!"

"Hidup harus terus berjalan!"

"Sip!! Gue jadi pengen ke Lombok, pasti di sana ada serpihan-serpihan hati lo yang banyak tercecer di jalanan!" Ucap Edo sambil tertawa tapi kemudian mengumpat karena gulungan kertas yang gue lempar masuk ke mulutnya.

Dari awal melihat Ralin dengan telaten dan sabar nge-hecting tangan gue meskipun sudah waktunya dia pulang, jujur sih ada rasa aneh di hati gue. Rasa ingin mengenalnya lebih dekat tapi gue masih terlalu pengecut untuk bilang kalau gue tertarik. Gue enggak mau gegabah seperti dulu, gue enggak mau jatuh ke lubang yang sama. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status