Share

Bab_4 Menjadi Tahanan

Author: Pearlysea
last update Last Updated: 2025-04-09 08:01:02

"Hutan Kegelapan?" gumam pangeran Felix.

Duke Elvandale mengangguk pelan.

"Ya, Pangeran. Hutan itu bukan sekadar mitos atau cerita rakyat. Itu adalah tempat di mana kejahatan dan kematian saling bertautan. Tidak ada yang bisa keluar dengan selamat dari sana ,tidak ada yang tahu makhluk apa yang bersembunyi di dalamnya."

"Tetapi gadis itu tidak percaya..." Elvandale melanjutkan, suaranya mengandung ketidakberdayaan.

"Saat dia meminta izin untuk menemui pamannya dan mengevaluasi bela dirinya, aku sudah memperingatkannya agar tidak mendekati hutan itu. Tapi aku tak tahu apakah dia mendengarkanku atau tidak. Nalira… dia itu keras kepala."

Felix merasakan jantungnya mencelos. Nalira… di sana? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Rahang Felix mengatup, lalu menatap Duke Elvandale.

"Kalau begitu, aku akan ikut mencarinya."

Duchess Clarissa terkejut.

"Pangeran Felix—" katanya menggelengkan kepalanya dengan ragu, ia tentu khawatir pada keselamatan putra mahkota itu jika ia mencari putrinya.

"Aku tidak bisa duduk diam sementara Nalira mungkin dalam bahaya. Aku harus menemukannya." Felix tersenyum kecil, meskipun senyum itu dipenuhi kegelisahan.

Tanpa pikir panjang, pangeran Felix pun berjalan cepat menuju aula utama, meninggalkan Duke Elvandale dan istrinya yang saling merangkul dalam kecemasan.

Di ruang pribadinya, Raja Arthur baru saja melepas mahkota dan mengganti jubah kebesarannya dengan pakaian yang lebih nyaman. Tubuhnya terasa lelah setelah seharian membahas urusan kerajaan. Dengan gerakan perlahan, ia duduk di kursi dekat perapian, menghangatkan tangannya di atas api yang berkobar tenang.

Namun, ketenangan itu buyar tatkala pintu kamar terbuka dengan cepat, diikuti suara langkah tergesa.

"Yang Mulia, Ayah."

Raja Arthur mengangkat wajahnya, matanya menyipit saat melihat putranya, Pangeran Felix, berdiri di ambang pintu. Nafasnya sedikit memburu.

"Felix? Ada apa? Malam sudah larut," ujar Raja Arthur, nada suaranya masih tenang meski terlihat sedikit terkejut.

Felix melangkah mendekat, lalu menundukan kepalanya sedikit di hadapan ayahnya.

"Yang Mulia, aku ingin meminta izin untuk ikut mencari Nalira."

Wajah Raja Arthur langsung mengeras. Ia menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap putranya dalam diam. Api di perapian memantulkan bayangan wajahnya yang penuh kebijaksanaan tetapi juga kelelahan.

"Tidak," jawabnya akhirnya.

Felix menegakkan tubuhnya, matanya membelalak.

"Tapi Yang Mulia_"

"Kau adalah Pangeran Mahkota, calon pemimpin Astheria. Aku tidak bisa membiarkanmu mempertaruhkan nyawamu untuk sesuatu yang belum pasti." potong sang raja.

Felix menggertakkan giginya, tentu tak setuju dengan pernyataan sang Ayah.

"Nalira bukan 'sesuatu'. Dia calon tunanganku! Dia bisa saja dalam bahaya sekarang!"

Raja Arthur menatapnya dengan tajam.

"Dan bagaimana jika benar? Bagaimana jika dia telah tersesat di tempat yang tidak bisa dijangkau manusia? Apa kau pikir aku akan membiarkan calon raja Astheria berlari menuju kematian?"

Felix terdiam, hatinya bergejolak.

"Ayah...," katanya lebih pelan, berusaha meredam emosinya.

"Aku tidak bisa tinggal diam. Aku mencintainya. Jika ada kemungkinan sekecil apa pun untuk menemukannya, aku harus mencoba."

Raja Arthur terdiam sejenak. Ia melihat keteguhan di mata putranya, dan itu mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa muda.

Setelah menghela napas panjang, akhirnya ia berbicara.

"Baiklah. Aku mengizinkanmu pergi, tetapi ada syarat yang harus kau patuhi."

Felix mengangkat wajahnya penuh harapan.

"Apa pun syaratnya, aku akan menaatinya."

Raja Arthur bangkit dari kursinya, memandang putranya dengan tatapan yang lebih lembut.

"Kau tidak diperkenankan memasuki wilayah utara. Dan yang terpenting, kau tidak boleh mendekati Hutan Larangan. Itu bukan sekadar perintah, Felix. Itu adalah peringatan."

Felix mengatupkan rahangnya, tetapi tetap mengangguk.

"Baik, Yang Mulia."

"Dan satu hal lagi," lanjut Raja Arthur,

"Jenderal Gavriel akan memimpin misi ini. Dia akan memastikan bahwa kau tidak bertindak gegabah."

Felix sedikit terkejut, tetapi ia tidak bisa membantah. Jenderal Gavriel adalah sosok yang dihormati di Astheria, seorang pria dengan pengalaman perang yang luas, meski begitu dia juga terkenal keras dan tak mudah dibujuk.

"Aku mengerti," jawab Felix akhirnyax dia tidak punya pilihan untuk tidak menaatinya.

Raja Arthur menatap putranya sekali lagi lalu meletakkan tangannya di bahunya.

"Jangan mengecewakanku, Felix. Astheria membutuhkanmu."

Felix menundukkan kepalanya dengan hormat.

"Aku tidak akan mengecewakan Yang Mulia Ayah."

Di Markas kegelapan The Bloodthorn, dua prajurit berbaju zirah hitam menarik Nalira dengan kasar, menyeretnya melewati lorong batu yang lembap dan berbau busuk. Rantai-rantai besi bergemerincing di sepanjang dinding, bercampur dengan suara gemeretak tikus-tikus liar yang berlarian dalam kegelapan.

Ketika mereka mencapai pintu besi besar yang berkarat, salah satu prajurit menendangnya dengan keras. Pintu itu terbuka dengan suara melengking yang menusuk telinga, mengungkapkan kegelapan yang pekat di dalamnya.

Udara di sana begitu menyesakkan. Anyir darah bercampur bau keringat, kotoran, dan kematian. Dinding-dinding batu penuh dengan lumut hijau kehitaman, dan di sudut-sudut ruangan, tulang-belulang berserakan, beberapa masih terbungkus sisa-sisa daging yang telah membusuk. Tahanan itu lebih seperti bekas kandang monster yang menyantap manusia dengan keji.

Nalira tersentak ketika tubuhnya didorong masuk dengan kasar. Ia tersungkur ke lantai batu yang dingin dan lembap.

"Nikmati istirahatmu, Putri Bangsawan," ejek salah satu prajurit disusul suata tawanya yang kasar.

Prajurit lainnya menendang tumpukan jerami busuk di sudut ruangan.

"Tidurlah di sini, kalau kau bisa."

"Bangsat kalian, bajingan!" teriakan Nalira menggema membuat para prajurit itu semakin tertawa keras sebelum menutup pintu besi dengan kasar, menguncinya dengan kuat lalu meninggalkan Nalira dalam kegelapan seorang diri.

Wanita itu mencoba merangkak, seketika ia tersentak saat telapak tangannya menyentuh sesuatu yang licin. Ia menoleh dan melihat darah yang belum sepenuhnya mengering merembes dari celah batu. Ia menggertakkan giginya menahan amarah yang mendidih.

"Bajingan-bajingan itu... aku akan membalas semuanya!" gumamnya dengan suara serak.

Tetapi kesengsaraannya tak berhenti di situ. Saat tubuhnya bergeser, tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras. Ia menoleh dan menemukan tengkorak manusia yang sudah hampir hancur, giginya masih utuh dalam ekspresi seperti sedang menyeringai kepadanya.

Dada Nalira naik-turun, rasa mual kembali menyerang. Namun, ia menelan ludah, menegakkan tubuh, dan menatap tengkorak itu dengan tatapan dingin. Darahnya berdesir. Namun, bukan rasa takut yang mendominasi, melainkan kebencian yang semakin membara.

"Sialan!" Nalira mendengus kasar penuh amarah, ia lalu bangkit melempar kepala tengkorak itu ke arah pintu besi hingga suara dentumnya cukup nyaring di kesenyapan.

Napasnya terengah-engah, tatapan matanya merah dan tajam penuh rasa dendam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_20 Ruang Sidang Kerajaan

    Aaron mengikuti sang perwira melewati lorong-lorong istana Astheria. Setiap langkah yang ia ambil, matanya menangkap kemewahan yang nyaris terasa tak masuk akal. Langit-langit tinggi berwarna biru tua dengan aksen emas, pilar-pilar marmer yang dipahat sempurna, serta karpet lembut yang membuat langkahnya terasa senyap. Sampai tibalah mereka di depan sebuah pintu besar, perwira itu membungkuk hormat sebelum membukanya. "Silakan masuk, Jenderal." Aaron melangkah masuk dan langsung berhenti di ambang pintu. Matanya menyapu ruangan luas yang beraroma mawar dan kayu manis. Ranjang besar dengan Kelambu sutra putih berdiri di tengah, dihiasi ukiran emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin. Lantai marmernya bertabur kelopak bunga, sementara di sudut ruangan terdapat kolam mandi dengan uap hangat yang naik perlahan. Di sudut meja kayu mahoni, tersaji berbagai hidangan. roti hangat, keju berkualitas tinggi, dan selai buah yang harum. Aaron terdiam beberapa detik. Lalu, dengan nada skep

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_19 Permainan Berbahaya

    Felix menoleh cepat, matanya berbinar saat mengenali sosok pria tua yang mendekatinya. "Penasehat, Aldric." Senyum hangat terukir di wajah Felix saat pria tua itu akhirnya berdiri di depannya. Aldric, penasehat kerajaan yang setia nan bijaksana. "Kau kembali dengan selamat, Pangeran. Syukurlah," kata Aldric dengan nada lega, meskipun sekilas pandangannya melirik ke arah Aaron dengan sorot waspada. Nalira melangkah maju. "Penasehat Aldric," sapanya dengan anggukan hormat. Aldric menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tuan Putri, aku khawatir akan keselamatanmu. Tapi melihatmu di sini... aku merasa sedikit tenang." Sementara itu, Aaron hanya berdiri diam di tempatnya, memperhatikan interaksi itu tanpa ekspresi. Gavriel meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada situasi. "Nalira!" Suara nyaring itu menggema, membuat semua kepala menoleh ke sumbernya. "Ibu!" seru Nalira. Matanya berbinar hangat saat melihat ibunda dan ayahnya berjalan cepat ke arahnya, dayang dayang di belakangny

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_18 Keindahan Astheria

    Di bawah sebuah pohon rindang, Jenderal Gavriel duduk memangku lengan di salah satu lututnya dengan ekspresi serius, matanya sesekali melirik ke arah Pangeran Felix yang masih terlihat lemas. Pasukan berjaga di sekeliling mereka, membentuk lingkaran perlindungan. Pangeran Felix menarik napas dalam, mencoba meredakan mual yang tadi membuatnya muntah di tengah pasar. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap tajam saat ia menoleh ke arah Gavriel. "Kenapa Nalira begitu lama?" tanyanya lirih, suaranya dipenuhi kecemasan. Gavriel menoleh. "Tenanglah, pangeran. Ada prajuritku yang mengawasi mereka dari kejauhan. Jenderal Aaron mungkin pria yang kejam, tapi dia tidak akan mencelakai Nalira. Bukan dalam keadaan seperti ini." Felix menggigit bibirnya, jelas tak puas dengan jawaban itu. "Tetap saja… dia pria yang tidak bisa dipercaya. Aku tak suka Nalira berada di dekatnya terlalu lama." Gavriel tersenyum tipis... "Kau tidak sendirian dalam hal itu, Pangeran." Tak lama, dari kejauhan, suara g

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_17 Jatuhnya Harga diri Duke kejam

    Aaron menahan dirinya untuk tidak menepis tangan Nalira, meskipun sentuhan itu mengusik sesuatu di dalam dirinya. Matanya menajam, menatap punggung wanita itu yang dengan percaya diri menariknya ke tengah pasar yang kumuh dan bau. Ia kemudian berhenti di depan seorang wanita tua yang duduk bersandar di dinding kayu lapuk, tangannya gemetar saat mencoba menjajakan sekeranjang roti keras yang tampak lebih seperti batu daripada makanan. Ia lalu melepas genggamannya pada Aaron dan berlutut sejajar dengan wanita tua itu. "Berapa kau jual ini?" tanyanya. Orang orang di sekitar terus mencuri pandang ke arahnya. Berbisik ke rekan jualanya yang lain, merasa iri karena Putri bangsawan itu lebih memilih membeli roti keras ke wanita tua. "Satu kord saja Tuan putri." katanya dengan suara lembut dan mata berbinar. "Satu kord?" Nalira bingung. "Itu mata uang kami." timpal Aaron yang berdiri di belakang Nalira dengan melipat lengan ke dada. Nalira tersenyum, lalu menarik kantong yang ia ikatk

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_16 Kunjungan Pasar

    Kereta melintasi jalan setapak yang diapit oleh pepohonan lebat ketika tiba-tiba Nalira meminta mereka berhenti. Aaron menghela napas panjang, tetapi tetap menarik tali kekang hingga kereta berhenti perlahan di jalan berbatu. Kuda-kuda yang menarik kereta meringkik pelan, merasa terganggu oleh perubahan ritme perjalanan mereka. Jenderal Gavriel dan Pangeran Felix segera menarik tali kekang kuda mereka, menghentikan laju pasukan yang mengawal. Aaron menghela napas kasar, jelas tak senang dengan permintaan mendadak itu. "Untuk apa kita berhenti?" tanyanya, penuh kejengkelan. "Tidak perlu tahu, diam dan ditunggu saja di sini!" katanya dengan nada sinis. Tangan Nalira terulur membuka kunci pintu kereta, lalu turun dengan anggun dan berjalan ke arah kuda Pangeran Felix di sisi kanan. Aaron yang penasaran tetap di atas kudanya menoleh sedikit ke belakang, mengintip setiap gerakan wanita bertubuh ramping itu yang berbicara singkat dengannya. Pangeran Felix tidak turun dari kudanya, h

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_15 Ritme Balas Dendam

    Felix dan Nalira pun akhirnya terpaksa melepaskan diri dari momen intim mereka. Nalira menyeka bibirnya, sementara Felix menoleh dengan ekspresi sedikit enggan, seakan masih ingin menikmati kebersamaan dengan wanita yang ia rindukan. "Apa kau baik-baik saja, Tuan Putri?" ujar Jendral Gavriel. Nalira menoleh dan tersenyum tipis. "Tentu Jendral, kau bisa melihatku sekarang dalam keadaan baik." Nalira meyakinkan, ia melirik Aaron dengan kedipan mata licik, sementara pria itu hanya menahan napas, waspada jika wanita itu membocorkan kesepakatan. Jendral Gavriel mengangguk pelan, tapi tak begitu saja percaya. Ia tahu seberapa kejamnya sosok Aaron Devonsa, mempercayai Nalira baik-baik saja tanpa melewati penyiksaan saat bersamanya, begitu mustahil. "Aku ingin penjelasan, Jenderal Aaron," tuntut Jendral Gavriel. "Mengapa Putri Nalira ada di sini?" Aaron tetap berdiri tegap, dengan ekspresi datar lalu mengangguk kecil. "Hanya ada sedikit kesalahpahaman." jawabnya singkat. Nam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status