"Hutan Kegelapan?" gumam pangeran Felix.
Duke Elvandale mengangguk pelan. "Ya, Pangeran. Hutan itu bukan sekadar mitos atau cerita rakyat. Itu adalah tempat di mana kejahatan dan kematian saling bertautan. Tidak ada yang bisa keluar dengan selamat dari sana ,tidak ada yang tahu makhluk apa yang bersembunyi di dalamnya." "Tetapi gadis itu tidak percaya..." Elvandale melanjutkan, suaranya mengandung ketidakberdayaan. "Saat dia meminta izin untuk menemui pamannya dan mengevaluasi bela dirinya, aku sudah memperingatkannya agar tidak mendekati hutan itu. Tapi aku tak tahu apakah dia mendengarkanku atau tidak. Nalira… dia itu keras kepala." Felix merasakan jantungnya mencelos. Nalira… di sana? Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Rahang Felix mengatup, lalu menatap Duke Elvandale. "Kalau begitu, aku akan ikut mencarinya." Duchess Clarissa terkejut. "Pangeran Felix—" katanya menggelengkan kepalanya dengan ragu, ia tentu khawatir pada keselamatan putra mahkota itu jika ia mencari putrinya. "Aku tidak bisa duduk diam sementara Nalira mungkin dalam bahaya. Aku harus menemukannya." Felix tersenyum kecil, meskipun senyum itu dipenuhi kegelisahan. Tanpa pikir panjang, pangeran Felix pun berjalan cepat menuju aula utama, meninggalkan Duke Elvandale dan istrinya yang saling merangkul dalam kecemasan. Di ruang pribadinya, Raja Arthur baru saja melepas mahkota dan mengganti jubah kebesarannya dengan pakaian yang lebih nyaman. Tubuhnya terasa lelah setelah seharian membahas urusan kerajaan. Dengan gerakan perlahan, ia duduk di kursi dekat perapian, menghangatkan tangannya di atas api yang berkobar tenang. Namun, ketenangan itu buyar tatkala pintu kamar terbuka dengan cepat, diikuti suara langkah tergesa. "Yang Mulia, Ayah." Raja Arthur mengangkat wajahnya, matanya menyipit saat melihat putranya, Pangeran Felix, berdiri di ambang pintu. Nafasnya sedikit memburu. "Felix? Ada apa? Malam sudah larut," ujar Raja Arthur, nada suaranya masih tenang meski terlihat sedikit terkejut. Felix melangkah mendekat, lalu menundukan kepalanya sedikit di hadapan ayahnya. "Yang Mulia, aku ingin meminta izin untuk ikut mencari Nalira." Wajah Raja Arthur langsung mengeras. Ia menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap putranya dalam diam. Api di perapian memantulkan bayangan wajahnya yang penuh kebijaksanaan tetapi juga kelelahan. "Tidak," jawabnya akhirnya. Felix menegakkan tubuhnya, matanya membelalak. "Tapi Yang Mulia_" "Kau adalah Pangeran Mahkota, calon pemimpin Astheria. Aku tidak bisa membiarkanmu mempertaruhkan nyawamu untuk sesuatu yang belum pasti." potong sang raja. Felix menggertakkan giginya, tentu tak setuju dengan pernyataan sang Ayah. "Nalira bukan 'sesuatu'. Dia calon tunanganku! Dia bisa saja dalam bahaya sekarang!" Raja Arthur menatapnya dengan tajam. "Dan bagaimana jika benar? Bagaimana jika dia telah tersesat di tempat yang tidak bisa dijangkau manusia? Apa kau pikir aku akan membiarkan calon raja Astheria berlari menuju kematian?" Felix terdiam, hatinya bergejolak. "Ayah...," katanya lebih pelan, berusaha meredam emosinya. "Aku tidak bisa tinggal diam. Aku mencintainya. Jika ada kemungkinan sekecil apa pun untuk menemukannya, aku harus mencoba." Raja Arthur terdiam sejenak. Ia melihat keteguhan di mata putranya, dan itu mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa muda. Setelah menghela napas panjang, akhirnya ia berbicara. "Baiklah. Aku mengizinkanmu pergi, tetapi ada syarat yang harus kau patuhi." Felix mengangkat wajahnya penuh harapan. "Apa pun syaratnya, aku akan menaatinya." Raja Arthur bangkit dari kursinya, memandang putranya dengan tatapan yang lebih lembut. "Kau tidak diperkenankan memasuki wilayah utara. Dan yang terpenting, kau tidak boleh mendekati Hutan Larangan. Itu bukan sekadar perintah, Felix. Itu adalah peringatan." Felix mengatupkan rahangnya, tetapi tetap mengangguk. "Baik, Yang Mulia." "Dan satu hal lagi," lanjut Raja Arthur, "Jenderal Gavriel akan memimpin misi ini. Dia akan memastikan bahwa kau tidak bertindak gegabah." Felix sedikit terkejut, tetapi ia tidak bisa membantah. Jenderal Gavriel adalah sosok yang dihormati di Astheria, seorang pria dengan pengalaman perang yang luas, meski begitu dia juga terkenal keras dan tak mudah dibujuk. "Aku mengerti," jawab Felix akhirnyax dia tidak punya pilihan untuk tidak menaatinya. Raja Arthur menatap putranya sekali lagi lalu meletakkan tangannya di bahunya. "Jangan mengecewakanku, Felix. Astheria membutuhkanmu." Felix menundukkan kepalanya dengan hormat. "Aku tidak akan mengecewakan Yang Mulia Ayah." Di Markas kegelapan The Bloodthorn, dua prajurit berbaju zirah hitam menarik Nalira dengan kasar, menyeretnya melewati lorong batu yang lembap dan berbau busuk. Rantai-rantai besi bergemerincing di sepanjang dinding, bercampur dengan suara gemeretak tikus-tikus liar yang berlarian dalam kegelapan. Ketika mereka mencapai pintu besi besar yang berkarat, salah satu prajurit menendangnya dengan keras. Pintu itu terbuka dengan suara melengking yang menusuk telinga, mengungkapkan kegelapan yang pekat di dalamnya. Udara di sana begitu menyesakkan. Anyir darah bercampur bau keringat, kotoran, dan kematian. Dinding-dinding batu penuh dengan lumut hijau kehitaman, dan di sudut-sudut ruangan, tulang-belulang berserakan, beberapa masih terbungkus sisa-sisa daging yang telah membusuk. Tahanan itu lebih seperti bekas kandang monster yang menyantap manusia dengan keji. Nalira tersentak ketika tubuhnya didorong masuk dengan kasar. Ia tersungkur ke lantai batu yang dingin dan lembap. "Nikmati istirahatmu, Putri Bangsawan," ejek salah satu prajurit disusul suata tawanya yang kasar. Prajurit lainnya menendang tumpukan jerami busuk di sudut ruangan. "Tidurlah di sini, kalau kau bisa." "Bangsat kalian, bajingan!" teriakan Nalira menggema membuat para prajurit itu semakin tertawa keras sebelum menutup pintu besi dengan kasar, menguncinya dengan kuat lalu meninggalkan Nalira dalam kegelapan seorang diri. Wanita itu mencoba merangkak, seketika ia tersentak saat telapak tangannya menyentuh sesuatu yang licin. Ia menoleh dan melihat darah yang belum sepenuhnya mengering merembes dari celah batu. Ia menggertakkan giginya menahan amarah yang mendidih. "Bajingan-bajingan itu... aku akan membalas semuanya!" gumamnya dengan suara serak. Tetapi kesengsaraannya tak berhenti di situ. Saat tubuhnya bergeser, tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras. Ia menoleh dan menemukan tengkorak manusia yang sudah hampir hancur, giginya masih utuh dalam ekspresi seperti sedang menyeringai kepadanya. Dada Nalira naik-turun, rasa mual kembali menyerang. Namun, ia menelan ludah, menegakkan tubuh, dan menatap tengkorak itu dengan tatapan dingin. Darahnya berdesir. Namun, bukan rasa takut yang mendominasi, melainkan kebencian yang semakin membara. "Sialan!" Nalira mendengus kasar penuh amarah, ia lalu bangkit melempar kepala tengkorak itu ke arah pintu besi hingga suara dentumnya cukup nyaring di kesenyapan. Napasnya terengah-engah, tatapan matanya merah dan tajam penuh rasa dendam.Setelah beberapa hari dari kejadian itu, desas-desus ceriita tentang putri bangsawan yang tewas mengenaskan mulai menyebar dari mulut ke mulut. Saat itu Lioren sedang makan siang di sebuah kedai pasar bawah, tempat kumuh, berdebu, dan tak disukai kaum darah biru. Tapi justru di sanalah kabar beracun paling cepat tumbuh dan menyebar. "Kasihan sekali... Putri dari Duke Naevien, kabarnya diperkosa setelah di bunuh, dia ditemukan telanjang di pinggir sungai_" Lioren menelan roti dengan mata menyipit tajam. Anak buahnya pasti telah berbuat kelewat batas pada jasad sang putri. Ia harus bertindak cepat sebelum pengawal istana menemukan mereka. Lioren meneguk anggur merah, dan bangkit meninggalkan kedai. Ia harus kembali ke markas menemui anak buahnya, tetapi begitu ia tiba disana, secara mengejutkan ia mendapat kepungan dari prajurit istana. Lioren yang masih muda dan hanya berbekal belati dan pedang usang, bertarung melawan mereka satu persatu. Beberapa di antaranya tewas, bahkan
Ia kehilangan masa kecilnya, tak pernah merasakan kehangatan cinta dan kasih sayang dari tangan kedua orang tuanya. Hidupnya hanya penuh tuntutan dan tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul di usia yang masih belia. Pukulan rotan, tamparan, dan sulutan bara api di kulitnya menjadi makanan sehari-hari jika ia melakukan sedikit kesalahan. Tak kuasa dengan semua penderitaan itu, Aaron yang dulu bernama Lioren, melarikan diri dari rumah saat usianya belum genap sepuluh tahun. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Malam itu hujan mengguyur keras dan tubuh kecilnya menggigil hebat tanpa alas kaki, tanpa bekal. Tapi Lioren memilih kelaparan di jalanan daripada satu malam lagi dalam rumah yang menyebut dirinya 'anak pembawa kutukan'. Salju turun semakin tebal, tetapi pria itu tak sekalipun menghentikan langkahnya, pikiranya seolah kembali ke masa lalu yang menyiksa. Ia benci perasaan itu, ia benci seseorang mengingatkan siapa dirinya dahulu. Dulu, pasar adalah tempat ia mencari sisa-si
Di Astheria tepat tengah malam, lonceng istana berdentang pelan. Nalira menguap kecil sambil menutup laporan logistik terakhirnya. Di sampingnya, Tiffany masih duduk di atas tumpukan buku, kini mulai menggambar lingkaran sihir kecil di udara hanya untuk bermain-main. "Sudah lewat tengah malam," ujar Tiffany sambil menyipitkan mata ke arah jendela, bulan purnama bersinar malu-malu di balik awan. Nalira hanya tersenyum kecil. "Berarti sihirnya sudah bekerja." "Kau yakin dia tidak akan membalas, Tuan Putri?" tanya Tiffany, nadanya agak ragu. "Itu Jenderal Aaron. Pria yang bisa menghancurkan benteng tanpa menyentuh gerbang." "Dia bisa menghancurkan apa saja," sahut Nalira pelan, sembari menatap teh yang sudah dingin di cangkirnya, "tapi aku ingin tahu... apa yang akan dia lakukan saat sesuatu atau seseorang menghancurkan egonya."ucapnya, membuat mata Tiffany membulat. Ia lalu menutup buku catatannya, kemudian berdiri dan berjalan menuju balkon. Merasakan salju turun menyen
Tiffany menunduk, mengangguk pelan menatap Tuan putrinya kembali duduk di meja kerjanya, tanganya perlahan membuka kertas kertas dokumen kerajaan tetapi wajahnya datar bahkan terlihat dingin. Tiffany tahu sang Tuan sedang dalam keraguan tentang jati dirinya, tapi memberitahukan kebenaran tanpa diskusi dengan anggota peri kerajaan bukanlah tindakan tepat. Peri kecil itu menoleh ke cermin, pemandangan masih menampakan Aaron yang tengah menarik tali kekang kereta kuda di jalanan yang sepi dan berkabut. Sihir dari ritualnya belum terjadi karena menggunakan sistem sihir diralva, dimana sihir akan bekerja sesuai waktu yang diniatkan atau di ritualkan, sedangkan sihir dari ritual Nalira dan Tiffany itu akan terjadi setelah pukul tengah malam. Tiffany mendengus pelan. Membayangkan malam ini akan meriah karena suara tawa Tuan putri yang puas mengerjai sang Jenderal, tapi malah berakhir kesunyian yang membingungkan. Ia mengayunkan tongkat sihirnya ke cermin lalu cahaya ungu berpendar, kab
Cahaya itu terus berputar di udara, detik berikutnya cahaya itu meledak kecil membuat Nalira tersentak mundur ke belakang. Lalu dari cahaya yang meledak itu, sosok gadis kecil muncul di balik gumpalan debu ungu yang terbang ke atas seperti kunang kunang. Mata Nalira melebar sempurna. "Tiffany! kau?" Mata Nalira menunjukan ketidakpercayaanya, peri kecil itu nampak berbeda, jauh lebih bersinar daripada biasanya. Darah Nalira seketika berdesir, seolah dapat merasakan aura sihir kuat pada Tiffany yang perlahan turun menginjak tanah. "Tuan Putri... kau benar! Sekarang berkat ritual kecil dari buku mantra itu telah membuka level sihirku secara signifikan, dan tongkat logam ini akan menjadi perantaraku." ucap Tiffany ia lalu mengayunkan tongkat logam berkarat itu ke arah perpustakaan, sebuah buku keluar dan melayang di udara membuat Nalira takjub sekaligus bingung. "Tongkat ini adalah perantaraku sekarang. Sumber pemusatan sihir baru yang muncul setelah... yah, kau dan ritual kec
Nalira tiba di depan Aaron dengan napas terengah-engah, matanya berbinar dengan senyum tak biasa yang dipancarkan wanita itu, membuat Aaron curiga. "Beruntung kau belum pergi, aku hanya ingin memberimu sedikit oleh-oleh, mohon untuk di terima" suara Nalira lembut. Aaron mengerling ke arah kotak kayu yang berukuran sedang di tangan Nalira. "Apa itu?" tanyanya. "Oleh-oleh." jawab Nalira tanpa ragu. Aaron mendengus, jawaban Nalira yang tak memuaskan semakin membuatnya curiga, ia ingin menolak tapi melihat raja memperhatikan interaksi mereka, membuatnya tidak berkenan. "Baiklah, Terima kasih." Aaron akhirnya menerima dengan senyum dingin yang hanya Nalira lihat. Aaron kemudian melangkah lebih dekat ke tubuh wanita itu, bibirnya hampir menempel ke telinga Nalira. "Jika ini semacam lelucon, kau akan menyesal pernah mencoba." Napas hangatnya menyapu sisi wajah Nalira, membuat wanita itu berkedip pelan. Namun bukannya mundur, Nalira malah menegakkan tubuhnya dan menoleh sed