Gerimis membasahi tanah saat Pangeran Felix dan Jenderal Gavriel memimpin pasukan berkuda melewati pemukiman dan perbukitan menuju utara. Obor di tangan para prajurit menjadi satu-satunya penerangan di tengah malam yang pekat.
Sudah tujuh hari sejak Nalira meninggalkan istana untuk berlatih bersama pamannya. Surat terakhirnya mengatakan bahwa ia akan kembali hari ini, tetapi hingga malam berlalu, ia tak juga tiba. Kekhawatiran melanda istana, terutama Felix. Nalira bukan sekedar tunangannya, lebih dari itu ia adalah bagian dari hidupnya serta salah satu wanita yang berpengaruh dalam politik kerajaan. "Nalira!" teriak Jenderal Gavriel di ikuti oleh teriakan prajurit yang tak kalah lantang memanggil Tuan putrinya. Mereka tak henti hentinya meneriakan nama Nalira yang hanya di jawab desiran angin malam, dan tanpa mereka tahu, Nalira tidak akan pernah menjawab sebab dirinya telah tertawan di markas kegelapan dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Malam semakin larut, tetapi suasana perguruan kuno itu masih cukup ramai. Beberapa pemuda tetap berjaga di balai latihan, berbincang pelan sambil mengasah pedang atau melatih gerakan di bawah cahaya lentera. Sayup-sayup, derap kaki kuda terdengar semakin dekat. Para murid menoleh ke arah gerbang masuk, tatapan mereka waspada. Tak lama kemudian, pasukan berkuda muncul dari balik kegelapan, obor mereka berpendar dalam gerimis tipis. Saat melihat siapa yang datang, mereka segera turun dari balai latihan ke halaman, berdiri tegap. Begitu mengenali sosok Jenderal Gavriel dan Pangeran Felix, mereka serentak membungkuk dalam hormat. "Hormat kami, Pangeran," ucap mereka serempak. Pangeran Felix dan Jendral Gavriel turun dari kudanya. "Di mana Paman Halim?" "Guru sedang beristirahat, Pangeran." "Beri tahu dia, kami membutuhkannya," kata Jendral Gavriel dengan suara tegas. Seorang murid bergegas masuk, sementara Felix dan Gavriel menunggu di aula. Lentera minyak berayun perlahan, menciptakan bayangan di dinding kayu. Tak lama, Seorang pria tua brrjanggut putih muncul, ialah Paman Halim, Guru Nalira. Paman Halim berdiri di hadapan mereka, lalu membungkuk sedikit, wajahnya tenang dan nampak bijaksana. "Apa yang membawa Pangeran Felix dan Jenderal Gavriel berkunjung kemari? di tengah malam seperti ini?" suaranya dalam, khas pria berumur. Pangeran Felix menatap pria tua itu dengan sorot mata yang penuh kegelisahan. "Kami datang untuk menanyakan tentang Nalira," ucapnya tanpa basa-basi. "Dia belum kembali ke istana." Paman Halim mengerutkan kening. "Nalira? Bukankah seharusnya dia sudah tiba di istana sejak siang tadi?" "Itulah yang mengkhawatirkan kami. Suratnya mengatakan bahwa dia akan kembali hari ini, tetapi hingga kini dia belum juga sampai." Jenderal Gavriel yang sejak tadi berdiri di samping Felix ikut angkat bicara. Paman Halim menghela napas pelan. "Dia meninggalkan perguruan ini sebelum matahari terbit. Dia berpamitan seperti biasa, tanpa tanda-tanda ada sesuatu yang mencurigakan." Felix mengepalkan tangannya. "Dan kau tidak tahu ke mana dia pergi setelah itu?" Paman Halim menggeleng. "Tidak, Pangeran." Hening sejenak. Hanya suara angin malam yang berhembus di luar balai pertemuan. Felix merasa dadanya semakin sesak. "Ini tidak masuk akal," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Jika dia pergi sejak pagi, seharusnya dia sudah tiba di istana." Jenderal Gavriel melirik pangeran yang mulai kehilangan kesabaran. "Pangeran, kita harus melanjutkan pencarian sebelum terlalu larut." Felix mengangguk tegas. "Kami akan mencari ke sepanjang jalur yang mungkin dilewatinya. Jika ada seseorang yang melihat sesuatu, segera beri tahu aku." Paman Halim mengangguk. "Pangeran Felix, hati-hatilah. Jika sesuatu benar-benar terjadi pada Nalira, maka ini bukan sekedar kebetulan." Pangeran Felix mengangguk, dan tanpa membuang waktu lagi mereka segera meninggalkan perguruan, kembali memacu kuda mereka ke arah utara, menuju tempat yang lebih gelap dan berbahaya. Hujan semakin deras saat pasukan menembus malam. Fajar hampir menyingsing, tetapi tak ada jejak Nalira. "Pangeran, kita harus berhenti," kata Gavriel, menghentikan kudanya. "Kau kelelahan. Ini berbahaya." Felix menyapu pandangannya ke sekitar, hatinya diliputi kecemasan. "Aku tidak bisa berhenti," suaranya bergetar. "Nalira mungkin dalam bahaya." "Aku mengerti," jawab Gavriel, "tetapi kau adalah pewaris takhta. Jika terjadi sesuatu padamu, kerajaan dalam bahaya." Felix terdiam sejenak, lalu kembali memacu kudanya. "Pangeran!" Gavriel memanggil, tetapi Felix tak mengindahkan. Angin berdesir. Pepohonan tinggi menjulang saat mereka tiba di perbatasan Hutan Utara, hutan yang penuh mitos, kegelapan dan larangan. Felix menelan ludah. "Nalira ada di sana. Aku yakin." "Pangeran!" Gavriel menegur. "Ini terlalu berbahaya! Bahkan pemburu terbaik pun tak pernah kembali dengan selamat dari sana." Felix menatapnya tajam. "Jika kita tidak mencarinya, siapa yang akan melakukannya?" Gavriel menggeleng tegas. "Perintah Raja jelas, Kau tidak boleh masuk. Tolong jangan membuat masalah, Pangeran. Nasib Astheria setelah ini ada padamu." Pangeran Felix menarik napas panjang, menahan amarahnya, walau hatinya tak bisa tenang memikirkan kekasihnya. "Baiklah. Kita kembali." Mereka pun memutar balik kuda mereka, meninggalkan perbatasan hutan dengan perasaan yang semakin berat. Tetapi Pangeran Felix tak akan menyerah. Esok pagi jika Nalira belum juga kembali, ia akan mengarahkan seluruh pasukannya untuk menemukan Nalira bagaimanapun caranya. •><><><• Setitik cahaya menyelinap melalui celah-celah dinding batu yang lembap, jatuh ke wajah seorang wanita yang tertelungkup di lantai batu tahanan. Napasnya teratur meski tubuhnya kaku karena dingin dan kelelahan. Rambutnya kusut menjuntai, kotor oleh debu dan sisa jerami busuk. Tetapi meski penampilannya sangat hancur, kecantikannya tetap terpancar, garis wajahnya tetap kokoh, membuktikan keberanian yang tak luruh meski ia kini menjadi tersangka. Nalira perlahan membuka mata, kelopaknya terasa berat. Bau besi bercampur darah yang mengering masih menguasai udara, membuat perutnya kembali bergejolak. Ia merasakan kakinya lemas. Tiba-tiba langkah kaki kasar terdengar dari luar. Detik berikutnya, pintu besi itu terbuka dengan suara berderit menyakitkan. Beberapa prajurit berbaju zirah hitam berdiri di ambang pintu, ekspresi mereka penuh ejekan dan penghinaan. "Bangun, Putri Bangsawan," salah satu dari mereka mencibir, menyilangkan tangan di dada. "Kau tidur nyenyak di kandang tikus ini, hah?" Sontak, tawa kasar menggema saling bersahutan. Nalira menegakkan punggungnya, meski lemah ia berusaha berdiri lalu mengangkat dagunya dengan angkuh. "Aku bukan hanya seorang bangsawan, aku adalah kstaria." Nalira menyeringai kecil, nada suaranya tajam. "kalian hanya terlalu bodoh untuk memahami bahwa seorang ksatria sejati tidak akan hancur hanya karena tidur di tempat busuk seperti ini!" ujarnya, meski kelelahan, wanita itu pantang menunjukan kelemahan. Salah satu prajurit mendengus, wajahnya menegang karena marah. Ia melangkah maju, mencengkeram lengan Nalira dengan kasar. "Jangan banyak bicara, wanita sombong!" desisnya. "Bersiaplah! Tuan kami ingin bertemu denganmu." Sebelum Nalira sempat membalas, rantai besi yang sudah berkarat, dikatkan ke pergelangan tangannya. Besi dingin itu menggores kulitnya, tetapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa sakit. "Dasar bajingan, rendahan! Kalian semua akan menyesal!" Nalira meronta ketika prajurit itu menyeretnya keluar dari tahanan. "Diam!" gertak prajurit itu. Mereka lalu membawa Nalira melewati sepanjang lorong batu yang lembap. Suara rantai bergemerincing setiap kali ia melangkah, tetapi ia tetap tegak. Nalira tahu, jika ia menunjukkan kelemahan sekarang, mereka akan semakin meremehkannya. Mereka membawanya melewati gerbang besar menuju sebuah aula yang luas. Di dalamnya, sang penguasa hutan kegelapan tengah menikmati makan paginya dengan tenang dan damai, layaknya seorang bangsawan sejati, tetapi matanya menyimpan banyak kegelapan tersembunyi. Sementara itu, seorang pria paruh baya berdiri di di depan jendela, tangannya terlipat di belakang punggung. Matanya tajam, mengamati pemandangan di luar seolah tengah memikirkan sesuatu yang dalam. Prajurit yang menyeret Nalira membungkuk sedikit sebelum melapor. "Tuanku kami telah membawa tawanan seperti yang diperintahkan." Prajurit itu lalu dengan kasar mendorong tubuhnya ke depan dengan kasar. Nalira nyaris kehilangan keseimbangan, tetapi ia berhasil tetap menegakan tubuhnya, ia tidak akan memberi mereka kepuasan melihatnya jatuh tersungkur. Aaron akhirnya menghentikan santapannya. Dengan gerakan malas, ia menatap Nalira yang tengah menahan ekspresi jijiknya ketika melihat makanan yang tersaji di hadapan pria itu. Daging mentah yang tidak dimasak dengan baik, dan beberapa makanan asing yang tampak menjijikkan.Setelah beberapa hari dari kejadian itu, desas-desus ceriita tentang putri bangsawan yang tewas mengenaskan mulai menyebar dari mulut ke mulut. Saat itu Lioren sedang makan siang di sebuah kedai pasar bawah, tempat kumuh, berdebu, dan tak disukai kaum darah biru. Tapi justru di sanalah kabar beracun paling cepat tumbuh dan menyebar. "Kasihan sekali... Putri dari Duke Naevien, kabarnya diperkosa setelah di bunuh, dia ditemukan telanjang di pinggir sungai_" Lioren menelan roti dengan mata menyipit tajam. Anak buahnya pasti telah berbuat kelewat batas pada jasad sang putri. Ia harus bertindak cepat sebelum pengawal istana menemukan mereka. Lioren meneguk anggur merah, dan bangkit meninggalkan kedai. Ia harus kembali ke markas menemui anak buahnya, tetapi begitu ia tiba disana, secara mengejutkan ia mendapat kepungan dari prajurit istana. Lioren yang masih muda dan hanya berbekal belati dan pedang usang, bertarung melawan mereka satu persatu. Beberapa di antaranya tewas, bahkan
Ia kehilangan masa kecilnya, tak pernah merasakan kehangatan cinta dan kasih sayang dari tangan kedua orang tuanya. Hidupnya hanya penuh tuntutan dan tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul di usia yang masih belia. Pukulan rotan, tamparan, dan sulutan bara api di kulitnya menjadi makanan sehari-hari jika ia melakukan sedikit kesalahan. Tak kuasa dengan semua penderitaan itu, Aaron yang dulu bernama Lioren, melarikan diri dari rumah saat usianya belum genap sepuluh tahun. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Malam itu hujan mengguyur keras dan tubuh kecilnya menggigil hebat tanpa alas kaki, tanpa bekal. Tapi Lioren memilih kelaparan di jalanan daripada satu malam lagi dalam rumah yang menyebut dirinya 'anak pembawa kutukan'. Salju turun semakin tebal, tetapi pria itu tak sekalipun menghentikan langkahnya, pikiranya seolah kembali ke masa lalu yang menyiksa. Ia benci perasaan itu, ia benci seseorang mengingatkan siapa dirinya dahulu. Dulu, pasar adalah tempat ia mencari sisa-si
Di Astheria tepat tengah malam, lonceng istana berdentang pelan. Nalira menguap kecil sambil menutup laporan logistik terakhirnya. Di sampingnya, Tiffany masih duduk di atas tumpukan buku, kini mulai menggambar lingkaran sihir kecil di udara hanya untuk bermain-main. "Sudah lewat tengah malam," ujar Tiffany sambil menyipitkan mata ke arah jendela, bulan purnama bersinar malu-malu di balik awan. Nalira hanya tersenyum kecil. "Berarti sihirnya sudah bekerja." "Kau yakin dia tidak akan membalas, Tuan Putri?" tanya Tiffany, nadanya agak ragu. "Itu Jenderal Aaron. Pria yang bisa menghancurkan benteng tanpa menyentuh gerbang." "Dia bisa menghancurkan apa saja," sahut Nalira pelan, sembari menatap teh yang sudah dingin di cangkirnya, "tapi aku ingin tahu... apa yang akan dia lakukan saat sesuatu atau seseorang menghancurkan egonya."ucapnya, membuat mata Tiffany membulat. Ia lalu menutup buku catatannya, kemudian berdiri dan berjalan menuju balkon. Merasakan salju turun menyen
Tiffany menunduk, mengangguk pelan menatap Tuan putrinya kembali duduk di meja kerjanya, tanganya perlahan membuka kertas kertas dokumen kerajaan tetapi wajahnya datar bahkan terlihat dingin. Tiffany tahu sang Tuan sedang dalam keraguan tentang jati dirinya, tapi memberitahukan kebenaran tanpa diskusi dengan anggota peri kerajaan bukanlah tindakan tepat. Peri kecil itu menoleh ke cermin, pemandangan masih menampakan Aaron yang tengah menarik tali kekang kereta kuda di jalanan yang sepi dan berkabut. Sihir dari ritualnya belum terjadi karena menggunakan sistem sihir diralva, dimana sihir akan bekerja sesuai waktu yang diniatkan atau di ritualkan, sedangkan sihir dari ritual Nalira dan Tiffany itu akan terjadi setelah pukul tengah malam. Tiffany mendengus pelan. Membayangkan malam ini akan meriah karena suara tawa Tuan putri yang puas mengerjai sang Jenderal, tapi malah berakhir kesunyian yang membingungkan. Ia mengayunkan tongkat sihirnya ke cermin lalu cahaya ungu berpendar, kab
Cahaya itu terus berputar di udara, detik berikutnya cahaya itu meledak kecil membuat Nalira tersentak mundur ke belakang. Lalu dari cahaya yang meledak itu, sosok gadis kecil muncul di balik gumpalan debu ungu yang terbang ke atas seperti kunang kunang. Mata Nalira melebar sempurna. "Tiffany! kau?" Mata Nalira menunjukan ketidakpercayaanya, peri kecil itu nampak berbeda, jauh lebih bersinar daripada biasanya. Darah Nalira seketika berdesir, seolah dapat merasakan aura sihir kuat pada Tiffany yang perlahan turun menginjak tanah. "Tuan Putri... kau benar! Sekarang berkat ritual kecil dari buku mantra itu telah membuka level sihirku secara signifikan, dan tongkat logam ini akan menjadi perantaraku." ucap Tiffany ia lalu mengayunkan tongkat logam berkarat itu ke arah perpustakaan, sebuah buku keluar dan melayang di udara membuat Nalira takjub sekaligus bingung. "Tongkat ini adalah perantaraku sekarang. Sumber pemusatan sihir baru yang muncul setelah... yah, kau dan ritual kec
Nalira tiba di depan Aaron dengan napas terengah-engah, matanya berbinar dengan senyum tak biasa yang dipancarkan wanita itu, membuat Aaron curiga. "Beruntung kau belum pergi, aku hanya ingin memberimu sedikit oleh-oleh, mohon untuk di terima" suara Nalira lembut. Aaron mengerling ke arah kotak kayu yang berukuran sedang di tangan Nalira. "Apa itu?" tanyanya. "Oleh-oleh." jawab Nalira tanpa ragu. Aaron mendengus, jawaban Nalira yang tak memuaskan semakin membuatnya curiga, ia ingin menolak tapi melihat raja memperhatikan interaksi mereka, membuatnya tidak berkenan. "Baiklah, Terima kasih." Aaron akhirnya menerima dengan senyum dingin yang hanya Nalira lihat. Aaron kemudian melangkah lebih dekat ke tubuh wanita itu, bibirnya hampir menempel ke telinga Nalira. "Jika ini semacam lelucon, kau akan menyesal pernah mencoba." Napas hangatnya menyapu sisi wajah Nalira, membuat wanita itu berkedip pelan. Namun bukannya mundur, Nalira malah menegakkan tubuhnya dan menoleh sed