Share

Bab_5 Pencarian

Author: Pearlysea
last update Last Updated: 2025-04-09 08:31:35

Gerimis membasahi tanah saat Pangeran Felix dan Jenderal Gavriel memimpin pasukan berkuda melewati pemukiman dan perbukitan menuju utara. Obor di tangan para prajurit menjadi satu-satunya penerangan di tengah malam yang pekat.

Sudah tujuh hari sejak Nalira meninggalkan istana untuk berlatih bersama pamannya. Surat terakhirnya mengatakan bahwa ia akan kembali hari ini, tetapi hingga malam berlalu, ia tak juga tiba. Kekhawatiran melanda istana, terutama Felix. Nalira bukan sekedar tunangannya, lebih dari itu ia adalah bagian dari hidupnya serta salah satu wanita yang berpengaruh dalam politik kerajaan.

"Nalira!" teriak Jenderal Gavriel di ikuti oleh teriakan prajurit yang tak kalah lantang memanggil Tuan putrinya.

Mereka tak henti hentinya meneriakan nama Nalira yang hanya di jawab desiran angin malam, dan tanpa mereka tahu, Nalira tidak akan pernah menjawab sebab dirinya telah tertawan di markas kegelapan dengan keadaan yang sangat menyedihkan.

Malam semakin larut, tetapi suasana perguruan kuno itu masih cukup ramai. Beberapa pemuda tetap berjaga di balai latihan, berbincang pelan sambil mengasah pedang atau melatih gerakan di bawah cahaya lentera.

Sayup-sayup, derap kaki kuda terdengar semakin dekat. Para murid menoleh ke arah gerbang masuk, tatapan mereka waspada. Tak lama kemudian, pasukan berkuda muncul dari balik kegelapan, obor mereka berpendar dalam gerimis tipis.

Saat melihat siapa yang datang, mereka segera turun dari balai latihan ke halaman, berdiri tegap. Begitu mengenali sosok Jenderal Gavriel dan Pangeran Felix, mereka serentak membungkuk dalam hormat.

"Hormat kami, Pangeran," ucap mereka serempak.

Pangeran Felix dan Jendral Gavriel turun dari kudanya.

"Di mana Paman Halim?"

"Guru sedang beristirahat, Pangeran."

"Beri tahu dia, kami membutuhkannya," kata Jendral Gavriel dengan suara tegas.

Seorang murid bergegas masuk, sementara Felix dan Gavriel menunggu di aula. Lentera minyak berayun perlahan, menciptakan bayangan di dinding kayu. Tak lama, Seorang pria tua brrjanggut putih muncul, ialah Paman Halim, Guru Nalira.

Paman Halim berdiri di hadapan mereka, lalu membungkuk sedikit, wajahnya tenang dan nampak bijaksana.

"Apa yang membawa Pangeran Felix dan Jenderal Gavriel berkunjung kemari? di tengah malam seperti ini?" suaranya dalam, khas pria berumur.

Pangeran Felix menatap pria tua itu dengan sorot mata yang penuh kegelisahan.

"Kami datang untuk menanyakan tentang Nalira," ucapnya tanpa basa-basi.

"Dia belum kembali ke istana."

Paman Halim mengerutkan kening.

"Nalira? Bukankah seharusnya dia sudah tiba di istana sejak siang tadi?"

"Itulah yang mengkhawatirkan kami. Suratnya mengatakan bahwa dia akan kembali hari ini, tetapi hingga kini dia belum juga sampai." Jenderal Gavriel yang sejak tadi berdiri di samping Felix ikut angkat bicara.

Paman Halim menghela napas pelan.

"Dia meninggalkan perguruan ini sebelum matahari terbit. Dia berpamitan seperti biasa, tanpa tanda-tanda ada sesuatu yang mencurigakan."

Felix mengepalkan tangannya.

"Dan kau tidak tahu ke mana dia pergi setelah itu?"

Paman Halim menggeleng.

"Tidak, Pangeran."

Hening sejenak. Hanya suara angin malam yang berhembus di luar balai pertemuan. Felix merasa dadanya semakin sesak.

"Ini tidak masuk akal," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

"Jika dia pergi sejak pagi, seharusnya dia sudah tiba di istana."

Jenderal Gavriel melirik pangeran yang mulai kehilangan kesabaran.

"Pangeran, kita harus melanjutkan pencarian sebelum terlalu larut."

Felix mengangguk tegas.

"Kami akan mencari ke sepanjang jalur yang mungkin dilewatinya. Jika ada seseorang yang melihat sesuatu, segera beri tahu aku."

Paman Halim mengangguk.

"Pangeran Felix, hati-hatilah. Jika sesuatu benar-benar terjadi pada Nalira, maka ini bukan sekedar kebetulan."

Pangeran Felix mengangguk, dan tanpa membuang waktu lagi mereka segera meninggalkan perguruan, kembali memacu kuda mereka ke arah utara, menuju tempat yang lebih gelap dan berbahaya.

Hujan semakin deras saat pasukan menembus malam. Fajar hampir menyingsing, tetapi tak ada jejak Nalira.

"Pangeran, kita harus berhenti," kata Gavriel, menghentikan kudanya.

"Kau kelelahan. Ini berbahaya."

Felix menyapu pandangannya ke sekitar, hatinya diliputi kecemasan.

"Aku tidak bisa berhenti," suaranya bergetar.

"Nalira mungkin dalam bahaya."

"Aku mengerti," jawab Gavriel,

"tetapi kau adalah pewaris takhta. Jika terjadi sesuatu padamu, kerajaan dalam bahaya."

Felix terdiam sejenak, lalu kembali memacu kudanya.

"Pangeran!" Gavriel memanggil, tetapi Felix tak mengindahkan.

Angin berdesir. Pepohonan tinggi menjulang saat mereka tiba di perbatasan Hutan Utara, hutan yang penuh mitos, kegelapan dan larangan.

Felix menelan ludah.

"Nalira ada di sana. Aku yakin."

"Pangeran!" Gavriel menegur.

"Ini terlalu berbahaya! Bahkan pemburu terbaik pun tak pernah kembali dengan selamat dari sana."

Felix menatapnya tajam.

"Jika kita tidak mencarinya, siapa yang akan melakukannya?"

Gavriel menggeleng tegas.

"Perintah Raja jelas, Kau tidak boleh masuk. Tolong jangan membuat masalah, Pangeran. Nasib Astheria setelah ini ada padamu."

Pangeran Felix menarik napas panjang, menahan amarahnya, walau hatinya tak bisa tenang memikirkan kekasihnya.

"Baiklah. Kita kembali."

Mereka pun memutar balik kuda mereka, meninggalkan perbatasan hutan dengan perasaan yang semakin berat. Tetapi Pangeran Felix tak akan menyerah.

Esok pagi jika Nalira belum juga kembali, ia akan mengarahkan seluruh pasukannya untuk menemukan Nalira bagaimanapun caranya.

•><><><•

Setitik cahaya menyelinap melalui celah-celah dinding batu yang lembap, jatuh ke wajah seorang wanita yang tertelungkup di lantai batu tahanan.

Napasnya teratur meski tubuhnya kaku karena dingin dan kelelahan. Rambutnya kusut menjuntai, kotor oleh debu dan sisa jerami busuk. Tetapi meski penampilannya sangat hancur, kecantikannya tetap terpancar, garis wajahnya tetap kokoh, membuktikan keberanian yang tak luruh meski ia kini menjadi tersangka.

Nalira perlahan membuka mata, kelopaknya terasa berat. Bau besi bercampur darah yang mengering masih menguasai udara, membuat perutnya kembali bergejolak. Ia merasakan kakinya lemas.

Tiba-tiba langkah kaki kasar terdengar dari luar. Detik berikutnya, pintu besi itu terbuka dengan suara berderit menyakitkan. Beberapa prajurit berbaju zirah hitam berdiri di ambang pintu, ekspresi mereka penuh ejekan dan penghinaan.

"Bangun, Putri Bangsawan," salah satu dari mereka mencibir, menyilangkan tangan di dada.

"Kau tidur nyenyak di kandang tikus ini, hah?"

Sontak, tawa kasar menggema saling bersahutan. Nalira menegakkan punggungnya, meski lemah ia berusaha berdiri lalu mengangkat dagunya dengan angkuh.

"Aku bukan hanya seorang bangsawan, aku adalah kstaria." Nalira menyeringai kecil, nada suaranya tajam.

"kalian hanya terlalu bodoh untuk memahami bahwa seorang ksatria sejati tidak akan hancur hanya karena tidur di tempat busuk seperti ini!" ujarnya, meski kelelahan, wanita itu pantang menunjukan kelemahan.

Salah satu prajurit mendengus, wajahnya menegang karena marah. Ia melangkah maju, mencengkeram lengan Nalira dengan kasar.

"Jangan banyak bicara, wanita sombong!" desisnya.

"Bersiaplah! Tuan kami ingin bertemu denganmu."

Sebelum Nalira sempat membalas, rantai besi yang sudah berkarat, dikatkan ke pergelangan tangannya. Besi dingin itu menggores kulitnya, tetapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa sakit.

"Dasar bajingan, rendahan! Kalian semua akan menyesal!" Nalira meronta ketika prajurit itu menyeretnya keluar dari tahanan.

"Diam!" gertak prajurit itu. Mereka lalu membawa Nalira melewati sepanjang lorong batu yang lembap. Suara rantai bergemerincing setiap kali ia melangkah, tetapi ia tetap tegak. Nalira tahu, jika ia menunjukkan kelemahan sekarang, mereka akan semakin meremehkannya.

Mereka membawanya melewati gerbang besar menuju sebuah aula yang luas. Di dalamnya, sang penguasa hutan kegelapan tengah menikmati makan paginya dengan tenang dan damai, layaknya seorang bangsawan sejati, tetapi matanya menyimpan banyak kegelapan tersembunyi.

Sementara itu, seorang pria paruh baya berdiri di di depan jendela, tangannya terlipat di belakang punggung. Matanya tajam, mengamati pemandangan di luar seolah tengah memikirkan sesuatu yang dalam.

Prajurit yang menyeret Nalira membungkuk sedikit sebelum melapor.

"Tuanku kami telah membawa tawanan seperti yang diperintahkan."

Prajurit itu lalu dengan kasar mendorong tubuhnya ke depan dengan kasar. Nalira nyaris kehilangan keseimbangan, tetapi ia berhasil tetap menegakan tubuhnya, ia tidak akan memberi mereka kepuasan melihatnya jatuh tersungkur.

Aaron akhirnya menghentikan santapannya. Dengan gerakan malas, ia menatap Nalira yang tengah menahan ekspresi jijiknya ketika melihat makanan yang tersaji di hadapan pria itu. Daging mentah yang tidak dimasak dengan baik, dan beberapa makanan asing yang tampak menjijikkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_19 Permainan Berbahaya

    Felix menoleh cepat, matanya berbinar saat mengenali sosok pria tua yang mendekatinya. "Penasehat, Aldric." Senyum hangat terukir di wajah Felix saat pria tua itu akhirnya berdiri di depannya. Aldric, penasehat kerajaan yang setia nan bijaksana. "Kau kembali dengan selamat, Pangeran. Syukurlah," kata Aldric dengan nada lega, meskipun sekilas pandangannya melirik ke arah Aaron dengan sorot waspada. Nalira melangkah maju. "Penasehat Aldric," sapanya dengan anggukan hormat. Aldric menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tuan Putri, aku khawatir akan keselamatanmu. Tapi melihatmu di sini... aku merasa sedikit tenang." Sementara itu, Aaron hanya berdiri diam di tempatnya, memperhatikan interaksi itu tanpa ekspresi. Gavriel meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada situasi. "Nalira!" Suara nyaring itu menggema, membuat semua kepala menoleh ke sumbernya. "Ibu!" seru Nalira. Matanya berbinar hangat saat melihat ibunda dan ayahnya berjalan cepat ke arahnya, dayang dayang di belakangny

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_18 Keindahan Astheria

    Di bawah sebuah pohon rindang, Jenderal Gavriel duduk memangku lengan di salah satu lututnya dengan ekspresi serius, matanya sesekali melirik ke arah Pangeran Felix yang masih terlihat lemas. Pasukan berjaga di sekeliling mereka, membentuk lingkaran perlindungan. Pangeran Felix menarik napas dalam, mencoba meredakan mual yang tadi membuatnya muntah di tengah pasar. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap tajam saat ia menoleh ke arah Gavriel. "Kenapa Nalira begitu lama?" tanyanya lirih, suaranya dipenuhi kecemasan. Gavriel menoleh. "Tenanglah, pangeran. Ada prajuritku yang mengawasi mereka dari kejauhan. Jenderal Aaron mungkin pria yang kejam, tapi dia tidak akan mencelakai Nalira. Bukan dalam keadaan seperti ini." Felix menggigit bibirnya, jelas tak puas dengan jawaban itu. "Tetap saja… dia pria yang tidak bisa dipercaya. Aku tak suka Nalira berada di dekatnya terlalu lama." Gavriel tersenyum tipis... "Kau tidak sendirian dalam hal itu, Pangeran." Tak lama, dari kejauhan, suara g

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_17 Jatuhnya Harga diri Duke kejam

    Aaron menahan dirinya untuk tidak menepis tangan Nalira, meskipun sentuhan itu mengusik sesuatu di dalam dirinya. Matanya menajam, menatap punggung wanita itu yang dengan percaya diri menariknya ke tengah pasar yang kumuh dan bau. Ia kemudian berhenti di depan seorang wanita tua yang duduk bersandar di dinding kayu lapuk, tangannya gemetar saat mencoba menjajakan sekeranjang roti keras yang tampak lebih seperti batu daripada makanan. Ia lalu melepas genggamannya pada Aaron dan berlutut sejajar dengan wanita tua itu. "Berapa kau jual ini?" tanyanya. Orang orang di sekitar terus mencuri pandang ke arahnya. Berbisik ke rekan jualanya yang lain, merasa iri karena Putri bangsawan itu lebih memilih membeli roti keras ke wanita tua. "Satu kord saja Tuan putri." katanya dengan suara lembut dan mata berbinar. "Satu kord?" Nalira bingung. "Itu mata uang kami." timpal Aaron yang berdiri di belakang Nalira dengan melipat lengan ke dada. Nalira tersenyum, lalu menarik kantong yang ia ikatk

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_16 Kunjungan Pasar

    Kereta melintasi jalan setapak yang diapit oleh pepohonan lebat ketika tiba-tiba Nalira meminta mereka berhenti. Aaron menghela napas panjang, tetapi tetap menarik tali kekang hingga kereta berhenti perlahan di jalan berbatu. Kuda-kuda yang menarik kereta meringkik pelan, merasa terganggu oleh perubahan ritme perjalanan mereka. Jenderal Gavriel dan Pangeran Felix segera menarik tali kekang kuda mereka, menghentikan laju pasukan yang mengawal. Aaron menghela napas kasar, jelas tak senang dengan permintaan mendadak itu. "Untuk apa kita berhenti?" tanyanya, penuh kejengkelan. "Tidak perlu tahu, diam dan ditunggu saja di sini!" katanya dengan nada sinis. Tangan Nalira terulur membuka kunci pintu kereta, lalu turun dengan anggun dan berjalan ke arah kuda Pangeran Felix di sisi kanan. Aaron yang penasaran tetap di atas kudanya menoleh sedikit ke belakang, mengintip setiap gerakan wanita bertubuh ramping itu yang berbicara singkat dengannya. Pangeran Felix tidak turun dari kudanya, h

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_15 Ritme Balas Dendam

    Felix dan Nalira pun akhirnya terpaksa melepaskan diri dari momen intim mereka. Nalira menyeka bibirnya, sementara Felix menoleh dengan ekspresi sedikit enggan, seakan masih ingin menikmati kebersamaan dengan wanita yang ia rindukan. "Apa kau baik-baik saja, Tuan Putri?" ujar Jendral Gavriel. Nalira menoleh dan tersenyum tipis. "Tentu Jendral, kau bisa melihatku sekarang dalam keadaan baik." Nalira meyakinkan, ia melirik Aaron dengan kedipan mata licik, sementara pria itu hanya menahan napas, waspada jika wanita itu membocorkan kesepakatan. Jendral Gavriel mengangguk pelan, tapi tak begitu saja percaya. Ia tahu seberapa kejamnya sosok Aaron Devonsa, mempercayai Nalira baik-baik saja tanpa melewati penyiksaan saat bersamanya, begitu mustahil. "Aku ingin penjelasan, Jenderal Aaron," tuntut Jendral Gavriel. "Mengapa Putri Nalira ada di sini?" Aaron tetap berdiri tegap, dengan ekspresi datar lalu mengangguk kecil. "Hanya ada sedikit kesalahpahaman." jawabnya singkat. Nam

  • A Love- Hate Affair 'The Northern Duke's Touch'   Bab_14 Akhirnya bertemu

    Nalira tersenyum tipis, jelas menikmati kegelisahan samar yang berusaha disembunyikan Aaron. "Tentang apa? Kekejamanmu? Atau mungkin tentang bagaimana kau ingin membunuhku setelah aku membuka mulut?" Aaron menyipitkan mata. Wanita ini terlalu pintar. "Dengar," katanya, dengan suara dalam. "Kau mungkin membenciku dan aku tidak perduli, tapi aku tidak bisa membiarkanmu berbicara pada pasukan Astheria. Jadi Jika kau diam, aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan." Nalira tertawa kecil. Pria ini memang menarik. Ia tahu betul bahwa Aaron tidak akan menawarkan sesuatu tanpa alasan. "Apa pun?" tanyanya, lalu tersenyum sinis. Aaron mengangguk sekali. Wajahnya tetap dingin dan datar. Nalira melangkah mendekat, memutari tubuh tegap sang Duke. "Lalu bagaimana jika aku memintamu untuk berlutut di depanku? Akankah kau melakukannya?" Mata Aaron menyipit. Jelas bahwa pria itu tidak suka diremehkan. Namun, sebaliknya, Nalira justru tersenyum lebih lebar. Ia bisa melihat deng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status