Perlahan Aaron menurunkan garpunya, matanya lalu memindai kondisi tubuh Nalira dengan seksama. Sedetik kemudian seringai tipis terulas di sudut bibirnya.
"kau terlihat seperti... Hantu" Aaron terkekeh mengejek, suara tawanya yang berat membuat rahang wanita itu mengeras. Mata Aaron lalu bergerak ke hidangan di depannya yang nampak seperti pakan hewan. "Kau pasti lelah.. Makanlah jika kau lapar juga." tawarnya tanpa rasa bersalah. Nalira menahan diri untuk tidak meludahi makanan itu, matanya menyorot tajam, menatap Aaron dengan penuh kemarahan. "Kau monster menjijikan. Lepaskan aku!" teriaknya, nyaring. Aaron tertawa kecil, seolah kemarahan Nalira adalah hiburan baginya. "Kau akan menyadarinya," Aaron berdiri. Dan dengan langkah pelan ia mendekat ke arah Nalira. "Aku bukan hanya sekedar monster. Lebih dari itu, aku adalah penderitaan dan kematian bagi setiap orang yang mencoba menantangku dan menghalangiku." Mata Nalira nyalang menatapnya. "Dan kau pikir aku akan takut padamu? Jangan bermimpi! aku tidak takut pada siapapun, atau kematian itu sendiri. Apalagi jendral kejam dan licik sepertimu!" Aaron kembali tertawa kecil, matanya kemudian bergerak pada seorang pria berumur yang masih berdiri menghadap ke jendela balkon. "Kau dengar? Wanita ini benar benar terlatih sebagai mata mata. Dengarkan bagaimana wanita yang mengaku sebagai putri bangsawan, menjawab semua perkataanku dengan sangat angkuh. Dia tidak tahu dengan siapa, dirinya sedang berhadapan." "Seorang pria yang bahkan tidak lebih baik dari binatang buas." Tak terduga Nalira dengan cepat menimpali. Aaron segera memindahkan matanya menatap Nalira lagi. Namun, kali ini lebih dingin dan tajam, tapi bibirnya seolah menyimpan ketertarikan. "Lepaskan aku sialan! kau benar-benar akan menyesal setelah ini!" Nalira kembali berteriak nyaring. Aaron justru tersenyum licik dan pria yang berdiri di sana hanya mendengar dengan ekspresi datar, seolah menunggu waktu yang tepat untuk ikut campur. "Kau membuatku semakin kesal sekaligus tertarik." desisya, ia lalu mendekatkan tubuhnya lebih dekat ke Nalira, tatapanya semakin lekat pada wajah cantik wanita itu yang tertutup debu dan kotoran. Kemudian dengan gerakan lambat ia mengangkat salah satu tangannya, jarinya yang tebal dan kasar mengusap wajah Nalira seolah ingin membersihkan noda yang menghalangi pesonanya, membuat tubuh wanita itu menegang. "Kau akan dihukum karena telah berkata kasar kepadaku, dan kau tahu? aku hanya akan melepasmu setelah kau benar benar terbukti tidak bersalah, dan setelah... kau memberikan kepuasan kepadaku." bisiknya di pipi Nalira. Nalira mendengus, detak jantungnya berdetak cepat penuh rasa benci. Ia juga menahan napas bukan karena takut, tetapi karena Aroma amis yang bercampur anggur merah dari napas pria itu, membuatnya kembali ingin muntah. Hingga akhirnya Nalira tak tahan lagi, napasnya seperti akan habis dan detik itu juga, ia mengangkat kedua tanganya yang di ikat, lalu memukulkannya ke pipi Aaron. Bugh! Aaron sedikit terhuyung karena tindakan Nalira yang spontan dan keras. Pria itu meraung seperti singa yang terluka seraya memegangi pipinya, dan bagian tajam rantai besi yang menjerat pergelangan tangan Nalira membuat pipi Aaron tergores cukup dalam, membuatnya mengeluarkan darah. Mata Aaron berkilat menatap tangannya yang berlumur cairan merah keluar dari pipinya, lalu menatap Nalira dengan napas yang menderu. Emosinya memuncak, matanya memerah, dan dengan gerakan cepat ia menarik rambut Nalira, meremasnya dengan kuat, membuat wanita itu tersentak. "Kau membuatku kehilangan kesabaran. Apa kau pikir kau cukup kuat untuk melawanku, wanita sombong!" desisnya, lalu menarik kepala Nalira kebelakang kemudian melemparkanya ke lantai dengan satu dorongan kuat. Brugh! Nalira tersungkur, tubuhnya menghantam lantai dengan keras. Tangannya yang terbelenggu tak bisa menahan benturan, membuatnya terbatuk menahan nyeri, tapi tak sekalipun dia merintih, hanya terdengar suara napasnya yang terengah-engah. Pria itu mendengus, ia mendekat lalu menarik kembali rambut Nalira, Kali ini lebih kasar, seakan-akan kulit kepalanya seperti akan lepas dari tengkoraknya. "Lepaskan aku, dasar bajingan!" teriaknya, nyaring dan serak. Para prajurit yang menyaksikan hanya diam, pemandangan itu tidak ada apa apanya dibanding kekejaman sang Jendral selama ini. "Masih berani memakiku? Kau tidak sadar kau sedang berada dimana? sepertinya kau ingin agar aku menggantung kepalamu untuk pakan burung nasar." geramnya. Jari-jari besar Aaron semakin menekan kulit kepala Nalira. Namun ia masih tangguh untuk tidak mengerang. "Tapi jangan khawatir," Aaron tertawa licik, menikmati ekspresi Nalira yang menahan sakit. "Tetapi sebelum itu, aku perlu memberimu pelajaran." Aaron kembali mendorong kepala Nalira, hingga wajah wanita itu hampir menyentuh lantai. Aaron berdiri di atasnya, menatapnya dengan hinaan yang kentara. Ia mulai mengendurkan gesper sabuk emasnya yang berat dan tebal dan perlahan menariknya keluar, suara logam yang bergesekan itu terdengar tajam. Ia kemudian mengangkat sabuknya tinggi ke udara, siap mengayunkannya ke tubuh wanita itu. "Cukup, Jendral." sebuah suara mencegahnya. Aaron melirik pria yang berdiri di jendela, kini telah berbalik badan menatapnya. Seorang pria dengan postur tinggi besar dengan rambut yang mulai di tumbuhi uban. Tatapannya dingin dan garis wajahnya cukup menyeramkan. Ia adalah salah satu petinggi kerajaan Vransco yang menjabat sebagai penasehat raja. Kedatangannya kemari bukan untuk melihat tawanan. Tetapi untuk misi rahasia yang ia jalin bersama Aaron, misi pribadi di luar kepentingan Raja. Aaron mendengus kasar. "Apa maksudnya, kau menghentikanku, Dominic?" Dominic, nama pria itu. Ia berjalan mendekat ke arahnya. "Kau tidak perlu berlebihan menyiksanya, kau bahkan belum tahu tentang kebenarannya. Apakah dia mata-mata atau bukan." ucapnya, dengan suara yang tenang. Aaron mendelik. Selama ini Dominic tidak pernah menghalanginya untuk menyiksa tahanan atau tawanan yang membuatnya jengkel. Entah mereka bersalah atau tidak. Tetapi sekarang, ucapan pria tua itu seperti lelucon yang konyol. "Hanya karena dia seorang wanita?" Aaron menyeringai licik. "Kau pikir, aku akan membedakan hukumanku hanya karena dia bukan seorang pria?" tanyanya, penuh penekanan. Tetapi Dominic tidak menjawab, hanya menatapnya dingin lalu beralih melihat wanita yang sedang susah payah menegakan tubuhnya, mengamati pergerakannya hingga wanita itu berbalik badan dan ia kini dapat melihat dengan jelas siapa sebenarnya sosok itu. Ekspresi Dominic seketika berubah drastis. Matanya membelalak, lalu dalam sekejap, ia langsung menjatuhkan tubuhnya, berlutut di hadapan Nalira, tepat di bawah kakinya. "Tuan Putri!" serunya, dengan suara yang bergetar.Setelah beberapa hari dari kejadian itu, desas-desus ceriita tentang putri bangsawan yang tewas mengenaskan mulai menyebar dari mulut ke mulut. Saat itu Lioren sedang makan siang di sebuah kedai pasar bawah, tempat kumuh, berdebu, dan tak disukai kaum darah biru. Tapi justru di sanalah kabar beracun paling cepat tumbuh dan menyebar. "Kasihan sekali... Putri dari Duke Naevien, kabarnya diperkosa setelah di bunuh, dia ditemukan telanjang di pinggir sungai_" Lioren menelan roti dengan mata menyipit tajam. Anak buahnya pasti telah berbuat kelewat batas pada jasad sang putri. Ia harus bertindak cepat sebelum pengawal istana menemukan mereka. Lioren meneguk anggur merah, dan bangkit meninggalkan kedai. Ia harus kembali ke markas menemui anak buahnya, tetapi begitu ia tiba disana, secara mengejutkan ia mendapat kepungan dari prajurit istana. Lioren yang masih muda dan hanya berbekal belati dan pedang usang, bertarung melawan mereka satu persatu. Beberapa di antaranya tewas, bahkan
Ia kehilangan masa kecilnya, tak pernah merasakan kehangatan cinta dan kasih sayang dari tangan kedua orang tuanya. Hidupnya hanya penuh tuntutan dan tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul di usia yang masih belia. Pukulan rotan, tamparan, dan sulutan bara api di kulitnya menjadi makanan sehari-hari jika ia melakukan sedikit kesalahan. Tak kuasa dengan semua penderitaan itu, Aaron yang dulu bernama Lioren, melarikan diri dari rumah saat usianya belum genap sepuluh tahun. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Malam itu hujan mengguyur keras dan tubuh kecilnya menggigil hebat tanpa alas kaki, tanpa bekal. Tapi Lioren memilih kelaparan di jalanan daripada satu malam lagi dalam rumah yang menyebut dirinya 'anak pembawa kutukan'. Salju turun semakin tebal, tetapi pria itu tak sekalipun menghentikan langkahnya, pikiranya seolah kembali ke masa lalu yang menyiksa. Ia benci perasaan itu, ia benci seseorang mengingatkan siapa dirinya dahulu. Dulu, pasar adalah tempat ia mencari sisa-si
Di Astheria tepat tengah malam, lonceng istana berdentang pelan. Nalira menguap kecil sambil menutup laporan logistik terakhirnya. Di sampingnya, Tiffany masih duduk di atas tumpukan buku, kini mulai menggambar lingkaran sihir kecil di udara hanya untuk bermain-main. "Sudah lewat tengah malam," ujar Tiffany sambil menyipitkan mata ke arah jendela, bulan purnama bersinar malu-malu di balik awan. Nalira hanya tersenyum kecil. "Berarti sihirnya sudah bekerja." "Kau yakin dia tidak akan membalas, Tuan Putri?" tanya Tiffany, nadanya agak ragu. "Itu Jenderal Aaron. Pria yang bisa menghancurkan benteng tanpa menyentuh gerbang." "Dia bisa menghancurkan apa saja," sahut Nalira pelan, sembari menatap teh yang sudah dingin di cangkirnya, "tapi aku ingin tahu... apa yang akan dia lakukan saat sesuatu atau seseorang menghancurkan egonya."ucapnya, membuat mata Tiffany membulat. Ia lalu menutup buku catatannya, kemudian berdiri dan berjalan menuju balkon. Merasakan salju turun menyen
Tiffany menunduk, mengangguk pelan menatap Tuan putrinya kembali duduk di meja kerjanya, tanganya perlahan membuka kertas kertas dokumen kerajaan tetapi wajahnya datar bahkan terlihat dingin. Tiffany tahu sang Tuan sedang dalam keraguan tentang jati dirinya, tapi memberitahukan kebenaran tanpa diskusi dengan anggota peri kerajaan bukanlah tindakan tepat. Peri kecil itu menoleh ke cermin, pemandangan masih menampakan Aaron yang tengah menarik tali kekang kereta kuda di jalanan yang sepi dan berkabut. Sihir dari ritualnya belum terjadi karena menggunakan sistem sihir diralva, dimana sihir akan bekerja sesuai waktu yang diniatkan atau di ritualkan, sedangkan sihir dari ritual Nalira dan Tiffany itu akan terjadi setelah pukul tengah malam. Tiffany mendengus pelan. Membayangkan malam ini akan meriah karena suara tawa Tuan putri yang puas mengerjai sang Jenderal, tapi malah berakhir kesunyian yang membingungkan. Ia mengayunkan tongkat sihirnya ke cermin lalu cahaya ungu berpendar, kab
Cahaya itu terus berputar di udara, detik berikutnya cahaya itu meledak kecil membuat Nalira tersentak mundur ke belakang. Lalu dari cahaya yang meledak itu, sosok gadis kecil muncul di balik gumpalan debu ungu yang terbang ke atas seperti kunang kunang. Mata Nalira melebar sempurna. "Tiffany! kau?" Mata Nalira menunjukan ketidakpercayaanya, peri kecil itu nampak berbeda, jauh lebih bersinar daripada biasanya. Darah Nalira seketika berdesir, seolah dapat merasakan aura sihir kuat pada Tiffany yang perlahan turun menginjak tanah. "Tuan Putri... kau benar! Sekarang berkat ritual kecil dari buku mantra itu telah membuka level sihirku secara signifikan, dan tongkat logam ini akan menjadi perantaraku." ucap Tiffany ia lalu mengayunkan tongkat logam berkarat itu ke arah perpustakaan, sebuah buku keluar dan melayang di udara membuat Nalira takjub sekaligus bingung. "Tongkat ini adalah perantaraku sekarang. Sumber pemusatan sihir baru yang muncul setelah... yah, kau dan ritual kec
Nalira tiba di depan Aaron dengan napas terengah-engah, matanya berbinar dengan senyum tak biasa yang dipancarkan wanita itu, membuat Aaron curiga. "Beruntung kau belum pergi, aku hanya ingin memberimu sedikit oleh-oleh, mohon untuk di terima" suara Nalira lembut. Aaron mengerling ke arah kotak kayu yang berukuran sedang di tangan Nalira. "Apa itu?" tanyanya. "Oleh-oleh." jawab Nalira tanpa ragu. Aaron mendengus, jawaban Nalira yang tak memuaskan semakin membuatnya curiga, ia ingin menolak tapi melihat raja memperhatikan interaksi mereka, membuatnya tidak berkenan. "Baiklah, Terima kasih." Aaron akhirnya menerima dengan senyum dingin yang hanya Nalira lihat. Aaron kemudian melangkah lebih dekat ke tubuh wanita itu, bibirnya hampir menempel ke telinga Nalira. "Jika ini semacam lelucon, kau akan menyesal pernah mencoba." Napas hangatnya menyapu sisi wajah Nalira, membuat wanita itu berkedip pelan. Namun bukannya mundur, Nalira malah menegakkan tubuhnya dan menoleh sed