Beranda / Romansa / A MAN IN A TUXEDO / BAB 3: Menyapa Vincent Oliver

Share

BAB 3: Menyapa Vincent Oliver

Penulis: LeeNaGie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-10 08:26:06

Beberapa jam kemudian Stela kembali ke rumah keluarga Oliver bersama dengan Candra, asisten Vincent. Pria bertubuh tinggi itu mengantarkannya ke kamar yang akan ditempati. Kamar yang terletak di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Vincent.

“Ini kamar yang akan Anda tempati, Dokter Stela,” ucap Candra setelah menghentikan langkah di depan kamar.

“Makasih ya,” ucap Stela, “nama kamu Candra, ‘kan?”

Candra tersenyum singkat sambil menganggukkan kepala. “Maaf tadi belum memperkenalkan diri dengan baik. Nama saya Candra Haidar, asisten pribadi Pak Vincent Oliver.”

Stela tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. “Auristela Indira. Pakai bahasa non formal aja. Rasanya aneh ngomong formal sama orang yang hampir seusia.”

Gadis itu memperkirakan usia Candra selisih dua tahun di atasnya. Sekitar 28 tahun.

Candra menyambut uluran tangan Stela. “Baiklah, Stela. Kalau mau istirahat, silakan. Aku mau ke taman belakang dulu.”

Pria itu membungkukkan sedikit tubuh, bersiap berjalan meninggalkan Stela.

“Ehm, sebentar,” panggil Stela menghentikan langkah Candra.

Candra membalikkan tubuh dan melihat ke arah Stela. “Ada yang bisa dibantu, Stela?”

“Pak Vincent di mana?” tanya Stela.

“Mau ketemu Pak Vincent?” Candra balik bertanya.

Stela menganggukkan kepala dengan cepat, lalu menjepit bibir.

“Ingin menyapa calon pasien.” Stela memicingkan mata dan memukul pelan bibirnya. “Maksudnya menyapa Tuan Rumah.”

Candra tertawa melihat ekspresi Stela. Pria itu tampak tampan saat tergelak seperti ini. Mata sipitnya semakin membentuk sudut tegas dan bibir merahnya juga menipis di bagian atas memperlihatkan gigi putih bersih.

“Masukkan dulu kopermu. Aku tunggu di sini. Kebetulan mau ketemu Pak Vincent juga.”

Stela menempelkan ujung ibu jari dan telunjuk, membentuk huruf O dengan jari lainnya berdiri tegak. Dia memasuki kamar berukuran besar itu. Jauh lebih luas dari kamar kos-kosannya. Sebuah kasur berukuran queen terlihat begitu empuk berada di bagian tengah menempel ke dinding kamar. Sebuah lemari berwarna putih terbuat dari kayu jati terbaik. Dan juga sebuah ....

Tunggu! Ngapain lo terpesona lihat kamar ini sekarang, Stela? Bukannya mau ketemu sama Vincent? gumam Stela sambil memukul kepala.

Gadis itu bergegas keluar dari kamar setelah meletakkan koper. Stela segera menghampiri Candra yang sudah menunggu di depan pintu.

Done!” seru Stela setelah berdiri di depan Candra sambil menepukkan tangan singkat.

Lagi Candra tertawa melihat tingkah Stela yang terkesan seperti anak-anak. Dia kemudian melangkahkan kaki menuju lantai dasar. Stela berjalan dengan tenang di belakangnya.

“Orangnya kayak apa?” bisik Stela setelah menyesuaikan posisi jalan di samping Candra.

Kaki pendeknya melangkah lebih cepat dibanding Candra yang berjalan pelan dengan kaki panjangnya.

“Maksudmu Pak Vincent?”

Stela mengangguk.

“Dia pintar, pengusaha andal dan penyayang. Kamu akan lihat nanti.”

“Apa dia cuma ingat kenangan sebelum kejadian itu?”

Candra menganggukkan kepala. “Ingatan yang utuh hanya sampai kejadian nahas yang menimpanya.”

“Kayaknya gue perlu bicara sama lo deh, Candra. Sebelum mulai bekerja, gue perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Vincent.” Stela diam sesaat. “Sorry, lo nggak keberatan gue ngomong kayak gini, ‘kan? Maksudnya pake lo dan gue.”

Candra tersenyum, lantas mengangguk dengan kedua alis naik ke atas.

“Oke. Kita bisa berbicara nanti setelah bertemu dengan Pak Vincent.” Candra membuka pintu penghubung antara bagian dalam rumah dan taman belakang.

Stela mengedarkan pandangan ke arah taman yang dipenuhi dengan rumput hijau tertata rapi dan begitu terawat, menutupi sebagian permukaan taman belakang. Tidak ada tumbuhan lain di sana, selain pohon cemara berukuran sedang. Satu set bangku taman lengkap dengan meja terletak sedikit ke bagian tengah dan sebuah ayunan besi berwarna putih dengan jarak beberapa meter dari bangku taman.

“Itu Pak Vincent,” cetus Candra menunjuk ke arah seorang pria yang sedang duduk di bangku taman.

Stela melihat seorang pria bertubuh atletis, mengenakan baju kaus berwarna krem dengan bawahan celana katun di bawah lutut. Dia bisa melihat rambut ikal yang dipotong sangat pendek, model cepak.

“Siang, Pak,” sapa Candra.

Vincent menoleh ke kanan dan melihat asistennya bersama dengan seorang wanita yang tidak dikenalnya. Wanita bertubuh kecil dengan tinggi 155 centimeter, lebih pendek darinya hampir satu penggaris yang digunakan anak SD. Tubuh wanita itu tidak terlalu ideal dan sedikit berisi, terlihat jelas dari pipi chubby-nya.

Pria itu berdiri. Mata elang berwarna cokelat terang miliknya memperhatikan Stela dengan teliti. Bagian bawah pipi pria itu terangkah sedikit ke atas.

“Perkenalkan ini Auristela Indira, psikiater baru yang akan membantu Bapak,” jelas Candra seakan tahu maksud dari mimik wajah bosnya.

“Oh ya, Vincent Oliver,” ucap Vincent sambil mengulurkan tangan, tersenyum singkat.

Deg!

Stela merasakan jantungnya berdebar saat tatapan tidak sengaja bertemu dengan mata elang Vincent. Sorot mata yang begitu memikat, mampu membuat hati gadis manapun bergetar. Tak hanya netranya yang memikat, tapi lekuk bibir atas juga begitu seksi dengan belah di bagian tengah bibir bawah.

“Panggil saja Saya Stela, Pak Vincent.” Stela menyambut uluran tangan Vincent sambil tersenyum, mencoba mengendalikan jantung yang sedang berdegup kencang.

Percuma memperkenalkan diri, besok juga udah lupa. Aduh ini jantung kenapa nggak mau diam? ujar Stela dalam hati sambil menepuk pelan dada sendiri.

“Kamu kenapa, Stela?” risik Candra bingung.

“Eh? Nggak kenapa-napa,” balas Stela kembali melihat kepada Vincent.

Vincent Oliver, seorang pria keturunan Perancis memiliki wajah kebulean, hidung mancung dan memiliki rahang bawah yang tegas dengan sedikit belahan di dagu. Wajahnya terlihat dingin, tidak ada senyuman di sana. Tampak begitu serius.

“Dokter Stela akan tinggal di sini. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Bapak. Saya akan memberikan tanda di pintu kamar Dokter Stela nanti.” Candra kembali menjelaskan.

Vincent menganggukkan kepala, kembali ke posisi duduk.

“Berkas yang mau ditandatangani sudah ada, Can?” tanya Vincent.

“Hari ini tidak ada berkas, Pak. Besok tim akan membawakannya ke sini.”

“Oke,” sahut Vincent singkat.

Stela hanya terdiam setelah memperkenalkan diri sembari mengamati bahasa tubuh dan ekspresi Vincent. Dia ingin mempelajari sejauh mana pria itu mengingat masa lalunya. Karena ingatan masa sekarang hanya bertahan hingga ia tertidur.

“Jika perlu apa-apa, Anda bisa panggil Saya, Pak. Saya akan mengantarkan Dokter Stela kembali ke kamar,” pamit Candra sebelum beranjak dari taman belakang.

Vincent hanya menganggukkan kepala tanpa melihat ke arah Candra. Dia menatap lurus ke depan memperhatikan kolam yang berisi ikan Koi berwarna putih bercampur oranye.

Candra memberikan kode kepada Stela agar ikut dengannya ke dalam rumah. Gadis itu kembali mengekor di belakang.

“Dia ingat tentang perusahaan?” Stela bertanya untuk memastikan analisanya.

“Ya, Pak Vincent masih ingat semua hal sebelum kejadian itu, kecuali ….” Candra memilih tidak melanjutkan kalimatnya.

“Kecuali apa?” tanya Stela penasaran.

Dia mempercepat langkah lalu berdiri di depan pria itu.

Candra mengarahkan telunjuk ke lantai dua. “Kita bicara di atas.”

Mereka berdua bergegas menaiki tangga. Tiba di lantai dua, Candra membuka sebuah ruangan yang terletak persis di samping kiri kamar Vincent. Terlihat sebuah ruangan berukuran besar. Satu set meja kerja terletak di sudut kanan ruangan, sejajar dengan lemari yang dipenuhi dengan buku. Warna putih bercampur abu-abu mendominasi dinding.

“Ini ruang kerja Pak Vincent.” Candra mengulurkan tangan ke arah sofa, mempersilakan Stela duduk. Dia memilih duduk di sofa berukuran kecil.

Stela melangkah pelan, lalu duduk di sofa panjang berwarna abu-abu dengan pandangan masih mengitari ruangan.

“Pak Vincent, masih ingat semuanya sebelum kejadian, kecuali tentang calon istrinya.” Candra melanjutkan perkataan sebelumnya.

Stela mengerutkan kening dengan menyipitkan mata. “Calon istri?”

Candra memajukan tubuh, lantas menumpukan kedua tangan di atas paha.

“Pak Vincent tidak ingat dia pernah memiliki seorang kekasih dan hampir saja menikah,” cerita Candra setengah berbisik.

“Ingat semua hal sebelum kejadian, tapi nggak ingat sedikitpun tentang calon istri?” Stela berpikir beberapa saat sambil menepuk pelan dagunya. “Apa kejadian itu berkaitan dengan calon istrinya?”

Candra menganggukkan kepala. “Seseorang memperkosa dan membunuh calon istrinya sebelum memukul kepala Pak Vincent dengan besi berukuran besar, tepat satu hari sebelum pernikahan mereka.”

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 59: Always Be Mine

    Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 58: Be With You

    Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 57: Cinta yang Tak Pernah Padam

    Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 56: Wanita yang Selalu Menghiasi Pikiran

    Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 55: Berjumpa Kembali

    Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 54: Anugerah di Balik Ujian

    Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status