Home / Romansa / A MAN IN A TUXEDO / BAB 2: Bertemu Dengan Keluarga Oliver

Share

BAB 2: Bertemu Dengan Keluarga Oliver

Author: LeeNaGie
last update Huling Na-update: 2021-11-10 08:25:38

Pagi hari pukul 07.30 WIB, Stela telah berdiri di depan pagar rumah keluarga Oliver. Sebuah kediaman mewah berukuran besar. Mata atraktif berwarna cokelat itu tampak melebar saat melihat bangunan berwarna perpaduan peach dan putih tersebut.

“Waah, rumahnya gede banget,” cetus Stela takjub saat berdiri di luar pagar.

Dia memperhatikan pagar batu yang cukup tinggi. Di bagian atasnya terdapat teralis berbentuk runcing. Berbagai jenis tanaman seperti Kadaka, Pohon Palem hias dan Pucuk Merah tumbuh dengan terawat di luar pagar berwarna senada dengan rumah.

Setelah menghela napas panjang, ia memencet bel yang berada di samping pagar berwarna hitam. Tak lama, seorang penjaga membuka pintu kecil di pagar tinggi itu.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria mengenakan pakaian berwarna hitam.

“Saya Auristela Indira, psikiater dari rumah sakit Pondok Mekar.” Stela memperlihatkan kartu tanda pengenal dari rumah sakit. “Saya sudah membuat janji temu dengan Bu Widya.”

“Oh ya. Monggo masuk, Mbak Auristela. Ibu Widya sudah menunggu,” sambut penjaga pria dengan logat Jawa yang kental.

Penjaga itu bergeser ke kiri, memberikan akses untuk Stela masuk.

“Terima kasih, Pak,” ucap Stela kepada penjaga tersebut.

Penjaga mengantarkan Stela hingga pintu rumah, lalu meninggalkannya setelah seorang pelayan wanita datang.

Orang kaya. Ini rumah udah kayak istana! seru Stela membatin setelah melangkah ke dalam rumah.

Bagian dalam didesain seperti gaya rumah Eropa, kosong di bagian tengah hanya beberapa guci dan lemari kecil yang berjejer merapat ke dinding. Di sisi kiri rumah terdapat tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua. Kiri dan kanan tampak ruangan dengan dua pintu yang tertutup rapat. Di tengah ruangan menggantung sebuah lampu hias kristal berbentuk panjang ke bawah.

“Silakan masuk, Mbak,” anjur pelayan setelah membukakan sebelah pintu ruangan kedua sebelah kiri rumah.

Stela mengedarkan pandangan ke ruang tamu. Terlihat satu set sofa berwarna krem, serasi dengan dinding yang didominasi oleh warna krem dan cokelat tua.

“Mbak bisa menunggu di sini dulu. Saya akan memberitahukan Ibu.”

Gadis itu menganggukkan kepala. Dia berjalan menuju sofa dan duduk di sofa yang berukuran lebih kecil.

Beberapa saat kemudian terdengar suara kaki melangkah dengan cepat ke arah ruang tamu. Seorang pria bertubuh tinggi berdiri di dekat pintu. Dalam hitungan detik seorang wanita paruh baya terlihat memasuki ruangan. Penampilannya sangat elegan, rambut pendek dihiasi uban, ditata tinggi di bagian depan. Wanita itu mengenakan gaun lengan panjang, menutupi hingga mata kaki.

Meski telah berusia enam puluh tahun, wanita itu masih terlihat cantik. Mata cokelat gelap yang atraktif, menandakan Bu Widya bukan wanita sembarangan. Dia terlihat berpendidikan, namun terkesan rendah hati.

Stela segera berdiri, lalu mengulas senyum sebelum menyapa wanita itu. “Selamat pagi, Bu Widya.”

“Selamat pagi, Dokter Auristela Indira,” sahut Widya.

“Saya Widya Resmana Oliver,” sambung Widya mengulurkan tangan.

Gadis itu menyambut uluran tangan Widya.

“Silakan duduk.” Widya mengulurkan tangan, kemudian duduk di sofa yang berukuran panjang. Sedangkan pria muda yang datang bersama dengannya tadi, berdiri di samping tuan rumah.

Bu Widya menyandarkan punggung di sofa dan menyilangkan kaki. Dia menadahkan tangan ke samping. Pria muda itu menyerahkan kertas yang dijepit di atas papan tipis.

“Ini surat kontrak yang harus ditandatangani sebelum kamu mulai bekerja di sini, Dokter Auristela.” Widya menyerahkan kontrak kerja kepada Stela.

“Kita harus mencapai beberapa kesepakatan terlebih dahulu, sebelum memulai hubungan kerja,” ujar Bu Widya lugas.

Stela menerima surat kontrak yang terdiri dari tiga lembar tersebut. Matanya menelusuri setiap kalimat yang tertera di dalamnya dengan cermat. Seketika netra cokelat itu melebar saat membaca isi kontrak yang mengharuskannya tinggal di rumah ini.

“Sa-Saya harus tinggal di sini, Bu?” tanya Stela kaget dengan mata tidak berkedip.

Widya menganggukkan kepala pelan satu kali.

“Rumah ini banyak pelayan dan selalu ramai. Kamu tidak perlu khawatir.” Ibu Widya menegakkan punggung. “Vincent membutuhkan psikiater yang bisa menemaninya 7x24 jam.”

Bu Widya menggelengkan kepala sambil memejamkan mata. “Kamu akan diberikan waktu libur, satu hari. Saya akan memberikan insentif tambahan untukmu, juga bonus. Nominalnya ada di lembar terakhir.”

Stela melihat lembaran terakhir dari kontrak. Di sana tertulis nominal yang akan diterimanya per bulan adalah Rp50.000.000,-. Bibir gadis itu membulat dengan mata menatap tidak berkedip setelah tahu nominal yang akan diterimanya perbulan.

Mendadak dia menjadi bersemangat. Tidak dipungkiri, Stela memang sedang butuh uang saat ini. Apalagi sang Ayah sudah tua untuk bekerja. Dengan menerima uang sebesar itu di luar gaji, Stela bisa meminta Ayahnya untuk berhenti bekerja dan  melunasi hutang biaya kuliahnya selama ini.

Gadis itu kembali membaca lembar sebelumnya. Di sana tertulis Stela tidak boleh mengatakan apapun kepada media jika diwawancara, terutama tentang penyakit Vincent. Selain itu dia juga harus melakukan apapun yang diminta oleh keluarga Oliver. Ada beberapa point lain yang harus disepakatinya.

Pria yang berdiri di samping Widya memberikan sebuah pulpen kepada Stela.

Stela menaikkan pandangan setelah membaca dengan teliti kontrak kerja itu.

Wanita paruh baya itu menaikkan sebelah alis dan mengarahkan telunjuk ke pulpen, mengisyaratkan Stela bisa menandatangani kontrak sekarang.

Tanpa pikir panjang, Stela meneken kontrak kerja yang akan mengikatnya selama tiga tahun. Nominal uang yang akan diterima, telah menghilangkan rasa ragu dan khawatir di hatinya. Dia menyerahkan dua rangkap kontrak kerja kepada Bu Widya.

Wanita paruh baya itu membubuhkan tanda tangan pada kedua rangkap kontrak kerja. Setelah itu dia mengulurkan tangan sambil menarik kedua ujung bibir.

“Terima kasih telah bersedia menjadi psikiater pribadi putra saya, Dokter Stela. Selamat bergabung di keluarga Oliver.” Bu Widya tersenyum memandangi Stela dari atas hingga bawah. “Kapan bisa pindah ke sini?”

“Eh?”

“Kamu harus melakukan penyesuaian dulu dengan Vincent sebelum bekerja, Dokter Stela.”

Stela tampak bingung.

“Candra, bisa antarkan Dokter Stela pulang ke kosannya? Setelah itu bawa dia ke sini lagi.” Widya memerintahkan pria bertubuh tinggi yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.

“Baik, Bu.” Pria bernama Candra membungkukkan tubuh.

“Sampai bertemu tiga jam lagi, Dokter Stela,” pungkas Bu Widya sebelum meninggalkan ruang tamu.

Mata cokelat terang Stela tampak membulat. Dia harus pindah hari ini juga?

Huuh! Dokter Adam awas kalau ketemu nanti, gerutu Stela dalam hati.

“Kita pergi sekarang, Dokter?” Candra membuyarkan lamunan Stela.

“Eh? Ya,” sahut Stela masih dengan raut bingung.

Bersambung....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 59: Always Be Mine

    Widya berdiri terpaku saat melihat Vincent membawa Stela ke rumah keluarga Oliver. Pandangannya beralih ke arah perut menantunya yang mulai membesar. Apalagi Stela mengenakan celana yang lebih longgar dari biasanya.Stela tersenyum gugup saat bertemu dengan ibu mertua. Dia masih belum berani menatap lama Widya, karena khawatir akan diusir dari rumah itu.“Ingatanku sudah utuh lagi, Ma,” ungkap Vincent membuat Widya menelan ludah.“Aku ingat dengan pernikahanku dan siapa istriku.” Vincent menarik napas sambil menggandeng tangan Stela, lalu duduk di sofa ruang keluarga.“Kenapa Mama nggak kasih tahu tentang Stela?” tanya Vincent.Widya diam tanpa menjawab pertanyaan Vincent. Hatinya kini seperti ditusuk jarum halus, perih saat membayangkan bagaimana perlakuannya kepada Stela.“Mama khawatir kalau kamu shock lagi, Vin. Jadi kami merahasiakannya dari kamu dulu,” komentar Stela membuat Widy

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 58: Be With You

    Stela sedang tiduran di atas paha Vincent. Suami istri itu duduk di sofa apartemen yang baru ditempati selama empat hari, sebelum Stela memutuskan membawa suaminya ke tempat peristiwa pembunuhan Kirania terjadi.Vincent membelai lembut kening Stela sambil memandang wajah yang tampak begitu cantik di matanya.“Kamu ngidam sesuatu nggak, Sayang?” tanya Vincent memecah keheningan.Stela menggelengkan kepala. Kehamilannya berbeda dari kehamilan pada umumnya. Biasanya pada trimester pertama, para ibu hamil terserang morning sickness, tapi tidak dengan wanita itu. Dia hanya merasakan pusing pada awal kehamilan, karena kurang asupan makanan.“Wah! Istri saya hamilnya anteng sekali ya. Nggak ngidam dan nggak mual-mual juga,” puji Vincent.“Mungkin awal-awal hamil cobaannya udah berat kali ya, jadinya Allah kasihan lihat aku kalau harus kena morning sickness juga,” komentar Stela sambil nyengir.S

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 57: Cinta yang Tak Pernah Padam

    Kepala Vincent perlahan mundur ke belakang setelah tautan bibir mereka terlepas. Senyuman kembali tergambar di wajah Stela yang masih terlihat pucat. Tilikan mata pria itu beralih ke arah kalung berliontin bunga mawar. Di sana juga tergantung sebuah cincin, seperti cincin pernikahan.Vincent melihat jari kanan Stela, kemudian beranjak melihat cincin dengan bentuk serupa, namun berbeda ukuran. Dadanya terasa sesak ketika ingat pernah melempar cincin itu ke lantai sesaat setelah sadar.Mulut Vincent terbuka lebar saat merasakan udara mendadak lenyap di sekitar. Dia mengambil napas sebanyak-banyaknya sehingga dada bidang itu naik turun. Pria itu melangkah ke luar ruangan, lalu mengeluarkan ponsel.“Halo, Can. Bisa ke rumah sakit sekarang? Ada yang mau saya pastikan sama kamu,” kata Vincent setelah mendapatkan jawaban dari Candra.“Saya tunggu di kamar tempat Stela dirawat,” pungkasnya sebelum mematikan sambungan.Vincent menger

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 56: Wanita yang Selalu Menghiasi Pikiran

    Sudah dua jam Vincent duduk menyandar di headboard tempat tidur. Sejak tadi malam dia tidak bisa tidur, karena wajah Stela selalu menari di pelupuk mata. Keningnya berkerut memikirkan, kenapa wanita yang baru ditemuinya kemarin siang selalu menghiasi pikiran?“Aku Stela, istri kamu.”Kalimat itu kembali terngiang di telinga bagaikan kaset kusut yang diputar berulang-ulang.“Apa dia wanita yang sama? Ah, saya nggak ingat persis gimana wajah wanita yang pertama kali saya lihat waktu pertama kali sadar,” gumam Vincent.Pria itu memejamkan mata beberapa saat sambil mengucapkan nama Stela berkali-kali. Dia seperti pernah mendengar nama tersebut jauh dari sebelum sadar. Tapi di mana?Vincent memutuskan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya dia mengenakan kemeja non formal dipadu dengan celana katun yang biasa dikenakan untuk bepergian selain ke kantor.Pria itu terdiam mematut dirinya di cermin. Kening

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 55: Berjumpa Kembali

    Air mata menetes di sudut mata Stela saat melihat sepasang mata elang yang mengingatkan kepada Vincent. Tubuhnya masih tergantung dengan posisi condong ke belakang, tertahan di tangan pria itu.“Maaf, tadi saya buru-buru jadi tidak melihat Mbak berjalan dari arah berlawanan,” ucap suara bariton yang sangat mirip dengan Vincent.Pria itu kembali menarik tubuh Stela ke posisi berdiri. Sementara mata cokelat lebar miliknya masih memandang paras yang benar-benar mirip dengan suaminya itu.Gue pasti sedang berhalusinasi sekarang. Kenapa mata, suara dan wajah orang ini mirip dengan Vincent? batin Stela saat tubuhnya diam terpaku tanpa reaksi apa-apa.“Mbak? Halo? Mbak baik-baik saja, ‘kan?” Pria mirip dengan Vincent itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Stela.“Eh? Ya,” jawabnya singkat.Pria itu mengamati pakaian Stela, kemudian beralih ke wajahnya yang tampak pucat.&ldq

  • A MAN IN A TUXEDO   BAB 54: Anugerah di Balik Ujian

    Mata lebar milik Stela perlahan mengerjap. Setelah terbuka sepenuhnya, pandangan netra cokelat itu menyapu ruangan yang didominasi warna putih. Ketika menyadari keberadaannya sekarang, dia berusaha mengubah posisi menjadi duduk. Saat mengangkat tubuh, kepala kembali terasa pusing sehingga tubuh Stela terbaring lagi di atas kasur.“Dokter, Stela sudah sadar.” Samar terdengar suara seorang wanita yang akrab di telinga Stela memanggil dokter.“San, gue di mana sekarang?” lirih Stela sambil menggapai ke arah Santi. Dia melihat selang infus yang terpasang di tangan kirinya.Gadis itu segera mendekati Stela yang masih lemah. “Alhamdulillah. Syukurlah kamu udah sadar, Stela.”Stela mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ternyata Santi membawa dirinya ke rumah sakit Puri Mekar dan sekarang berada di ruang IGD.“Kenapa gue ada di sini?” tanya Stela dengan kening berkerut.“Kamu tadi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status