Pagi hari pukul 07.30 WIB, Stela telah berdiri di depan pagar rumah keluarga Oliver. Sebuah kediaman mewah berukuran besar. Mata atraktif berwarna cokelat itu tampak melebar saat melihat bangunan berwarna perpaduan peach dan putih tersebut.
“Waah, rumahnya gede banget,” cetus Stela takjub saat berdiri di luar pagar.
Dia memperhatikan pagar batu yang cukup tinggi. Di bagian atasnya terdapat teralis berbentuk runcing. Berbagai jenis tanaman seperti Kadaka, Pohon Palem hias dan Pucuk Merah tumbuh dengan terawat di luar pagar berwarna senada dengan rumah.
Setelah menghela napas panjang, ia memencet bel yang berada di samping pagar berwarna hitam. Tak lama, seorang penjaga membuka pintu kecil di pagar tinggi itu.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria mengenakan pakaian berwarna hitam.
“Saya Auristela Indira, psikiater dari rumah sakit Pondok Mekar.” Stela memperlihatkan kartu tanda pengenal dari rumah sakit. “Saya sudah membuat janji temu dengan Bu Widya.”
“Oh ya. Monggo masuk, Mbak Auristela. Ibu Widya sudah menunggu,” sambut penjaga pria dengan logat Jawa yang kental.
Penjaga itu bergeser ke kiri, memberikan akses untuk Stela masuk.
“Terima kasih, Pak,” ucap Stela kepada penjaga tersebut.
Penjaga mengantarkan Stela hingga pintu rumah, lalu meninggalkannya setelah seorang pelayan wanita datang.
Orang kaya. Ini rumah udah kayak istana! seru Stela membatin setelah melangkah ke dalam rumah.
Bagian dalam didesain seperti gaya rumah Eropa, kosong di bagian tengah hanya beberapa guci dan lemari kecil yang berjejer merapat ke dinding. Di sisi kiri rumah terdapat tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua. Kiri dan kanan tampak ruangan dengan dua pintu yang tertutup rapat. Di tengah ruangan menggantung sebuah lampu hias kristal berbentuk panjang ke bawah.
“Silakan masuk, Mbak,” anjur pelayan setelah membukakan sebelah pintu ruangan kedua sebelah kiri rumah.
Stela mengedarkan pandangan ke ruang tamu. Terlihat satu set sofa berwarna krem, serasi dengan dinding yang didominasi oleh warna krem dan cokelat tua.
“Mbak bisa menunggu di sini dulu. Saya akan memberitahukan Ibu.”
Gadis itu menganggukkan kepala. Dia berjalan menuju sofa dan duduk di sofa yang berukuran lebih kecil.
Beberapa saat kemudian terdengar suara kaki melangkah dengan cepat ke arah ruang tamu. Seorang pria bertubuh tinggi berdiri di dekat pintu. Dalam hitungan detik seorang wanita paruh baya terlihat memasuki ruangan. Penampilannya sangat elegan, rambut pendek dihiasi uban, ditata tinggi di bagian depan. Wanita itu mengenakan gaun lengan panjang, menutupi hingga mata kaki.
Meski telah berusia enam puluh tahun, wanita itu masih terlihat cantik. Mata cokelat gelap yang atraktif, menandakan Bu Widya bukan wanita sembarangan. Dia terlihat berpendidikan, namun terkesan rendah hati.
Stela segera berdiri, lalu mengulas senyum sebelum menyapa wanita itu. “Selamat pagi, Bu Widya.”
“Selamat pagi, Dokter Auristela Indira,” sahut Widya.
“Saya Widya Resmana Oliver,” sambung Widya mengulurkan tangan.
Gadis itu menyambut uluran tangan Widya.
“Silakan duduk.” Widya mengulurkan tangan, kemudian duduk di sofa yang berukuran panjang. Sedangkan pria muda yang datang bersama dengannya tadi, berdiri di samping tuan rumah.
Bu Widya menyandarkan punggung di sofa dan menyilangkan kaki. Dia menadahkan tangan ke samping. Pria muda itu menyerahkan kertas yang dijepit di atas papan tipis.
“Ini surat kontrak yang harus ditandatangani sebelum kamu mulai bekerja di sini, Dokter Auristela.” Widya menyerahkan kontrak kerja kepada Stela.
“Kita harus mencapai beberapa kesepakatan terlebih dahulu, sebelum memulai hubungan kerja,” ujar Bu Widya lugas.
Stela menerima surat kontrak yang terdiri dari tiga lembar tersebut. Matanya menelusuri setiap kalimat yang tertera di dalamnya dengan cermat. Seketika netra cokelat itu melebar saat membaca isi kontrak yang mengharuskannya tinggal di rumah ini.
“Sa-Saya harus tinggal di sini, Bu?” tanya Stela kaget dengan mata tidak berkedip.
Widya menganggukkan kepala pelan satu kali.
“Rumah ini banyak pelayan dan selalu ramai. Kamu tidak perlu khawatir.” Ibu Widya menegakkan punggung. “Vincent membutuhkan psikiater yang bisa menemaninya 7x24 jam.”
Bu Widya menggelengkan kepala sambil memejamkan mata. “Kamu akan diberikan waktu libur, satu hari. Saya akan memberikan insentif tambahan untukmu, juga bonus. Nominalnya ada di lembar terakhir.”
Stela melihat lembaran terakhir dari kontrak. Di sana tertulis nominal yang akan diterimanya per bulan adalah Rp50.000.000,-. Bibir gadis itu membulat dengan mata menatap tidak berkedip setelah tahu nominal yang akan diterimanya perbulan.
Mendadak dia menjadi bersemangat. Tidak dipungkiri, Stela memang sedang butuh uang saat ini. Apalagi sang Ayah sudah tua untuk bekerja. Dengan menerima uang sebesar itu di luar gaji, Stela bisa meminta Ayahnya untuk berhenti bekerja dan melunasi hutang biaya kuliahnya selama ini.
Gadis itu kembali membaca lembar sebelumnya. Di sana tertulis Stela tidak boleh mengatakan apapun kepada media jika diwawancara, terutama tentang penyakit Vincent. Selain itu dia juga harus melakukan apapun yang diminta oleh keluarga Oliver. Ada beberapa point lain yang harus disepakatinya.
Pria yang berdiri di samping Widya memberikan sebuah pulpen kepada Stela.
Stela menaikkan pandangan setelah membaca dengan teliti kontrak kerja itu.
Wanita paruh baya itu menaikkan sebelah alis dan mengarahkan telunjuk ke pulpen, mengisyaratkan Stela bisa menandatangani kontrak sekarang.
Tanpa pikir panjang, Stela meneken kontrak kerja yang akan mengikatnya selama tiga tahun. Nominal uang yang akan diterima, telah menghilangkan rasa ragu dan khawatir di hatinya. Dia menyerahkan dua rangkap kontrak kerja kepada Bu Widya.
Wanita paruh baya itu membubuhkan tanda tangan pada kedua rangkap kontrak kerja. Setelah itu dia mengulurkan tangan sambil menarik kedua ujung bibir.
“Terima kasih telah bersedia menjadi psikiater pribadi putra saya, Dokter Stela. Selamat bergabung di keluarga Oliver.” Bu Widya tersenyum memandangi Stela dari atas hingga bawah. “Kapan bisa pindah ke sini?”
“Eh?”
“Kamu harus melakukan penyesuaian dulu dengan Vincent sebelum bekerja, Dokter Stela.”
Stela tampak bingung.
“Candra, bisa antarkan Dokter Stela pulang ke kosannya? Setelah itu bawa dia ke sini lagi.” Widya memerintahkan pria bertubuh tinggi yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.
“Baik, Bu.” Pria bernama Candra membungkukkan tubuh.
“Sampai bertemu tiga jam lagi, Dokter Stela,” pungkas Bu Widya sebelum meninggalkan ruang tamu.
Mata cokelat terang Stela tampak membulat. Dia harus pindah hari ini juga?
Huuh! Dokter Adam awas kalau ketemu nanti, gerutu Stela dalam hati.
“Kita pergi sekarang, Dokter?” Candra membuyarkan lamunan Stela.
“Eh? Ya,” sahut Stela masih dengan raut bingung.
Bersambung....
Beberapa jam kemudian Stela kembali ke rumah keluarga Oliver bersama dengan Candra, asisten Vincent. Pria bertubuh tinggi itu mengantarkannya ke kamar yang akan ditempati. Kamar yang terletak di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Vincent.“Ini kamar yang akan Anda tempati, Dokter Stela,” ucap Candra setelah menghentikan langkah di depan kamar.“Makasih ya,” ucap Stela, “nama kamu Candra, ‘kan?”Candra tersenyum singkat sambil menganggukkan kepala. “Maaf tadi belum memperkenalkan diri dengan baik. Nama saya Candra Haidar, asisten pribadi Pak Vincent Oliver.”Stela tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. “Auristela Indira. Pakai bahasa non formal aja. Rasanya aneh ngomong formal sama orang yang hampir seusia.”Gadis itu memperkirakan usia Candra selisih dua tahun di atasnya. Sekitar 28 tahun.Candra menyambut uluran tangan Stela. “Baiklah, Stela. Kalau mau istirahat,
Stela menutup mulut yang sedikit menganga dengan kedua tangan. Matanya terlihat melebar saat mendengar apa yang dikatakan Candra. Pada berkas data pasien yang diterima dari Dokter Adam, tidak tertera penyebab Anterograde Amnesia yang diderita oleh Vincent.Anterograde Amnesia biasanya disebabkan oleh cedera pada kepala, karena kecelakaan atau pukulan benda keras. Penyebab amnesia yang dialami Vincent adalah karena pukulan benda keras yaitu besi berukuran besar, sehingga merusak lobus temporal yang bisa mengganggu kemampuan otak untuk mengkonversi ingatan jangka pendek. Pria itu hanya bisa mengingat kejadian baru dalam satu hari, setelah itu ia akan lupa.“Dia juga nggak ingat dengan kejadian itu?” tanya Stela masih dengan kening berkerut.Candra menganggukkan kepala, lalu menggamitkan tangan meminta Stela mendekatkan kepala.Gadis itu lantas mendekatkan kepalanya.“Kamu benar. Dia sama sekali tidak ingat. Inilah yang membuat polis
Stela mematut lama kotak berwarna cokelat tua yang diberikan oleh Candra satu jam lalu. Gadis itu menggigit bibir bawah sembari menyipitkan mata. Dia mengambil kunci kecil yang ada di atas kotak berniat membukanya.Bagian refrain lagu Rolling in The Deep milik Adele terdengar dari ponsel Stela sebelum sempat membuka kotak tersebut. Dia segera mengambil ponsel pipih yang ada di atas kasur. Sebuah panggilan masuk dari kontak bernama ‘Uda Buruak’ (Kakak Jelek).“Halo, Da?” sapa Stela setelah menggeser tombol hijau yang ada di layar ponsel.“Dima, Diak (Di mana, Dek)? Uda tadi dari kosan kamu, tapi nggak ada.”Stela menepuk keras kening dengan telapak tangan. Dia lupa memberitahukan tentang kepindahan mendadaknya ke kediaman keluarga Oliver.“Lupo, Da (Lupa, Kak).”“Apa yang lupa?”“Lupa kasih tahu kalau Stela sekarang udah nggak kos lagi.”&l
Mata bulat Garry semakin membulat mendengar perkataan adiknya. Menjadi psikolog pribadi di sebuah rumah mewah yang pasti penghuninya kaya raya.“Hah? Ada yang sakit jiwa di sini?”Stela segera menutup mulut Garry saat mendengar kata sakit jiwa yang keluar dari bibirnya. Dia mendelik dengan gigi beradu, melihat kakaknya.“Itu mulut bisa dijaga nggak sih?” Stela menatap tajam kakaknya.“Lha trus kalau bukan sakit jiwa ngapain kamu kerja di sini?” Garry berbisik setelah menyingkirkan tangan adiknya.“Nggak ada yang sakit jiwa di sini, Uda. Ada sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan, karena bisa melanggar kontrak.”“Kontrak?”Stela mengangguk cepat. “Sebelum bekerja, ada kontrak yang harus aku tanda tangani. Di kontrak tertulis, aku harus tinggal di sini karena harus menjaga pasien selama hampir 7x24. Eh, ada libur sih sekali seminggu.”“Sebentar. Pasienny
Ketika matahari mulai menampakkan diri, Stela memutuskan untuk lari pagi di sekitar perumahan mewah tempat rumah keluarga Oliver berada. Memanfaatkan masa libur dengan berolahraga, sebelum mulai bekerja menjadi psikiater sekaligus sekretaris pribadi Vincent Oliver adalah pilihan yang tepat.Siang hari ini, ia juga akan mendapatkan pendidikan khusus, belajar bagaimana menjadi seorang sekretaris. Bukan karena Stela akan menjadi sekretaris betulan, tapi agar lebih meyakinkan orang-orang di perusahaan. Dia tidak akan menerima tugas khusus selama di kantor, hanya duduk menemani Vincent di ruang kerja. Memastikan tidak ada yang curiga dengan kondisi kesehatan CEO sebuah perusahaan di bidang broadcast tersebut.100 meter dari kediaman keluarga Oliver, Stela melihat seorang pria bertubuh atletis sedang berlari mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana panjang. Earphone terpasang di telinga, menandakan orang itu sedang mendengarkan lagu sambil
Terdengar pintu kamar diketuk saat Stela baru keluar dari kamar mandi. Dia membersihkan diri setelah lari pagi di sekitar perumahan. Gadis itu bergegas membuka pintu.“Sorry ganggu,” ucap Candra begitu Stela menampakkan diri di sela pintu.Sesaat kemudian pria itu tertawa melihat wajah Stela.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Stela lengkap dengan handuk yang melingkar menutupi rambut. Satu stel baju kaus berwarna hijau muda dan celana panjang hitam membungkus tubuhnya.Candra mengarahkan jari telunjuk ke pinggir bibirnya sendiri, kemudian menunjuk wajah Stela.“Ada sisa odol.” Candra menutup mulut saat ingin tertawa lagi.Stela berlari kecil menuju cermin meja rias yang ada di kamar. Terlihat sedikit tumpukan odol di pinggir bibir. Dia mengambil tisu basah dan mengelap sudut bibir. Setelah bersih, gadis itu kembali lagi menghampiri Candra.“Maaf. Kebiasaan gosok gigi habis mandi, jadi gi
Hampir tiga puluh menit Stela berdiri di depan cermin, memutar tubuh ke kiri dan kanan bergantian. Berkali-kali tarikan dan embusan napas keluar dari hidung dan sela bibir. Gugup? Sudah jelas, jangan ditanyakan lagi. Itulah yang dirasakannya saat ini.Bayangkan, seorang psikiater diminta menyamar menjadi seorang sekretaris. Profesi yang selama ini bahkan tidak pernah terlintas di benaknya, karena fisik yang tidak mendukung. Pandangan mata beralih ke arah sepatu dengan tinggi 5 centimeter. Well, tidak terlalu tinggi tapi bisa membuat seorang Auristela merasa terintimidasi setiap kali melihatnya.“Oke, tinggal pake lipstik,” gumamnya sambil mengambil lipstik berwarna peach yang sering dikenakannya.“Not, bad.” Stela tersenyum singkat setelah mematut lagi dirinya di cermin.Blus berwarna cokelat muda dan rok pendek di bawah lutut, telah melekat di tubuhnya. Setelan mahal yang dibeli dengan Candra dua hari yang lalu.
“Pak Vincent udah di bawah?” tanya Stela saat melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan di kamar Vincent.Candra diam, masih menatap takjub Stela.“Candra?” Stela mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah pria itu.“Woi!!” Kali ini Stela memukul pelan lengannya, membuat Candra terkesiap.“Eh?”“Pak Vincent mana?”“Oh, eh. Pak Bos udah nunggu di bawah.” Candra mengedipkan mata, berusaha mengembalikan fokus pikiran.“Mampus gue. Masa Bos udah di bawah, sementara sekretarisnya masih di sini?!” Stela bergegas berjalan meninggalkan Candra, namun langkahnya berhenti melihat pria itu masih berdiri di tempat.Gadis itu kembali lagi menarik lengan Candra, sehingga nyaris terseret menuju tangga.“Ini cewek tenaga kuat banget, ya?” Candra bersuara mendelik pada Stela.Langkah Stela berhenti di pertengahan tangga, lalu mendekatkan kep