"Hello," ucap Higiri kepada teman sebelahnya. Meja mereka tidak terlalu berdekatan karena satu anak satu meja sendiri.
Namun di sebelah kanan Higiri hanya bangku dan kursi kosong, dan di sebelah kirinya adalah Kaito. Ia berambut hitam dengan bola mata berwarna coklat. Tingginya sama seperti Higiri, sekitar seratus delapan puluh sentimeter. Kaito hanya melirik Higiri dan tidak membalas sapaannya, tatapan mata Kaito sangat ketus. Higiri merasa mulai tidak nyaman dan ya, apa boleh buat, mungkin Kaito memang seperti itu sifatnya. Mereka mengikuti kelas pagi itu. Setelah bel istirahat berbunyi, tentu semua murid boleh keluar. Higiri memutuskan untuk berkeliling sekolahnya sendiri, namun yang mengganggunya, adalah para gadis yang terus melirik dan tersenyum kepadanya. Bahkan ada yang sengaja bertabrakan dengannya sambil berbisik, "Kau tampan sekali!!"Ada juga yang melambaikan tangannya, namun Higiri sama sekali tidak menggubris mereka. Higiri hanya menggelengkan kepalanya sambil membuat wajah kesal. Ia lalu memutuskan untuk naik ke atas atap sekolah sendirian. Sesampainya di atas, Higiri lalu meregangkan seluruh badannya sambil bergumam, "Angin bumi, sangat segar, jauh lebih baik daripada planetku. Namun penduduknya sangat aneh. Apa mereka tidak pernah melihat seorang pria? Sewaktu aku kecil, tidak seperti ini, tatapan para gadis itu sangat mengganggu, tidak nyaman sekali!" "Tentu, mereka para gadis tidak pernah melihat pria. Pria tampan sepertimu hanya membuang waktu saja, gadis-gadis hanya akan memikirkanmu dan nilai mereka bisa jelek. Konsentrasi mereka akan buyar, mereka tidak akan mau belajar untuk ujian tahun depan yabg akan dipersulit soalnya. Mereka akan berpikir segala cara untuk mendapatkan dirimu. Hanya ketampanan saja yang kau punya, kan?" sahut Kaito yang rupanya dari tadi ada di belakang Higiri, duduk sendirian di sebuah bangku sambil menaikan kaki kirinya ke atas kaki kanannya dan meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. "Apa katamu? Kita baru saja berkenalan dan kau sudah ingin membuat musuh?" tanya Higiri dengan tatapan sinis, kali ini ia merasa kesal, memang wajah Kaito yang tampan namun sifat dinginnya itu, membuat orang mudah kesal kepadanya. "Aku tidak tertarik dengan lawan jenis, atau bermain musuh dan kawan. Sebaiknya luangkan waktumu disini untuk mencari apa yang kau inginkan," lalu Kaito beranjak pergi meninggalkan Higiri. Higiri dibuat penasaran dengan kata-katanya, "Siapa Kaito ini? Apakah dia tahu bahwa aku hidup di galaksi yang berbeda? Apa dia tahu tujuanku kemari? Mengapa ia menyuruhku fokus saja mencari apa yang seharusnya kucari di dunia manusia ini? Ah tidak mungkin, ia hanya manusia yang asal ngomong saja!" Higiri mengikuti sekolah sampai jam pulang berbunyi. Tentu saja, Higiri ingin cepat kembali ke tempat tinggal sementaranya di dunia manusia ini, sebuah kamar kost kecil, sambil melihat sekeliling apakah gadis yang ia cari bisa ia temukan, mungkin di sekolah ini. Namun ketika hendak keluar gerbang sekolah, ia dicegat sekumpulan gadis berjumlah lima orang. Gadis-gadis tersebut sepertinya satu geng, karena pimpinannya sendiri adalah seorang gadis yang berjalan paling depan. Gadis tersebut langsung saja mendekati Higiri. Kali ini, Higiri benar-benar merasa tidak nyaman. "Higiri? Sebentar dulu. Kau harus mengenalku. Namaku Ichigo. Ada baiknya kau memanggilku Ichigo saja. Aku ingin berteman denganmu," ucap Ichigo, gadis yang tingginya sekitar seratus tujuh puluh sentimeter, dengan rambut berwarna merah muda, dan bola mata hitam. Ia adalah ketua geng para gadis di sekolah itu. "Aku tidak berminat," balas Higiri, dengan nada ketus dan tatapan mata yang benar-benar menunjukan bahwa ia tidak tertarik sama sekali. "Oh kalau begitu kau tidak akan bisa keluar dari sini” balas Ichigo sambil menarik lengan Higiri, lalu langsung melepaskannya, namun, Ichigo langsung memegang bahu Higiri. Higiri mulai kesal, dan ingin rasanya memakai kekuatan bintangnya untuk menjauhkan Ichigo agar dia bisa keluar secepatnya. Namun urung dilakukan, karena ini dunia manusia, bukan suku Harmoni - jika Higiri menunjukan kekuatan magisnya, secepatnya ia sendiri harus pergi dari dunia manusia dan kembali ke suku Harmoni saat itu juga."Aku tidak ingin melakukan kekerasan kepada perempuan. Aku tidak tertarik, silakan minggir," balas Higiri sambil memegang tangan Ichigo lalu menggesernya, lalu Higiri mengambil langkah cepat keluar dari sekolah itu, dan berlari menuju stasiun kereta MRT.Ichigo melihatnya mengambil langkah seribu, namun Ichigo hanya tersenyum licik sambil berkata dalam hatinya, “Hmm, menarik!”Akhirnya, Higiri sampai juga di stasiun kereta MRT terdekat, "Gadis itu, aku harus menemukannya! Waktuku hanya dua bulan di sini dan para gadis mulai membuatku mual!" seru Higiri, sambil terengah-engah mengambil nafas, ia lalu menunggu kereta MRT datang. Sebuah pengumuman terdengar, lalu akhirnya kereta MRT yang ditunggu datang juga, dan ia masuk kedalam sambil memperhatikan sekelilingnya, mencari gadis yang hilang itu. Berhenti di setiap stasiun dan akhirnya Higiri turun di stasiun terdekat dari kost-an-nya yang ia sewa dua bulan penuh hanya untuk mencari gadis tersebut. Kamar kost sewaan yang dia sewa dari seorang wanita tua dengan harga murah. Seluruh uang yang ia dapatkan, semata hanyalah dari orangtuanya, sang raja dan ratu. Mendapatkan uang mudah tentunya, karena kekuatan magis, namun tidak untuk disalahgunakan, tentu. Kamar kost ini sangat kecil, hanya satu lantai, dan hanya untuk satu orang saja yang tinggal. Higiri tinggal sendiri disini, setiap pergi dan pulang sekolah, ia akan melihat dan mempehatikan sekitarnya, berharap gadis tersebut bisa ia temukan, walau hanya mengingat fisik dan nama gadis tersebut. Setelah seharian kegiatannya, ia pasti akan kembali ke kamar kost ini, beristirahat sampai malam tiba, tidur, dan paginya, mengulangi lagi kegiatannya. Pagi ini, sejak Higiri tiba di sekolah, beberapa anak laki-laki sedang sibuk sembunyi-sembunyi di bawah pohon besar, sambil memainkan sesuatu dengan jari mereka. Higiri tentu penasaran, lalu menghampiri mereka, "Benda apa itu?" "Serius kau tidak tahu? Ini sudah jaman maju, apa kau baru tahu???" seru seorang anak lelaki. Higiri masih bingung dengan jawaban itu. "Wajah tampan namun ternyata kurang pergaulan. Payah," sahut Kaito. Higiri dengan muka kesal membalas, "Tentu saja, aku hanya pergi pulang sekolah saja, tinggal sendiri, sampai rumah, aku hanya belajar, tentu tidak sempat tahu tren ini, bukankah kau yang bilang bahwa tahun depan soal ujian akan dipersulit?” ucap Higiri. Kaito tertawa kecil, "Kita namakan ini telepon genggam pintar, belilah satu, kudengar orang tuamu kaya raya, benda ini bisa memberikan kau hiburan, kau bisa bertukar nomor telepon dengan beberapa gadis di sini, agar kau tidak kesepian, namun guru disini ketat, atau ini benda akan disita, haha!"revisi pertama, mohon di acc. alur cerita diperjelas dan sedikit koreksi.
PART 5: Sebuah Petunjuk Teng... Teng... Bel masuk sekolah. Hari berjalan seperti biasa. Namun ketika bel pulang berbunyi, Higiri langsung mengambil langkah seribu, dan mencari toko yang menjual benda bernama telepon genggam pintar itu. Pikirannya, si gadis yang ia cintai, mungkin juga punya nomor telpon. Ia masuk ke sebuah toko telepon genggam. "Aku ingin yang paling bagus dan mahal!" serunya. Penjaga toko kaget sesaat, namun setelahnya, ia memberikan beberapa pilihan. Higiri lalu bertanya tentang nomor telepon. Ia juga membeli nomornya sendiri. Penjaga toko membantu mengatur ponselnya dan Higiri bisa langsung menggunakannya. Ketika hendak keluar toko, tiba-tiba saja Ichigo muncul, "Oh, si tampan di sini. Baru saja membeli ponsel ya?"Langsung saja ponsel baru Higiri direbut Ichigo. "Hei, hei! Kembalikan!" seru Higiri, namun Ichigo menolaknya."Tunggu, kita saling tukar nomor saja, ini simpan nomorku, dan aku akan menyimpan nomormu, tunggu," balas Ichigo sambil mengetik nomor pons
Tiba-tiba saja Higiri berhenti. Jantungnya berdetak kencang sekali. Bola matanya membesar. Apa yang ia lihat sebenarnya sampai ia terkejut? Seorang gadis berambut panjang sepunggung dan berwarna biru tua, dengan bola mata berwarna biru langit, tinggi sekitar seratus enam puluh sentimeter, mengenakan jaket berwarna oranye dan kaos abu-abu, membawa tas ransel coklat di punggungnya, sambil menuntun sebuah sepeda di sampingnya, melewati halte bus itu.Kedua matanya menatap ke arah jalan, dengan tatapan sedih dan kosong. Bola mata biru langitnya seolah menunjukan kesedihan, tidak ada yang lain selain rasa sedih. Ia terus berjalan sambil menuntun sepedanya tanpa ada ekspresi apapun di wajahnya.Melihat gadis tersebut hendak menyeberang jalan, Higiri langsung berlari menyeberang jalan, namun mobil masih lalu lalang, bukan waktu untuk menyeberang. Ichigo menarik tangan Higiri, "Apa yang mau kau lakukan, hei!!"Namun Higiri memfokuskan pandangannya ke arah gadis tersebut, sambil menunggu wa
Gadis tersebut berjalan lurus, lalu turun ke sebuah stasiun kereta MRT sambil masih menuntun sepedanya. Higiri mengikutinya. Gadis tersebut terlihat memilih rute tertentu, dan membayar tiket kereta MRT-nya dan berjalan menuju tempat pemberhentian kereta, sambil berdiri. Terdengar beberapa pengumuman stasiun, namun tatapan gadis tersebut tetap kosong. Setelah beberapa menit, sebuah kereta MRT berhenti, gadis tersebut terburu-buru masuk. Higiri tetap mengikutinya juga terburu-buru. Beberapa stasiun lewat, gadis tersebut benar-benar hanya menatap ke bawah, dengan pandangan kosong. Higiri, antara penasaran dan kasihan, apa yang terjadi pada dirinya? Apakah benar gadis ini, Kenta? Kereta MRT tersebut lalu berhenti di sebuah stasiun. Gadis tersebut lalu beranjak turun, lalu melewati tangga naik, lalu keluar dari stasiun kereta MRT. Ia berjalan kaki sendirian sambil menuntun sepedanya. Langkahnya mulai lesu. Melewati beberapa toko, lalu menuju jalan setapak, tibalah ia di sebuah rumah yang
Higiri mendengar percakapan tersebut, ternyata benar, itu gadis yang ia cari selama ini! Jackpot! Namanya Kenta, iya, memang benar, namun kondisinya tidak bagus. Sang gadis ketua yang arogan, menatap Kenta dengan sinis, "Kalau begitu, kau akan kumaafkan, ayo masuk ke dalam kelas, dan jangan lupa, bawakan makan siangku nanti. Jangan lupa!" Para gadis tersebut tertawa dan masuk ke dalam sekolah. Kenta ingin menangis, ia menyeka air matanya yang mulai keluar sedikit, namun semua ia tahan. Ia lalu masuk ke dalam sekolah. Higiri yang berada di ujung jalan, kini perlahan menyadari, bahwa ada yang tidak beres dengan kehidupan Kenta. Ia memutuskan untuk menunggu Kenta selesai sekolah. "Ia masih sama, manis, walaupun badannya kecil dan tidak begitu tinggi. Namun aku yakin, ia punya penderitaan besar. Aku, aku sangat ingin menolongnya. Seorang pembantu? Pesuruh? Apa yang terjadi sebenarnya kepada Kenta selama ini?" Higiri menunggu dan menunggu, bahkan sambil terduduk di jalan itu. Penantiann
Kenta menghela nafas panjang lagi, kali ini ia berhenti berjalan, dan menundukan kepalanya, "Gadis ketua bernama Sato Moe. Ia sangat disukai para siswa di sekolah," jawab Kenta sambil memulai berjalan lagi, dan melanjutkan, "Ketika aku masuk ke sana sejak sekolah dasar, Moe belum ada. Ia masuk sekitar sekolah menengah. Karena keluarganya sangat kaya raya, ia bahkan bisa melakukan perawatan fisik, dan aku waktu itu menganggap ia sangat cantik dengan rambut coklat dan bola mata coklatnya." "Lalu?" tanya Higiri lagi, penasaran. "Aku mengaguminya. Moe membuat sebuah grup, sebuah geng, untuk seluruh gadis di sekolah itu, dan gadis-gadis tersebut menjadikannya ketua. Seluruh gadis yang ikut grupnya, sangat memuja Moe, mungkin karena ia sangat cantik dan kaya raya, ia sering membagikan uang. Waktu itu aku juga mengajukan diri masuk ke grupnya. Namun Moe melihatku sebagai ancaman. Ia mengijinkan aku masuk grupnya, namun, suatu hari, Moe berbisik kepadaku bahwa aku terlalu cantik secara fisik
Moe membuang gunting yang ia pegang, lalu maju ke arah Higiri sambil tersenyum, "Kau sangat tampan. Rupanya murid dari sekolah sebelah. Oke, aku bisa berhenti menyiksa Kenta, namun kau harus menjadi pacarku. Kau tidak cocok bersama Kenta, lihat saja, wajah pembantu, hahaha!" seru Moe sambil tertawa lebar, diikuti tawa gadis-gadis anggota gengnya. Higiri langsung menampar Moe, walaupun penuh amarah, tamparan itu tidak sekeras yang dibayangkan, laku Higiri berucap, "Aku adalah pacarnya Kenta, tidak peduli seburuk apa, aku menyukainya, dan sekali lagi, jika kalian berbuat yang macam-macam kepada Kenta, sehelai rambut saja terancam, aku tidak akan segan kepada kalian!” ucap Higiri dengan wajah penuh amarah, lalu membantu Kenta berdiri, dan menggandeng tangannya, berjalan menjauhi para gadis-gadis brengsek itu, sambil berlari kecil menuju halte bus yang biasa mereka lewati. Namun, di tengah jalan, Kenta menarik tangannya, berhenti berjalan, dan tertunduk. Higiri menatapnya, namun kali ini
Kenta berpikir sebentar, lalu ia menghela nafas panjang juga, "Baiklah, lagipula mungkin saja kau salah orang, aku sudah menganggapmu aneh. Kau yang memulai semua ini namun aku yang harus tunduk pada syaratmu. Benar-benar pria aneh!” serunya. Higiri tersenyum lebar dan mengangkat kepalanya, "Kita teman, atau pacar?" tanya Higiri sambil tersenyum lebar. Kenta membalas Higiri dengan senyuman kecut, "Begini ya, aku tidak pernah menganggapmu pacar. Bahkan teman juga tidak! Aku tidak akan menjawab syarat yang kau berikan, kau sangat keras kepala dan aku sudah lelah, terserah!” serunya, lalu melanjutkan langkahnya menuju stasiun kereta MRT. "Oke!!!" sahut Higiri sambil mengikuti Kenta. Wajahnya senang, namun di sisi lain, Kenta terlihat lelah dan kesal. Di sepanjang perjalanan, Higiri selalu ingin menggenggam tangan Kenta, namun tidak pernah mendapat kesempatan. Ya sudah, saling diam saja. Namun sesekali, Higiri mengajak Kenta bercanda sambil bertanya beberapa hal, apa makanan yang disu
Memori tersebut membuat Kenta tiba-tiba terbangun. Dadanya sakit sekali, termasuk kepalanya. Ia berteriak kencang sekali. Ia mulai menangis dan bergumam, "Memoriku mulai kembali, kenapa? Kenapa??" Ia makin berteriak dengan kencang dan menangis, tertunduk lesu, bahkan ia mulai melempar bantal tidurnya. Malam yang panjang baik untuk Higiri maupun Kenta. Pagi hari mulai menjelang. Kenta hendak pergi ke sekolah, seperti biasa. Kali ini, ia sama sekali tidak melihat Higiri. Kenta mulai merasa aneh, namun ia berpikir mungkin Higiri memang salah orang, sambil menggelengkan kepala, Kenta mulai berjalan menuju sekolahnya, seperti biasa, menaiki kereta MRT dan berjalan kaki. Namun sedari tadi, Higiri benar-benar tidak muncul juga batang hidungnya. Sesampainya di sekolah, Kenta melihat Moe sedang menunggunya, bahkan melihatnya dengan sinis. Kaki Kenta mulai agak bergetar berjalan menuju gerbang sekolah. Moe sudah menunjuk Kenta, sambil juga menunjuk sebuah pohon besar di antara semak-semak di