Malam semakin larut, hawa dingin menyelusup di balik selimut. Mata ini tidak hendak terpejam, suara bising dari Mas Fadil yang sedang VC dengan selingkuhannya membuat dada ini panas dan bergemuruh. Ingin rasanya melemparkan gawai yang tengah ia pegang hingga hancur berkeping-keping. Seperti hati ini yang telah hancur tak berbentuk.
"Mah, Ayah berisik. Kakak nggak bisa tidur," ucap si sulung yang tiba-tiba sudah berdiri tepat di depan pintu kamar.
"Iya, nanti mamah bilangin ke Ayah biar nggak berisik."
Ya-Rabb, sudah hilangkah rasa malunya? Bermesraan dan mengumbar rayuan lewat gawai hingga terdengar anaknya sendiri. Aku menggeleng kepala perlahan dan mengetuk pintu kamar Mas Fadil.
Mas Fadil memang telah menjatuhkan talak satu kepadaku. Kami masih tinggal satu atap karena memang ada anjuran seperti itu di dalam syariat islam yang bertujuan agar suami istri tersebut dapat rujuk kembali sebelum habis masa idah.
Lelaki itu keluar dari kamar dengan gawai yang masih menyala. Netraku terpaku kepada sosok wanita di seberang gawai. Seorang wanita bermake up tebal serta memakai linggeri seksi. Apakah wanita itu sengaja beroenampilan seperti itu di tengah malam seperti ini?
"Wanita seperti itu yang kamu mau."
Aku berdecak heran dan tersenyum sinis. Persis seperti gambaran wanita murahan di dalam film. Serendah itukah pilihannya sekarang? Seorang wanita yang sengaja memamerkan aurat dan menjerat laki-laki yang bukan mahramnya.
Aku merasa keputusanku sudah tepat untuk menolaknya sebagai maduku. Tidak mungkin poligami akan adil dengan madu minim akhlak. Apa jadinya anak-anakku jika dibawah pengasuhannya? Naudzubillah.
"Apa maksudmu? Jangan sok suci," ucap Mas Fadil geram.
"Iya, aku memang bukan wanita shalehah tapi aku bukan perempuan murahan seperti itu. Ngobrol aurat sama suami orang, cuih," cibirku tidak kalah geramnya.
"Sudah, sudah, ngapain ke sini?"
"Tolong kecilkan suaramu, anak-anak merasa terganggu! Apa kamu nggak malu di denger anak-anak?" tanyaku penuh penekanan.
"Kamu kali yang keganggu, nggak usah caper," ucap lelaki itu sinis.
"Astagfirullah, ngapain aku caper? Lihat jam berapa ini? Suara kamu dan perempuan murahan itu sangat mengganggu."
"Terserahlah, besok juga aku pergi," ucapnya sembari menutup pintu kamar.
Aku tercenung untuk beberapa saat, kaget dengan sikap kasar dan perubahan sikapnya yang ekstrim.
Aku pun kembali ke kamar dengan langkah gontai. Rasa benci mulai menghuni sanubari. Membuat dada ini semakin sesak dan panas. Aku tersedu seorang diri di pojok pintu kamar, menahan sebisa mungkin agar suara tangisku tidak terdengar. Meratapi nasib buruk yang menimpaku.
Semua tidak akan menyangka hal ini akan menimpaku. Sosok Mas Fadil yang alim dan penyayang membuat semua orang iri kepadaku. Wajah rupawan dan ramah, menambah daya tarik mantan suamiku dahulu.
Kami menikah atas dasar suka sama suka setelah sebelumnya sempat berpacaran dia tahun. Mungkin ini adalah penebusan dosa selama pacaran dulu. Bukankan syariat islam melarang adanya pacaran?
Andai kutahu semua hukum-hukum dalam syariat islam. Tidak mungkin aku menjalani hubungan acaranya itu sebelum menikah, ampuni aku, Ya Rabb.
Tangisku semakin tidak terhenti saat mengenang semua khilaf di masa lalu. Aku bangkit dan berjalan tertatih untuk mengambil air wudhu.
Dua rakaat shalat taubat, dilanjutkan shalat tahajud dan witir menjadi penenang hati yang bergejolak.
***
Matahari telah menyingsing di ufuk timur, hari mulai terang. Mas Fadil sudah rapi dan bersiap untuk pergi.
Entah perasaan apa yang ada dihati ini saat melihatnya melenggang pergi tanpa sepatah kata pun.
Rasa sayang, cinta, rindu dan benci seakan bercampur menjadi satu. Ingin rasanya mengejar dan memeluknya dari belakang. Menghentikan langkahnya agar tidak pergi ke tempat nista itu lagi.
Namun, kaki ini seolah terpaku di lantai. Aku hanya terdiam membisu sampai sosoknya menghilang bersama mobil silver miliknya.
"Mah, ayah udah pergi?" tanya Luna yang terlihat sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
"Ayah VC an sama pelakor ya?"
Aku sontak terkaget mendengar pertanyaan si sulung.
"Kakak tahu dari mana?" tanyaku sambil memegang kedua bahunya erat.
"Kakak lihat cewe di hp pas Mamah ke kamar Ayah," jawabnya polos.
Astagfirullah, kenapa aku begitu ceroboh dan lupa kalau malam itu ada Luna yang masih terjaga.
"Kakak tau dari mana istilah pelakor?" tanyaku heran.
"Dari TV ikan terbang lah, Mah. Tiap hari Kakak nonton. Di sekolah juga banyak yang nyanyi-nyayi pelakor. Pelakor di mana-mana, suami cepat digembok," jawab Luna sambil bersenandung.
Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecut. Efek media televisi begitu cepat menempel di benak anak-anak.
"Mamah juga nangis terus dari kemarin-kemarin," sambungnya sambil menatapku iba.
"Iya, Kak. Keluarga kita sedang diuji, tapi Kakak janji jangan ngomong ke siapapun masalah ini, janji!" pintaku dengan tatapan tajam.
"Kakak do'ain aja, Ayah cepat sadar dan kembali sama kita."
"Kakak doainnya biar Kakak jadi sukses banyak uang trus lihat Ayah ngemis-ngemis sama Kakak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Terlihat jelas ada luka di hatinya. Anak itu sangat peka dan cepat mengerti situasi yang terjadi di sekitarnya.
"Hush, nggak boleh gitu. Doakan yang baik-baik untuk Ayah. Udah berangkat sekolah, sana, ntar telat."
"Ia, assalamualaikum."
. ***"Ra, coba kamu tanya-tanya ke Pak Haji, kayaknya suamiku Kena guna-guna, kena pelet," ucap Ibu saat aku sedang menyapi si kecil Fariz di halaman rumah.
Aku terdiam dan mengingat-ngingat rentetan kejadian ganjal akhir-akhir ini. Mulai dari ikan di kolam yang mati serentak, hingga perubahan sikap Mas Fadil yang diluar logika.
Hampir tiga belas tahun hidup bersamanya. Akan tetapi sikap dan kebiasaannya sekarang berbanding terbalik dengan Mas Fadil yang kukenal.
"Bu, titip Fariz sebentar," ucapku kemudian pergi ke kamar.
Aku bergegas mencari gawai, mengusap layar benda pipih itu dan masuk ke mesin pencarian.
[Ciri-ciri orang yang kena pelet dan cara menyembuhkannya] Aku mengetik dan membuka beberapa link yang berkaitan dengan pencarianku.
Betapa kagetnya diri ini ketika mendapati semua ciri yang cocok dengan keadaan Mas Fadil saat ini.
Kota Cintabumi yang saat ini ditinggali Mas Fadil sekaligus kota asal Melati memang terkenal dengan guna-guna dan peletnya. Menurut kabar, kota tersebut juga memiliki banyak wanita berstatus janda yang terkenal lihai dalam menjerat laki-laki beristri. Apa mungkin suamiku terkena jerat pelet janda itu?
Netraku terpaku pada satu penjelasan di salah satu situs website. Semua ilmu hitam akan kalah dengan ilmu Allah.
Aku termenung sesaat, memikirkan semua yang terjadi. Mengingat semua dosa di masa lalu. Apakah ini ujian atau teguran darimu Ya Rabb?
***
Waktu berjalan begitu lambat, rumah ini terasa kosong dan sepi tanpa Mas Fadil. Rintik hujan terdengar berirama, jatuh berurutan di atas genting.
Anak-anak tengah tertidur pulas berselimut mimpi. Aku mengusap layar gawai dan membuka aplikasi whatssap. Melihat beberapa status teman dan terhenti di status whatssap Mas Fadil.
Lelaki itu memasang foto Melati yang sedang berada di pangkuannya. Hati ini sakit seketika bagai ribuan panah menancap dan mengoyak hati ini. Sudah hilang rasa malunya hingga berani memamerkan kemesraan di mata umum.
Bulir hangat mengalir tanpa henti, membuatku semakin sesak dan sulit untuk bernafas.
Aku mengusap layar gawai dan beralih ke media sosial miliknya. Hati kembali teriris saat netra ini menangkap puluhan gambar kemesraan nya yang diunggah di media sosial.
Pilihan like dan komentar turut meramaikan becandanya. Apa mereka yang melike dan komen itu tidak tahu ada hati yang terluka? Ada tangis dan kecewa di atas nya?
Yang paling membuatku terluka adalah like dan komen dari orang-orang yang sama-sama kami kenal, terutama dari saudara kandung Mas Fadil.
Namun, kutekan rasa sakit itu sendiri, biarlah menjadi penggugur dosa-dosaku di masa lalu.
***
Seminggu berlalu, tidak ada kabar dari Mas Fadil selain status di media sosialnya yang menambah lukaku semakin dalam.Netraku memindai setiap sudut ruangan, hari mulai senja. Akan tetapi anak keduaku belum tampak batang hidungnya dari tadi siang.
"Ayah, Ayah."
Sayup, terdengar suara Kia lirih. Aku bergegas pergi ke arah suara. Gadis kecil itu terlihat sedang mengisi sambil memegang foto Mas Fadil.
"Kia, kenapa?" tanyaku seraya membelai rambut tipisnya dengan lembut.
"Ia, ka-ngen Ayah," ucap gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun itu sambil terisak.
Ia mengusap cairan yang keluar dari hidung dengan sebelah tangan. Aku segera memeluknya erat.
"Do'ain biar Ayah cepat pulang karena do'a dari anak shalehah pasti didengar Allah," ucapku lirih.
Bulir bening yang kutahan sedari tadi pun lolos membasahi pipi. Hati ini perih dan sakit melihat anak-anak yang merindukan Ayahnya.
Teganya wanita yang sengaja merampas kebahagian wanita lain. Bukan hanya satu orang yang engkau lukai, anak-anak dan seluruh keluarga ikut terluka.
Kami pun menangis sambil berpelukan. Badai pasti berlalu. Itulah yang selalu kuyakini. Allah Maha melihat dan maha adil. Biarlah mereka yang melukai akan mendapat balasannya dari Mu Ya Rabb.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuatku terhenyak. Aku bergegas mengusap air mata dan pergi untuk membuka pintu.
Jantung ini serasa berhenti untuk sesaat. Sosok yang kami rindukan berada tepat di balik pintu. Aku mengatur nafas perlahan, mempersiapkan diri dengan sikap dingin dan acuh yang akan kuterima.
"Waalaikumsalam," ucapku sembari membukakan daun pintu.
Lelaki itu menatapku dengan tatapan sayu. 'Ada apa ini?' pikirku di dalam hati.
"Maafin, Ayah, Mah," ucapnya sembari terhunyung dan hampir memelukku sebelum aku mundur ke belakang.
"Ayo kita rujuk! Kasian anak-anak!" pintanya masih dengan tatapan sayu.
Tidak terlihat gairah di manik cokelatnya. Ia terlihat murung dan kusut.
"Duduklah dulu!" pintaku sambil mempersilakannya duduk di ruang tamu.
Lelaki itu terdiam untuk sesaat, seperti orang yang sedang linglung. Netranya menerawang ke atas. Terlihat bingung dan tertekan.
"Tolong, rujuk sama Aku, mau ya? "
***
Bersambung
Setelah memutuskan hubungan dengan Fadil. Suasana di kantor terasa kaku dan canggung. Lelaki itu kembali cuek dan acuh. Begitupun dengan diriku yang sudah tidak ingin kembali terlibat dengan dirinya.Mba Vera menasehati berulang kali agar tidak kembali kepada Fadil. Kami fokus dengan pekerjaan masing-masing. Dia berhasil naik jabatan dan itu membuatnya semakin menyombongkan diri.Aku tidak banyak terpengaruh dan hanya fokus mencari uang. Hari demi hari mulai terasa membosankan. Sampai saat kami mendapat tugas ke luar kota."Kamu bantu Fadil buka di cabang baru ya," pinta Manager perusahaan saat kami tengah mengadakan meeting."Iya, Pak," jabawku singkat."Awas lo, hati-hati jangan masuk perangkap Fadil lagi," bisik Mba Vera yang duduk tepat di sampingku.Aku hanya berdehem sambil mengangguk.***Suasana di kota Kecil tempat kami ditugaskan sangat asri. Udaranya cukup dingin, tapi menyegarkan. Aku di sana hanya untuk satu bulan saja. Kami masih tidak bertegur sapa.Ada satu wanita berna
Fadil dan aku berdiri tepat di depan pintu rumah kos. Kami terdiam untuk beberapa saat. Dia menatapku lekat, sebuah tatapan hangat yang mencairkan hati yang mulai membeku. Akan tetapi, hati ini menolak, berusaha membentengi diri agar tidak goyah. aku berusaha untuk mengalihkan pandangan dan menghindari tatapannya."Kita balikan aja?" Tanyanya seraya menggenggam telapak tanganku erat.Aku sempat kaget untuk beberapa saat. Jantung ini terasa berdegup kencang, berpacu lebih cepat. Pertahanan di dalam hati sepertinya mulai roboh. Merasakan sentuhan lembut di telapak tangan, membuatku sedikit gugup dan salah tingkah. Ada sebuah euforia di dalam hati, tapi aku tahan sebisaku agar tidak terlalu terlihat."Gimana?" Tanyanya lagi seperti tidak sabar.Entah setan apa yang mendorong kepala ini. Aku mengangguk dengan spontan. kini, pertahanan ku telah benar-benar roboh. Hati ini memang selemah itu dan mudah luluh."Makasih," ucapnya dengan tersenyum lebar.Tampak rasa puas dan kemenangan di raut m
Suasana rumah mendadak ramai, keluarga Mas Fadil sibuk berkemas sambil tertawa. Aku segera masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak menentu.Tangan ini rasanya lemas saat membuka isi dompet yang hanya tersisa beberapa lembar untuk bekal anak sekolah sampai tanggal gajian."Yah, uang bensin sama tol di ayah ya? aku.udah ga ada simpanan," tanyaku dengan tatapan cemas."iya," jawabnya dengan eksfresi bingung."Emang ayah masih punya uang lebih buat ke kolam renang?" tanya ku lagi untuk memastikan."Nggak ada, tapi ga pa- pa, tenang aja," jawabnya yang mencoba untuk tenang.Padahal jauh di dalam hati, aku tahu betul bahwa Mas Fadil sedang memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan tambahan uang. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah satu- satunya perhiasan yang aku pakai, sebuah cincin dan sebuah gelang yang melingkar manis di lengan dan jadi."Eit ... kemarin udah jual dua cincin loh, buat tahlil ibu. Ini yang terakhir," tukasku sambil menyembunyikan lengan."Apaan sih, GR ... ayah g ma
Hari hampir pagi saat kami sampai di rumah. Anak2 tampak lelah dan langsung masuk ke kamar, begitu pun dg Mas Fadil yang tampak letih.Laki-laki itu terlihat sedih dan terpukul. Tapi, entah kenapa dengan perasaan diriku. Tidak ada rasa sedih atau pun kehilangan, hanya simpati saja.Beberapa kali kuyakinkan diri ini ' kok nggak sedih? nggak nangis? apa aku masih normal? yang meninggal itu ibu mertua kamu loh, ibu dari suami kamu?' pertanyan itu hilir mudik di dalam benak.Namun, entah lah aku tetap merasa biasa saja, rasa ini sepertinya telah mati akibat rasa sakit saat melihat Ibu berfoto dengan Ira. Salahkah aku yang sudah tidak berempati lagi terhadap mertua atau pun keluarganya. Luka di dalam hati ini sepertinya enggan pergi dan masih terasa perih. Aku memang sudah memaafkan semuanya. Tapi, ingatan ini masih lekat dan mungkin tidak akan pernah lupa dengan setiap perbuatan dan perkataan mereka.***keesekan harinyaSeperti biasa, pagi yang sibuk dengan segala drama anak-anak yang ak
Tepat pukul 01.30 Kami sampai di rumah Mas Fadil. Suasana rumah sudah agak sepi.Hanya ada keluarga inti saja di dalamnya. Anak, cucu dan menantu.Di halaman rumah, masih berjejer kursi dan tenda seadanya. Bendera kuning masih tertancap di samping pagar rumah.Kami masuk dengan mengucapkan salam yang disambut oleh saudara-saudara Mas Fadil.Kakak beradik itu saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Suasana haru sangat terasa. Kesedihan telah menyelimuti rumah masa kecil mas Fadil itu.Membuat diriku yang sulit menangis sedari tadi, menjadi luruh dalam tangisan bersama seisi rumah."Tadi udah dilama-lamain ngurus jenazahnya biar bisa nunggu kamu, tapi tetep nggak keburu," bisik kakak tertua Mas Fadil yang menyesalkan keterlambatan sang adik.Mas Fadil hanya tersenyum, menahan getir di dalam hatinya. Sosok yang selalu menjadi penyemangat dan alasan dirinya kembali ke rumah itu.Kini telah tiada dan terkubur berkalang tanah seorang diri. Tidak akan terlihat lagi senyuman dari wa
"Ibu meninggal, tolong ngebut dikit, Zi!" Pintaku cemas."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."Semua orang terdiam dan saling berpandangan. Suasana di dalam mobil menjadi tegang seketika."Ibu beneran meninggal?" Tanya Luna seperti tidak percaya."Iya, masa Mamah becanda. Ayah yang bilang tadi."Bumi dan Kia tampak tertunduk sedih. Aku sibuk dengan pikiran ku sendiri.Takut tidak bisa datang tepat waktu. Takut Mas Fadil menyalahkan aku karena acara liburan ini. Takut tidak sempat menghadiri pemakaman Ibu gara-gara keterlambatan diriku.Suasana jalanan tiba-tiba macet. Jalanan penuh, pengendara motor dan mobil berdesakan.Aku semakin gelisah dan takut. Menatap ke luar dengan tatapan liar. Berharap mobil ini bisa terbang melewati jalanan macet ini."Aduh, gimana ya, takut nggak keburu. Takut Mas Fadil marah," rutukku dengan wajah cemas."Udah, tenangkan diri. Kalo takdirnya harus ketemu dulu sama jenazahnya Ibu pasti bakal ketemu. Tapi kalo sebaliknya, ya ikhlaskan saja," jawab Bapak deng