Jenni hanya terkekeh melihat ekspresi sahabatnya itu. "Paling seneng emang kalau jahilin kamu."
"Udah ya, gue udah dijemput sama anak setan, kalau lo udah balik kabarin gue ya," ucap Reska ditelepon kemudian matikan sambungannya.
Reska yang saat ini sudah pulang sampai ke rumahnya, tetapi ketika hendak turun dari mobil dia di cegah oleh Jenni. Dia penasaran oleh apa yang sebenarnya terjadi kepada dua sahabatnya itu di Bali, sehingga membuat mereka tidak pulang bersama-sama.
Jenni juga penasaran kenapa bisa Reska seperti tidak digubris oleh Gladis, biasanya mereka seperti anak dan ibu yang selalu menempel ke sana kemari.
"Tunggu!"
Reska mendengus kesal, sudah ingin membuka pintu mobil tetapi diurungkan lagi niatnya. Sementara Jenni menahan tangan Reska.
"Gue butuh penjelasan."
"A-apa sih, udah kayak gue hamilin a
"A-ada satu hal yang menurutku sangat aneh?" "Hhmm, apa itu?" "Kenapa kau seperti agak menghindar dan membuat jarak denganku? apa semua pasangan kekasih seperti ini?" Gladis tertegun mendengar pertanyaan pria tampan itu, sebenarnya ia merasa canggung jika berada di dekatnya. 'Please, jangan mulai lagi,' batinnya. Gladis mendekatinya, dia tersenyum melihat Arsen dan jawaban Gadis cantik itu malah membuat lawan bicaranya semakin bingung. "Jawaban apa yang ingin kau dengar? kebohongan atau kejujuran?" "Bagaimana jika aku memilih kebohongan? apa yang akan kamu katakan?" "Aku akan mengatakan bahwa ..., aku tidak ingin terlalu dekat denganmu sebelum kamu benar-benar pulih, karena mungkin jika nanti kamu sudah sembuh, aku takut dipermainkan oleh kenyataan." "T-takut?" Lagi, Gladis hanya tersenyum, dia menggengg
"Ih, ya sakit lah," rengek Gladis manja, tapi tiba-tiba dia dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. "Permi ...." Belum selesai ucapan pramuniaga tersebut harus terhenti karena terkejut, Gladis tiba-tiba menarik tangan penjaga toko yang menepuk pundaknya. Hampir saja pramuniaga itu terjatuh. "Aduh, mbak maaf reflek, nggak papa kan?" "Ng-nggak papa mbak, silakan memilih dulu," jawab pramuniaga tersebut sambil memegangi tangan yang mungkin terasa nyeri. Arsen hanya melongo menyaksikan spontanitas yang dilakukan Gladis. Selama ini ia mengira jika wanita yang kini di cintainya itu sangat lemah lembut dan kalem, karena kepribadian yang ditunjukkan Gladis kepada Arsen selama ini. Untuk memecah suasana canggung di antara mereka bertiga, Gladis menarik ujung baju Arsen. "Sayang, mau beli yang mana?" &nbs
Mereka berdua hendak masuk ke dalam rumah berlantai dua itu, Gladis membuka pintu dan Arsen masih melihat sekeliling. "Ayolah ...," ajak Gladis sambil menggandeng Arsen. Wanita cantik tersebut dibuat kagum dengan suasana rumahnya saat ini, dia tidak menyangka kakaknya benar-benar mengabulkan permintaan konyolnya itu. Dia melihat barang-barang berpasangan tersusun selaras dan rapi, 'kakakku memang hebat, ia selalu bisa diandalkan,' batinnya. "Apakah ada sesuatu yang kau ingat?" tanya Gladis pada pria yang sedari tadi hanya melihat-lihat sekeliling. Arsen hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, kita coba pelan-pelan saja jangan terlalu di paksakan." Arsen dituntun wanita cantik itu menuju lantai atas, mereka memasuki ruang baca yang diubah sedemikian rupa, dengan rak buku besar serta tatanan buku yang sangat rapi dan satu ranjang yang sudah disiapkan oleh Steve. "Ini ...?
Gladis menjawab; gugup dengan detak jantung yang tak beraturan, "I-ini masak buat nasi goreng." "Mengapa telingamu begitu merah?" tanya Arsen mebuat Gladis tersentak menghentikan aktivitasnya. Seketika gadis bertubuh ramping tersebut melangkah mundur, tetapi kakinya tersandung dan dengan sigap Arsen menangkap tubuhnya. Kini posisi mereka seperti orang sedang berpelukan, dengan Arsen yang menatap dalam mata gadis cantik itu. Tidak mau terlihat salah tingkah, Gladis cepat-cepat mendorong tubuh Arsen. "I-itu ..., makanannya udah siap, kita makan dulu aja," ucapnya sambil mematikan kompor. Gladis menyiapkan dua porsi makanan diatas meja dan Arsen mengambil teko berisi air putih, tetapi dia tidak menemukan gelasnya. "Sayang gelasnya mana?" "Cari aja di rak kecil samping kulkas!" Tetapi bukan gelas yang didapat, Arsen malah mengam
"Bagaimana tuan? apa yang harus saya lakukan?" tanya Kevin dengan nada lesu. "Aku bisa mencoba membantumu untuk mencarinya ...." Seperti mendapat pencerahan. Kevin menanggapi pernyataan lelaki pendiam itu dengan wajah berbinar. "Menemukan tuan Arsen? bagaimana caranya?" "Itu mudah, asal kau tahu beberapa informasi dari ponsel milik Arsen dan asal ponselnya masih hidup." "T-tentu tuan, tentu saja saya tahu," ucap Kevin kepada Lexi. Kini mereka sudah berada di depan komputer milik pria berkulit sawo matang itu, sementara Lexi berkutat dengan perangkat komputernya, Kevin selalu berada di sampingnya memberitahu setiap informasi yang dibutuhkan. "Apa kau yakin ini betul E-mail milik Arsen?" "Iya tuan, ada apa?" "Kenapa tidak bisa dilacak?" "T-tidak mung
"Res ..., aku membiarkanmu menyatakan yang sebenarnya! kamu tidak tahu bagaimana kau mati! sebelum terlambat lebih baik kau mengatakan perasaanmu yang sebenarnya!" Tidak ingin semakin mendidih. Jenni lantas pergi begitu saja sambil membanting pintu sampai membuat Reska tersentak. Jenni yang sedang berang berada di luar, mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Sabar jen, sabar huh." Ia mengetikkan beberapa kata di ponselnya, ingin dikirimkannya kepada Gladis namun niatnya tersebut diurungkan lagi. Kali ini dia mencoba menelpon nama yang sama, namun nomor yang dituju tidak aktif. Sedangkan dua sejoli yang sedang kasmaran kini sedang berada di luar. Arsen mengajak Gladis untuk sekedar melihat-lihat lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Mungkin ada yang bisa ia ingat. "Kita mau kemana dulu?" Gladis menjawab tanpa ragu. Tanpa memikirka
"Pesan aja makanan yang sering kita pesan," ucapan Arsen tiba-tiba kepada Gladis. Gadis berkulit putih itu sempat bingung untuk menjawab apa. Ia memberi kode kepada pramusaji tersebut. Mereka saling bertukar pandang. Pramusaji tersebut mengangguk tanda mengerti, maksud dari ucapan Gladis. "K-kami pesan menu yang sering dipesan, iya ... yang sering dipesan," ucap Gladis menekankan intonasinya pada kalimat terakhir. "Yang biasanya ya? Oke kak." Tanpa menulis Satu menu pun, Pramusaji tersebut langsung membuatkan makanan untuk mereka. "Memang biasanya kita pesan makanan apa di sini?" Gladis sebenarnya juga tidak tahu, tetapi dia yakin Arsen akan menyukainya. Gadis berambut panjang itu mengedipkan sebelah matanya. Dia menjawab pertanyaan Arsen lalu tersenyum. "Nanti kau juga tahu." Tak lama kemudian pelayan restoran itu datang membawa, beberapa macam
"Sayang, siapa dia?" Belum sempat Gladis menjawab pertanyaan Arsen. Jenni langsung masuk dan duduk di depan Arsen. Dia mengulurkan tangannya dan disambut oleh Arsen. "Apa Anda tidak mengenaliku?" Wajah berbinar tersirat dari roman Jenni. Dia juga salah satu murid yang mengagumi sosok Arsen Saat kuliah dulu. Pertanyaannya hanya dijawab gelengan kepala oleh Arsen. "Saya ...." Belum selesai ucapan wanita bermata sipit itu, lengannya sudah ditarik oleh Gladis. sambil tersenyum kearah Arsen, ia menyeret Jenni ke arah luar. "Sebentar ya sayang," kata Gladis. Jenni yang mendengar kata sayang keluar begitu saja dari mulut sahabatnya itu. Dia menghentikan tarikkan Gladis. Dengan mata sipitnya ia menatap tajam sahabat karibnya itu dan berkata, "Kau berhutang penjelasan kepadaku!" dengan suara pelan tetapi penuh penekanan. Yang d