Mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir Rahma, membuat jantung Risa dan Arjuna berdegup kencang. Dua manusia tak berhati itu pun tak lagi bisa menyembunyikan kegugupannya, bahkan mereka terlihat salah tingkah. Dan pemandangan itu tertangkap di kedua iris hitam milik Rahma. Tentunya membuat Rahma tersenyum samar. Risa akhirnya lebih memilih untuk beranjak dari tempat duduknya, dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju kamar."Mas berangkat dulu ya, Sayang. Udah siang," ucap Arjuna sembari melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Belum Rahma menjawabnya, Arjuna langsung beranjak dari kursi–mengulurkan tangan ke arah Rahma–lalu melangkah pergi setelah sang istri mencium punggung tangannya."Mas, tunggu!" Kembali dada Arjuna berdebar-debar.Langkah lelaki itu terhenti, lalu dengan ragu memutar tubuh, dan terlihatlah sang istri yang melangkah ke arahnya dengan memasang wajah datar. "A–ada apa, Sayang?" Tergugup Arjuna bertanya. "Aku nanti mau pergi sama
"Apa?" tanya Elisa dengan cepat. Ia penasaran dengan ide yang terbersit di dalam otak Rahma."Kasih aja minuman pencuci perut. Nah, nanti kan si Arjuna pasti terus-terusan mengalami sakit perut tuh. Nah, di saat dia ingin ke toilet, mintalah tanda-tangannya."Rahma terdiam sesaat, hingga tak butuh waktu lama untuk bibir itu tersenyum sembari menatap ke arah Elisa. "Idemu bagus juga. Sumpah, aku nggak kepikiran sama sekali loh," ucap Rahma dengan begitu antusias. Elisa pun tersenyum mendengar sahabatnya kembali menerima masukan darinya. "Kamu setuju?" Rahma mengangguk cepat dan mantap. "Yaudah, kalau begitu sekalian aja kita mampir ke toko obat buat beli itu. Nggak mungkin dong kamu bakalan nyuruh pembantu bahenolmu untuk belikan obat sakit perut?" "Ha ha ha, ya enggak lah. Kita berhenti saja sekalian. Di depan sana kayaknya ada toko obat di seberang jalan." Elisa mengangguk-angguk, hingga beberapa menit kemudian, kendaraan roda empat itu mulai menepi dan berhenti di tepi jalan.
"Aku punya niat untuk menggerebek Mas Arjuna saat begituan sama Risa. Kalau mereka janjian di luar, pasti aku geraknya kesusahan. Tau sendiri kan, aku ada bayi. Nggak bisa keluar sesuka hati. Jadi aku akan melakukan cara ini di rumah saja." Sontak saja Elisa menoleh ke arah Rahma. Beberapa pertanyaan muncul di benak wanita itu, namun ia memilih untuk diam terlebih dahulu. Mendengar setiap kata dan kalimat yang keluar dari bibir Rahma."Rencananya, setelah aku mendapatkan tandatangan Mas Arjuna, mengambil alih semua perhiasan milik Risa, aku akan memberikan serbuk obat pe rang sang ini ke minuman keduanya. Kalau mereka tak tahan, pasti melakukannya di rumah." Rahma selanjutnya menceritakan perihal Risa yang memberikannya obat tidur agar bisa leluasa bercinta dengan suaminya. "Aku yakin, dia akan memberikan aku minuman yang ada obat tidurnya itu. Nah, setelah aku tertidur, pasti mereka akan melakukannya di rumah. Kan nggak kuat kalau harus keluar cari hotel."Elisa mengangguk-angguk, mu
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kini, Rahma dan juga Arjuna hendak makan bersama. Manda sudah makan lebih dulu."Sepertinya menu spesial ini." "Iya, Mas. Ada gule kambing sama sate kambing." Kedua bola mata Arjuna berbinar."Oh ya? Seketika perut terasa lapar sekali. Makanan kesukaan disajikan oleh orang spesial. Sempurna!" "Iya, Mas. Tadi Risa yang menyajikan." Bibir Johan tak lagi mengeluarkan satu patah kata pun. Bahkan lelaki itu sampai menelan salivanya dengan susah payah, dalam batinnya ia merutuki, bagaimana bisa ia tak tanya dulu siapa yang membelinya.Rahma pun mulai mengisi piring sang suami dengan nasi beserta gule dan beberapa tusuk sate. Bergegas, Arjuna langsung melahapnya. Rahma terus memandangi wajah sang suami tanpa berkedip. Bayangan saat sang suami keluar masuk dari toilet memenuhi angan-angannya, membuat bibir itu tanpa sadar tersenyum tipis. Arjuna menyadari tatapan sang istri, lantas ia menghentikan kunyahannya lalu membalas tatapan sang istri. Ia pun be
"Ini, Mas," ucap Rahma setelah melihat sang suami keluar dari kamar mandi. "Aduh! Perutku sakit lagi," keluh Arjuna yang baru saja keluar. Baru saja ia menutup pintu kamar mandi, ia kembali membukanya lalu masuk. "Apa aku kebanyakan kasih obatnya ya?" Rahma melangkah mendekat ke arah pintu kamar mandi sembari membawa kertas dan juga bolpoinnya, ia menunggu di depan pintu dengan dada yang berdebar-debar."Ini, Mas, kata Risa, Pak RT sudah menunggu di bawah buat ambil ini," ucap Rahma setelah Arjuna sudah kembali keluar. Rahma menunjukkan kertas itu. Jantung Rahma semakin terasa berdebar-debar kala sang suami mengambil alih kertas berikut juga bolpoinnya. "Aduh! Sakit lagi.""Tandatangani dulu, Mas. Kasihan Pak RT sudah dari tadi menunggu."Rahma mendorong kembali kertas yang diulurkan oleh Arjuna, meminta sang suami agar segera membubuhkan tanda tangan di atas namanya."Aduh." Arjuna memutar, ia ingin kembali masuk ke dalam toilet. Namun, Rahma gegas mencekal lengan sang suami dan
Wanita itu sadar, ia langsung menarik tangannya dari wajah sang kekasih–lalu ia bergerak mundur. "Ma–maaf, Bu," tergagap Risa berbicara. "Gapapa, sepertinya kamu khawatir sekali ya sama Bapak," ucap Rahma dengan nada setenang mungkin. Lebih tepatnya berusaha untuk bersikap tenang."Ma–maaf sekali lagi, Bu. Bukan bermaksud lancang atau gimana-gimana, soalnya tadi saya lihat Ibu gendong putra Ibu, jadi saya berinisiatif untuk membantu Bapak sendiri." Kali ini Risa masih tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Dalam batinnya ia khawatir, bagaimana jika sang majikan akan menyerangnya lalu mempermalukan dirinya seperti yang disebutkannya tempo lalu. "Gapapa, justru saya bangga memiliki art seperti kamu. Lincah, gesit dan gerak cepat. Salut sama kamu, Risa." Risa tak tau harus bersikap bagaimana. Ia bingung dengan maksud sang majikan. Entah ia memberikannya pujian atau malah menghinanya dengan kalimat sindiran.Risa berkali-kali menelan saliva dengan susah payah. Kesepuluh jemarinya saling
Pagi menyapa, sepasang suami istri itu kini tengah duduk saling berhadapan di meja makan. Jika sang majikan sedang malaksanakan sarapan pagi, berbeda dengan sang ART yang tengah sibuk menyiapkan sayuran yang akan diolah untuk menu makan siang nanti. "Bagaimana keadaanmu, Mas? Apa sudah membaik? Atau perlu kita ke rumah sakit?" tanya Rahma sembari mengoleskan selai ke dalam roti yang ada di piringnya. Sedangkan Arjuna tengah sibuk menyantap menu nasi goreng buatan Risa. "Nggak perlu, aku sudah baik-baik saja. Tapi hari ini aku minta cuti kerja," ucap Arjuna sembari menatap wajah sang istri. "Syukurlah, Mas, kalau begitu. Tau nggak, Mas, gara-gara kejadian kemarin, sampai terbawa mimpi." Rahma berujar dengan nada sungguh-sungguh. Sedangkan Arjuna yang tak paham dengan maksud sang istri menatapnya dengan kening berkerut. Berbeda dengan Risa, kali ini dada wanita itu mulai terasa berdebar-debar. "Kejadian apa?" tanya Arjuna polos. "Soal Risa yang begitu perhatian denganmu." Rahma men
"Loh, kok kamu yang marah-marah, Sayang? Kan mereka yang mengalami hal seperti itu." Arjuna bersuara. Bibir berkumis tipis itu menampilkan senyum paksa."Lah, gimana nggak ngomel-ngomel kalau ada lakik modelnya begitu?! Harusnya tuh, jadi perempuan yang tangguh. Masa sih dicekokin obat tidur setiap waktu nggak sadar-sadar? Harusnya dia ngerasa aneh dong. Kalau aku yang jadi dia, udah kupotong-potong itu burung perkutut suaminya. Udah kujejali terong busuk tuh si pelakornya. Kesel banget deh rasanya."Arjuna bergidik ngeri, membayangkan jika hal itu dilakukan oleh Rahma padanya. Namun, tak lama kemudian Arjuna bisa menguasai keadaan. Tangan lelaki itu terulur dan menyentuh lengan Rahma, dengan sesekali mengisapnya dengan lembut."Jangan marah-marah gitu, nggak boleh. Mungkin itu memang cobaan buat rumah tangga mereka. Yang terpenting, kehidupan rumah tangga kita baik-baik saja. Ya kan?""Jangan mentang-mentang kamu laki-laki lalu membelanya deh, Mas!"Rahma menghembuskan napas kasar."L