Setelah semuanya selesai, Rahma memutuskan untuk segera merapihkan meja komputer seperti sedia kala, dan selanjutnya ia kembali ke kamar.
Perempuan itu terus berjalan dengan sesekali menatap ke arah lembaran kertas dan senyum tipis terpahat di bibir itu, sesampainya di kamar, wanita itu gegas mendudukkan bokong di tepi ranjang setelah mengambil ponsel yang ada di dalam sakunya.Sejenak Rahma memandangi wajah sang bayi, dan seketika saja dada wanita itu terasa begitu sesak.Tangan Rahma terulur, mengusap lembut kepala sang anak dengan perasaan hancur."Maafkan Mama ya, Nak, jika setelah ini kamu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok Papa. Tapi Mama janji, kamu tidak akan merasa kekurangan kasih sayang. Mama akan menjadi Mama sekaligus Papa untuk kamu." Rahma berucap pelan, tanpa sadar kedua kelopak matanya mulai berkaca-kaca seiring rasa sesak yang kian mendera.Ah, air mata memang tidak bisa menyembunyikan sedalam apa rasa sakit yang dirasa.Rahma menghela napas dalam-dalam, setelahnya ia mengusap matanya dengan jemarinya–menghalau air mata agar tak luruh begitu saja.Lagi, Rahma meraup udara dalam-dalam lalu tersenyum. Meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja.Cepat Rahma mencari nomor ponsel Elisa. Begitu menemukan, ia langsung menekan menu panggil."Halo, assalamualaikum, Rahma?""Waalaikumsalam, Sa. Sa, apa kamu besok sedang sibuk?" tanya Rahma yang berniat untuk meminta tolong pada sahabatnya."Enggak, ada apa memang?""Bisa aku antar ke toko emas palsu?"Di seberang sana, kening Elisa berkerut tajam. Masih tak paham dengan maksud dari ucapan sahabatnya itu."Jadi begini, aku tadi menemukan kotak perhiasan di laci Risa. Dan itu barang sama persis sekali seperti punyaku yang diberikan sama Mas Arjuna." Rahma menjelaskan, seolah-olah wanita itu paham jika lawan bicaranya terdiam dengan perasaan heran."What?! Serius kamu?" cetus Elisa."Iya, persis sekali, Sa. Ada kalung sama cincin. Waktu aku acak-acak isi laci, aku juga mendapatkan bukti pembelian kwitansi dan semua atas nama Mas Arjuna.""Terus?" tanya Elisa singkat."Nah, rencananya aku mau ambil perhiasan-perhiasan itu. Kalau langsung aku ambil aja, pasti ketahuan dong. Makanya aku mau sedikit memberikannya kejutan dengan mengganti perhiasan itu dengan emas palsu. Gimana?"Tanpa sadar, kedua sudut bibir Elisa tertarik ke atas."Idemu bagus sekali, jadi kapan? Aku lagi nggak ada kesibukan akhir-akhir ini," ucap Elisa setelah mengingat-ingat apakah ia memiliki agenda keluar apa tidak."Kalau besok gimana, Sa? Lebih cepat lebih baik, bukan? Kalau nanti nanti, takutnya mereka keburu kuusir, ha ha ha." Tawa renyah terdengar dari bibir Rahma."Baiklah, lalu bagaimana dengan suamimu?""Besok bilang saja kalau kita mau menjenguk saudara kamu yang baru saja melahirkan.""Oh, baiklah. Besok aku kesana jam 10 ya.""Ok, Sa. Maaf ya kalau aku selalu merepotkan kamu.""Jangan bicara seperti itu, kayak sama siapa saja. Santai ya, jika kamu memang membutuhkan bantuanku, katakan saja."Bibir Rahma tersenyum, ia merasa haru.Meskipun Rahma tak memiliki saudara dan orangtua, masih ada sosok yang selalu ada untuknya.Ya, Rahma memang seorang yatim piatu. Kedua orangtuanya meninggal karena tragedi kecelakaan tepat 2 tahun sebelum ia melangsungkan pernikahan.****"Mas, aku besok sama Elisa mau ke rumah Rina.""Rina siapa?" tanya Arjuna singkat tanpa menoleh ke arah sang istri. Pandangannya masih tersita oleh tayangan sepak bola di televisi."Saudaranya Elisa, Mas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit karena melahirkan," ucap Rahma berbohong.Sejenak Arjuna terdiam, mengingat-ingat nama Rina yang barang kali bersarang di kepalanya. Namun, lelaki itu tak kunjung juga mengingatnya."Iya, gapapa. Jangan lama-lama ya."Rahma hanya tersenyum."Permisi Bu Rahma, Pak Arjuna, makan malamnya sudah siap." Suara Risa membuat Rahma dan Arjuna serempak menoleh ke sumber suara. Setelahnya, Rahma melirik ke arah sang suami."Tadi kuajak bicara pandangannya terus ke tv. Giliran Risa yang bersuara, perhatiannya langsung teralih." Rahma mencebik.****Makan malam pun usai. Rahma dan Arjuna kini melangkah menuju kamar. Meninggalkan Risa yang sedang membersihkan sisa-sisa dan bekas makan malam mereka.****Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam. Arjuna yang tengah berbaring di atas ranjang merubah posisinya menjadi bangkit dengan kepala menoleh ke arah sang istri yang tengah memainkan ponsel."Sayang, tolong minta Risa buatkan kopi dong. Kepalaku rasanya pusing, siang tadi nggak minum kopi soalnya.""Baiklah, Mas. Jaga Rendy ya. Sekalian aku minta bikinkan teh hangat."Arjuna mengangguk. Setelahnya, Rahma turun dari ranjang lalu melangkah keluar. Seiring kepergian sang istri, bergegas Arjuna mengambil ponsel yang ada di atas bantal lalu mengutak-atiknya.****Tok!Tok!Tok!"Bu Rahma, saya mau mengantarkan teh dan kopinya." Suara Risa terdengar dari depan pintu."Iya, sebentar."Gegas Rahma turun dari ranjang lalu melangkah. Dan begitu dibuka, sosok wanita berpakaian kaos sedikit longgar yang berlengan panjang dengan rok hitam yang panjangnya di bawah lutut berdiri di depannya dengan membawa nampan yang berisi dua gelas minuman.Rahma meraihnya, ia mengucapkan terima kasih lalu menutup kembali pintu setelah mengambil dua gelas minuman."Ini, Mas, kopinya." Rahma mengulurkan kopi permintaan sang suami."Makasih, ya." Arjuna mengambilnya.Selanjutnya, sepasang suami istri itu mulai menyesap minumannya masing-masing.Jika kopi Arjuna masih tersisa separohnya, berbeda dengan teh hangat milik Rahma yang habis tak bersisa."Sayang?" Arjuna berucap sembari menatap heran ke arah wajah sang istri. Tangan kanannya langsung menyerobot gelas kosong yang hendak diletakkan ke atas nakas."Kenapa, Mas?" Rahma menatap sang suami dengan kening berkerut. Bingung, sebab sang suami yang tiba-tiba memanggilnya dengan memasang wajah heran, ditambah sang suami yang mengambil gelas yang akan ia letakkan di nakas."Apa gelasnya bocor? Kok bisa habis seketika? Setetes aja tak bersisa."Ucapan sang Suami membuat Rahma tergelak tawa, refleks tangannya memukul paha sang suami yang duduk di sampingnya."Kamu ini ih, aku pikir kenapa. Haus aku, Mas. Ditambah rasanya kayak begah," terang Rahma."Jaga-jaga kesehatan, jangan sampai sakit." Arjuna menarik pundak sang istri untuk dimasukkan ke dalam dekapannya. Dan di saat itu juga tiba-tiba saja bayangan sang suami yang merengkuh tubuh Risa Berkelebatan di kedua pelupuk matanya. Sontak saja Rahma menarik tubuhnya hingga terlepas dari dekapan sang suami.Arjuna menatap sang istri dengan keningnya yang berkerut. "Kenapa? Biasanya kamu suka sekali dipeluk," ucap Arjuna yang masih hapal betul kebiasaan sang istri yang suka sekali berada di dalam rengkuhannya."Aku ngantuk, Mas. Aku tidur dulu, ya."Rahma melangkah ke sisi ranjang tempat tidurnya, setelahnya ia membaringkan tubuhnya di atas sana.Mika mencari posisi ternyaman, hingga akhirnya kedua kelopak matanya benar-benar terpejam tanpa membutuhkan waktu yang lama.Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
"Aduhduh aduduh, yang dulunya kerjaan cuma ongkang-ongkang kaki, wajah glowing, terawat, sekarang jadi kucel, dekil dan penuh minyak!" "Kamu–" desis Rahma begitu melihat Risa dan Arjuna melangkah mendekat ke arahnya. "Kenapa? Kaget ya?" Risa menampilkan senyum sinisnya. Dengan melipat kedua tangannya di depan dada, Risa mendekat ke arah Rahma yang berdiri di depan pintu. "Lihatlah lah, Mas, istrimu yang dulu kamu puja-puja. Lihatlah sekarang, tubuhnya yang kurus kering, wajahnya kusam, jerawat dimana-mana, ditambah dengan mata panda pula. Ck! Menjijikkan," ucap Risa dengan begitu lancarnya. Ia mengibaskan tangannya, seolah tengah menunjukkan beberapa perhiasan yang menghiasi jemarin dan pergelangan tangannya. Bahkan sebelum memutuskan menemui Rahma yang sudah di depan, Risa langsung mengeluarkan kalung dari balik kaos agar terlihat di manik hitam milik Rahma.Senyum sinis tak hilang dari bibir berlipstik itu. "Dari sini kan kita bisa lihat siapa yang menderita, siapa yang bahagia
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi, dan sepagi itu Rahma sudah kembali dari pasar guna membeli bahan-bahan untuk membuat pesanan. Setelah membawa masuk semua barang belanjaannya, Rahma melangkah menuju ke arah kamar. Melihat keadaan sang bayi yang ditunggu oleh salah satu tetangga Rahma. Singkat cerita, 100 kotak nasi sudah siap. Segera Rahma membawa keluar lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Gapapa kan, Bude, kalau Bude ikut antar buat gendong Rendy? Perjalanannya lumayan jauh, kasihan kalau aku dudukkan sendiri," ucap Rahma dengan nada sedikit tidak enak. Berbanding terbalik dengan tetangganya yang tersenyum dengan tulus. "Gapapa, Mbak Rahma. Ayo berangkat, biar nggak buru-buru nanti di jalan," ucap Bude Sumi. Rahma mengangguk, selanjutnya kedua perempuan dewasa itu pun melangkah menuju dimana mobil terparkir. Lalu detik kemudian, kendaraan roda empat itu mulai bergerak dan melaju membelah ramainya jalan raya. "Kalau Mbak Rahma banyak pesanan, Bude mau kok kalau
Hari terus berganti dengan hari, tanpa terasa Rahma telah melewati sidang pertama. Yaitu mediasi. Dengan ditemani oleh sang sahabat, Rahma mendatangi kantor pengadilan agama. Tak bisa dipungkiri, dadanya terus terasa berdebar-debar saat ia ia menginjakkan kaki di tempat ini. Hanya hitungan menit Rahma berada di dalam ruangan persidangan, hingga sepasang sahabat itu pun keluar dari ruangan dengan senyum merekah dan perasaan lega."Semoga saja sidang berikutnya Arjuna nggak datang," ucap Elisa saat keduanya melangkah menyusuri koridor dan menuju ke arah dimana mobil terparkir. "Semoga saja, Sa. Aku pun berharap demikian. Biar cepat selesai dan tidak berlarut-larut." "Tapi aku penasaran deh sama nasib mereka. Kira-kira mereka bahagia apa malah sebaliknya ya, Ma?" tanya Elisa. "Ya kita doakan saja yang terbaik untuk mereka." Rahma berucap dengan nada tulus. Meski ia disakiti, dikhianati dan dikecewakan sedemikian rupa, tak membuat hati wanita itu merasa dendam. Ia menganggap kalau se