"Mas, tadi mantan istrimu kok gitu ya?" tanya Risa setelah kepergian Rahma setelah selesai mengantarkan pesanannya. "Padahal, setau aku dia itu tipe orang emosional. Padahal tadi aku pengen sekali berantem sama dia. Membalaskan rasa sakit hatiku, setidaknya biar dia tau bagaimana rasanya dipermalukan," imbuh Risa. "Nggak tau. Ah, sudahlah, lupakan kejadian itu. Ambil positifnya saja, misal hal itu tidak terjadi, tidak mungkin kan kita bakalan bersatu dan memiliki bisnis yang luar biasa ini?" respon Arjuna, membuat Risa terdiam untuk sekedar mencerna dan memikirkan apa yang ia katakan. "Hm, bener juga sih. Tapi ya gimana, sakit hati kalau belum dibalaskan ya tetep saja kerasa," ucap Risa yang masih kekeh dengan pendirian. "Sudahlah, ayo siapkan semuanya. Acara akan segera dimulai." "Mas, nanti Mbak Marni nanti jangan dikasih nasi kotak ya. Aku masih kesel, bisa-bisanya dia sumpahin kita kena tipu." "Apa nggak keterlaluan kalau nggak diundang?" "Halah, biarin saja lah. Biar
Malam kian larut, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, pemilik warung meminta mereka untuk segera membubarkan diri. Dengan dibonceng oleh rekannya yang menjemputnya tadi, Arjuna kembali pulang. Brak!Brak!Arjuna menggebrak pintu beberapa kali, namun pintu tak kunjung terbuka. "Brak!"Satu gebrakan yang begitu keras membuat Risa yang tengah tertidur tersentak kaget. Bahkan membuat dada wanita yang kini tengah mengandung terasa berdebar-debar. Pandangan Risa beralih ke arah jarum jam yang menggantung di dinding. Dimana tengah menunjukkan pukul dua dini hari. Risa mendengkus kesal. Kemudian, ia bergegas beringsut dari ranjang lalu melangkah ke arah depan. Di sepanjang perjalanan, Risa terus menggerutu. Hingga akhirnya langkah wanita itu terhenti tepat di depan pintu. Segera ia mengambil kunci yang sebenarnya sudah ia letakkan di atas pintu, lalu segera membukanya, dan bersamaan dengan pintu yang terbuka, tiba-tiba ....Brugh!Tubuh Arjuna tersungkur, sebab Arjuna yan
Rahma terduduk dengan jantung yang terus berdebar-debar. Kata demi kata yang diucapkan oleh Hakim Ketua mampu dicerna dengan begitu baiknya. Tak bisa dipungkiri, masih ada sedikit rasa denyut saat ia mendapati jika rumah tangganya benar-benar hancur, mengingat biduk rumah tangga yang berlangsung terbilang tidak sebentar. Dan seketika setetes air mata menitik dari kedua sudut mata Rahma saat Hakim Ketua mengabulkan gugatannya. Tak ada yang Rahma tuntut, termasuk nafkah untuk sang buah hati. Apa yang Rahma harapkan dari sosok seorang Arjuna? Jangankan untuk memberi uang nafkah, mengingat anaknya saja tidak. Oleh sebab itulah Rahma memilih untuk tidak menuntut apapun itu. Rahma telah bertekad, akan membesarkan sang buah hati seorang diri. Dalam batinnya ia bersyukur karena perceraiannya berlangsung dengan begitu lancar tanpa kendala. Ditambah Arjuna yang tak pernah hadir dalam panggilan persidangan, membuat langkah Rahma untuk mendapatkan status sebagai seorang janda dengan begitu mud
"Ma, tadi Papa di kamar Embak," ucap putri angkatku yang kini sudah berusia lima tahun. Ia aku adopsi ketika usianya baru satu minggu. Lebih tepatnya, dia adalah anak dari sosok perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat denganku. Meski Manda hanyalah anak angkat, tapi aku begitu sayang selayaknya anak kandung. Manda begitu dekat denganku. Hal sekecil apapun yang ia tau, pasti dikatakan padaku. Dan aku sangat suka kebiasaannya itu. "Oh ya? Ngapain Papa di kamar Embak?" Embak adalah panggilan dari putriku untuk asisten rumah tangga di rumah ini. Risa namanya. "Nggak tau, Ma. Pintunya ditutup sih," jawabnya tanpa menoleh ke arahku. Anak gadisku tengah fokus memainkan boneka mixue kesayangannya. Entah kenapa mendengar ucapannya tadi membuatku merasa tertarik untuk terus menanggapi. "Terus kok Manda tau kalau Papa di kamar Embak?" tanyaku lebih detail lagi. Bukankah anak kecil adalah makhluk paling polos? Dia mengatakan apa yang dia lihat dan dia dengar. "Iya, Manda denger suara
"Aw ... geli, Sayang. Aduh ...." "Biarin, salah sendiri. Pulang-pulang disambut dandanan kayak gini. Rasain kamu, ha ha ha.""Jangan gitu, geli tau."Seketika langkahku terhenti di anak tangga terakhir saat kudengar suara Risa– Asisten rumah tanggaku yang terdengar begitu manja. Apalagi suara Risa bersahut-sahutan dengan suara yang amat aku kenali. Suara suamiku– Mas Arjuna."Udah, Sayang. Cukup, dong. Geli tau ...." Suara sosok lelaki kembali tertawa terbahak-bahak. Aku menajamkan pendengaran. Akan tetapi, sudah tak terdengar lagi suara tawa dari dalam sana. "Tapi aku suka sekali melihat tubuhmu yang meliuk-liuk kegelian seperti ini." Kulanjutkan langkahku, menuruni anak tangga terakhir lalu mendekat ke arah kamar yang ditempati oleh Art-ku yang berusia 25 tahun. Tak bisa dipungkiri, saat ini jantungku seperti berdetak lebih kencang.Kuhentikan langkah ini tepat di depan pintu. Kutajamkan pendengaranku lalu kutempelkan daun telinga pada pintu. Hingga terdengar lagi suara dari da
Bergegas aku meraih gagang pintu lalu menekannya ke bawah berkali-kali, namun pintu tak kunjung terbuka."Pintu terkunci!" geramku. Kuremas jemariku, berharap mampu sedikit saja memberikan ketenangan lalu aku bisa berpikir dengan jernih. Kutempelkan lagi gendang telinga pada daun pintu, tapi sudah tak terdengar lagi suara dari dalam sana. Padahal aku tadi sempat menangkap suara desahan yang saling bersahut-sahutan.Karena tak kunjung mendapatkan ide, akhirnya aku memilih ....Brak! Kutendang kuat-kuat pintu kamar, namun masih tertutup dengan sempurna. Brak!Brak!"Risa! Buka pintunya!"Brak!Brak!Brak!Aku terus menggebrak daun pintu dengan begitu kerasnya, tak kupedulikan rasa panas yang menjalar di area telapak tanganku. "Risa! Buka pintunya!" Suara seseorang berusaha memutar anak kunci terdengar dari arah dalam, hingga sepersekian detik kemudian sosok wanita yang tengah mengenakan pakaian tidur dengan rambut digelung ke atas berdiri di hadapanku. "Ada apa, Bu? Maaf, saya tad
POV 3"Ris, sini. Ada yang ingin saya tanyakan," panggil Rahma pada sang pembantu yang tengah membersihkan hiasan guci yang ada di sudut ruang makan. Di sana, mereka tak hanya berdua. Ada Arjuna juga. Lelaki itu masih menyelesaikan sarapannya yang belum selesai. Sebenernya hanya tinggal tiga suap saja sepiring nasi itu habis. "Ada apa, Bu?" tanya Risa ketika ia sudah berada di depan sang Majikan. "Kemarin saya menemukan celana dalam laki-laki ada di kamar kamu." Deg!Seketika jantung Risa terasa seperti berhenti berdetak. Sekilas, Risa melirik ke arah Arjuna yang tampak menunduk dalam. "Kata suami saya, kamu habis memasukkan laki-laki ke dalam kamar ya? Siapa? Kekasih kamu?" tanya Rahma yang bersikap pura-pura tidak tau. Risa terlihat gugup, ia sampai tak bisa berpikir jawaban apa yang harus ia katakan. Risa kembali melirik ke arah sang kekasih, dan detik berikutnya tampak Arjuna memberikan kode agar Risa mengangguk saja. "I–iya, Bu. Saya minta maaf." Dengan perasaan kesal seka
"Sudah, Bu. Sudah saya sambungkan sekalian ke ponsel ini." Lelaki yang merupakan karyawan Elisa menyerahkan ponsel Rahma kepada pemiliknya. "Baik, Mas. Terima kasih, ya. Kwitansinya mana?" Diserahkannya selembar nota pembelian kepada Rahma, dan bergegas wanita itu memberikan sejumlah uang yang tertera pada nota pembelian. Tak lupa ia juga menambahkan satu lembar uang pecahan 100 ribuan sebagai upah atau bonus atas tenaganya.Setelah lelaki itu pergi, Rahma melangkah masuk menuju kamar Risa. Kepala Rahma mendongak, mencari keberadaan benda kecil yang akan mengungkap kebusukan dua manusia tak berakhlak. Dua pasang cctv terpasang dengan sempurna. Satu menyorot langsung bagian ranjang, dan satunya mencakup satu ruangan."Pasti mereka tidak akan tau kalau ada cctv di dalam sini," ucap Rahma dengan bibir tersenyum puas. ****Bibir bergincu merah maroon itu tersenyum kala melihat sang kekasih sudah terduduk di salah satu kursi yang ada di cafe tempat mereka melakukan janjian. Bergegas R