Home / Sci-Fi / AETHERITH: Perang Planet Astarhea / Chapter 4: Jalan Sang Pengkhianat

Share

Chapter 4: Jalan Sang Pengkhianat

Author: YRD20
last update Last Updated: 2025-11-04 00:49:04

Pintu bunker baja di bawah Markas Satuan Tugas Titan berderit membuka, mengeluarkan hawa dingin ke udara malam. Ini bukan pintu depan menuju koridor markas yang kini dikuasai Faksi Naga Hijau, melainkan jalur evakuasi rahasia yang mengarah langsung ke pegunungan terjal di luar wilayah inti Federasi.

Di hadapan Panglima Jae-won, kini seorang buronan, terbentanglah kehancuran yang tak terduga—bukan oleh musuh luar, melainkan oleh bangsanya sendiri.

Kapten Ji-hoon, dengan wajah ditutupi hood dan mata yang hanya memancarkan cahaya laser dari senter kecil, memimpin jalan. Mereka mengendarai kendaraan pengangkut lapis baja yang tua dan dimodifikasi, satu-satunya yang berhasil mereka pertahankan dari gudang rahasia. Target mereka: Hutan Jaya, Kerajaan Harimau Merah, aliansi terakhir.

​Perjalanan di jalur pegunungan terjal itu sunyi dan penuh ketegangan. Mereka berhasil melewati pos-pos terdepan Federasi yang kini telah mengibarkan bendera Faksi Naga Hijau, menyelinap di bawah radar yang sibuk dengan pergerakan pasukan internal. Jalur "pintu belakang" ini memang efektif, tetapi kini mereka memasuki zona perbatasan tak bertuan, sebuah area berbatu yang penuh bahaya. Di sinilah sering terjadi pertempuran sporadis antara Federasi, Republik, dan unit-unit bajak laut.

​Kendaraan pengangkut mereka melaju perlahan di antara ngarai-ngarai gelap ketika sensor Ji-hoon tiba-tiba mendeteksi tanda tangan panas yang aneh. "Panglima, ada sesuatu di depan. Bukan unit Federasi, bukan Republik. Sangat stealthy."

​Tak lama kemudian, sebuah Soldierid Stealth yang dimodifikasi muncul dari balik bebatuan, bergerak tanpa suara di tengah desau angin gurun. Dari kokpitnya keluar Mayor Hyun-woo, ahli infiltrasi legendaris Federasi. Ia tidak mengenakan seragam, hanya pakaian stealth gelap, wajahnya keras dan penuh kehati-hatian.

​"Jae-won," suara Hyun-woo dingin, suaranya diputar oleh modulator helm, sama sekali tidak ada sapaan kehormatan militer. "Kudengar kau dicap pengkhianat. Unit-unit Hyeong-jun sedang memburumu, dan Republik sedang menyapu area ini mencari sisa-sisa yang bisa mereka manfaatkan. Kehadiranmu di sini adalah... risiko."

​Ji-hoon segera maju, "Mayor, kami bukan musuh! Panglima Jae-won sedang dalam misi untuk mengungkap kebenaran yang jauh lebih besar dari kudeta ini!"

​Jae-won mengangkat tangan, menghentikan Ji-hoon. Ia tahu Hyun-woo, seorang prajurit yang didorong oleh prinsip kebenaran yang kaku, tetapi juga sangat pragmatis. "Mayor Hyun-woo. Aku mengerti keraguanmu. Aku seorang buronan. Tapi aku tidak mengkhianati Federasi. Aku berusaha menyelamatkannya dari kebodohan Hyeong-jun dan rencana yang lebih besar dari Republik." Jae-won menantang.

"Kau di sini sendirian. Aku tahu kau tidak tunduk pada Hyeong-jun. Kau pasti sedang dalam misi pentingmu sendiri. Aku mencari kebenaran tentang Modul Kompensator Inti yang dicuri Republik. Jika kau benar-benar ingin menyelamatkan apa yang tersisa dari Federasi, buktikan. Bantu kami melewati tanah tak bertuan ini menuju Hutan Jaya. Aku akan memberimu semua yang kutahu tentang permainan catur Wei Shen, dan kau bisa melihat gambaran besarnya sendiri."

​Hyun-woo diam sejenak, menimbang setiap kata. Dia tahu Jae-won bukan tipe pemimpin yang akan melarikan diri tanpa alasan. Keputusannya adalah pertaruhan besar. Akhirnya, dia mengangguk pelan. "Ada jalur aman melalui ngarai selatan, tapi hanya aku yang tahu peta itu secara utuh. Ikuti aku. Tapi jika kau berbohong, Panglima, aku sendiri yang akan mengakhirinya."

​Dengan keahlian navigasi Ji-hoon, Soldierid stealth Hyun-woo yang gesit, dan kewaspadaan Jae-won, mereka berhasil bergerak cepat melalui labirin ngarai dan dataran tinggi. Wilayah ini adalah medan pertempuran tak terlihat, dengan jejak-jejak pertempuran lama dan jebakan yang mematikan.

Saat mereka mendekati perbatasan lama Federasi dengan negara-kota netral yang kini tak berpenghuni, sebuah komunikasi darurat dengan kode enkripsi lama Federasi tiba-tiba masuk.

​"Panglima! Ini Kapten Min-seo! Saya... saya tahu ini terdengar gila, tapi kami terjebak di reruntuhan kota tua Altair! Faksi Naga Hijau mengepung kami! Kami berhasil melumpuhkan Soldierid utama mereka, tapi kami kehabisan amunisi dan mereka akan melakukan serangan akhir dalam satu jam! Kami tidak bisa mundur, kami membawa para sandera sipil dari reruntuhan!"

​Jae-won memandangi peta taktis yang diproyeksikan Hyun-woo. Reruntuhan Altair berada di arah yang sedikit bergeser dari rute langsung mereka menuju Hutan Jaya, namun juga terletak di jalur potensial pergerakan pasukan Republik.

​Hyun-woo menatap Jae-won. "Altair adalah sarang lebah. Ini di luar kendali Hyeong-jun, tapi penuh dengan sisa-sisa bajak laut dan unit Republik yang mencari keuntungan. Itu terlalu jauh dari rute aman kita."

​Jae-won teringat akan Min-seo, seorang perwira muda yang berani dan loyal. Dia tidak bisa meninggalkannya. "Berapa lama kita bisa sampai di sana, Hyun-woo?"

​"Dengan kecepatan penuh, mungkin satu jam lebih sedikit. Tapi kita akan menarik perhatian dari semua pihak. Kita akan menjadi sasaran empuk."

​Jae-won mengangguk. "Itu risiko yang harus kita ambil. Min-seo tidak akan meminta bantuan jika situasinya tidak putus asa. Kita tidak bisa meninggalkannya. Kita akan menyelamatkan Min-Seo. Reruntuhan kota tua Altair, itu adalah target selanjutnya." Sambil berbicara, tangan Jae-won dengan sigap membuka kompartemen tersembunyi di bagasi kendaraan. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah koper berteknologi dengan kunci biometrik. Setelah otentikasi cepat, tutupnya terbuka, menampakkan sepasang pistol plasma kembar yang ramping dan mematikan, terpasang rapi di busa pelindung. Ia menariknya keluar, memeriksa sel energi, dan menyisipkannya ke sarung pinggang cadangan. Untuk misi penyelamatan ini, ia tahu ia akan membutuhkannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 36: Kemunculan Argentum Dan Tabib Udzhur

    Langit-langit di Level B3 Menara Babelia mulai berderit hebat. Lempengan baja titanium setebal satu meter melengkung seolah ditekan oleh kekuatan raksasa yang tak terlihat. Debu teknologi—butiran logam mikro yang bersinar keperakan—jatuh menghujani ruangan, menciptakan kabut metalik yang menyesakkan napas. Di tengah laboratorium yang berantakan, kolam air raksa setinggi sepuluh meter mendadak mendidih. Cairan berat itu meledak ke atas, lalu memadat membentuk sesosok pemangsa purba: Argentum, sang Naga Mekanis. ​Wujud Argentum adalah perpaduan antara keindahan dan kengerian teknologi. Tubuhnya tidak memiliki bentuk statis; seluruh kulit dan ototnya adalah aliran logam cair perak yang terus berdenyut. Setiap kali ia melangkah, cakar-cakarnya memanjang dan menajam, menciptakan bunyi denting logam yang menyayat telinga saat bersentuhan dengan lantai. Sepasang matanya berupa sensor merah tajam yang menyapu seluruh ruangan dengan ketepatan yang mematikan. ​"Kartika, awas di sampingmu!" t

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 35: Misi Gulungan Terakhir

    Kontras dengan badai pasir yang mengamuk dan puing-puing Menara Babelia yang berserakan di permukaan Gurun Utara, Level B1 Substratum Babelia adalah sebuah mahakarya arsitektur futuristik yang tersembunyi jauh di perut bumi. Begitu kaki melangkah masuk, keheningan yang steril segera menyambut. Ruangan ini tidak mengenal kegelapan; seluruh koridor bermandikan cahaya putih bersih dari panel spektrum luas yang tertanam mulus di langit-langit, menciptakan atmosfer laboratorium yang sangat cerah dan modern. Dinding-dindingnya terbuat dari polimer putih mengilap dengan aksen logam kromium yang memantulkan setiap gerakan seperti cermin yang jernih. ​Di tengah aula utama yang luas, Kapsul Regenerasi Aetherik (KRA) berdiri tegak bagaikan sebuah monumen kehidupan. Cairan regenerasi di dalamnya berdenyut pelan, memancarkan cahaya hijau zamrud yang hangat dan menenangkan. Di dalam tabung kaca yang tebal itu, tubuh Jae-won tampak mengapung dengan tenang, terhubung pada ribuan kabel halus yang men

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 34: Laboratorium Rahasia

    Kontras dengan Gurun Utara Genevivre yang tadinya panas luar biasa, begitu melewati Gerbang Babelia, suhu di dalam kompleks mendadak lenyap, digantikan oleh keheningan total. Rasanya seperti masuk ke dalam ruangan hampa, dindingnya terbuat dari batu hitam monolitik yang dingin dan lembap. ​Tim Aliansi terpincang-pincang masuk, ambruk ke lantai koridor heksagonal yang mengilap, memantulkan cahaya biru redup dari kristal tersembunyi. Ruangan itu berbau ozon, logam dingin, dan esensi mineral purba. ​Prioritas utama mereka hanya satu: Jae-won. Kartika segera mendekat, meminta Enya mengecek kondisi Panglima yang tak sadarkan diri. ​"Racunnya parah sekali," bisik Enya. "Penolakan energi total. Jantungnya berjuang. Kita hanya punya waktu sangat sedikit." ​Ilias Zaire, sang Penjaga Babelia, berdiri tegak di ujung lorong, mengamati. "Anda lolos tes niat. Sekarang buktikan kecepatan. Lab Karantina ini tidak akan menyesuaikan dirinya dengan kelemahan Anda," kata Ilias datar. Kageyama da

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 33: Sang Penjaga Reruntuhan Menara

    Udara di Gurun Genevivre terasa mendidih di bawah tekanan energi yang sangat besar. Jae-won terkapar tak berdaya di balik bebatuan purba; keracunan Aethernya memburuk dengan setiap denyutan kilat biru kobalt dari Badai Aether yang Hidup. Enya dan Kageyama berjuang menjaga formasi, sementara Kartika menggenggam Gulungan Dunia yang berpendar liar.​Tiba-tiba, Badai Aether itu bereaksi. Pusaran awan putih itu menyentak ke atas; tekanan frekuensi Badai memuncak hingga membuat telinga tim berdenging, seolah-olah seluruh atmosfer baru saja berteriak secara internal. Energi tersebut membentuk Pilar Siklon Murni yang menjulang tinggi hingga menembus lapisan awan. Kilat-kilat biru kobalt berputar di sekeliling pilar itu seperti ular yang marah. Suara angin, desisan listrik, dan gemuruh Badai mendadak lenyap, digantikan oleh keheningan total yang terasa lebih mencekik daripada Badai sebelumnya.​Dari pusat Pilar tersebut, di antara cahaya putih kebiruan, seorang pria berbalut syal tebal muncul.

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 32: Perasaan Di Tengah Badai

    Pesawat Angkasa Phoenix Ascendant meluncur dalam keheningan yang dalam, memotong kegelapan di atas Planet Astarhea. Kapal itu adalah mahakarya Kekaisaran Phoenix—sebuah ruang operasi stealth. Di dalamnya, suasana terasa sangat tenang, kontras dengan misi berbahaya yang mereka emban.​Di ruang makan, Chef Zacharia menyajikan hidangan dengan ketelitian yang tenang. Mangkuk-mangkuk Soto Harimau Emas memberikan kehangatan yang menenangkan. Di tengah meja, tersaji Bulgogi Sang Naga yang Kembali, daging panggang yang harum. Di sudut, diletakkan Mie Panjang Umur Giok yang mengilat—sebuah ironi pahit mengingat Ratu Aruna dan Putri Akari kini terbaring koma, menuntut penyembuhan yang segera. Piring-piring kecil berisi irisan tipis Sashimi Bintang Jatuh, elegan dan dingin. Akhirnya, ada Khao Pad Rajin, nasi goreng nanas yang mewah.​Jae-won, Kartika, dan Enya duduk bersama. Di sisi lain meja, Kageyama dan Pedang Bayangan duduk kaku.​"Tujuannya adalah kelangsungan hidup," balas Kartika. "Tabib

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 31: Jalan Menuju Cahaya

    Kecepatan Kumbang melampaui segala sesuatu yang pernah dikendarai Kartika atau Jae-won. Panther besar itu, dengan bulunya yang sehitam malam dan matanya yang memancarkan cahaya hijau stabil, bukanlah sekadar hewan pendamping; ia adalah manifestasi fisik dari Aether yang dikontrol penuh oleh Enya. Mereka melaju di atas atap perumahan padat Kesultanan Omar.​Kumbang meluncur dari atap terakhir dan mendarat dengan mulus di halaman belakang yang gelap milik Penginapan milik Chef Zacharia. Di sana, Chef Zacharia, pemilik penginapan mewah, berdiri menunggu, masih mengenakan celemek koki yang bersih, wajahnya pucat karena ketegangan.​Enya turun dari Kumbang. Risa melompat dan langsung berlari ke pelukan ayahnya. Chef Zacharia dengan cepat membawa putrinya ke ruang penyimpanan yang remang-remang.​Setelah isak tangis yang singkat, Jae-won mendesak. “Anda harus bergerak sekarang. Setiap detik yang kita habiskan di sini adalah risiko.”​Zacharia melepaskan pelukannya, mengambil kotak Gulungan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status