/ Sci-Fi / AETHERITH: Perang Planet Astarhea / Chapter 5: Bantuan Menuju Harapan

공유

Chapter 5: Bantuan Menuju Harapan

작가: YRD20
last update 최신 업데이트: 2025-11-05 13:47:08

Matahari Astarhea yang meredup menggantung rendah di cakrawala gurun, mewarnai hamparan batu dan pasir dengan gradasi oranye dan merah darah yang muram. Di bawah langit yang begitu luas dan tak acuh, tim kecil pimpinan Jae-won bergerak maju. Mereka adalah sisa-sisa kesetiaan yang tak tergoyahkan: Jae-won sendiri, sang Panglima yang kini dicap pengkhianat; Kapten Ji-hoon, pengemudi andal dengan kesetiaan membaja; Mayor Hyun-woo, hantu infiltrasi yang bergerak di antara bayang-bayang; dan Kapten Min-seo, pilot Soldierid yang berani. Kendaraan pengangkut lapis baja mereka, yang tua namun telah dimodifikasi dengan susah payah, mendaki jalur kuno yang jarang dilalui—sebuah urat nadi perdagangan dari era lampau, kini sarang bagi bahaya dan ketidakpastian.

Setiap derit roda, setiap embusan angin gurun yang dingin, membawa serta ketegangan yang lebih pekat daripada debu yang terangkat. Kesadaran pahit meresap ke dalam tulang mereka: mereka adalah buruan paling dicari di seluruh Olympia, seolah setiap bayangan adalah mata yang mengintai, setiap hembusan angin adalah bisikan tuduhan.

​Tiba-tiba, suara alarm mengoyak keheningan di dalam kokpit kendaraan. Ji-hoon berteriak, suaranya tercekat di tenggorokan. "Panglima, jebakan di depan! Bandit-bandit! Jumlah mereka... jauh lebih banyak dari perkiraan!"

​Dari balik bukit pasir yang tandus dan reruntuhan menara komunikasi yang telah lama tumbang, puluhan figur bayangan melesat maju. Mereka adalah Bandit Gurun, para serigala tanpa loyalitas, yang hidup dari menjarah jalur-jalur sepi ini. Mereka menunggangi hoverbike yang dimodifikasi, meluncur di atas tanah dengan kecepatan mengerikan, memuntahkan rentetan laser dan roket. Bau mesiu dan ozon yang terbakar memenuhi udara gurun yang kering, menandai dimulainya pertempuran yang tak terhindarkan.

​"Pertahankan formasi!" perintah Jae-won, suaranya dingin, namun penuh otoritas, naluri Panglima-nya yang sudah teruji kembali mengambil alih. Ia mencabut dua pistol plasma ikoniknya dari sarung pinggang, senjata yang telah menjadi perpanjangan tangannya selama bertahun-tahun pertempuran. Energi biru yang mematikan mulai berdenyut dari larasnya, sebuah pemandangan yang dikenal dan ditakuti oleh banyak musuh di Federasi. "Min-seo, lindungi sayap kanan! Hyun-woo, siapkan tembakan balasan dari belakang! Ji-hoon, fokus pada kemudi, jangan sampai kita terhenti!"

​Pertempuran pecah dengan ganas. Jae-won, kini tanpa perlindungan Soldierid pribadinya, melesat ke sisi kendaraan pengangkut yang terbuka. Ia menembakkan dua pistol plasma-nya secara berirama, sebuah simfoni tembakan energi yang mematikan.

Tembakan energi biru melesat, membelah udara, meledakkan kokpit hoverbike bandit satu per satu dengan presisi yang hanya bisa dimiliki oleh sang Panglima. Tubuhnya bergerak lincah, menghindar dari tembakan balasan musuh sambil terus menghujani mereka dengan plasma.

Sementara itu, Min-seo, di dalam kokpit Soldierid-nya yang lincah, menari di udara, menjadi perisai bergerak yang gesit, membalas tembakan dengan akurasi mematikan, menembak jatuh target yang mencoba mendekat. Ledakan demi ledakan mengguncang gurun, pasir dan baja terlempar ke udara, menciptakan kawah-kawah kecil di medan pertempuran.

​Hyun-woo, sang ahli stealth, mengambil posisi rentan di atap kendaraan lapis baja yang bergerak. Dengan senapan sniper yang dimodifikasi, ia menembak bukan untuk membunuh, tetapi untuk melumpuhkan; setiap peluru menembus mesin hoverbike bandit, menjatuhkannya ke pasir tanpa suara.

Setiap tembakannya efisien, menunjukkan penguasaan medan yang sempurna dan ketenangan yang luar biasa di tengah kekacauan. Ji-hoon, di balik kemudi, mengemudi dengan agresif, bermanuver di antara bebatuan dan reruntuhan, menghindari tembakan musuh dengan keterampilan pilot ulung, membuat kendaraan mereka melaju tanpa henti.

​Mereka berhasil memukul mundur gelombang pertama. Para bandit, terkejut dengan perlawanan sengit dan keahlian Jae-won yang legendaris, mulai menarik diri ke kejauhan. Namun, kemenangan ini terasa pahit. Kendaraan mereka rusak parah, asap mengepul dari mesin yang kepanasan, dan Min-seo melaporkan kerusakan serius pada sistem navigasinya.

​"Sial! Kita butuh perbaikan, Panglima," keluh Ji-hoon, memukul konsol yang berasap dengan frustrasi. "Jalur evakuasi ini tidak akan bertahan lama."

​Ketika mereka bersembunyi di balik tebing yang menjulang, mencoba memperbaiki kerusakan darurat, alarm Hyun-woo berbunyi lagi, kali ini lebih mendesak, lebih menakutkan. "Panglima, unit musuh mendekat dari arah selatan. Bukan bandit. Ini... Faksi Naga Hijau. Lebih dari satu peleton, dengan Soldierid berat dan unit infanteri."

​Wajah Jae-won mengeras, urat-urat menonjol di pelipisnya. Hyeong-jun tidak membuang waktu. Pelacakannya begitu efisien, sebuah bukti bahwa Hyeong-jun menggunakan semua sumber daya Federasi untuk memburu mereka tanpa ampun.

"Mereka pasti menyisir rute lama untuk mencari kita," gumam Jae-won, matanya menyapu medan.

​Min-seo bersiap, Soldierid-nya berderak, mesinnya meraung kecil. "Kita tidak bisa bertarung frontal, Panglima. Mereka terlalu banyak, dan kita... kita perlu perbaikan."

​Jae-won menatap medan pertempuran. Tebing curam, beberapa reruntuhan kuno yang menawarkan perlindungan. Sebuah ide terlintas di benaknya.

"Ji-hoon, coba hidupkan kembali komunikasi dengan Hutan Jaya. Kirim sinyal darurat, sekecil apapun itu. Hyun-woo, siapkan jebakan di sana." Ia menunjuk ke celah sempit di antara dua tebing yang dikenal sebagai 'Gerbang Air Mata', sebuah lorong berbahaya yang hanya bisa dilewati oleh yang paling berani.

"Min-seo, kau akan menjadi umpan."

​"Umpan, Panglima?" tanya Min-seo, terkejut, tetapi tidak gentar.

​"Ya. Kau akan terbang rendah, memancing mereka ke dalam celah itu. Hyun-woo akan menunggu. Aku dan Ji-hoon akan memberikan tembakan pengalih

perhatian dari atas."

​Min-seo mengangguk, kekhawatiran digantikan oleh determinasi baja. "Siap, Panglima."

​Min-seo meluncur dengan Soldierid-nya, terbang rendah dan cepat di atas kepala, tembakan laser Faksi Naga Hijau meledak di sekelilingnya, hampir mengenainya. Ia berhasil memancing unit-unit musuh masuk ke dalam celah yang sempit itu. Begitu mereka masuk, Hyun-woo, yang bersembunyi di puncak tebing, menjatuhkan ranjau EMP dan peledak kinetik yang ia miliki. Ledakan dahsyat mengguncang tebing, menjatuhkan beberapa Soldierid musuh ke tanah berbatu.

​Namun, musuh terlalu banyak dan terlalu kuat. Unit-unit infanteri Faksi Naga Hijau, yang dipimpin oleh seorang komandan kejam dengan baju zirah gelap, memanjat tebing, berusaha mengepung Hyun-woo.

​Jae-won dan Ji-hoon, dari posisi tinggi di kendaraan, menembak tanpa henti. Dua pistol plasma Jae-won memuntahkan tembakan biru, membelah formasi infanteri yang mencoba naik.

Pertempuran berubah menjadi kacau, dengan ledakan dan teriakan perang bergema di celah sempit itu. Hyun-woo terpaksa mundur, bersembunyi di antara reruntuhan, mengandalkan keahlian stealth-nya. Min-seo, dengan Soldierid yang rusak, nyaris jatuh dari langit yang penuh asap.

​Pada puncaknya, Jae-won melihat komandan Faksi Naga Hijau itu mencoba menanam bahan peledak di dasar tebing—tujuannya jelas: untuk menjatuhkan tebing itu, mengubur Min-seo dan para sandera yang mereka bawa!

​"Hyun-woo! Min-seo! Mundur! Kita tidak bisa membiarkan mereka mengepung!" Jae-won berteriak, suaranya nyaris tenggelam oleh hiruk-pikuk pertempuran.

​Dalam momen putus asa, Jae-won mengambil keputusan berisiko. Ia melesat keluar dari kendaraan, dua pistol plasma di tangannya memuntahkan tembakan tanpa henti saat ia bergerak cepat di antara reruntuhan, mengandalkan pengalaman bertahun-tahun dalam pertempuran infanteri dan keahliannya yang tak tertandingi dengan senjata tersebut.

Sebuah pertarungan brutal dan pribadi terjadi. Jae-won yang bersenjata ringan, namun mematikan, melawan prajurit Faksi Naga Hijau yang bersenjata lengkap dan Soldierid yang masih tersisa. Saling tembak, manuver mematikan, percikan api beterbangan di udara yang pekat dengan debu dan asap.

​Dengan dua pistol plasmanya menari di tangannya, Jae-won berhasil melumpuhkan komandan itu dan beberapa unit infanteri di sekitarnya. Namun, kini ia sendiri berada dalam posisi yang sangat berbahaya, terjebak di antara reruntuhan, sementara unit-unit Faksi Naga Hijau yang tersisa masih banyak dan mulai mengarahkan semua tembakan mereka ke arahnya.

​"Panglima!" teriak Ji-hoon, yang masih mencoba memperbaiki kendaraan mereka, suaranya penuh keputusasaan.

​"Panglima, saya akan kembali!" Min-seo mencoba memutar Soldierid-nya yang rusak parah, tetapi mesinnya macet.

​"Jangan bodoh, Min-seo! Selamatkan diri kalian!" Jae-won berteriak, tahu bahwa ia mungkin tidak akan selamat.

​Hyun-woo, yang baru saja melumpuhkan beberapa unit infanteri, melihat situasi kritis Jae-won. Ia tahu jika Jae-won jatuh, semuanya berakhir. Dia membuat keputusan sepersekian detik. "Aku akan mengulur waktu!"

​Hyun-woo melesat, bergerak di antara tebing, menembakkan sisa-sisa amunisinya, menciptakan gangguan maksimal, berusaha menarik perhatian musuh dari Jae-won. Tapi jelas, itu adalah misi bunuh diri, sebuah tindakan pengorbanan yang heroik.

​Jae-won melihat Hyun-woo mempertaruhkan nyawanya untuknya. Api tembakan laser menyambar-nyambar di sekitar Hyun-woo. Jae-won terjebak, kedua pistol plasmanya mulai kehabisan energi. Min-seo putus asa, Ji-hoon mencoba menghidupkan mesin.

​Tiba-tiba, dari bayangan di atas reruntuhan, sebuah kilatan perak melesat dengan kecepatan yang tak masuk akal. Bukan peluru, bukan laser, melainkan shuriken energi kinetik yang membelah udara dengan dengungan tajam. Whizz! Shuriken itu menancap di kepala Soldierid Faksi Naga Hijau yang mengincar Hyun-woo, menonaktifkannya seketika dengan sebuah ledakan kecil.

​Sosok itu muncul dari kegelapan seolah materi itu sendiri membengkok di sekelilingnya. Itu adalah seorang prajurit, mengenakan pakaian gelap ramping yang memungkinkannya menyatu dengan bayangan, dengan pisau energi yang bisa muncul dari lengan dan mata yang tajam, memindai medan pertempuran dengan kecepatan pikiran. Dengan kemampuan parkour dan akrobatik yang luar biasa, dia melompat dari tebing ke tebing, bergerak senyap seperti hantu, melumpuhkan beberapa prajurit Faksi Naga Hijau dengan gerakan cepat dan mematikan.

Dia adalah Kageyama, seorang Ninja Futuristik dari Klan Jaring Angin. Kageyama adalah salah satu agen tersembunyi dari Kekaisaran Timur yang kuat, kini sedang dalam misi pribadi melatih ilmu ninja dan bela dirinya di reruntuhan kuno yang terpencil ini—tak disangka, ia menyaksikan pertarungan epik yang memancingnya untuk ikut campur, nalurinya mendorongnya untuk mengintervensi demi keseimbangan.

​Gerakannya bukan gaya bertarung militer yang kaku, melainkan seni bela diri kuno yang disempurnakan dengan teknologi stealth mutakhir. Dia melesat, menghindari tembakan laser dengan kelenturan tubuh yang tak masuk akal, membalas dengan lemparan shuriken energi yang mengenai titik vital musuh atau menonaktifkan Soldierid dengan pukulan presisi ke sendi. Dia menjadi tornado bayangan dan kilatan pisau energi, membersihkan celah itu dari pasukan Faksi Naga Hijau. Satu per satu, prajurit Hyeong-jun tumbang, tak mampu melacak pergerakannya, seolah mereka melawan hantu.

​"Panglima, itu adalah... Kageyama dari Klan Jaring Angin Kekaisaran!" seru Hyun-woo, terkejut namun kagum, sebuah nama yang hanya dikenal dari desas-desus di kalangan elit militer Olympia.

​Kageyama, setelah melumpuhkan sebagian besar musuh, melesat ke dekat tim Jae-won. Wajahnya yang tanpa emosi kini menunjukkan sedikit urgensi. Dia tidak berbicara banyak, hanya menunjuk ke arah celah tersembunyi di samping tebing, yang tampaknya mustahil untuk dilewati bahkan oleh kendaraan.

​"Cepat," bisiknya, suaranya rendah dan serak, hampir seperti angin gurun. "Kita tidak punya banyak waktu. Lebih banyak unit akan datang."

​Jae-won mengangguk, tanpa pertanyaan, mempercayai naluri ninja itu sepenuhnya. Ia tahu ini adalah kesempatan satu-satunya mereka. "Ji-hoon, Min-seo, ikuti dia! Aku akan mengamankan bagian belakang!"

​Ji-hoon, dengan kendaraan yang mulai berasap dan berderak, memaksa mesinnya melewati celah sempit itu, dibantu oleh Min-seo yang menembak sisa-sisa musuh. Kageyama melesat di depan, menunjukkan jalur rahasia, memanjat dinding tebing yang curam dengan mudah, seolah gravitasi tidak memengaruhinya. Hyun-woo mengikutinya dengan stealth-nya, memberikan cover dari belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal.

​Mereka bergerak cepat, melalui labirin ngarai tersembunyi yang hanya diketahui oleh Klan Jaring Angin. Tembakan laser dari Faksi Naga Hijau di belakang mulai mereda, mereka berhasil menciptakan jarak yang aman. Setelah beberapa menit yang menegangkan, mereka akhirnya keluar dari labirin bebatutan itu, memasuki dataran yang lebih luas, di mana udara terasa lebih bersih dan ancaman Hyeong-jun memudar di cakrawala.

​Mereka berhasil lolos, untuk sementara.

​Kageyama berhenti, menatap ke belakang sejenak, wajahnya menunjukkan evaluasi mendalam, lalu berbalik menghadap Jae-won. Tatapannya dingin, namun ada secercah keingintahuan yang membara. "Jalur ini akan membawa kalian ke gerbang Hutan Jaya. Aku telah menyelesaikan tugas ini."

​Jae-won, napasnya tersengal, menatap Kageyama. "Mengapa seorang agen Kekaisaran membantu kami, para buronan Federasi?"

​Ninja itu tidak menjawab secara langsung. "Klan Jaring Angin memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan. Konflik kalian... hanya mempercepat kebangkitan yang lebih besar." Dia melirik ke arah holo-tablet Jae-won, seolah dapat membaca data yang terkunci di dalamnya. "Aku melihat potensi dalam dirimu, Panglima. Jangan sia-siakan."

​Sebelum Jae-won bisa bertanya lebih jauh tentang "kebangkitan" atau "keseimbangan" yang ia maksud, Kageyama melesat. Dengan gerakan secepat kilat, dia menghilang ke dalam bayang-bayang gurun yang semakin gelap, seolah dia tidak pernah ada. Hanya angin yang berdesir, membawa bisikan misteri yang semakin mendalam.

​Tim Jae-won kini berdiri di ambang Hutan Jaya, selamat, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab dan firasat buruk yang mengganggu. Siapa Kageyama, sang Gunung Bayangan, dan apa sebenarnya yang diketahui Klan Jaring Angin tentang "keseimbangan" dan "kebangkitan" yang ia maksud? Apa hubungan Kekaisaran Timur dengan misteri yang menyelimuti Astarhea ini? Dan apa sebenarnya ancaman yang lebih besar itu, yang bahkan membuat ninja legendaris seperti Kageyama khawatir?.

​Jae-won dan timnya telah lolos dari cengkeraman Hyeong-jun dan para bandit, tetapi mereka baru saja mengintip ke dalam dunia yang jauh lebih kompleks dan berbahaya, yang melampaui konflik Federasi dan Republik. Misteri yang sebenarnya baru saja dimulai, dan nasib Astarhea kini terikat pada kebenaran yang harus mereka ungkap.

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 36: Kemunculan Argentum Dan Tabib Udzhur

    Langit-langit di Level B3 Menara Babelia mulai berderit hebat. Lempengan baja titanium setebal satu meter melengkung seolah ditekan oleh kekuatan raksasa yang tak terlihat. Debu teknologi—butiran logam mikro yang bersinar keperakan—jatuh menghujani ruangan, menciptakan kabut metalik yang menyesakkan napas. Di tengah laboratorium yang berantakan, kolam air raksa setinggi sepuluh meter mendadak mendidih. Cairan berat itu meledak ke atas, lalu memadat membentuk sesosok pemangsa purba: Argentum, sang Naga Mekanis. ​Wujud Argentum adalah perpaduan antara keindahan dan kengerian teknologi. Tubuhnya tidak memiliki bentuk statis; seluruh kulit dan ototnya adalah aliran logam cair perak yang terus berdenyut. Setiap kali ia melangkah, cakar-cakarnya memanjang dan menajam, menciptakan bunyi denting logam yang menyayat telinga saat bersentuhan dengan lantai. Sepasang matanya berupa sensor merah tajam yang menyapu seluruh ruangan dengan ketepatan yang mematikan. ​"Kartika, awas di sampingmu!" t

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 35: Misi Gulungan Terakhir

    Kontras dengan badai pasir yang mengamuk dan puing-puing Menara Babelia yang berserakan di permukaan Gurun Utara, Level B1 Substratum Babelia adalah sebuah mahakarya arsitektur futuristik yang tersembunyi jauh di perut bumi. Begitu kaki melangkah masuk, keheningan yang steril segera menyambut. Ruangan ini tidak mengenal kegelapan; seluruh koridor bermandikan cahaya putih bersih dari panel spektrum luas yang tertanam mulus di langit-langit, menciptakan atmosfer laboratorium yang sangat cerah dan modern. Dinding-dindingnya terbuat dari polimer putih mengilap dengan aksen logam kromium yang memantulkan setiap gerakan seperti cermin yang jernih. ​Di tengah aula utama yang luas, Kapsul Regenerasi Aetherik (KRA) berdiri tegak bagaikan sebuah monumen kehidupan. Cairan regenerasi di dalamnya berdenyut pelan, memancarkan cahaya hijau zamrud yang hangat dan menenangkan. Di dalam tabung kaca yang tebal itu, tubuh Jae-won tampak mengapung dengan tenang, terhubung pada ribuan kabel halus yang men

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 34: Laboratorium Rahasia

    Kontras dengan Gurun Utara Genevivre yang tadinya panas luar biasa, begitu melewati Gerbang Babelia, suhu di dalam kompleks mendadak lenyap, digantikan oleh keheningan total. Rasanya seperti masuk ke dalam ruangan hampa, dindingnya terbuat dari batu hitam monolitik yang dingin dan lembap. ​Tim Aliansi terpincang-pincang masuk, ambruk ke lantai koridor heksagonal yang mengilap, memantulkan cahaya biru redup dari kristal tersembunyi. Ruangan itu berbau ozon, logam dingin, dan esensi mineral purba. ​Prioritas utama mereka hanya satu: Jae-won. Kartika segera mendekat, meminta Enya mengecek kondisi Panglima yang tak sadarkan diri. ​"Racunnya parah sekali," bisik Enya. "Penolakan energi total. Jantungnya berjuang. Kita hanya punya waktu sangat sedikit." ​Ilias Zaire, sang Penjaga Babelia, berdiri tegak di ujung lorong, mengamati. "Anda lolos tes niat. Sekarang buktikan kecepatan. Lab Karantina ini tidak akan menyesuaikan dirinya dengan kelemahan Anda," kata Ilias datar. Kageyama da

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 33: Sang Penjaga Reruntuhan Menara

    Udara di Gurun Genevivre terasa mendidih di bawah tekanan energi yang sangat besar. Jae-won terkapar tak berdaya di balik bebatuan purba; keracunan Aethernya memburuk dengan setiap denyutan kilat biru kobalt dari Badai Aether yang Hidup. Enya dan Kageyama berjuang menjaga formasi, sementara Kartika menggenggam Gulungan Dunia yang berpendar liar.​Tiba-tiba, Badai Aether itu bereaksi. Pusaran awan putih itu menyentak ke atas; tekanan frekuensi Badai memuncak hingga membuat telinga tim berdenging, seolah-olah seluruh atmosfer baru saja berteriak secara internal. Energi tersebut membentuk Pilar Siklon Murni yang menjulang tinggi hingga menembus lapisan awan. Kilat-kilat biru kobalt berputar di sekeliling pilar itu seperti ular yang marah. Suara angin, desisan listrik, dan gemuruh Badai mendadak lenyap, digantikan oleh keheningan total yang terasa lebih mencekik daripada Badai sebelumnya.​Dari pusat Pilar tersebut, di antara cahaya putih kebiruan, seorang pria berbalut syal tebal muncul.

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 32: Perasaan Di Tengah Badai

    Pesawat Angkasa Phoenix Ascendant meluncur dalam keheningan yang dalam, memotong kegelapan di atas Planet Astarhea. Kapal itu adalah mahakarya Kekaisaran Phoenix—sebuah ruang operasi stealth. Di dalamnya, suasana terasa sangat tenang, kontras dengan misi berbahaya yang mereka emban.​Di ruang makan, Chef Zacharia menyajikan hidangan dengan ketelitian yang tenang. Mangkuk-mangkuk Soto Harimau Emas memberikan kehangatan yang menenangkan. Di tengah meja, tersaji Bulgogi Sang Naga yang Kembali, daging panggang yang harum. Di sudut, diletakkan Mie Panjang Umur Giok yang mengilat—sebuah ironi pahit mengingat Ratu Aruna dan Putri Akari kini terbaring koma, menuntut penyembuhan yang segera. Piring-piring kecil berisi irisan tipis Sashimi Bintang Jatuh, elegan dan dingin. Akhirnya, ada Khao Pad Rajin, nasi goreng nanas yang mewah.​Jae-won, Kartika, dan Enya duduk bersama. Di sisi lain meja, Kageyama dan Pedang Bayangan duduk kaku.​"Tujuannya adalah kelangsungan hidup," balas Kartika. "Tabib

  • AETHERITH: Perang Planet Astarhea   Chapter 31: Jalan Menuju Cahaya

    Kecepatan Kumbang melampaui segala sesuatu yang pernah dikendarai Kartika atau Jae-won. Panther besar itu, dengan bulunya yang sehitam malam dan matanya yang memancarkan cahaya hijau stabil, bukanlah sekadar hewan pendamping; ia adalah manifestasi fisik dari Aether yang dikontrol penuh oleh Enya. Mereka melaju di atas atap perumahan padat Kesultanan Omar.​Kumbang meluncur dari atap terakhir dan mendarat dengan mulus di halaman belakang yang gelap milik Penginapan milik Chef Zacharia. Di sana, Chef Zacharia, pemilik penginapan mewah, berdiri menunggu, masih mengenakan celemek koki yang bersih, wajahnya pucat karena ketegangan.​Enya turun dari Kumbang. Risa melompat dan langsung berlari ke pelukan ayahnya. Chef Zacharia dengan cepat membawa putrinya ke ruang penyimpanan yang remang-remang.​Setelah isak tangis yang singkat, Jae-won mendesak. “Anda harus bergerak sekarang. Setiap detik yang kita habiskan di sini adalah risiko.”​Zacharia melepaskan pelukannya, mengambil kotak Gulungan

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status