“Darell,” panggil Elaine.
“Ya?” respon Darell.
“Lo pernah tidur sama cewek?” tanya Elaine sedikit canggung.
Pupil Darell membulat. Dia merasa aneh pada gadis yang sedang berdiri di depannya ini. Kenapa gadis yang mungkin baru kenal dunia malam bertanya hal se-private itu pada laki-laki yang jelas-jelas tak dikenalnya.
“Maksud lo?” tanya Darell mencoba mengkonfirmasi apa yang baru saja dia dengar.
“Making Love sama cewek pernah?” tanya Elaine lagi. Kini gadis itu memperjelas maksudnya. Sontak membuat Darell terkejut, namun disaat yang bersamaan dia juga tertarik dengan gadis yang baru saja dia temui ini.
“Pernah. Kenapa?” Darell kembali bertanya.
Napas Elaine memburu, Darell bisa melihat dadanya kembang kempis secara cepat.
“Lo mau ngga, buat tidur sama gue?” ucap gadis itu polos. Dia menatap Darell bukan dengan tatapan yang ‘pengin’ tapi lebih menunjukan tatapan putus asa dan pasrah. Dan Darell bisa melihat hal itu pada sorot matanya.
“Hah? Maksud lo?”
“Kenapa nanya maksud-maksud terus? Gue tanya lo mau nggak tidur sama gue?” Gadis itu mengulang kembali pertanyaannya dengan penuh penekanan. Dia menegaskan bahwa pertanyaannya ini bukan main-main, alias serius.
Darell mengernyitkan dahinya, dia tidak habis pikir dengan gadis yang baru saja ditemuinya beberapa jam yang lalu.
“Kenapa harus gue?” tanya Darell penuh selidik. Dia tidak langsung mengiyakan ajakan Elaine.
“Karena gue nggak kenal lo,” jawabnya lirih.
Darell mencoba menyidik maksud di balik ajakan gadis yang mungkin umurnya baru genap tujuh belas tahun. Ekspresi wajahnya bukan menegaskan bahwa dia ingin melakukan itu. Hal ini membuat Darell tertarik pada gadis tersebut.
“Mau nggak?” tanya Elaine lagi. Kini nadannya sedikit memaksa.
“Tapi lo nggak akan minta gue buat tanggung jawab kan?” sidik Darell.
Gadis itu menggeleng. “Nggak, tenang aja. Just for tonight, Rell,” katanya dengan yakin.
Darell menelan ludah. Bagi dirinya yang seorang laki-laki normal, ini adalah kesempatan emas yang tidak datang dua kali. Walaupun sebenarnya, Darell sering sekali mendapatkan tawaran seperti ini. Namun gadis ini berbeda, entah kenapa gadis ini membuat pertahanan Darell goyah.
“Jadi mau nggak?” Lagi-lagi Elaine bertanya namun dengan nada yang memaksa.
“Huh!” Darell menghela napas, tak ada pilihan lagi. “Ayok, kita cari hotel sekarang!” ucapnya. Kemudian dia menarik tangan Elaine.
***
Elaine kini sudah berada di sebuah kamar hotel yang berada di pusat kota. Dia memindai seisi ruangan yang dilapisi dengan cat putih yang dominan. Di sana terdapat televisi, sofa, lemari, rak, dan buffet. Tak lupa kamar mandinya juga ada. Sepertinya hotel ini lumayan mahal.
Elaine mengigit bibirnya, saat ini dia merasa menyesal telah meminta hal konyol pada laki-laki yang tidak ia kenal. Sampai saat ini dia hanya tahu identitas laki-laki itu sebatas nama dan statusnya, yang seorang mahasiswa tingkat tiga. Hanya itu informasi yang dia ketahui tentang laki-laki yang saat ini sedang berada di toilet.
Tapi jika dia mengingat bagimana mantannya mengkhianatinya. Dia ingin merasakan apa yang dilakukan dan dirasakan oleh mantannya. Masih jelas terekam dalam memorinya, malam itu dia melihat sang mantan bersama dengan seorang perempuan. Hal yang membuat Elaine sangat terkejut dan merasa dikhianati, yaitu ketika mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah kakaknya sendiri.
Elaine meremas sprei. Kesal, marah, dan kecewa. Perasaan itu yang sampai detik ini mendominasi dirinya.
“Lo yakin, Elaine?” tanya Darell mencoba meyakinkan kembali gadis itu. Selain itu dia memberikan kesempatan kepadanya untuk mundur.
Tanpa disangka gadis itu malah mengangguk. “Panggil Ilen aja. Biar lebih gampang,” ucapnya enteng.
Darell menyeringai, kemudian dia langusng mendekati Elaine.
“Lo nggak akan nyesel kan?” tanya Darell. Kini tangannya mengelus pipi Elaine. Tiba-tiba Elaine tersentak, karena sentuhan dari Darell.
Lagi-lagi Elaine menggeleng. Napasnya kini memburu, sampai Darell bisa merasakan hembusan napas gadis itu.
“Yakin?” kini jemari Darell menyentuh bibir mungil Elaine. Mengusapnya dengan lembut oleh ibu jarinya.
“I-iya,” ucap Elaine gugup. Dada Elaine naik turun, dan Darell memindai tubuh Elaine dari bawah ... kemudian ke atas.
Darell mengecup kening Elaine, kemudian turun ke pipinya, dan sampai pada bibir gadis itu. Darell mengecup bibir Elaine dengan lembut beberapa kali. Dia melakukan hal ini sampai Elaine terbiasa dengan sentuhan itu.
“Tenang aja ya, gue bakal lakuin ini pelan-pelan kok,” ucap Darell. Kemudian dia kembali menyerang bibir Elaine.
Bibir mereka saling bertautan. Elaine bisa merasakan darahnya mulai berdesir, jantungnya berdegup dengan kencang. Apa mungkin nafsu sudah mulai menguasai dirinya?
Elaine bisa merasakan lidah Darell mencoba untuk menerobos masuk ke dalam mulutnya. Gadis itu mempersilakan lidah Darell menjejal setiap jengkal mulutnya. Bahkan Elaine membalas serangan tersebut. Dan dia bisa melihat Darell menyeringai, ketika ia membalas serangan dari Darell.
“Mpph … ah.” Elaine melepaskan ciuman mereka. Dia mencoba untuk menarik napas. Namun Darell hanya memberikan Elaine kesempatan untuk menghirup oksigen beberapa detik saja. Kemudian Darell kembali menciumnya dengan panas.
Darell mulai menjamah bagian tubuh Elaine. Gadis itu tidak menolak. Awalnya dia terkejut dengan sentuhan yang menggelikan itu, namun tiba-tiba dia mendesah ketika jari Darell menyentuh hampir setiap inci tubuhnya. Mungkin ini adalah sentuhan pertamanya dari seorang laki-laki, karena tubuh Elaine benar-benar sensitif.
Elaine tak menyadari kapan Darell membukakan pakaiannya. Kini dirinya pasrah dengan tanpa busana. Dia menatap Darell yang sedang berada di atasnya, laki-laki itu baru saja menidurkan Elaine. Napasnya berderu dengan cepat, kini hatinya terasa sakit sekali. Lagi-lagi gadis itu membayangkan apa yang dia lihat malam itu. Persis seperti ini!
Elaine membuang muka, mencoba tak menatap wajah tampan Darell. Dia mulai mengasihani dirinya sendiri. Elaine Venesia Rinjani, gadis tujuh belas tahun ini harus merelakan hal yang berharga dalam hidupnya pada laki-laki yang tak ia kenali. Mirisnya lagi dia melakukan hal ini karena sakit hati oleh mantannya, yang sebenarnya menyukai sang kakak.
Mata Elaine terasa panas. Sepertinya buliran air matanya sudah terkumpul dan ingin segera bergulir membasahi pipinya yang mulus. Namun gadis itu menahannya, sebisa mungkin dia tidak boleh menangis lagi.
“Ilen, lo siap kan?” tanya Darell. Sepertinya permainan ini akan menuju klimaks. Kini mereka sedang berada di bawah selimut yang sama.
Elaine menelan ludah dan menghela napas yang panjang. Dia mengangguk menjawab pertanyaan Darell tanpa menatapnya. Dadanya kini benar-benar berdegup kencang.
Kemudian dia bisa merasakan ada benda asing yang menerebos masuk ke dalam miliknya.
“Aaa...” Elaine meringis kesakitan. Elaine mulai tak sanggup menahan buliran air mata yang tadi sempat tertahan di matanya.
Elaine menangis. Dia mengasihani dirinya sendiri. Elaineku sayang, Elaineku malang.
***
Elaine meringis kesakitan, rasa sakit itu bersumber dari area bawah miliknya. Sang gadis terisak.
“Len, are you ok?” bisik Darell yang sedang tertidur di sebelahnya.
“Hmm.” Elaine hanya berdeham menjawab pertanyaan dari Darell.
“Serius? Gue ngerasa gak enak sama lo. Lo sakit kan?” tanya Darell lagi.
“It’s Ok. Ini nggak seberapa kok. Thanks Rell, lo udah mau tidur sama gue,” jawab Elaine dingin. Gadis itu masih enggan menatap Darell.
“You're welcome. Harusnya gue yang bilang makasih. Karena lo ngajaknya gue,” ucap Darell.
Elaine menyeringai ketika mendengar ucapan dari lawan mainnya tadi.
“Rell,” panggil Elaine.
“Ya?” respon Darell.
“Mulai besok saat kita berpisah. Gue harap kalau suatu hari nanti kita bertemu lagi, kita nggak saling kenal ya,” pinta Elaine. “Hubungan kita cuman sebatas malam ini. Setelah itu kita lupakan apa yang udah terjadi diantara kita,” imbuhnya.
Darell melirik ke arah Elaine yang sedari tadi hanya memandangi lemari, yang ada disamping kanannya. Wajah gadis itu terlihat sangat cantik. Namun jika ditilik lebih dalam, gadis itu benar-benar sedang merasa putus asa. Ah, sedari tadi Darell bermain dengan gadis itu, dia bisa merasakan bahwa gadis itu tidak lepas dalam permainan yang diinginkan olehnya. Darell berpikir, sepertinya Elaine sedang meratapi sesuatu.
“Ok.”
“Deal?”
“Deal.”
Elaine paham betul dengan maksud dari ucapan Darell. Makanya dia langsung menoleh dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Hahaha. Kenapa, Sayang?” Darell terkekeh sampe bahunya bergetar. “Nggak papa,” jawab Elaine sekenanya. Merapatkan bibirnya dan masih enggan untuk menatap Darell. Jujur saja, Elaine merasa malu saat Darell berkata demikian. Dia mengingat kejadian bertahun-tahun silam, ketika dirinya pertama kali bertemu dengan Darell. Elaine memang gila saat itu. “Kamu nyesel nggak, Len?” tanya Darell. “Nyesel apa?” sahut Elaine sambil menoleh. Darell terlihat tersenyum senang, ternyata umpannya ditangkap dengan baik oleh Elaine. Dia sengaja bertanya seperti itu agar bisa melihat wajah istrinya yang sedang memerah karena malu. “Nyesel ngajak aku tidur dan kasih aku sesuatu yang berharga dihidup kamu. Padahal dulu kamu nggak kenal aku sama sekali,” kata Darell. Elaine memejamkan matanya dan langsung mengigit bibir bawahnya
Elaine tersentak, matanya tiba-tiba membulat maksimal, saat dia melihat sosok laki-laki yang sudah lama tak ia lihat. Kenapa dia bisa ada di sini? Mau apa dia ke sini? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Elaine.“Tenang, di sini gue bukan mau ngacauin acara spesial lo, kok,” ucap laki-laki itu, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Elaine. Dia adalah Tirta, yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama menghilang.Berbeda dengan Elaine yang terkejut. Darell hanya menatap sinis laki-laki itu. Sampai Tirta berani mengacau di hari bahagianya, dia tak akan segan membunuh laki-laki itu di sini, sekarang juga.“Gue ke sini cuman mau ngucapin selamat doang. Ya, walau gue sadar diri gue nggak lo undang, Len. Tapi nggak salah, kan, kalau gue datang ke sini dan kasih selamat sama lo,” ungkapnya.“Padahal lo nggak usah repot-repot ke sini,” sambar Elsa. Dia juga sama terkejutnya dengan Elaine. Khawatir laki-laki itu akan berla
“Kenapa, Len? Kok diem?” tanya Grace. “Jangan kaget tapi,” kata Elaine. Shani dan Grace langsung saling melempar pandang. “Dua minggu lagi,” ucapnya kemudian. “Hah?” Benar saja Grace dan Shani kompak memekik. “Wait, Len. Itu … maksudnya Darell baru ngelamar lo di acara perusahaannya minggu lalu, loh. Kok udah dua minggu lagi?” tanya Grace. “Iya, sorry memang dadakan. Tante Martha pengin cepet. Dia tahu gimana perjuangan gue sama Darell, dan dia nggak mau ada yang ganggu hubungan kita lagi. Makanya minta buat cepet.” Elaine menghela napas. “Bonyok gue juga kaget pas Tante Martha minta percepet. Awalnya Papa minta buat sekitar dua bulan lagi, karena kita belum ada persiapan apa pun. Tapi Tante Martha kekeuh pengin cepet. Sorry, ya,” ucap Elaine. “Parah. Kok ngeduluin Grace, sih? Padahal dia yang dilamar duluan, tapi lo yang nikah duluan,” kata Shani terkekeh. Grace hanya mendelik kesal. Sungguh Elaine adalah perempuan yan
Mata Elaine membulat, saat Darell memanggil namanya dan melontarkan pertanyaan yang membuatnya mematung seketika. Mimpi apa Elaine semalam? Kenapa Darell melamarnya secara tiba-tiba dan di tempat umum seperti ini? Sungguh, tidak ada tanda-tanda bahwa Darell akan melamarnya. Elaine tersentak saat merasakan ada tangan yang merangkulnya. Dia langsung menoleh dan mendapati Martha yang sedang menyadarkan Elaine dari keterkejutannya. Jantung Elaine kini berdetak dengan cepat, semburat merah pun muncul di pipinya. Apalagi saat dia melihat ke arah sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Bagaimana ini? Apa yang harus Elaine katakan? Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Elaine. Walau sebelumnya, memang Darell pernah melamarnya. “Elaine, jangan membuat Darell menunggu,” bisik Martha, saat seorang crew datang sembari membawa microphone untuk Elaine. “Ta-tapi, Tante aku—” “Jawab saja,” selanya sambil
“Ngapain ke sini?” tanya Elaine, saat dirinya dan Darell sampai di sebuah butik mewah.“Beli soto. Ya, beli baju, lah. Kenapa masih nanya, sih?” timpal Darell yang langsung menggenggam tangan Elaine dan menariknya ke dalam.Tak bertanya lagi, Elaine hanya mengikuti Darell. Walau dia masih penasaran, kenapa juga Darell membawanya ke butik mewah? Tak banyak pergerakan yang dilakukan Elaine sampai akhirnya Darell langsung menegurnya.“Kenapa diem aja? Pilih bajunya, dong,” kata Darell.Elaine menoleh dengan mata membulat. “Buat apa? Aku harus tahu dulu alasan kamu bawa aku ke sini. Baru aku bisa pilih baju,” balas Elaine.Ya … bagaimana Elaine akan memilih baju, jika dia saja tidak tahu harus menghadiri acara apa? Pasalnya butik tersebut menjual baju formal untuk perempuan; gaun, blazzer dan lain-lain, tentu saja dengan desain dan harga yang wah. Mungkin butuh beberapa bulan bagi Elaine untuk seke
“A-anu, apa kamu sedang sibuk?”Darell mematung beberapa detik, ketika melihat Elaine ada di hadapannya. Kemudian dia menggeleng dengan cepat. “Oh, nggak. Kenapa?” tanya Darell.“Boleh kita bicara sebentar?” tanya Elaine dengan sedikit canggung.“Boleh, kok. Masuk aja,” ajak Darell. Dia mempersilakan Elaine untuk memasuki kamarnya. Di sana mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah sofa kecil. Darell melihat gadis itu sedang meremas jarinya, sepertinya dia sedang merasa gugup.“Ada apa?” tanya Darell dengan nada yang sangat lembut. Mencoba memberikan kenyamanan pada Elaine. Walau sebenarnya jantungnya ini sedari tadi berdegup dengan kencang.Jujur saja, Darell ingin memeluk gadis itu sekarang juga, mencurahkan segala kerinduan dan rasa kekhawatirnya selama ini. Namun, melihat kondisi Elaine yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.“Mmm … anu itu ….” Ada