Satu minggu setelah ulang tahun Elaine dan momen penting juga bersejarah bagi Elaine dan Darell. Mereka belum pernah bertemu kembali. Hanya berkomunikasi via telepon atau bahkan chat saja. Hal itu disebabkan karena kesibukan Elaine dan Darell di tempat kerja.
Darell yang terus melakuakn pertemuan dan juga rapat dengan beberapa rekan bisnisnya. Sedangkan Elaine masih harus berkutat pelaporan hasil penelitiannya. Akhirnya, setelah beberapa lama Elaine bisa menyelesaikannya. Rencanya hasilnya ini akan di bawa rapat dua hari ke depan.
“Ah, selesai!” erangnya. Elaine merentangkan kedua tangannya ke atas. Kemudian ponselnya berdering.
Elaine langsung meniliki layar ponsel miliknya. Kemudia matanya membulat ketika mendapati nama Darell di sana. Buru-buru Elaine meraih ponselnya dan menerima telepon tersebut. Elaine beranjak dan berjalan menjauh dari kubikelnya.
“Halo,” bisik Elaine. Tangan kirinya kini menutupi mulutnya.
“Uda
Tiga hari setelah kejadian menegangkan di tangga darurat itu. Elaine akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat Darell. Keputusan Elaine untuk tinggal bersama dengan Darell sangat disambut dengan baik oleh laki-laki itu. Dalam hati Darell bersorak kegirangan, karena tiba-tiba saja Elaine datang ke apartemennya.“Kamu mau kasih aku surprise?” bisik Darell manja. Kini tangannya melingkar pada perut Elaine. Memeluk Elaine dari belakang.Elaine yang sedang mempersiapkan bahan masakan untuk makan malam, mencoba melepaskan pelukan itu. Lalu dia berbalik, mendongak sedikit, dan menatap wajah Darell. Laki-laki itu memang lebih tinggi beberapa senti darinya.“Kamu nggak lihat aku lagi masak?” tanya Elaine.“Lihat. Tapi, pengin aja gitu meluk kamu dari belakang. Aku kaget, sih, tiba-tiba kamu datang dan memutuskan untuk tinggal,” jawab Darell.Elaine menghela napas. Dia tahu bahwa Darell sangat senang dengan keberadaannya
Elaine sedang diam di dekat mesin fotocopy. Ia sedang menunggu dokumen yang sedang diperbanyak untuk diberikan kepada bagian promosi. Rencananya, dalam waktu beberapa bulan ke depan, Auraku akan mengeluarkan produk baru.Produk tersebut merupakan produk ke-2 yang launching di era kepemimpinan Darell. Walau sebenarnya konsep produk ini sudah ada dari masa ibunya menjabat. Hanya saja baru kembali dikaji, saat Darell menjabat sebagai pimpinan.“Ngomong-omong, gue belum tahu Bu Martha,” gumam Elaine.Marthalia Fajri adalah pemilik perusahaan Auraku. Wanita itu memilih untuk berhenti dari jabatannya sebagai direktur dan digantikan oleh anak keduanya. Tapi, saat Elaine bergabung dengan perusahaan ini, dia belum pernah memiliki kesempatan bertemu dengan wanita itu.Jujur saja, Martha adalah sosok yang menginspirasi Elaine. Niat dia bergabung dengan perusahaan ini adalah bertemu dengan sang pendiri perusahaan kosmetik, yang produknya sudah membuat dir
Mulut Elaine menganga, matanya membulat. Dia benar-benar terkejut dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh teman kerjanya.“Dari tadi dia juga lihatin terus ke sini. Lebih tepatnya lihatin lo terus,” ucap Celine. Dia mengangkat dagunya, menunjuk ke arah Darell yang sedang duduk tak jauh dari mereka.Elaine membalikkan badannya perlahan, mencoba melihat ke arah yang ditunjuk Celine. Tapi saat itu Darell sedang tidak melihat ke arahnya. Laki-laki itu sedang mengobrol dengan salah satu karyawan.“A-apaan? Di-dia nggak lihat ke sini, tuh!” sanggah Elaine dengan ucapan yang terbata-bata.“Sekarang sih nggak, tapi dari tadi dia ngeliatin lo terus.” Celine memicingkan matanya. “Bener, kan? Lo pasti ada hubungan sama direktur ki
“Shei, dokumen sudah saya tandatangani semua.” Darell sedang melakukan panggilan dengan telepon kantornya. Dia memberi tahu pada sang sekretaris, kalau dokumen yang tadi pagi menumpuk di mejanya, sudah dipelajari dan dia tandatangani. “Oh, baik. Saya ke ruangan bapak,” balas Sheila, lalu panggilan itu dimatikan. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. “Masuk,” ucap Darell. Sheila datang dan berjalan menuju meja Darell. Perempuan itu mengambil dokumen yang baru saja ditandatangani Darell. Lalu dia membungkuk sebelum akhirnya berbalik badan. “Shei,” panggil Darell. Sheila langsung kembali menoleh dan membalikkan badannya, ketika atasannya itu memanggilnya. “Iya. Ada y
Elaine merentangkan kedua tangan ke atas, menggeliat, mencoba merelakskan otot tubuhnya yang terasa tegang. Kemudian dia melirik ke arah jam yang terpasang di dinding ruang kerjanya. Gadis itu menghela napas.“Ah, sudah jam setengah sembilan,” gumam Elaine. Di depannya masih ada Fathan yang sama-sama sedang lembur. Elaine mencoba mengintip pada kubikel rekan kerjanya itu. “Mas, udah selesai?” tanya Elaine.“Hah?” Fathan menyahut tapi tanpa melihat ke arah Elaine. Pandangannya masih fokus pada layar komputernya. “Sedikit lagi. Kamu sudah selesai?” tanya Fathan.“Sudah. Aku kirim file ke Mas Fathan, ya. Biar diperiksa dulu,” usul Elaine.“Iya, kirim aja,” timpal Fathan.Elaine kembali mendaratkan bokongnya yang tadi setengah terangkat dari kursi. Dia menarik napas dalam, kemudian langsung mengirimkan file pada e-mail Fathan. Melihat Fathan bekerja sangat keras, membuat Elaine jug
Klek.Darell menoleh ketika mendengar suara dari arah pintu kamarnya. Matanya perlahan membulat, saat melihat sosok perempuan keluar dari kamar tersebut. Berbalut dress berwarna biru, sepatu dan tas berwarna putih, juga rambut yang dikuncir kuda setengah dengan gaya pelintiran. Menambahkan kesan anggun pada perempuan itu.Mata Darell benar-benar tak berkedip, saat mendapati kekasihnya sedang berdiri dengan sedikit canggung. Darell beranjak, kemudian mendekat ke arahnya. Gadis itu terlihat sangat gugup. Mendudukkan kepalanya, sambil menyibak helaian rambutnya ke belakang telinga.“You’re so beautiful,” puji Darell. Maniknya itu tak lepas menatap Elaine. Dia sangat suka ketika melihat kekasihnya mengenakan dress selutut dan mengenakan riasan yang natural. Auranya benar-benar terpancar.
“Mba, itu pesanannya sudah ada.”Seseorang dengan suara bassnya menepuk pundak Elaine, sontak membuat gadis itu terperanjat, tersadar dari lamunannya. Dengan canggung dia tersenyum ke arah kasir yang tadi melayaninya.Elaine mengambil nampan yang berisi makanan cepat sajinya. Saat dia berbalik, dia terkejut dengan sosok yang ada di belakangnya. Ternyata laki-laki itu tadi yang menegur dan menepuk pundaknya.“Loh, Kale?”“Elaine? Oh, jadi yang tadi bengong aja elo,” timpal Kale yang ternyata sama-sama tak mengetahui keberadaan masing-masing.“Ah, i-iya. Sorry, ya. Kalau gitu gue ke sana dulu, ya.” Elaine menunjuk ke salah satu bangku yang kosong. Lalu dibalas dengan sebuah anggukan oleh Kale.“Ah.” Elaine mendesah saat dia sampai di tempat duduknya. Bisa-bisanya tadi dia melamun, sampai tidak sadar dengan sekelilingnya.Tadi saat Elaine hendak keluar dari gedung tempatnya beke
Elaine memoles bibirnya dengan lipstik warna nude. Kemudian merekatkan bibir atas dan bawahnya, agar terlihat merata. Dia merapikan pita yang menempel di kerah bajunya. Menatap ke arah cermin, memastikan kembali bahwa penampilannya sudah sempurna.“Itu kemeja yang beli beberapa bulan lalu, kan?” tanya Darell yang baru saja masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu baru saja mandi, rambutnya basah, dan hanya mengenakan handuk sebagai penutup bagian bawah tubuhnya.“Iya. Maaf, ya, baru sempet aku pakai,” timpal Elaine.Kemeja berwarna soft lavender yang sedang dikenakan oleh Elaine adalah pemberian dari Darell. Padahal mereka membeli kemeja ini sudah dari beberapa bulan yang lalu. Namun, Elaine baru mengenakannya hari ini.“Darell, aku udah masakin nasi goreng seafood. Aku berangkat duluan, ya. Soalnya bakal ada briefing.”Elaine beranjak dari kursi rias. Lalu mengecup pipi Darell sebelum akhirnya dia melesat, meninggalk