Share

Firasat

last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-09 18:51:42

"Gila, kamu, Aldi! Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?" Tasya membantu Kakaknya berdiri.

Dion menatap tajam dan penuh amarah padaku.

"Kamu sadar sudah memukul siapa, Aldi?" tanyanya.

Aku membalas tatapan Dion dengan tak kalah tajam.

"Aku memukul seseorang yang berpendidikan, memiliki jabatan tinggi, namun rendah dalam akhlak!" jawabku lantang.

"Baiklah, kalau begitu kuberi kamu dua pilihan. Dipecat dengan tidak hormat atau mengundurkan diri tanpa pesangon!" ucap Dion penuh emosi, mungkin tak menyangka aku begitu berani padanya.

Aku tahu Dion akan mengatakan hal itu. Entah kenapa aku sudah siap dengan segala resikonya.

"Kakak!" Tasya terlihat terkejut mendengar ucapan kakaknya. Aku tahu Tasya pasti berusaha membelaku, tapi aku tak peduli.

"Aku akan mengundurkan diri hari ini juga," ucapku mantap tanpa keraguan sedikitpun.

"Baiklah, kalau begitu aku mau kamu mengumumkan pengunduran dirimu di depan semua pegawai besok."

Aku tertegun mendengar ucapan Dion. Aku tahu Dion ingin aku melakukan itu karena sakit hati, dan dia ingin membuatku malu.

"Kakak, kenapa harus melakukan sejauh itu?" tanya Tasya pada Kakaknya itu.

"Baiklah, akan kulakukan," jawabku tegas.

Dion tampak tersenyum puas, meskipun Tasya yang justru terlihat panik. Aku tak peduli. Aku mengambil niqab Vanya yang terjatuh ke lantai, lalu mendekati istriku itu.

Aku memakaikan kembali niqab Vanya, lalu menggandeng tangannya pergi meninggalkan Tasya dan Dion. Aku yakin apa yang kulakukan ini benar, biarpun harus kehilangan hal yang begitu besar.

"Aldi!"

Tasya ternyata mengejar kami sampai area parkir.

"Masuklah ke dalam mobil, Dek," pintaku pada Vanya.

Vanya menurut. Dia masuk duluan ke dalam mobil. Aku hanya tidak ingin Tasya berkata buruk lagi padanya.

"Ayolah, Aldi. Minta maaf pada kakakku. Dia tidak akan memecatmu kalau kamu mau minta maaf," ucap Tasya padaku.

"Kenapa harus aku yang minta maaf, Tasya? Seharusnya aku yang menuntut Dion karena sudah melecehkan istriku!"

"Aldi, aku menyuruhmu minta maaf karena masih peduli padamu. Aku gak mau kamu dipecat, Aldi."

"Sudahlah, Tasya. Aku memilih kehilangan pekerjaanku daripada harus mencabut kembali ucapanku."

"Kenapa sih, Di, kamu membela wanita itu sampai seperti ini?"

"Dia istriku, Tasya."

"Aku tahu dia istrimu! Tapi apa kamu masih mau bertahan dengannya setelah tahu kenyataannya?"

"Sudah, cukup, Tasya!" tegasku. "Aku tidak mau mendengarkan apa-apa lagi. Apapun yang terjadi pada Vanya, itu sudah menjadi tanggung jawabku. Aku tidak akan percaya pada ucapan orang lain, apalagi tanpa bukti."

"Aldi!"

Aku memasuki mobil dan tidak mempedulikan panggilan Tasya lagi. Segera kunyalakan mesin, bergegas pergi dari Tasya yang masih saja memanggil-manggil namaku.

"Maafkan aku, Mas," ucap Vanya lirih setelah kami keluar dari area kantor.

"Untuk apa, Dek?"

"Karena aku Mas kehilangan pekerjaan ...."

"Tidak, Dek. Itu semua bukan kesalahanmu," jawabku sambil tetap fokus menyetir. "Seandainya yang dibuka paksa cadarnya itu wanita lain, Mas tetap akan melakukan hal yang sama."

Vanya tampak terdiam dengan wajah menunduk, seperti memikirkan begitu banyak sesuatu. Aku menepuk punggung tangannya dengan sebelah tanganku, mencoba meyakinkannya kalau aku tidak apa-apa.

"Tenang saja, Dek. Mas pasti akan segera menemukan pekerjaan yang lain, yang mungkin jauh lebih baik. Doakan Mas, ya?"

Vanya mengangkat wajahnya, menatapku dengan netra berkaca. Perlahan dia mengangguk.

"Jangan katakan apapun pada Mama tentang masalah ini, ya?" ucapku lagi.

Vanya mengangguk lagi. Setelah itu, kami hanya terdiam sepanjang perjalanan, larut dalam pikiran kami masing-masing.

"Loh, kamu sudah pulang, Aldi?" sambut Mama heran ketika melihatku pulang bersama Vanya.

"Tadi bukannya Vanya pamit mengantarkan berkas penting ke kantormu? Apa terjadi sesuatu?"

Vanya merangkul lengan Mama seraya tersenyum.

"Gak ada apa-apa, kok, Ma. Mama mau makan apa hari ini? Biar Vanya masakin untuk Mama," bujuk Vanya, mengalihkan pembicaraan.

"Mama pengen salad buah yang waktu itu kamu bikin buat Mama," jawab Mama, begitu mudah teralihkan oleh ucapan Vanya.

"Ya sudah, yuk, Vanya bikinkan sekarang. Mama tunggu di ruang tengah, ya?" Vanya menuntun Mama meninggalkanku yang masih berdiri di ruang depan.

Aku tersenyum seraya membuang napas. Entah bagaimana Mama jika Vanya tak ada. Mama begitu bahagia dengan kehadiran Vanya, hingga jarang sekali sakit sekarang. Apa aku akan melepaskan wanita seperti dia dengan begitu mudah? Tidak akan.

Aku langsung masuk ke dalam ruang kerjaku, melempar berkas penting ke atas meja. Aku duduk di kursi kerjaku, menyandarkan punggung dan kepalaku dengan pikiran kacau. Seharusnya hari ini adalah hari yang sangat penting untuk perusahaan. Jika proyek ini berhasil, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan besar.

Selama ini aku begitu bekerja keras, sedangkan Dion sama sekali tidak peduli tentang perkembangan perusahaan miliknya. Akulah yang menjabat sebagai wakil direktur, yang mengurus semuanya. Ternyata selama ini kerja kerasku untuknya sia-sia.

.

.

.

"Mas ...."

Aku mengangkat kepalaku yang dari tadi terasa begitu berat. Vanya berdiri di sana, membawakanku segelas susu.

"Minumlah, Mas. Sudah larut malam, istirahatlah," ucapnya.

Aku mengusap wajahku, lalu menerima gelas dari tangan Vanya. Tenggorokanku terasa hangat begitu cairan putih itu masuk ke dalam mulutku.

"Mas juga belum makan, apa mau kumasakkan sesuatu?" tanya Vanya lagi.

Aku membuang napas, lalu menggeleng.

"Tidak, Dek, terima kasih."

Vanya menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi ada keraguan di sana.

"Terima kasih, Mas." Akhirnya ucapan itu keluar dari bibirnya.

Aku mengerutkan kening, lalu menatapnya heran.

"Untuk apa, Dek?" tanyaku.

Vanya terlihat menelan saliva.

"Terima kasih sudah membelaku hari ini," ucapnya lagi.

Aku membuang napas, mencoba tidak terlihat sedang menanggung beban di depannya.

"Itu sudah tugas seorang suami, Dek," jawabku sambil mencoba untuk tersenyum.

"Tidak, Mas. Mas tidak tahu, apa yang Mas lakukan hari ini sungguh sangat berarti bagiku. Berkat Mas, aku bisa mempercayai seseorang lagi untuk pertama kali."

Aku tertegun mendengar ucapan Vanya. Nada bicara Vanya sedikit lain dari biasanya. Ada keberanian di sana. Dia yang selalu bicara dengan nada suara bergetar, sekarang bisa begitu tenang sekarang.

"Mas, ijinkan aku melakukan satu hal ...."

Netraku membulat sesaat, lalu menatapnya lekat dan penuh tanda tanya.

"Apa yang akan kamu lakukan, Dek?"

"Mas akan tahu nanti. Aku hanya butuh ridho Mas sekarang."

Aku terdiam mendengar ucapannya. Tatapan mata Vanya penuh dengan pengharapan. Aku menelan saliva, lalu mengangguk, meskipun tak tahu apa yang akan dia lakukan.

"Aku meridhoi kamu, Dek ...."

Vanya tersenyum, senyum yang semakin membuatku bertanya-tanya dalam hati.

"Terima kasih, Mas ...." ucap Vanya, sambil melangkah pergi meninggalkanku.

Aku menatap punggung Vanya yang menjauh. Ada desir di dada, entah firasat apa yang kurasakan.

Apa yang akan kamu lakukan, Dek?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Carel Catrina
while reading some new platform novels this time there is a husband who defends his wife... hopefully it doesn't change until the end
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • AIB YANG DISEMBUNYIKAN ISTRIKU   Akhir

    "Kamu tahu di mana Vanya?" tanyaku tak sabar ketika mendengar ucapan Dion di seberang telepon.Dion mengiyakan, lalu dengan suara gagapnya dia menjelaskan."Kemarin dia datang untuk mengunjungi kami, dan mengabarkan kalau panti asuhan yang dibangunnya telah selesai. Hari ini dia kembali ke kotanya."Netraku seketika membulat. Tubuhku melemas seketika. Kenapa dia tidak menemuiku? Apa dia sudah melupakan aku, suaminya?"Vanya menanyakan kabar kalian. Dia bahagia Tasya hamil," ucap Dion kemudian, seperti tahu apa yang kupikirkan. "Dia bilang tak ingin merusak kebahagiaan kalian."Aku memejamkan mata, menahan perih tak terkira dalam hati. Tak tahukah dia, siang malam aku tak pernah berhenti memikirkannya?"Aku harus mencarinya!" ucapku kemudian pada Dion."Jangan, Aldi. Tasya membutuhkanmu!" sahut Dion lagi. "Biar aku saja!"Aku terdiam sejenak. Benar, Tasya dalam kondisi kritis. Aku tidak mungkin meninggalkannya."Kamu jangan khawatir, Aldi. Aku akan mengejarnya. Semoga belum terlambat."

  • AIB YANG DISEMBUNYIKAN ISTRIKU   Keinginan

    POV ALDI"Aku berangkat dulu, Dek," ucapku sambil membenarkan letak dasi di depan cermin."Hati-hati, Mas. Maaf, tidak bisa mengantarmu ke depan," ucap Tasya sambil tersenyum dengan duduk bersandar dia ranjang, seraya memegangi perutnya yang membesar."Tidak apa-apa, Dek. Istirahatlah," jawabku sambil menarik selimut, menutupi sebagian tubuhnya.Tasya terlihat mengangguk. Aku meraih tas kerjaku dan berjalan keluar kamar."Aldi, nanti pulang cepat, ya? Antar Tasya untuk cek up ke Dokter nanti," ucap Mama saat aku bersiap berangkat kerja."Iya, Ma," jawabku sambil meraih tas kerja dari kursi di meja makan.Aku menatap ke arah kamar tempat Tasya masih istirahat. Sejak hamil kondisi tubuhnya lemah, dan harus beristirahat total.Benar, akhirnya aku melakukan tugas dan tanggung jawabku sebagai suaminya, meskipun sampai sekarang belum bisa mencintainya. Bagaimanapun, dia juga istriku yang sah di mata agama."Kamu sudah menemukan Vanya, Aldi?" Pertanyaan Mama seketika membuatku tersentak.Aku

  • AIB YANG DISEMBUNYIKAN ISTRIKU   Bukan perpisahan - POV Aldi

    POV ALDI"Assalamualaikum ... Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam berulang kali di depan gerbang pesantren tempat dulu aku meminang Vanya.Aku sangat cemas ketika dari kemarin Vanya tidak juga pulang, dan dia juga tidak pulang ke rumahnya. Pasti dia menginap di pesantren ini semalam."Waalaikumussalam." beberapa saat kemudian ustadzah Zahra tampak berjalan menuju ke arahku.Beliau membuka pintu gerbang, lalu mempersilahkanku masuk."Apa Vanya ada di sini, ustadzah?" Tanpa basa -basi aku langsung bertanya sambil mengarahkan pandanganku ke sekeliling pesantren."Tenanglah dulu, Nak Aldi. Duduklah dulu," ucap ustadzah Zahra sambil mempersilahkanku duduk di kursi teras."Mau saya bikinkan minum dulu, biar Nak Aldi bisa tenang?""Tidak, tidak perlu, Bu," sahutku.Aku duduk dengan tidak sabar. Aku benar-benar mencemaskan keadaan Vanya. Ustadzah Zahra terlihat membuang napas, lalu menatapku."Saya sudah dengar semuanya dari Vanya tentang hubungan kalian," ucap ustadzah Zahra kemudian.Ak

  • AIB YANG DISEMBUNYIKAN ISTRIKU   Pergi

    POV VANYAAku dan Mas Aldi saling berpandangan sesaat, lalu menatap mereka berdua lagi."Dion itu ... saudara kita, Sya. Kakak laki-laki kita," jawabku kemudian."Kakak? Kenapa Kak Vanya tidak pernah cerita kalau kita punya Kakak?" tanya Tasya lagi sambil mengerutkan kening.Aku tak langsung menjawab, tepatnya tak tahu harus menjawab apa. Bahkan untuk mendengar nama Dion saja sudah cukup berat bagiku, bagaimana aku bisa menjelaskan tentang dia?"Nanti biar aku yang jelaskan, Sya," sahut Mas Aldi, mungkin menyadari kalau wajahku menegang saat itu."Aku berangkat ke kantor dulu, nanti saja kita bicarakan tentang hal ini," lanjutnya.Tasya mengangguk, lalu cepat-cepat mengambil tas kerja milik Mas Aldi dan mengantarnya sampai depan pintu, hal yang selalu aku lakukan selama ini. Aku sengaja membiarkan Tasya yang melakukannya mulai sekarang, meskipun dengan perasaan yang berat. Mulai sekarang aku harus belajar menerima semua itu.Entah apa yang Mas Aldi jelaskan pada Tasya tentang Dion, tap

  • AIB YANG DISEMBUNYIKAN ISTRIKU   Ikhlas - POV Vanya

    POV VANYA"Aku cinta sama Kak Aldi, Kak."Aku membulatkan netra sesaat, lalu menatap ke arah Tasya. Aku tak menyangka dia berani bicara seperti itu padaku. Rupanya setelah ingatannya hilang, perasaannya pada Mas Aldi tidak bisa hilang."Maafkan, aku, Kak. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Entah kenapa dan sejak kapan aku punya perasaan seperti ini. Padahal aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Maafkan aku, Kak," isak Tasya.Aku mengatupkan bibir. Ada perasaan nyeri teramat sangat di dalam sana. Apalagi setelah dokter memvonisku menderita kanker rahim beberapa waktu yang lalu. Hatiku sungguh terluka, tanpa aku mampu bercerita."Kamu mau bersama dengan Mas Aldi, Tasya?" tanyaku dengan bibir gemetar.Tasya membulatkan mata, lalu menatapku."Kamu bisa bersama dengan Mas Aldi, tapi dengan syarat yang harus kamu penuhi," ucapku dengan suara yang hampir tercekat."Kakak bercanda, kan?" tanya Tasya dengan senyum getir. "Seorang lelaki tidak boleh menikahi kakak beradik kandung."Aku

  • AIB YANG DISEMBUNYIKAN ISTRIKU   Permintaan

    Aku memegang kedua pundak Vanya."Dek, kumohon jangan seperti ini. Maafkan Mas karena belum bisa menjadi suami yang baik. Mas tidak mau pisah dari kamu, Dek," ucapku.Vanya tersenyum lagi, kali ini dengan bibirnya yang terlihat bergetar."Mas, Mama ingin punya cucu, dan kamu adalah putra beliau satu-satunya. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk berbakti pada Mama," ucapnya."Pasti ada cara lain, Dek. Jangan pernah berpikir tentang perpisahan," sahutku gusar."Kalian tidak perlu berpisah."Kami berdua seketika menoleh ketika melihat Mama masuk ke dalam ruangan itu sambil menuntun tangan Tasya."Mama, kenapa ke sini?" tanyaku, langsung berdiri dari tempatku."Bicara apa kamu, Aldi! Vanya itu menantu Mama. Mama juga mau melihat keadaannya," jawab Mama, sambil melewatiku dan mendekat ke arah Vanya."Bagaimana keadaanmu, Vanya? Kamu sudah merasa sehat?" tanya Mama sambil memegang tangan Vanya."Aku baik-baik saja, Ma, Alhamdulillah," jawab Vanya, tetap dengan senyumannya."Aldi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status