Share

Firasat

"Gila, kamu, Aldi! Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?" Tasya membantu Kakaknya berdiri.

Dion menatap tajam dan penuh amarah padaku.

"Kamu sadar sudah memukul siapa, Aldi?" tanyanya.

Aku membalas tatapan Dion dengan tak kalah tajam.

"Aku memukul seseorang yang berpendidikan, memiliki jabatan tinggi, namun rendah dalam akhlak!" jawabku lantang.

"Baiklah, kalau begitu kuberi kamu dua pilihan. Dipecat dengan tidak hormat atau mengundurkan diri tanpa pesangon!" ucap Dion penuh emosi, mungkin tak menyangka aku begitu berani padanya.

Aku tahu Dion akan mengatakan hal itu. Entah kenapa aku sudah siap dengan segala resikonya.

"Kakak!" Tasya terlihat terkejut mendengar ucapan kakaknya. Aku tahu Tasya pasti berusaha membelaku, tapi aku tak peduli.

"Aku akan mengundurkan diri hari ini juga," ucapku mantap tanpa keraguan sedikitpun.

"Baiklah, kalau begitu aku mau kamu mengumumkan pengunduran dirimu di depan semua pegawai besok."

Aku tertegun mendengar ucapan Dion. Aku tahu Dion ingin aku melakukan itu karena sakit hati, dan dia ingin membuatku malu.

"Kakak, kenapa harus melakukan sejauh itu?" tanya Tasya pada Kakaknya itu.

"Baiklah, akan kulakukan," jawabku tegas.

Dion tampak tersenyum puas, meskipun Tasya yang justru terlihat panik. Aku tak peduli. Aku mengambil niqab Vanya yang terjatuh ke lantai, lalu mendekati istriku itu.

Aku memakaikan kembali niqab Vanya, lalu menggandeng tangannya pergi meninggalkan Tasya dan Dion. Aku yakin apa yang kulakukan ini benar, biarpun harus kehilangan hal yang begitu besar.

"Aldi!"

Tasya ternyata mengejar kami sampai area parkir.

"Masuklah ke dalam mobil, Dek," pintaku pada Vanya.

Vanya menurut. Dia masuk duluan ke dalam mobil. Aku hanya tidak ingin Tasya berkata buruk lagi padanya.

"Ayolah, Aldi. Minta maaf pada kakakku. Dia tidak akan memecatmu kalau kamu mau minta maaf," ucap Tasya padaku.

"Kenapa harus aku yang minta maaf, Tasya? Seharusnya aku yang menuntut Dion karena sudah melecehkan istriku!"

"Aldi, aku menyuruhmu minta maaf karena masih peduli padamu. Aku gak mau kamu dipecat, Aldi."

"Sudahlah, Tasya. Aku memilih kehilangan pekerjaanku daripada harus mencabut kembali ucapanku."

"Kenapa sih, Di, kamu membela wanita itu sampai seperti ini?"

"Dia istriku, Tasya."

"Aku tahu dia istrimu! Tapi apa kamu masih mau bertahan dengannya setelah tahu kenyataannya?"

"Sudah, cukup, Tasya!" tegasku. "Aku tidak mau mendengarkan apa-apa lagi. Apapun yang terjadi pada Vanya, itu sudah menjadi tanggung jawabku. Aku tidak akan percaya pada ucapan orang lain, apalagi tanpa bukti."

"Aldi!"

Aku memasuki mobil dan tidak mempedulikan panggilan Tasya lagi. Segera kunyalakan mesin, bergegas pergi dari Tasya yang masih saja memanggil-manggil namaku.

"Maafkan aku, Mas," ucap Vanya lirih setelah kami keluar dari area kantor.

"Untuk apa, Dek?"

"Karena aku Mas kehilangan pekerjaan ...."

"Tidak, Dek. Itu semua bukan kesalahanmu," jawabku sambil tetap fokus menyetir. "Seandainya yang dibuka paksa cadarnya itu wanita lain, Mas tetap akan melakukan hal yang sama."

Vanya tampak terdiam dengan wajah menunduk, seperti memikirkan begitu banyak sesuatu. Aku menepuk punggung tangannya dengan sebelah tanganku, mencoba meyakinkannya kalau aku tidak apa-apa.

"Tenang saja, Dek. Mas pasti akan segera menemukan pekerjaan yang lain, yang mungkin jauh lebih baik. Doakan Mas, ya?"

Vanya mengangkat wajahnya, menatapku dengan netra berkaca. Perlahan dia mengangguk.

"Jangan katakan apapun pada Mama tentang masalah ini, ya?" ucapku lagi.

Vanya mengangguk lagi. Setelah itu, kami hanya terdiam sepanjang perjalanan, larut dalam pikiran kami masing-masing.

"Loh, kamu sudah pulang, Aldi?" sambut Mama heran ketika melihatku pulang bersama Vanya.

"Tadi bukannya Vanya pamit mengantarkan berkas penting ke kantormu? Apa terjadi sesuatu?"

Vanya merangkul lengan Mama seraya tersenyum.

"Gak ada apa-apa, kok, Ma. Mama mau makan apa hari ini? Biar Vanya masakin untuk Mama," bujuk Vanya, mengalihkan pembicaraan.

"Mama pengen salad buah yang waktu itu kamu bikin buat Mama," jawab Mama, begitu mudah teralihkan oleh ucapan Vanya.

"Ya sudah, yuk, Vanya bikinkan sekarang. Mama tunggu di ruang tengah, ya?" Vanya menuntun Mama meninggalkanku yang masih berdiri di ruang depan.

Aku tersenyum seraya membuang napas. Entah bagaimana Mama jika Vanya tak ada. Mama begitu bahagia dengan kehadiran Vanya, hingga jarang sekali sakit sekarang. Apa aku akan melepaskan wanita seperti dia dengan begitu mudah? Tidak akan.

Aku langsung masuk ke dalam ruang kerjaku, melempar berkas penting ke atas meja. Aku duduk di kursi kerjaku, menyandarkan punggung dan kepalaku dengan pikiran kacau. Seharusnya hari ini adalah hari yang sangat penting untuk perusahaan. Jika proyek ini berhasil, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan besar.

Selama ini aku begitu bekerja keras, sedangkan Dion sama sekali tidak peduli tentang perkembangan perusahaan miliknya. Akulah yang menjabat sebagai wakil direktur, yang mengurus semuanya. Ternyata selama ini kerja kerasku untuknya sia-sia.

.

.

.

"Mas ...."

Aku mengangkat kepalaku yang dari tadi terasa begitu berat. Vanya berdiri di sana, membawakanku segelas susu.

"Minumlah, Mas. Sudah larut malam, istirahatlah," ucapnya.

Aku mengusap wajahku, lalu menerima gelas dari tangan Vanya. Tenggorokanku terasa hangat begitu cairan putih itu masuk ke dalam mulutku.

"Mas juga belum makan, apa mau kumasakkan sesuatu?" tanya Vanya lagi.

Aku membuang napas, lalu menggeleng.

"Tidak, Dek, terima kasih."

Vanya menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi ada keraguan di sana.

"Terima kasih, Mas." Akhirnya ucapan itu keluar dari bibirnya.

Aku mengerutkan kening, lalu menatapnya heran.

"Untuk apa, Dek?" tanyaku.

Vanya terlihat menelan saliva.

"Terima kasih sudah membelaku hari ini," ucapnya lagi.

Aku membuang napas, mencoba tidak terlihat sedang menanggung beban di depannya.

"Itu sudah tugas seorang suami, Dek," jawabku sambil mencoba untuk tersenyum.

"Tidak, Mas. Mas tidak tahu, apa yang Mas lakukan hari ini sungguh sangat berarti bagiku. Berkat Mas, aku bisa mempercayai seseorang lagi untuk pertama kali."

Aku tertegun mendengar ucapan Vanya. Nada bicara Vanya sedikit lain dari biasanya. Ada keberanian di sana. Dia yang selalu bicara dengan nada suara bergetar, sekarang bisa begitu tenang sekarang.

"Mas, ijinkan aku melakukan satu hal ...."

Netraku membulat sesaat, lalu menatapnya lekat dan penuh tanda tanya.

"Apa yang akan kamu lakukan, Dek?"

"Mas akan tahu nanti. Aku hanya butuh ridho Mas sekarang."

Aku terdiam mendengar ucapannya. Tatapan mata Vanya penuh dengan pengharapan. Aku menelan saliva, lalu mengangguk, meskipun tak tahu apa yang akan dia lakukan.

"Aku meridhoi kamu, Dek ...."

Vanya tersenyum, senyum yang semakin membuatku bertanya-tanya dalam hati.

"Terima kasih, Mas ...." ucap Vanya, sambil melangkah pergi meninggalkanku.

Aku menatap punggung Vanya yang menjauh. Ada desir di dada, entah firasat apa yang kurasakan.

Apa yang akan kamu lakukan, Dek?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Carel Catrina
while reading some new platform novels this time there is a husband who defends his wife... hopefully it doesn't change until the end
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status