Aku mempercepat langkahku, bergegas mendekati Vanya. Aku merangkul Vanya, menenangkannya.
"Dek, kamu gak apa-apa?" tanyaku sambil membantunya berdiri.Vanya langsung bersembunyi di balik punggungku tanpa berucap sesuatu apapun."Kamu kenal wanita ini, Aldi?" tanya Dion sambil menatapku bingung."Dia ... istri saya, Pak," jawabku.Netra Dion membulat sesaat, lalu tersenyum miring."Aneh sekali istrimu ini. Padahal aku cuma bertanya ada keperluan apa, karena pakaiannya terlihat sangat mencolok," ucap Dion sambil menatap aneh pada Vanya. "Eh, dia malah berlari seperti melihat setan."Aku kaget mendengar ucapannya. Vanya pasti mengenal Dion, tapi Dion tidak mengenali Vanya karena dia memakai cadar. Tapi kenapa Vanya begitu ketakutan?"Maaf, Pak. Istri saya memang suka takut pada orang asing," ucapku beralasan.Aku memang mengenal Dion sudah lama, tapi saat di kantor aku harus tetap bicara sopan padanya karena dia atasanku."Seleramu sudah berubah, Aldi," ucap Dion lagi sambil tertawa. "Jadi kamu bosan dengan yang seksi, dan memilih yang tertutup rapat? Setidaknya suruh istrimu memperlihatkan wajahnya spesial untuk sahabatmu ini."Vanya beringsut semakin dalam mendengar ucapan Dion. Aku memegang tangan Vanya yang dingin erat, mencoba membuatnya tenang."Maaf, Pak. Saya tidak bisa memaksa istri saya melakukan sesuatu yang tidak dia suka," ucapku menegaskan.Wajah Dion seketika berubah tak senang. Aku kenal benar sifat Dion. Dia yang selalu bergonta-ganti pacar juga suka berfoya-foya menghamburkan uang. Setiap keinginannya harus terpenuhi, biarpun harus membayar mahal untuk itu."Belagu kamu, Aldi," ucap Dion kemudian. "Kamu jadi sok alim sekarang. Mau ganti profesi jadi ustadz kamu?"Aku hanya bisa diam mendengar ocehan Dion. Yang terpenting sekarang adalah membuat Vanya merasa aman, tidak ketakutan lagi seperti sekarang."Saya permisi, Pak. Saya akan mengantar istri saya keluar untuk memanggil taksi, dan saya juga harus bekerja sekarang."Dion hanya mengulum bibir. Aku menarik tangan Vanya menjauh dari Dion, menuju jalan keluar. Namun baru beberapa langkah meninggalkan Dion, tampak Tasya berdiri di depan kami. Astaghfirullah, jika tahu akan seperti ini seharusnya aku tidak menyuruh Vanya masuk tadi. Seharusnya aku meminta dia menunggu di luar saja. Maafkan suamimu yang bodoh ini, Dek ...."Mau apa kamu ke sini?" tanya Tasya sambil menatap tajam pada Vanya. " Jangan bilang kamu ke sini untuk menemui kakakku?"Aku terkejut mendengar pertanyaan Tasya. Apa maksud ucapan Tasya?"Apa maksudmu, Tasya?" Dion akhirnya kembali mendekati kami. "Kamu kenal dengan istrinya Aldi?""Tentu saja, Kak. Kita semua mengenalnya," jawab Tasya sambil tersenyum miring. "Dia itu Vanya, wanita murahan itu, racun untuk keluarga kita."Dion tampak tersentak kaget mendengar ucapan adiknya. Aku langsung melindungi Vanya di belakang punggung. Genggaman tangan Vanya mengeras, bisa kurasakan tubuhnya gemetar hebat. Saat ini Vanya seperti seekor kelinci lemah, yang dikelilingi oleh singa yang siap menerkam."Apa kalian tidak puas menghina istriku? Tidak bisakah membiarkannya pergi?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu. "Ini kantor, bukan tempat untuk menyelesaikan masalah pribadi.""Biar saja, biar sekalian semua orang tahu siapa wanita yang kamu nikahi ini!" ucap Tasya lagi."Aldi, kamu tahu kenapa aku begitu membencinya?" tanya Tasya padaku.Aku terdiam seraya menatap Tasya gusar."Wanita yang kamu anggap suci ini, sudah merayu kakakku!" ucap Tasya lantang.Netraku membulat, jantungku terasa seperti tertusuk pisau."Dia berani menjebak Kakakku dan mencoba mempermalukan keluarga kami. Aku menyebutnya pelac*ur bukan tanpa alasan, Aldi!"Aku terdiam mendengar ucapannya. Tidak, apa aku harus percaya? Jika memang semua itu benar, ada alasan yang begitu kuat mengapa keluarga Tasya begitu membenci Vanya."Vanya!" panggil Tasya sambil menatap Vanya. "Apa kamu tidak malu dengan dirimu sendiri? Kamu sama sekali tidak pantas bersanding dengan lelaki dari keluarga terhormat seperti Aldi!""Jawab, Vanya!" suara Tasya penuh dengan penekanan. "Apa tidak cukup kamu merayu kakakku, dan sekarang merebut pacarku! Apa jangan-jangan kamu sengaja?"Bisa kurasakan tangan Vanya melemas seketika mendengar ucapan Tasya. Perlahan dia melepaskan tangannya dari peganganku. Akupun masih begitu bimbang, antara harus percaya pada siapa."Buka matamu, Aldi! Wanita ini tidak sebaik yang kamu lihat! Dia memakai topeng. Pasti dia menikah denganmu hanya untuk menutupi aib dia saja," ucap Tasya lagi padaku.Aku mengepalkan tangan, lalu menatap Tasya."Apapun yang terjadi pada kalian, semua itu hanya masa lalu. Sekarang dia istriku, jadi biar aku yang akan bertanggung jawab atas dirinya," ucapku, lebih pada meyakinkan diri sendiri."Jangan bod*h kamu, Aldi. Jika tidak untukmu sendiri, paling tidak pikirkan nama baik keluargamu. Apa yang dikatakan orang kalau tahu keluarga kalian memelihara wanita rendahan seperti ini!"Aku terdiam lagi. Mama begitu menyayangi Vanya. Mama pasti tidak akan sanggup jika mengetahui apa yang Tasya ucapkan tentang masa lalu Vanya.Tiba-tiba Dion mendorongku untuk menyingkir darinya dan mendekati Vanya. Vanya mundur, tubuhnya semakin gemetar. Akhirnya dia tersudut di tembok dan tidak bisa menghindar."Apa yang kamu lakukan, Kak?" Tasya menarik tangan Kakaknya. "Jangan dekati wanita kotor itu lagi."Dion menepis tangan Tasya, tetap mendekati Vanya."Jadi kau ini benar-benar Vanya?" tanyanya sambil menatap Vanya."Apa yang terjadi denganmu, Vanya? Kenapa berpenampilan seperti ini?""Pergi!" teriak Vanya yang ketakutan. "Pergi, Kak!!!"Aku tersentak kaget. Kakak? Kenapa Vanya memanggil Dion Kakak? Aku semakin bimbang, semakin tidak mengerti. Ada apa denganmu, Aldi?"Jangan mendekat, Kak! Pergi!""Jangan takut, Vanya. Bukankah selama ini aku selalu memperlakukanmu dengan baik?" ucap Dion lagi. "Ayolah, kamu tidak pantas memakai pakaian seperti ini. Cepat buka."Vanya menangis histeris ketika Dion dengan lancangnya menarik niqabnya. Kedua tangannya menutupi wajahnya.Jantungku berdegup kencang.Kenapa kamu diam saja, Aldi?!Bedebah!BLETAK!Vanya dan Tasya menjerit melihat Dion jatuh tersungkur karena pukulanku yang tepat mengenai pipi kanannya. Dion menatapku gusar dengan wajah meringis dan punggung tangan mengusap pipinya."Kamu memang atasanku, Dion! Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menghina istriku, sampai dengan lancang membuka cadarnya di depanku!"Gila, kamu, Aldi! Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan?" Tasya membantu Kakaknya berdiri.Dion menatap tajam dan penuh amarah padaku."Kamu sadar sudah memukul siapa, Aldi?" tanyanya.Aku membalas tatapan Dion dengan tak kalah tajam."Aku memukul seseorang yang berpendidikan, memiliki jabatan tinggi, namun rendah dalam akhlak!" jawabku lantang."Baiklah, kalau begitu kuberi kamu dua pilihan. Dipecat dengan tidak hormat atau mengundurkan diri tanpa pesangon!" ucap Dion penuh emosi, mungkin tak menyangka aku begitu berani padanya.Aku tahu Dion akan mengatakan hal itu. Entah kenapa aku sudah siap dengan segala resikonya."Kakak!" Tasya terlihat terkejut mendengar ucapan kakaknya. Aku tahu Tasya pasti berusaha membelaku, tapi aku tak peduli."Aku akan mengundurkan diri hari ini juga," ucapku mantap tanpa keraguan sedikitpun."Baiklah, kalau begitu aku mau kamu mengumumkan pengunduran dirimu di depan semua pegawai besok."Aku tertegun mendengar ucapan Dion. Aku tahu Dion ingin aku mel
"Aldi! Aldi!"Aku tersentak kaget dan terbangun ketika mendengar suara Mama memanggil sambil mengetuk pintu. Ah, rupanya aku tertidur di ruang kerja."Aldi!" panggil Mama lagi sambil mengetuk pintu lebih kencang.Aku segera bangkit, lalu membuka pintu dan langsung disambut oleh Mama yang terlihat panik."Apa yang terjadi, Ma?" tanyaku bingung."Vanya ... Vanya meninggalkan rumah pagi-pagi sekali, Di!"Aku langsung terkejut bukan main ketika mendengar ucapan Mama. Apa ini ada hubungannya dengan permintaan Vanya semalam?"Dia pergi ke mana, Ma?" tanyaku ikut panik."Mama juga gak tahu, Aldi. Padahal subuh tadi dia masih membangunkan Mama untuk sholat. Mama juga lihat dia masih beraktivitas seperti biasa tiap pagi. Tapi ....""Tapi apa, Ma?""Anehnya hari ini dia meminta Mama membangunkanmu untuk sholat subuh. Mama gak langsung menyadari kalau dia akan pergi.""Sudahlah, Mama, tenanglah." aku memegang kedua pundak Mama dengan kedua tangan. "Vanya pasti baik-baik saja. Mungkin dia hanya
"Jangan lancang kamu, Vanya!"Semua orang menoleh. Nyonya Nia berjalan mendekat ke arah kami dengan wajah merah padam karena murka."Papamu sudah menyerahkan semua aset miliknya padaku!"Vanya masih terlihat tenang menghadapi tiga orang di depannya. Aku hanya bisa melongo menyaksikan itu semua. Apa sebenarnya hubungan mereka berempat?"Papa tidak pernah melakukan itu, Tante!" bantah Vanya. "Aku punya bukti surat wasiat asli yang ditinggalkan Papa pada notaris! Secuilpun kalian tidak punya hak atas semua aset milik Papa!"Nyonya Nia melotot, merampas map dari tangan Dion lalu membacanya. Dengan penuh emosi di merobek dan meremas map itu."Ini cuma, sampah!" Nyonya Nia melempar sobekan map itu ke arah Vanya."Sobek saja, Tante! Itu hanya salinannya. Yang asli masih aman di tangan notaris," ucap Vanya lagi."Berani sekali kamu!" Nyonya Nia melayangkan tangannya pada Vanya, tapi segera kutahan tangannya sebelum sempat menyentuh Vanya."Jangan sentuh istriku, Tante," ucapku sambil menghemp
POV VANYA"Vanya, Papa mau menikah lagi."Aku yang sedang menikmati sarapan dengan Papa, urung menyuap ke mulutku. Aku menatap Papa penuh tanda tanya. Kenapa bisa Papa secepat itu mencari pengganti Mama, sedangkan makam Mama saja belum kering?Papa menatapku seraya tersenyum meyakinkan, seolah tahu apa yang kupikirkan."Kamu tenang saja, istri baru Papa itu sangat baik, dan kamu pasti sudah mengenalnya. Dia punya dua orang anak, dan salah satunya seumuran denganmu. Jadi kamu tidak akan kesepian lagi.""Tunggu dulu, Pa," ucapku selembut mungkin, agar Papa tidak tersinggung dengan ucapanku. "Mama baru saja meninggal dua bulan yang lalu, dan Papa sudah mencari pengganti?"Tiba-tiba raut wajah Papa berubah merah padam. Seperti itulah Papa. Dia tidak pernah sedikitpun bisa bersikap lembut, bahkan pada Mama saat masih ada. Sikap yang sampai membuat Mama sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia beberapa bulan yang lalu."Tau apa kamu tentang Papa, Vanya? Papa sudah kesepian! Apa kamu mau
POV VANYA"Apa yang kamu lakukan, Dion?! Kamu sudah tidak waras!!!""Papamu akan membunuhmu jika tahu!!!"Suara Tante Nia menggelegar ke setiap sudut rumah. Terdengar suara Dion menjelaskan sesuatu. Tidak, itu bukan penjelasan! Itu fitnah! Aku tidak melakukannya!Aku hanya bisa terbaring di atas tempat tidur dengan jiwa dan raga yang terkoyak. Aku tidak bisa berbuat apapun, bahkan tidak bisa berpikir apapun. Entah kemana pikiranku melayang saat ini. Aku hanya bisa menatap kosong ke depan.Seharusnya aku menuntut keadilan!Baru saja belum lama menyeret tubuhku dengan menahan luka yang perih tak terkira, menyambut wanita yang seharusnya bisa kupanggil Mama. Suaraku tak bisa keluar. Aku hanya bisa meraung seraya mencengkeram pakaiannya.PLAK!!!Aku jatuh tersungkur ketika sebuah tamparan justru mendarat di pipiku. Panas, pedih. Tapi tak sebanding dengan pedihnya jiwa dan ragaku ketika kehormatannya baru saja terenggut dengan paksa.Aku yang ingin mendapatkan keadilan dari sosok yang seha
POV VANYAPerlahan aku membuka mata, dan seketika merasakan sakit luar biasa di sekujur badan. Terdengar lantunan suara ayat suci Al-Qur'an yang terdengar begitu merdu di sampingku. Aku lekas sadar kalau telah berada di rumah sakit.Aku menatap seseorang yang begitu khidmat melantunkan ayat suci, sampai tak menyadari jika aku sudah siuman dan kini tengah memperhatikannya. Seorang wanita yang berjilbab panjang dan bercadar. Terlihat dari suaranya, dia sudah masuk usia paruh baya. Tapi siapa dia?Saat ini aku tak peduli. Aku terus mendengarkan ayat demi ayat yang dia baca. Air mataku tanpa sadar mengalir. Ya Allah, betapa dahsyatnya setiap ayat-Mu menyentuh kalbu.Sampai wanita itu membaca ayat penutup, dan menutup mushafnya, hati ini masih bergetar. Betapa selama ini aku jauh dari Al-Qur'an ...."Masyaa Allah, syukur alhamdulilah kamu sudah siuman," ucap wanita itu seraya menatapku.Aku tak menjawab, hanya balas menatapnya dengan penuh tanya."Saya ustadzah Zahra. Saya tak sengaja mene
POV ALDIAku yang mendengarkan kisah Vanya hingga akhir berulang kali menahan napas. Hatiku seperti teriris-iris pisau ketika mendengarnya. Vanya telah mengalami begitu banyak hal, dan dia masih bisa begitu tegar."Sekarang semua terserah padamu, Mas," ucapnya kemudian dengan memilin jari."Mas boleh menceraikan aku setelah tahu semuanya. Tapi ijinkan aku lebih dulu menyelamatkanmu dari pekerjaan."Aku membuang napas, lalu tersenyum. Perlahan aku mendekati wanita yang ternyata begitu kuat di balik semua ketakutannya itu. Kupegang kedua tangannya dengan kedua tanganku. Jemari yang dingin itu terasa bergetar."Sampai seperti ini pun, kamu masih memikirkan tentang diriku, Dek," ucapku.Vanya terlihat membulatkan mata sejenak, lalu menunduk. Kulihat butiran bening mengalir di kedua pipinya."Mas tidak jijik padaku? Aku kotor, Mas ...."Aku tersenyum lagi ketika mendengar ucapannya. Kupegang tangannya lebih erat."Mas juga bukan orang suci, Dek," jawabku pelan."Aku sudah ternoda, Mas. Bah
"Jangan mencoba mengarang cerita lagi, Tante!" ucapku dengan suara meninggi. "Sudah cukup kalian menebar fitnah tentang istriku sebelumnya. Drama apa lagi yang akan kalian lakukan sekarang?"Nyonya Nia tersenyum mengejek lagi."Jadi kamu lebih percaya pada cerita istri sok sucimu itu, Aldi?" tanyanya. "Dia itu munafik! Pintar sekali mengarang cerita."Aku membuang napas kesal, lalu mengambil map yang Nyonya Nia berikan pada Vanya. Ternyata map itu berisi hasil tes DNA, dan tidak ada kecocokan di sana.Aku melirik ke arah Vanya yang masih terlihat shock, lalu menatap ke arah Nyonya Nia lagi."Putri kandung atau tidak, itu surat wasiat yang sah, dan dibuat oleh Pak Hari secara resmi melalui catatan notaris," ucapku kemudian. "Kalian tidak bisa menggangu gugat hal itu.""Bagaimana kami tahu kalau istrimu itu tidak memalsukannya?" Nyonya Nia tampak tersenyum licik."Vanya sudah diusir dari keluarga kami, bahkan Papanya sendiri sudah tidak menganggapnya sebagai anak! Lalu bagaimana mungkin