POV ALDI"Assalamualaikum ... Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam berulang kali di depan gerbang pesantren tempat dulu aku meminang Vanya.Aku sangat cemas ketika dari kemarin Vanya tidak juga pulang, dan dia juga tidak pulang ke rumahnya. Pasti dia menginap di pesantren ini semalam."Waalaikumussalam." beberapa saat kemudian ustadzah Zahra tampak berjalan menuju ke arahku.Beliau membuka pintu gerbang, lalu mempersilahkanku masuk."Apa Vanya ada di sini, ustadzah?" Tanpa basa -basi aku langsung bertanya sambil mengarahkan pandanganku ke sekeliling pesantren."Tenanglah dulu, Nak Aldi. Duduklah dulu," ucap ustadzah Zahra sambil mempersilahkanku duduk di kursi teras."Mau saya bikinkan minum dulu, biar Nak Aldi bisa tenang?""Tidak, tidak perlu, Bu," sahutku.Aku duduk dengan tidak sabar. Aku benar-benar mencemaskan keadaan Vanya. Ustadzah Zahra terlihat membuang napas, lalu menatapku."Saya sudah dengar semuanya dari Vanya tentang hubungan kalian," ucap ustadzah Zahra kemudian.Ak
POV ALDI"Aku berangkat dulu, Dek," ucapku sambil membenarkan letak dasi di depan cermin."Hati-hati, Mas. Maaf, tidak bisa mengantarmu ke depan," ucap Tasya sambil tersenyum dengan duduk bersandar dia ranjang, seraya memegangi perutnya yang membesar."Tidak apa-apa, Dek. Istirahatlah," jawabku sambil menarik selimut, menutupi sebagian tubuhnya.Tasya terlihat mengangguk. Aku meraih tas kerjaku dan berjalan keluar kamar."Aldi, nanti pulang cepat, ya? Antar Tasya untuk cek up ke Dokter nanti," ucap Mama saat aku bersiap berangkat kerja."Iya, Ma," jawabku sambil meraih tas kerja dari kursi di meja makan.Aku menatap ke arah kamar tempat Tasya masih istirahat. Sejak hamil kondisi tubuhnya lemah, dan harus beristirahat total.Benar, akhirnya aku melakukan tugas dan tanggung jawabku sebagai suaminya, meskipun sampai sekarang belum bisa mencintainya. Bagaimanapun, dia juga istriku yang sah di mata agama."Kamu sudah menemukan Vanya, Aldi?" Pertanyaan Mama seketika membuatku tersentak.Aku
"Kamu tahu di mana Vanya?" tanyaku tak sabar ketika mendengar ucapan Dion di seberang telepon.Dion mengiyakan, lalu dengan suara gagapnya dia menjelaskan."Kemarin dia datang untuk mengunjungi kami, dan mengabarkan kalau panti asuhan yang dibangunnya telah selesai. Hari ini dia kembali ke kotanya."Netraku seketika membulat. Tubuhku melemas seketika. Kenapa dia tidak menemuiku? Apa dia sudah melupakan aku, suaminya?"Vanya menanyakan kabar kalian. Dia bahagia Tasya hamil," ucap Dion kemudian, seperti tahu apa yang kupikirkan. "Dia bilang tak ingin merusak kebahagiaan kalian."Aku memejamkan mata, menahan perih tak terkira dalam hati. Tak tahukah dia, siang malam aku tak pernah berhenti memikirkannya?"Aku harus mencarinya!" ucapku kemudian pada Dion."Jangan, Aldi. Tasya membutuhkanmu!" sahut Dion lagi. "Biar aku saja!"Aku terdiam sejenak. Benar, Tasya dalam kondisi kritis. Aku tidak mungkin meninggalkannya."Kamu jangan khawatir, Aldi. Aku akan mengejarnya. Semoga belum terlambat."
"Jangan, Mas! Jangan! Kumohon, aku belum siap."Untuk ke sekian kalinya akhirnya aku hanya bisa menjauhkan diriku dari tubuh Vanya, wanita yang kunikahi hampir sebulan yang lalu itu dengan menahan kesal.Bagaimana tidak? Sudah hampir sebulan lamanya, aku sama sekali tak bisa menyentuhnya. Setiap aku mencoba mendekatinya, dia pasti langsung berteriak histeris sehingga membangunkan seisi rumah."Maafkan aku Mas, aku sungguh berdosa. Aku tidak pantas jadi istrimu!"Vanya meringkuk di sudut ranjang sambil memeluk lututnya. Tubuhnya gemetar hebat. Dia menangis.Aku yang tadi kesal luar biasa, sedikit luluh ketika melihat dia terlihat begitu ketakutan. Vanya gadis yang polos dan lugu, dan sebagai seorang santriwati yang hidup di pesantren dia pasti tak pernah bersentuhan dengan lawan jenis.Mama menjodohkan dia denganku karena ingin aku memiliki istri yang sholehah, bisa mengurus Mama dengan baik. Dan benar, Vanya wanita sholehah, taat agama, menutup aurat dengan sempurna, juga bisa merawat
Netraku membulat sempurna mendengar ucapan Tasya. Hatiku gusar. Aku sungguh berharap Tasya hanya bercanda."Sya, aku tahu kamu pasti sakit hati atas pernikahan kami yang mendadak. Tapi aku gak terima kamu bicara seperti itu tentang istriku," ucapku sambil membalas tatapan Tasya dengan tak kalah serius.Aku memang mengenal Vanya lewat jalan ta'aruf, dan belum ada sebulan dia sah menjadi istriku. Tapi selain dia yang selalu ketakutan ketika aku ingin menyentuhnya, aku tahu dia wanita yang sangat baik. Vanya tidak pernah absen membagunkanku untuk sholat tahajud, dan selalu mengingatkan untuk sholat di tengah waktu kerja melalui chat.Dia juga mengurus semua keperluanku dengan baik tanpa diminta. Juga sikapnya dalam menjaga Mama yang tubuhnya lemah karena penyakit jantung, aku merasa akan sulit sekali mendapatkan wanita sesempurna itu. Diam-diam aku menyesal sudah bercerita pada Tasya."Jadi kamu pikir aku yang bohong?" tanya Tasya dengan nada suara tak terima."Tentu saja aku tidak bisa
Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi pada istriku di masa lalu hingga memiliki bekas luka sebanyak itu? Apa ini salah satu alasan dia begitu ketakutan ketika kucoba menyentuhnya?Aku menelan saliva, lalu menoleh pada pintu kamar mandi yang tertutup. Tak ada suara. Vanya pasti sangat tertekan di dalam sana. Perlahan aku mengetuk pintunya pelan."Aku akan keluar, Dek. Pakailah bajumu dulu," ucapku, lalu melangkah menuju luar kamar.Aku menutup pintu kamar kembali, memberi kesempatan untuk Vanya memakai pakaiannya. Aku sendiri berjalan menuju dapur mengambil air putih, dan menghabiskan segelas penuh dalam beberapa tegukan.Bekas luka mirip cambukan di setiap sudut tubuh Vanya terus memenuhi pikiranku. Tidak, aku sama sekali tidak jijik ketika melihatnya. Justru ada nyeri di dalam dada ini, siapa yang tega menggoreskan begitu banyak luka di tubuh seorang wanita?Cukup lama aku termenung seorang diri di dapur. Setelah kurasa cukup lama, akhirnya aku berjalan kembali menuju dapur. Perlaha
"Kamu mengusirku, Di?" wajah Tasya terlihat memerah karena marah. "Demi wanita murahan ini kamu mengusirku?""Cukup, Tasya!"Kami menoleh. Ternyata Mama yang bicara. Wajah Mama terlihat tidak terima menantu kesayangannya dimaki di depan umum."Siapa yang kamu sebut wanita murahan?" ucapnya lantang. "Vanya jauh lebih baik dibanding denganmu yang bahkan tidak tahu cara bersopan santun.""Tante gak tahu siapa wanita ini!" Tasya tidak mau kalah. "Kalau Tante tahu, aku jamin duduk di sampingnya saja pasti akan jijik!""Sudah jangan diteruskan lagi, Tasya!" aku menarik tangan Tasya, mencoba menjauhkannya dari meja kami, tapi Tasya menghempaskan tanganku dengan kasar.Inilah salah satu penyebab Mama sama sekali tidak menyukai Tasya saat masih bersamaku dulu. Selain menyukai pakaian terbuka, Tasya juga sama sekali tidak bisa bersikap dewasa. Mungkin karena orang tuanya begitu memanjakannya dengan harta sedari kecil."Ada apa ini ribut-ribut?"Seorang wanita seumuran Mama, namun dengan penampi
Aku seketika menggertakkan rahang. Ternyata Tasya pernah berbuat seperti itu pada Vanya, bahkan di usia mereka yang masih sangat muda. Apa alasan dia berbuat seperti itu?"Mas."Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba Vanya berdiri di sampingku. Refleks aku langsung memutar laptop, tak ingin dia melihat apa yang sedang kulihat."Aku bawakan kopi untuk Mas Aldi," ucap Vanya sambil meletakkan secangkir kopi di depanku."Kerjaan Mas banyak sekali, ya? Wajah Mas teelihat begitu tegang." Vanya tersenyum simpul sambil menatapku."I-iya, Dek," jawabku gugup. Kalau Vanya tahu aku diam-diam mencari tahu tentang dirinya, dia pasti akan sangat sakit hati."Minum dulu, Mas," ucap Vanya lagi.Aku mengangguk, lalu menyeruput kopi yang dia buatkan untukku. Rasa hangat langsung mengalir ke tenggorokan yang sejak tadi kering."Kamu belum tidur, Dek?""Iya, Mas. Tadi menengok Mama sebentar. Biasanya Mama ingin pergi ke kamar mandi jam segini."Aku tertegun sejenak sambil melirik ke arah jam kecil di sampi