"Kamu mengusirku, Di?" wajah Tasya terlihat memerah karena marah. "Demi wanita murahan ini kamu mengusirku?"
"Cukup, Tasya!"Kami menoleh. Ternyata Mama yang bicara. Wajah Mama terlihat tidak terima menantu kesayangannya dimaki di depan umum."Siapa yang kamu sebut wanita murahan?" ucapnya lantang. "Vanya jauh lebih baik dibanding denganmu yang bahkan tidak tahu cara bersopan santun.""Tante gak tahu siapa wanita ini!" Tasya tidak mau kalah. "Kalau Tante tahu, aku jamin duduk di sampingnya saja pasti akan jijik!""Sudah jangan diteruskan lagi, Tasya!" aku menarik tangan Tasya, mencoba menjauhkannya dari meja kami, tapi Tasya menghempaskan tanganku dengan kasar.Inilah salah satu penyebab Mama sama sekali tidak menyukai Tasya saat masih bersamaku dulu. Selain menyukai pakaian terbuka, Tasya juga sama sekali tidak bisa bersikap dewasa. Mungkin karena orang tuanya begitu memanjakannya dengan harta sedari kecil."Ada apa ini ribut-ribut?"Seorang wanita seumuran Mama, namun dengan penampilannya glamor berjalan mendekat. Dia Nyonya Nia, Mama dari Tasya.Tasya seketika mendekat ke arah Mamanya, merasa memiliki perlindungan. Nyonya Nia terlihat menatapku."Rupanya kamu, Aldi. Kenapa kamu ribut dengan Tasya?" tanyanya.Belum sempat aku menjawab, Tasya langsung menyahut."Lihat itu, Ma. Ternyata Aldi menikahi Vanya! Dan mereka berani mengusirku dari tempat ini," adunya pada Mamanya."Vanya?" netra Nyonya Nia membola sesaat, seraya menatap ke arah Vanya.Terlihat Vanya menunduk dalam, sepertinya sangat tertekan."Bagaimana mungkin kamu lebih memilih meninggalkan Tasya, dan menikahi wanita seperti dia, Aldi?" tanya Nyonya Nia penuh penekanan padaku.Aku mengerutkan kening sambil menatap ke arah Tasya dan Mamanya bergantian."Tante juga mengenal Vanya?" tanyaku.Nyonya Nia tampak berdehem sebentar, menatap Vanya sekilas dengan pandangan merendahkan, lalu kembali menatapku."Tentu saja kami tidak mengenal wanita dari kalangan rendah seperti dia. Kami hanya tahu," jawabnya, berbanding terbalik dengan ucapan mereka tadi yang penuh keyakinan.Tasya dan Mamanya pasti tahu sesuatu tentang Vanya. Aku yakin itu, dan aku harus mencari tahu."Sudah, tolong hentikan semua ini." Mama akhirnya berdiri, mungkin tak tahan lagi dengan perdebatan kami."Oh, Nyonya Emil. Maafkan aku karena lupa menyapamu," ucap Nyonya Mia pada Mama sambil tersenyum ramah."Dengar, Nyonya. Hubungan putraku dengan putrimu sudah berakhir," ucap Mama menegaskan. "Sekarang Aldi sudah punya seorang istri, jadi tolong nasehati putrimu untuk berhenti mengganggunya."Wajah Nyonya Nia seketika berubah tak senang dengan ucapan Mama. Begitupun Tasya, wajahnya merah padam karena gusar."Kami sedang makan malam keluarga, jadi saya mohon tinggalkan kami dengan kebahagiaan kami," lanjut Mama lagi.Nyonya Nia mengulum bibirnya, menatap Vanya sekali lagi lalu menatapku sambil mengangkat alis."Baiklah, kami akan pergi," ucapnya. "Tapi ingat, aku tidak akan melupakan penghinaan ini, terutama terhadap putriku. Aku pastikan kalian akan menyesal karena lebih memilih wanita rendahan itu, yang bahkan seujung kotoran kakinya tak bisa dibandingkan dengan Tasya, putriku."Mama semakin geram mendengar ucapan Nyonya Nia, tapi Vanya tiba-tiba memegang erat tangan Mama. Vanya perlahan menggelang, dengan tetap menunduk. Mungkin dia tak mau Mama berdebat lagi untuk membelanya."Ayo pergi, Sayang." Nyonya Nia merangkul putrinya, berjalan meninggalkan kami bertiga.Aku dan Mama kembali duduk. Mama masih terlihat sangat geram."Apa-apaan sih, mereka itu? Keluarga terhormat tapi kelakuan seperti orang tak berpendidikan," omelnya."Sudah, Ma, sudah. Ayo kita makan, nanti keburu dingin," ucapku sambil mengelus pundak Mama."Pokoknya Mama gak mau kamu punya hubungan lagi dengan Tasya, Aldi!""Iya, Ma, iya," jawabku lagi, mengalah agar Mama tenang."Kamu gak apa-apa kan, Sayang?" Mama memegang tangan Vanya penuh kasih sayang. "Enak saja mereka bicara buruk tentang kamu padahal tidak saling kenal! Demi Allah, Mama gak rela!"Vanya terlihat tersenyum, lalu menggeleng pelan."Vanya gak apa-apa, Ma," jawabnya lirih, yang seketika membuat Mama tenang.Aku heran, entah bagaimana cara Vanya dengan begitu mudah membuat hati Mama selalu luluh. Dia seperti mempunyai kekuatan bidadari yang bisa menenangkan hati setiap orang.Makan malam kami yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini jadi penuh canggung. Vanya lebih banyak diam selama makan, sambil sesekali menyuapi Mama dengan penuh kasih sayang. Kini aku tahu Vanya wanita yang pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Vanya ... wanita berhati malaikat....Malam itu aku duduk di depan laptop ruang kerjaku di rumah, mencari sesuatu tentang Tasya yang selama ini belum kuketahui.Selain bekerja di kantor yang sama denganku, Tasya juga seorang selebgram yang cukup aktif membuat vlog. Aku terus mencari video-video yang dia posting dari jauh sebelum mengenalku dulu. Semoga ada sedikit petunjuk tentang Vanya yang bisa kudapatkan dari sana.Setelah beberapa lama mencari, akhirnya pandanganku jatuh pada sebuah video yang dia posting bertahun-tahun yang lalu, tepatnya saat Tasya masih duduk di bangku SMA.Tanpa pikir panjang aku mengklik video itu. Netraku membulat ketika melihat adegan yang ada dalam video bertajuk prank anak sekolah itu.Terlihat Tasya dan teman-temannya mengerjai seorang teman perempuan mereka di kamar mandi dengan mengguyurnya dengan air sabun. Tasya dan teman-temannya tertawa-tawa melihat gadis yang mereka kerjai menggigil kedinginan dan ketakutan.Tunggu. Wajah gadis yang menggigil karena basah kuyup itu seperti tak asing.Aku menghentikan videonya, lalu aku zoom wajahnya. Tak salah lagi, itu Vanya!"Kamu tahu di mana Vanya?" tanyaku tak sabar ketika mendengar ucapan Dion di seberang telepon.Dion mengiyakan, lalu dengan suara gagapnya dia menjelaskan."Kemarin dia datang untuk mengunjungi kami, dan mengabarkan kalau panti asuhan yang dibangunnya telah selesai. Hari ini dia kembali ke kotanya."Netraku seketika membulat. Tubuhku melemas seketika. Kenapa dia tidak menemuiku? Apa dia sudah melupakan aku, suaminya?"Vanya menanyakan kabar kalian. Dia bahagia Tasya hamil," ucap Dion kemudian, seperti tahu apa yang kupikirkan. "Dia bilang tak ingin merusak kebahagiaan kalian."Aku memejamkan mata, menahan perih tak terkira dalam hati. Tak tahukah dia, siang malam aku tak pernah berhenti memikirkannya?"Aku harus mencarinya!" ucapku kemudian pada Dion."Jangan, Aldi. Tasya membutuhkanmu!" sahut Dion lagi. "Biar aku saja!"Aku terdiam sejenak. Benar, Tasya dalam kondisi kritis. Aku tidak mungkin meninggalkannya."Kamu jangan khawatir, Aldi. Aku akan mengejarnya. Semoga belum terlambat."
POV ALDI"Aku berangkat dulu, Dek," ucapku sambil membenarkan letak dasi di depan cermin."Hati-hati, Mas. Maaf, tidak bisa mengantarmu ke depan," ucap Tasya sambil tersenyum dengan duduk bersandar dia ranjang, seraya memegangi perutnya yang membesar."Tidak apa-apa, Dek. Istirahatlah," jawabku sambil menarik selimut, menutupi sebagian tubuhnya.Tasya terlihat mengangguk. Aku meraih tas kerjaku dan berjalan keluar kamar."Aldi, nanti pulang cepat, ya? Antar Tasya untuk cek up ke Dokter nanti," ucap Mama saat aku bersiap berangkat kerja."Iya, Ma," jawabku sambil meraih tas kerja dari kursi di meja makan.Aku menatap ke arah kamar tempat Tasya masih istirahat. Sejak hamil kondisi tubuhnya lemah, dan harus beristirahat total.Benar, akhirnya aku melakukan tugas dan tanggung jawabku sebagai suaminya, meskipun sampai sekarang belum bisa mencintainya. Bagaimanapun, dia juga istriku yang sah di mata agama."Kamu sudah menemukan Vanya, Aldi?" Pertanyaan Mama seketika membuatku tersentak.Aku
POV ALDI"Assalamualaikum ... Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam berulang kali di depan gerbang pesantren tempat dulu aku meminang Vanya.Aku sangat cemas ketika dari kemarin Vanya tidak juga pulang, dan dia juga tidak pulang ke rumahnya. Pasti dia menginap di pesantren ini semalam."Waalaikumussalam." beberapa saat kemudian ustadzah Zahra tampak berjalan menuju ke arahku.Beliau membuka pintu gerbang, lalu mempersilahkanku masuk."Apa Vanya ada di sini, ustadzah?" Tanpa basa -basi aku langsung bertanya sambil mengarahkan pandanganku ke sekeliling pesantren."Tenanglah dulu, Nak Aldi. Duduklah dulu," ucap ustadzah Zahra sambil mempersilahkanku duduk di kursi teras."Mau saya bikinkan minum dulu, biar Nak Aldi bisa tenang?""Tidak, tidak perlu, Bu," sahutku.Aku duduk dengan tidak sabar. Aku benar-benar mencemaskan keadaan Vanya. Ustadzah Zahra terlihat membuang napas, lalu menatapku."Saya sudah dengar semuanya dari Vanya tentang hubungan kalian," ucap ustadzah Zahra kemudian.Ak
POV VANYAAku dan Mas Aldi saling berpandangan sesaat, lalu menatap mereka berdua lagi."Dion itu ... saudara kita, Sya. Kakak laki-laki kita," jawabku kemudian."Kakak? Kenapa Kak Vanya tidak pernah cerita kalau kita punya Kakak?" tanya Tasya lagi sambil mengerutkan kening.Aku tak langsung menjawab, tepatnya tak tahu harus menjawab apa. Bahkan untuk mendengar nama Dion saja sudah cukup berat bagiku, bagaimana aku bisa menjelaskan tentang dia?"Nanti biar aku yang jelaskan, Sya," sahut Mas Aldi, mungkin menyadari kalau wajahku menegang saat itu."Aku berangkat ke kantor dulu, nanti saja kita bicarakan tentang hal ini," lanjutnya.Tasya mengangguk, lalu cepat-cepat mengambil tas kerja milik Mas Aldi dan mengantarnya sampai depan pintu, hal yang selalu aku lakukan selama ini. Aku sengaja membiarkan Tasya yang melakukannya mulai sekarang, meskipun dengan perasaan yang berat. Mulai sekarang aku harus belajar menerima semua itu.Entah apa yang Mas Aldi jelaskan pada Tasya tentang Dion, tap
POV VANYA"Aku cinta sama Kak Aldi, Kak."Aku membulatkan netra sesaat, lalu menatap ke arah Tasya. Aku tak menyangka dia berani bicara seperti itu padaku. Rupanya setelah ingatannya hilang, perasaannya pada Mas Aldi tidak bisa hilang."Maafkan, aku, Kak. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Entah kenapa dan sejak kapan aku punya perasaan seperti ini. Padahal aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Maafkan aku, Kak," isak Tasya.Aku mengatupkan bibir. Ada perasaan nyeri teramat sangat di dalam sana. Apalagi setelah dokter memvonisku menderita kanker rahim beberapa waktu yang lalu. Hatiku sungguh terluka, tanpa aku mampu bercerita."Kamu mau bersama dengan Mas Aldi, Tasya?" tanyaku dengan bibir gemetar.Tasya membulatkan mata, lalu menatapku."Kamu bisa bersama dengan Mas Aldi, tapi dengan syarat yang harus kamu penuhi," ucapku dengan suara yang hampir tercekat."Kakak bercanda, kan?" tanya Tasya dengan senyum getir. "Seorang lelaki tidak boleh menikahi kakak beradik kandung."Aku
Aku memegang kedua pundak Vanya."Dek, kumohon jangan seperti ini. Maafkan Mas karena belum bisa menjadi suami yang baik. Mas tidak mau pisah dari kamu, Dek," ucapku.Vanya tersenyum lagi, kali ini dengan bibirnya yang terlihat bergetar."Mas, Mama ingin punya cucu, dan kamu adalah putra beliau satu-satunya. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk berbakti pada Mama," ucapnya."Pasti ada cara lain, Dek. Jangan pernah berpikir tentang perpisahan," sahutku gusar."Kalian tidak perlu berpisah."Kami berdua seketika menoleh ketika melihat Mama masuk ke dalam ruangan itu sambil menuntun tangan Tasya."Mama, kenapa ke sini?" tanyaku, langsung berdiri dari tempatku."Bicara apa kamu, Aldi! Vanya itu menantu Mama. Mama juga mau melihat keadaannya," jawab Mama, sambil melewatiku dan mendekat ke arah Vanya."Bagaimana keadaanmu, Vanya? Kamu sudah merasa sehat?" tanya Mama sambil memegang tangan Vanya."Aku baik-baik saja, Ma, Alhamdulillah," jawab Vanya, tetap dengan senyumannya."Aldi