Aku seketika menggertakkan rahang. Ternyata Tasya pernah berbuat seperti itu pada Vanya, bahkan di usia mereka yang masih sangat muda. Apa alasan dia berbuat seperti itu?
"Mas."Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba Vanya berdiri di sampingku. Refleks aku langsung memutar laptop, tak ingin dia melihat apa yang sedang kulihat."Aku bawakan kopi untuk Mas Aldi," ucap Vanya sambil meletakkan secangkir kopi di depanku."Kerjaan Mas banyak sekali, ya? Wajah Mas teelihat begitu tegang." Vanya tersenyum simpul sambil menatapku."I-iya, Dek," jawabku gugup. Kalau Vanya tahu aku diam-diam mencari tahu tentang dirinya, dia pasti akan sangat sakit hati."Minum dulu, Mas," ucap Vanya lagi.Aku mengangguk, lalu menyeruput kopi yang dia buatkan untukku. Rasa hangat langsung mengalir ke tenggorokan yang sejak tadi kering."Kamu belum tidur, Dek?""Iya, Mas. Tadi menengok Mama sebentar. Biasanya Mama ingin pergi ke kamar mandi jam segini."Aku tertegun sejenak sambil melirik ke arah jam kecil di samping laptop. Pukul setengah dua belas malam. Mama memang tidak mau memakai popok kalau malam, padahal dokter sudah menganjurkan agar tidak ke kamar mandi sendirian. Takut terjadi apa-apa jika tidak ada yang mengawasi.Ternyata Vanya begitu peduli pada Mama, sampai jam-jam Mama ingin ke toilet dia juga tahu. Ya Allah, kenapa ada orang yang bisa tega berbuat jahat pada wanita sebaik Vanya?"Oh iya, Dek. Kamu masuk pesantren sejak lulus SMA?" tanyaku dengan suara sepelan mungkin, agar dia tidak tersinggung dengan pertanyaanku.Netra Vanya terlihat membola sesaat, tapi kemudian dia tersenyum."Aku ... tidak lulus SMA, Mas," jawabnya.Aku sedikit terkejut mendengar ucapannya. Padahal di video jelas dia adalah teman Tasya di SMA."Loh, kenapa, Dek?""Aku ... tidak bisa mengikuti ujian akhir waktu itu," jawab Vanya sambil memilin jemarinya."Karena suatu kejadian ...."Aku mengerutkan kening serayamenatap Vanya. Terlihat Vanya menunduk sambil menggigit bibirnya. Bisa kulihat jari-jarinya gemetar. Vanya pasti teringat kejadian pembullyan itu ... atau ada sesuatu yang lain ...?"Maafkan jika pertanyaanku menyakiti hatimu, Dek," ucapku sambil meraih tangannya. Dingin. Vanya merasakan ketakutan.Vanya mengangkat wajahnya, menatapku dengan senyum yang terlihat sedikit dipaksakan."Tidak apa-apa, Mas," jawabnya pelan. "Aku pasti akan menjawab jika aku mampu menjawabnya."Aku membuang napas, lalu menepuk punggung tangannya pelan."Tidurlah, Dek. Sudah malam," ucapku kemudian.Vanya mengangguk, lalu perlahan berjalan pergi meninggalkanku. Aku membuang napas, lalu menatap sekali lagi pada wajah ketakutan Vanya. Terbayang lagi bekas luka yang ada di tubuh Vanya.Aku berjanji akan mencari tahu kebenarannya, Dek. Begitu aku menemukan bukti tentang siapa saja yang sudah menyakitimu seperti itu, aku pasti akan menemukan keadilan untukmu. Pasti!..."Aldi!"Aku terus berjalan menuju ruanganku, tanpa mempedulikan teriakan Tasya yang memanggilku."Aldi!" Tasya menarik tanganku, memaksaku memutar badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi, Sya? Aku mau kerja," ucapku pada Tasya dengan kesal."Kamu sudah berubah, Di. Sekarang kamu bersikap seperti ini padaku.""Lalu aku harus bagaimana, Sya? Aku sudah beristri, dan kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi," ucapku tegas. "Aku tidak mau mendengar apapun yang buruk tentang istriku lagi darimu.""Aku mengatakannya karena aku peduli sama kamu, Di. Kamu tidak tahu siapa dia sebenarnya!""Aku sudah tahu!"Tasya tampak terkejut mendengar ucapanku. Aku menatap dia dengan tajam."Aku tahu bagaimana kamu bisa mengenal Vanya!""Vanya cerita apa sama kamu? Dia pasti mengadu yang bukan-bukan tentang keluarga kami! Kamu jangan percaya sama dia, Di!"Aku sedikit tesentak. Tunggu. Keluarga? Jadi bukan hanya Tasya dan Mamanya yang mengenal Vanya, tapi seluruh keluarga Tasya? Apa sebenarnya hubungan di antara mereka?"Jika kakakku tahu kamu ninggalin aku demi wanita itu, dia pasti sudah menghajarmu, Di," ucap Tasya lagi panjang lebar."Tunggu dulu, Tasya!" sahutku sambil menatap tajam padanya. "Vanya yang kamu bully, dan seluruh keluargamu mengenalnya. Tapi kenapa seolah Vanya yang jahat?"Tasya mengerutkan kening, menatapku heran. Aku mengeluarkan gawaiku, lalu menunjukkan video konten yang dia buat saat SMA. Wajah Tasya langsung berubah gusar."I-itu cuma kenakalan remaja, Di. Waktu itu cuma bercanda!" ucap Tasya membela diri."Bercanda? Baiklah kalau memang seumuran kalian waktu itu menganggap itu semua sebagai candaan. Tapi kenapa kamu juga membuat fitnah tentang Vanya?""Apa maksudmu, Di? Sudah kubilang jangan percaya pada ucapan Vanya!"Aku mengacak rambutku menahan emosi, lalu menatap Tasya lagi."Vanya tidak bilang apa-apa padaku tentang kalian. Dia bahkan tidak pernah menyebut nama keluarga kalian sedikitpun!"Wajah Tasya seketika berubah pucat."Sekarang aku punya alasan kenapa tidak bisa percaya padamu, Tasya," ucapku sambil berlalu pergi, meninggalkan Tasya yang berdiri mematung di tempatnya.Aku duduk di kursi ruanganku dengan kesal. Kenapa Tasya begitu membenci Vanya? Apa alasan sebenarnya? Berbagai pertanyaan memenuhi otakku.Aku membuang napas, lalu membuka tas kerjaku. Aku terkejut ketika berkas yang kukerjakan semalam tak ada di sana. Sial, aku pasti meninggalkannya di ruang kerja rumah.Saat aku kebingungan, tiba-tiba gawaiku berdering. Pesan masuk dari Vanya.[ Assalamualaikum ][ Mas, aku ada di luar kantor. Berkas pekerjaan kantormu ketinggalan tadi ]Aku membuang napas lega. Syukurlah Vanya langsung mengantarkan berkas itu ke sini. Kalau tidak, aku bisa dimarahi atasan habis-habisan. Vanya sungguh-sungguh seperti malaikat penolong.[ Masuklah Dek, tunggu di lobby kantor. Aku akan segera ke sana ]Aku bergegas keluar dari ruanganku dan menuju lobby kantor. Tak ada Vanya di sana. Aku mencari-cari dia di luar, juga tak ada. Aku masuk kembali untuk mencarinya. Sampai akhirnya apa yang kulihat membuatku tertegun.Kulihat Vanya duduk meringkuk dengan tubuh gemetar di salah satu sudut lantai kantor, sambil memeluk berkas penting milikku. Aku mengarahkan pandangan pada laki-laki yang berdiri di depan Vanya, yang menatap heran pada Vanya.Dia adalah atasanku, presiden direktur di perusahaan ini. Dion, kakak Tasya."Kamu tahu di mana Vanya?" tanyaku tak sabar ketika mendengar ucapan Dion di seberang telepon.Dion mengiyakan, lalu dengan suara gagapnya dia menjelaskan."Kemarin dia datang untuk mengunjungi kami, dan mengabarkan kalau panti asuhan yang dibangunnya telah selesai. Hari ini dia kembali ke kotanya."Netraku seketika membulat. Tubuhku melemas seketika. Kenapa dia tidak menemuiku? Apa dia sudah melupakan aku, suaminya?"Vanya menanyakan kabar kalian. Dia bahagia Tasya hamil," ucap Dion kemudian, seperti tahu apa yang kupikirkan. "Dia bilang tak ingin merusak kebahagiaan kalian."Aku memejamkan mata, menahan perih tak terkira dalam hati. Tak tahukah dia, siang malam aku tak pernah berhenti memikirkannya?"Aku harus mencarinya!" ucapku kemudian pada Dion."Jangan, Aldi. Tasya membutuhkanmu!" sahut Dion lagi. "Biar aku saja!"Aku terdiam sejenak. Benar, Tasya dalam kondisi kritis. Aku tidak mungkin meninggalkannya."Kamu jangan khawatir, Aldi. Aku akan mengejarnya. Semoga belum terlambat."
POV ALDI"Aku berangkat dulu, Dek," ucapku sambil membenarkan letak dasi di depan cermin."Hati-hati, Mas. Maaf, tidak bisa mengantarmu ke depan," ucap Tasya sambil tersenyum dengan duduk bersandar dia ranjang, seraya memegangi perutnya yang membesar."Tidak apa-apa, Dek. Istirahatlah," jawabku sambil menarik selimut, menutupi sebagian tubuhnya.Tasya terlihat mengangguk. Aku meraih tas kerjaku dan berjalan keluar kamar."Aldi, nanti pulang cepat, ya? Antar Tasya untuk cek up ke Dokter nanti," ucap Mama saat aku bersiap berangkat kerja."Iya, Ma," jawabku sambil meraih tas kerja dari kursi di meja makan.Aku menatap ke arah kamar tempat Tasya masih istirahat. Sejak hamil kondisi tubuhnya lemah, dan harus beristirahat total.Benar, akhirnya aku melakukan tugas dan tanggung jawabku sebagai suaminya, meskipun sampai sekarang belum bisa mencintainya. Bagaimanapun, dia juga istriku yang sah di mata agama."Kamu sudah menemukan Vanya, Aldi?" Pertanyaan Mama seketika membuatku tersentak.Aku
POV ALDI"Assalamualaikum ... Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam berulang kali di depan gerbang pesantren tempat dulu aku meminang Vanya.Aku sangat cemas ketika dari kemarin Vanya tidak juga pulang, dan dia juga tidak pulang ke rumahnya. Pasti dia menginap di pesantren ini semalam."Waalaikumussalam." beberapa saat kemudian ustadzah Zahra tampak berjalan menuju ke arahku.Beliau membuka pintu gerbang, lalu mempersilahkanku masuk."Apa Vanya ada di sini, ustadzah?" Tanpa basa -basi aku langsung bertanya sambil mengarahkan pandanganku ke sekeliling pesantren."Tenanglah dulu, Nak Aldi. Duduklah dulu," ucap ustadzah Zahra sambil mempersilahkanku duduk di kursi teras."Mau saya bikinkan minum dulu, biar Nak Aldi bisa tenang?""Tidak, tidak perlu, Bu," sahutku.Aku duduk dengan tidak sabar. Aku benar-benar mencemaskan keadaan Vanya. Ustadzah Zahra terlihat membuang napas, lalu menatapku."Saya sudah dengar semuanya dari Vanya tentang hubungan kalian," ucap ustadzah Zahra kemudian.Ak
POV VANYAAku dan Mas Aldi saling berpandangan sesaat, lalu menatap mereka berdua lagi."Dion itu ... saudara kita, Sya. Kakak laki-laki kita," jawabku kemudian."Kakak? Kenapa Kak Vanya tidak pernah cerita kalau kita punya Kakak?" tanya Tasya lagi sambil mengerutkan kening.Aku tak langsung menjawab, tepatnya tak tahu harus menjawab apa. Bahkan untuk mendengar nama Dion saja sudah cukup berat bagiku, bagaimana aku bisa menjelaskan tentang dia?"Nanti biar aku yang jelaskan, Sya," sahut Mas Aldi, mungkin menyadari kalau wajahku menegang saat itu."Aku berangkat ke kantor dulu, nanti saja kita bicarakan tentang hal ini," lanjutnya.Tasya mengangguk, lalu cepat-cepat mengambil tas kerja milik Mas Aldi dan mengantarnya sampai depan pintu, hal yang selalu aku lakukan selama ini. Aku sengaja membiarkan Tasya yang melakukannya mulai sekarang, meskipun dengan perasaan yang berat. Mulai sekarang aku harus belajar menerima semua itu.Entah apa yang Mas Aldi jelaskan pada Tasya tentang Dion, tap
POV VANYA"Aku cinta sama Kak Aldi, Kak."Aku membulatkan netra sesaat, lalu menatap ke arah Tasya. Aku tak menyangka dia berani bicara seperti itu padaku. Rupanya setelah ingatannya hilang, perasaannya pada Mas Aldi tidak bisa hilang."Maafkan, aku, Kak. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Entah kenapa dan sejak kapan aku punya perasaan seperti ini. Padahal aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Maafkan aku, Kak," isak Tasya.Aku mengatupkan bibir. Ada perasaan nyeri teramat sangat di dalam sana. Apalagi setelah dokter memvonisku menderita kanker rahim beberapa waktu yang lalu. Hatiku sungguh terluka, tanpa aku mampu bercerita."Kamu mau bersama dengan Mas Aldi, Tasya?" tanyaku dengan bibir gemetar.Tasya membulatkan mata, lalu menatapku."Kamu bisa bersama dengan Mas Aldi, tapi dengan syarat yang harus kamu penuhi," ucapku dengan suara yang hampir tercekat."Kakak bercanda, kan?" tanya Tasya dengan senyum getir. "Seorang lelaki tidak boleh menikahi kakak beradik kandung."Aku
Aku memegang kedua pundak Vanya."Dek, kumohon jangan seperti ini. Maafkan Mas karena belum bisa menjadi suami yang baik. Mas tidak mau pisah dari kamu, Dek," ucapku.Vanya tersenyum lagi, kali ini dengan bibirnya yang terlihat bergetar."Mas, Mama ingin punya cucu, dan kamu adalah putra beliau satu-satunya. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk berbakti pada Mama," ucapnya."Pasti ada cara lain, Dek. Jangan pernah berpikir tentang perpisahan," sahutku gusar."Kalian tidak perlu berpisah."Kami berdua seketika menoleh ketika melihat Mama masuk ke dalam ruangan itu sambil menuntun tangan Tasya."Mama, kenapa ke sini?" tanyaku, langsung berdiri dari tempatku."Bicara apa kamu, Aldi! Vanya itu menantu Mama. Mama juga mau melihat keadaannya," jawab Mama, sambil melewatiku dan mendekat ke arah Vanya."Bagaimana keadaanmu, Vanya? Kamu sudah merasa sehat?" tanya Mama sambil memegang tangan Vanya."Aku baik-baik saja, Ma, Alhamdulillah," jawab Vanya, tetap dengan senyumannya."Aldi